Share

8. Mari Bercerai

Leona bisa mencium sesuatu yang tidak biasa dari gelagat Markus. Sejak saat berbicara di telepon dengannya, pria itu bahkan sudah sangat jauh berbeda dari biasanya.

Walau bibirnya berkata 'sayang', tetapi Leona tahu kalau hati dan mata pria itu tidak sedang bersamanya.

"Kenapa kau diam saja sejak tadi, Leona? Tadi kau memintaku untuk cepat pulang, tapi sekarang kau sama sekali tidak mau bicara denganku," ucap Markus pelan.

Leona tidak menjawab.

Wanita ini bahkan memalingkan wajahnya.

Dia bisa merasakan bagaimana sekarang wajahnya sedang memanas.

Sama panasnya dengan hatinya yang terluka karena menyadari kalau Markus tidak lagi menginginkan dia.

"Leona, Sayang ...." Markus berjongkok di hadapan sang istri berharap kalau dengan cara seperti ini dia bisa berbicara dengan Leona.

Leona tidak ingin melihat bagaimana tatapan Markus saat ini.

Walau pria itu mendongak untuk bisa melihat bagaimana kejelasan wajahnya, tetapi dia mencoba untuk memejamkan mata agar pria ini tahu kalau sekarang dia sedang marah.

"Leona, apa aku berbuat salah padamu?" tanya Markus lembut. Dia mengambil kedua tangan Leona lalu mengelusnya dengan lembut.

Leona menggigit bibir bawahnya. 

Mendengar Markus yang berkata dengan begitu lembut dan gerakannya yang begitu halus, sebenarnya sudah mulai menggugah perasaan wanita ini agar mau bicara dengan suaminya.

Akan tetapi, entah mengapa sebuah bisikan datang sehingga membuatnya sama sekali tidak ingin menyahuti satu pun ucapan Markus.

"Kalau kau bungkam terus seperti ini, memangnya kau kira aku akan bisa mengerti apa yang sedang kau rasakan?" sembur Markus dengan nada bicaranya yang sedikit ditinggikan.

Leona menoleh padanya karena hal itu. 

Tatapan mata wanita ini mengisyaratkan kalau ada hal penting yang sepertinya harus dikatakan pada pria yang sekarang sedang mengiba, tetapi masih bisa berbicara keras dengannya.

"Aku ingin bicara sesuatu yang sangat penting denganmu, Markus!" seru Leona. Air matanya tumpah ruah begitu saja ketika mengatakan hal itu.

Markus mengusap buliran bening yang mengalir membasahi wajah cantik Leona. Dia bisa melihat adanya kepedihan dari balik sorot mata wanita yang telah bersama dengannya selama bertahun-tahun itu.

"Katakan saja semuanya ingin kau katakan, Leona. Aku siap mendengarnya karena itulah tugasku sebagai suamimu," jawab Markus lembut walau dia terkejut bukan main melihat Leona tiba-tiba menangis.

Leona menguatkan hatinya.

Dia sama sekali tidak boleh goyah pada sikap lembut yang saat ini begitu manis di hadapannya.

"Panggilkan dulu Ibu. Ini adalah hal penting, jadi harus aku sampaikan di depan kalian berdua," pinta Leona.

Markus sedikit heran mendengar apa yang diinginkan oleh sang istri, tetapi demi membuat Leona tetap bicara, sepertinya dia tidak boleh membantah dan langsung harus menurutinya.

Pria itu kemudian dengan cepat keluar dari kamar dan mendorong kursi roda ibunya untuk masuk kembali ke kamar di mana Leona sekarang sedang duduk di dekat jendela.

Wajah Elizabeth terlihat begitu berbeda dari biasanya. Dia seakan tahu kalau ada hal buruk yang akan terjadi pada pernikahan putranya ini.

"Ada apa, Leona? Katanya kau ingin bicara dengan Ibu dan juga Markus ...." Belum sempat Elizabeth menuntaskan kalimatnya, tiba-tiba Leona bersimpuh dan berlutut di hadapan wanita yang duduk di kursi roda itu.

Leona kemudian menangis terisak di atas kedua lutut wanita yang menjadi mertuanya yang begitu baik selama ini.

"Kenapa kau menangis seperti ini, Leona?" tanya Elizabeth. Dia lantas mengusap lembut punggung Leona meskipun bingung dengan sikap menantunya ini.

Markus berusaha untuk membuat Leona berdiri, tetapi sepertinya semua itu sia-sia karena Leona masih ingin dalam posisi yang seperti ini sedikit lebih lama lagi.

Pria tampan ini kemudian membiarkan sang istri larut dalam tangisannya. Dia ingin mengetahui apa sebenarnya yang terjadi pada Leona sampai dia melakukan hal seperti ini.

"Leona, bicaralah dan jangan pendam semuanya sendiri," suruh Elizabeth.

Leona mendongak.

Wanita ini yang sedang berurai air mata kemudian memandang wajah mertuanya yang begitu baik dan juga selalu menyayanginya selama ini.

"Ibu ... aku benar-benar minta maaf karena sepertinya sekarang aku sudah tidak bisa lagi menahan semuanya. A-aku ...."

Wanita ini menjeda ucapannya.

Dia mengusap air mata yang membasahi pipinya lalu mengambil napas dalam-dalam.

"Katakan, Leona. Apa yang ingin kau katakan padaku dan juga Ibu?" sela  Markus.

Leona tidak menjawab ucapan pria itu.

Wanita ini kemudian kembali memandangi sorot mata teduh ibu mertuanya.

"Sekarang adalah yang saat yang tepat untukku untuk mundur dari pernikahan ini, Ibu. Maaf karena sepertinya aku tidak bisa lagi mendampingi Markus untuk menjadi seorang istri ...."

Deg!

Jantung Markus seakan berhenti berdetak ketika mendengar bagaimana sang istri mengatakan hal itu.

Terlebih lagi dengan ekspresi Elizabeth yang sama sekali tidak menyangka kalau Leona akan mengatakan hal itu di hadapannya dan juga putranya.

"A-apa maksudnya, Leona?" tanya Elizabeth dengan terbata. Ini seperti sebuah candaan yang tidak lucu baginya.

Leona kembali terisak. Kali ini bahkan Markus sudah bersimpuh bersama dengannya dan bersebelahan. Pria itu memandangi wajah istrinya dan mencoba untuk mencari kebenaran dari pernyataannya tadi.

"Kenapa begitu mudah kau mengatakan ingin mundur menjadi istriku sementara pernikahan yang kita jalani sudah bertahun-tahun usianya, Sayang? Kau sedang bercanda, kan!" seru Markus penuh tanya. Ini tidak semudah apa yang dibayangkan olehnya.

Leona menggelengkan kepalanya.

Wanita ini kemudian mengatur napasnya agar dia tidak lagi tersengal-sengal seperti tadi. Bahkan, Leona yang telah memantapkan hati kemudian mengangkat kepalanya.

"Aku ingin kita bercerai, Markus. Aku sudah tidak bisa lagi mendampingimu!" seru Leona tanpa jeda, tanpa pikiran, dan tanpa melihat wajah Markus.

Markus terbelalak mendengarnya. "Jangan bercanda. Jangan mengatakan hal sembarangan seperti itu di hadapanku dan juga Ibu!" teriaknya.

Pria ini kemudian memegang kedua pundak sang istri. Dia memutar tubuh Leona agar sekarang bisa melihat dengan jelas bagaimana ekspresi wajahnya.

Leona menatap nanar ke arah Markus.

"Hubungan ini sudah tidak sehat lagi, Markus. Sekarang aku akan merelakanmu dan sepertinya aku tidak bisa lagi bertahan dalam rumah tangga yang seperti ini," ucap Leona pelan, nyaris berbisik.

Deg!

Lagi-lagi ucapan Leona membuat Markus tidak bisa menahan debaran jantungnya yang begitu kencang.

Ada masalah apa dengan istrinya sampai dengan tiba-tiba tanpa adanya hujan ataupun angin, bisa-bisanya dia meminta cerai?

"Kenapa kau mengatakan hal seperti itu di saat rumah tangga kita baik-baik saja, Leona? Apa kau tidak memikirkan bagaimana perasaanku dan juga perasaan ibu?" tanya Markus penuh penekanan. Tangannya masih memegang pundak Leona dengan begitu erat.

Leona menggelengkan kepalanya. "Rumah tangga yang sehat? Pernikahan yang bahagia? Jangan berhayal, Markus. Aku adalah wanita tidak sempurna yang tidak bisa memberimu keturunan! Berhenti mengatakan kalau pernikahan kita ini baik-baik saja!" teriaknya.

Markus menahan emosinya. Bagaimana bisa Leona berpikir seperti itu di saat dia sudah mengalah untuk tidak mencari istri lainnya demi bisa mendapatkan keturunan?

"Jangan mengelak lagi dan jangan kira kalau aku tidak tahu apa-apa, Markus. Sekarang semua di antara kita sudah selesai. Aku sudah mati rasa dan sepertinya kisah kita memang harus berakhir!" ucap Leona lirih. Dia mengambil sesuatu yang sejak tadi disembunyikan dibalik punggungnya dan memberikannya dengan tangan bergetar pada pria yang saat ini sedang menatapnya dengan tatapan kosong.

*****

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status