"Kau ... kenapa bisa ada di sini?"
Pria bernama Arthur itu tersenyum. Dia memiliki paras rupawan, saat tersenyum, ada lekukan dalam di kedua sisi bibirnya yang membuat senyumannya semakin manis. Wajah pria itu terlihat sangat lembut dengan mata sayu dan rahang bulat, berbeda sekali dengan Christian Li yang memiliki mata tajam dan rahang tegas, membuatnya terlihat lebih tegas dan maskulin."Kau tidak mendengar ucapan Bibi Caisa barusan?" Arthur terkekeh pelan saat melihat ekspresi terkejut Aileen."Aah, maaf." Aileen tersenyum kaku saat menyadari kebodohannya.Sudah jelas-jelas Nyonya Caisa tadi memperkenalkan Arthur sebagai sepupu dari Christian Li, tapi dia justru bertanya dengan bodohnya bertanya seperti itu.“Kau sendiri sedang apa di sini? Apa kau mengikutiku?” goda Arthur dengan senyuman manisnya.“Dia istri Christian. Mereka baru saja mencacatkan pernikahan mereka siang tadi di kantor catatan sipil."Jawaban nyonya Caisa membuat Arthur tertegun selama beberapa saat. Bahkan raut wajahnya sempat berubah sebentar. "Oh, jadi kau istri Christian.""Kalian sudah saling mengenal?" Nyonya Caisa menatap Arthur dan Aileen secara bergantian. Melihat interaksi mereka berdua tadi, Nyonya Caisa berkesimpulan kalau mereka sudah pernah bertemu sebelumnya.Arthur mengangguk ringan. "Kami tidak sengaja bertemu di restoran. Saat itu, Aileen tidak sengaja menemukan dokumenku yang terjatuh. Akhirnya aku mengajaknya makan siang bersama sebagai ucapan terima kasih," terang Arthur.Setelah mengajak Aileen makan siang waktu itu, Arthur mengantar Aileen kembali ke kantornya. Dari sanalah Arthur tahu kalau Aileen bekerja sebagai reporter. Sejak itu, beberapa kali Arthur mampir ke perusahaan Aileen untuk mengajaknya makan siang.Dokumen yang ditemukan oleh Aileen adalah dokumen penting, sehingga Arthur mencoba membalas kebaikan Aileen dengan mengajaknya makan siang beberapa kali ketika dia memiliki waktu senggang."Ternyata begitu," kata Nyonya Caisa sambil tersenyum. "Baguslah kalau kalian saling mengenal. Itu artinya kalian tidak perlu waktu lama untuk menyesuaikan diri satu sama lain."Tatapan Arthur tiba-tiba tertuju pada dahi Aileen yang memar. "Ada apa dengan dahimu?""Ooh, ini." Aileen meraba dahinya sambil tersenyum canggung. "Aku tidak senga—""Apa itu ulah Christian?" tebak Arthur cepat, sebelun Aileen sempat menjelaskannya."Ya. Dia tidak sengaja melempar barang, dan mengenai dahiku."Tiba-tiba saja Arthur merasa iba melihat kondisi Aileen. Baru saja memasuki kediaman Li, tapi wanita di depannya itu sudah mendapatkan perlakukan kasar dari adik sepupunya. Dia merasa sedikit bersalah atas insiden itu."Maafkan adikku. Dia seperti itu karena merasa frustasi dengan kondisinya. Aku harap kau bisa memakluminya."Aileen tersenyum canggung, setelah itu berkata, "Tidak apa-apa. Ini salahku. Seharusnya aku meminta izin terlebih dahulu, sebelum masuk ke kamarnya."Dia memang salah karena tidak hati-hati saat akan memasuki kamar Christian Li tadi. Padahal, bibi Nian sudah memperingatkannya lebih dulu."Ke depannya lebih berhati-hatilah."Setelah mengatakan itu, Arthur meminta pelayan untuk membawakan kotak obat. Awalnya, Aileen menolak dengan sopan, tapi Arthur tetap memaksa pelayan untuk membawakan apa yang dia minta tadi. Dia hanya tidak ingin, Aileen berpikir kalau keluarga Li tidak ada yang peduli dengannya. Maka dari itu, dia berusaha untuk berbuat baik padanya."Biar aku saja yang menempelkanya," ucap Aileen ketika Arthur berniat menempelkan plester di dahinya. Bagaimana pun banyak pelayan yang melihat, dan juga, ada nyonya Caisa di sana. Aileen merasa tidak nyaman jika dilihat orang lain."Biarkan aku membantumu." Ditatap begitu lekat oleh Arthur, membuat Aileen menjadi salah tinggah. "Kau seperti ini karena adikku, jadi biarkan aku melakukan sesuatu untukmu. Anggap saja sebagai permintaan maaf atas sikap kasar adikku."Ternyata tidak hanya memiliki wajah yang tampan, tapi Arthur juga memiliki kepribadian yang bagus. Aileen merasa tersentuh oleh perhatian pria itu. Dia pikir semua anggota keluarga Li tidak ada yang baik, ternyata dia salah. Tidak hanya memiliki wajah yang tampan, ternyata Arthur juga sangat baik."Terima kasih."Nyonya Caisa dan semua pelayan yang ada di ruangan seketika menatap ke arah Arthur yang sedang berdiri di hadapan Aileen sambil memasangkan plester di dahinya.Setelah plester terpasang, nyonya Caisa meminta Arthur dan Aileen untuk segera duduk. Aileen duduk di kursi yang sudah ditarik oleh pelayan yang bersebrangan langsung dengan Arthur."Karena kita sudah berkumpul, kita mulai saja makan malamnya."Usai mendengar itu, Aileen langsung melemparkan pertanyaan dulu pada nyonya Caisa, "Bagaimana dengan Christian? Kita tidak memanggilnya turun?""Dia tidak pernah mau makan malam bersama kami. Dia lebih suka makan di kamarnya. Bibi Nian akan mengantarkan makanan padanya setelah ini. Lebih baik kita makan malam sekarang," jawab Nyonya Caisa.Mungkin memang kurang nyaman bagi Christian Li bertemu banyak orang dengan kondisinya yang seperti itu. Aileen bisa mengerti itu. Akan merepotkan juga baginya kalau harus naik turun, meskipun ada lift di rumah itu."Baiklah."Setelah selesai makan, Aileen segera pergi berpamitan pada nyonya Caisa dan Arthur untuk kembali ke kamarnya. Sejak tadi pikiran terus tertuju pada Christian Li.Entah mengapa, dia merasa cemas. Dia takut pria itu tidak makan dengan baik di kamarnya. Meskipun tadi pria itu sudah melemparnya dengan barang, hingga membuat dahinya memar serta pelipisnya tergores, tapi Aileen tidak marah, justru dia merasa iba saat memikirkan pria itu makan sendiri di kamarnya.Baru saja Aileen akan menginjakkan kakinya di lantai atas, terdengar suara Arthur memanggilnya. "Tunggu sebentar, Aileen."Alieen seketika menoleh seraya menghentikan langkahnya. "Ada apa?" tanya Aileen setelah mereka berdiri saling berhadapan di anak tangga terakhir di lantai 2.“Arthur, mari bercerai.” Arthur seketika membeku ketika mendengar itu. “Cerai?” Calina mengangguk. “Tiffany sudah kembali, kau juga sudah sembuh, sudah saatnya aku mundur.” Meski hatinya saat ini sangat hancur, tapi Calina berusaha keras untuk tetap bersikap tenang di depan pria yang kini sudah sepenuhnya mengisi hatinya. Ya, Calina sudah jatuh cinta pada pria yang dia nikahi berapa tahun lalu. Meski, di awal dia tidak memiliki perasaan apa pun, tapi nyatanya cinta perlahan tumbuh seiring kebersamaan mereka selama bertahun-tahun. “Apa Tiffany mendatangimu?” “Tidak," jawab Calina. “Lalu, kenapa tiba-tiba ingin bercerai?” Calina mengepalkan tangan dengan kuat demi menahan agar air matanya tidak keluar. “Aku tahu kau masih mencintai Tiffany. Aku tidak ingin menjadi penghalang cinta kalian.” Arthur tampak terdiam. Namun, tatapan masih tertuju pada iris Calina. “Selain Tiffany, apa ada alasan lain yang melatarbelakangi kau ingin bercerai denganku?” "Maksudmu?" "Apa kau sudah menem
Belum sempat mobil terparkir dengan benar, Jayden sudah keluar dengan langkah terburu-buru dengan ekspresi suram. “Bu, di mana Ayah?” tanya Jayden pada Aileen yang sedang duduk di ruangan keluarga dengan Alicia dan Steven “Ada di ruangan kerjanya, ada ...” Belum selesai Aileen bicara, Jayden sudah berjalan menuju ruangan kerja sang ayah yang berada di lantai bawah. Tanpa mengetuk, dia langsung membuka pintu dengan kasar, membuat Christian dan Ken yang berada di dalam ruangan itu terkejut dan menoleh bersamaan. “Jayden, apa kau sudah lupa cara mengetuk pintu? Di mana sopan santunmu?” tegur Christian. Jayden yang sudah terlanjur emosi, mengabaikan teguran sang ayah dan bertanya dengan marah, “Kenapa ayah menggusur pekampungan itu?' Christian mengerutkan kening sebentar, kemudian bertanya, "Perkampungan apa?" "Jangan pura-pura tidak tahu," jawab Jayden, "Perkampungan yang berada di selatan kota, itu tanah milik Li's Corp, kan?" Sebelum menjawab pertanyaan sang putra, Christian mem
“Kakak, kau datang lagi?” Gadis kecil penjual kue itu langsung berlari ketika melihat Jayden sedang berjalan ke arah minimarket. “Hhmm,” gumam Jayden Li seraya mengangguk ringan. Seperti biasa, dia hanya menampilkan ekspresi biasa ketika berbicara dengan siapa pun. Berbeda sekali dengan gadis kecil yang berada di hadapannya itu, matanya tampak berbinar dan senyuman sangat lebar ketika menyambut kedatangannya. “Kak, maaf, kueku hari ini sudah habis. Tadi ada Paman baik hati yang membeli semua kueku,” ujarnya dengan wajah riang. Senyuman begitu polos, membuat siapa pun yang melihat akan merasa gemas. “Lihatlah. Sudah tidak tersisa.” Dengan antuasias gadis kecil itu menunjukkan wajah kue yang biasa gunakan untuk meletakkan kue kukusnya. Jayden melirik sejenak, sebelum akhirnya kembali menatap gadis di depannya. “Aku ke sini untuk membeli sesuatu di dalam,” jawabnya datar. Gadis itu mengangguk tanda mengerti. “Oh, seperti itu.” Dia pikir Jayden datang untuk membeli kuenya, karena b
"Sudahlah. Untuk apa juga aku perhitungan dengan anak kecil sepertimu."Daniel berlalu dari sana dan mendekati gadis kecil yang tampak sedang menunduk. Sebelum memeriksa gadis kecil itu, Daniel memanggil salah satu perawat yang ada di sana untuk mendekat.Jayden Li yang semula duduk dengan acuh tak acuh, akhirnya mendekat ketika melihat Daniel mulai mengobati gadis kecil itu.Ketika Daniel sedang membersihkan luka di bibir gadis itu, tampak dia mengigit bibir bawahnya seraya mengerutkan wajah.“Sakit?” Jayden Li yang sejak tadi hanya diam, akhirnya bertanya pada gadis kecil itu.“Tidak, Kak.”Melihat senyuman gadis itu yang begitu lebar, entah mengapa justru membuat sudut hati Jayden terasa sakit.Kenapa gadis di depannya tidak menangis dan justru tersenyum? Sudah jelas itu sakit, tapi gadis di depannya tidak mengeluh sedikit pun.Jika itu terjadi pada adiknya, bisa dipastikan akan terjadi kehebohan di rumah sakit itu. Adiknya pernah tidak sengaja terjatuh dan itu membuat kehebohan di
“Bangunlah.”Gadis kecil yang semula masih meringkuk, perlahan bangkit dibantu oleh Jayden Li usai ketiga preman itu dibuat tumbang dan babak belur.“Apa kau tidak apa-apa?”Gadis itu mengangkat kepala setelah membersihkan bajunya yang kotor. “Aku tidak apa-apa, Kakak. Terima kasih sudah menolongku.”Melihat gadis itu tersenyum lebar dengan wajah polosnya, Jayden seketika tertegun. Dia menatap gadis di depan dengan alis yang hampir menyatu.Dia tersenyum?Setelah diinjak-injak dan dibuat terluka, dia masih bisa tersenyum selebar itu.Bagaimana bisa? Padahal, di wajahnya terdapat beberapa luka memar dan di bagian bibir bawahnya tampak mengeluarkan cairan merah. Sepertinya ada luka robek di bagian bibirnya. Tidak hanya itu, di bagian pelipis gadis kecil itu pun terdapat luka berupa garis memanjang yang juga mengeluarkan sedikit darah.Dengan umur seusainya, sangat wajar jika dia menangis histeris, tapi gadis kecil di depannya itu justru tersenyum. Jangankan menangis, mengeluh sakit pun
“Tuan Muda, silahkan.” Pengawal pribadi Jayden Li membuka pintu belakang setelah melihat anak bosnya keluar dari tempat latihan bela diri.Jayden mengangguk dengan wajah datar, kemudian memasuki mobil dan duduk di kursi belakang.“Paman Rai, berhenti di depan. Aku ingin membeli sesuatu.”Rai, asisten pribadi Jayden yang sedang mengemudi mengangguk, kemudian menepikan mobil mereka di minimarket yang berada di sebelah kanan jalan. Mobil yang hitam yang sejak tadi mengikuti mobil Jayden Li ikut berhenti di belakangnya. Mobil sedan hitam itu berisi 4 orang pengawal berbadan tegap yang secara khusus ditugaskan untuk mengikuti Jayden Li ke mana pun dia pergi.“Paman Rai, kau di sini saja, aku hanya sebentar," ucap Jayden setelah tiba di depan pintu minimarket.“Tapi, ....” Rai ingin menolak, tapi Jayden kembali angkat bicara, “Tidak sampai 5 menit, aku sudah keluar. Jadi, Paman tunggu di sini saja.”Jayden membalik tubuh, kemudian meraih pintu dan masuk ke dalam. Tidak jauh dari minimarket