Satu bulan lamanya Bayu tidak pernah pulang ke rumah lamanya.Sejak pertengkaran terakhir dengan Nadya, ia memilih untuk menjauh sementara dari keruwetan yang tak kunjung reda di rumah itu.Bayu tahu, keadaannya tak ideal, tapi saat ini, ia lebih memilih untuk menemani Jihan—perempuan yang sedang mengandung anaknya, yang membutuhkan ketenangan dan perhatian, bukan pertengkaran.Sedangkan Nadya... wanita itu hanya bisa terus menyalahkan tanpa benar-benar mengerti situasi yang mereka hadapi.Hari itu, Bayu tengah menatap layar laptopnya di kantor, mencoba menyelesaikan pekerjaan meski pikirannya tak sepenuhnya tenang. Pintu ruangannya tiba-tiba diketuk dan dibuka begitu saja.“Mas Bayu?” suara Nadya terdengar dari balik pintu, membuat tubuh Bayu refleks menegak.Ia menoleh perlahan, sudah menduga akan terjadi percakapan yang tidak menyenangkan.“Ada apa, Nadya?” tanyanya dengan nada datar, seperti tak punya cukup tenaga lagi untuk menanggapi emosi istrinya.Nadya masuk ke ruangan dengan
“Jihan?”Sontak perempuan itu terkejut bukan main.Suara itu… suara yang sangat ia kenali, suara yang kerap memanggilnya dengan nada tenang namun kini terdengar seperti dentuman keras di kepalanya.Jihan sontak membalikkan badan, dan matanya membulat penuh keterkejutan ketika mendapati Bayu berdiri tak jauh darinya.“Mas Bayu?” ucapnya tergagap. Suaranya lirih, seolah lehernya tercekat oleh rasa bersalah yang tiba-tiba menyergap.“Mas Bayu lagi ngapain di sini?” tanyanya kemudian, mencoba bersikap tenang, meski napasnya tak beraturan.Tangannya masih memegang sendok kecil berisi susu bubuk yang hendak ia seduh. Sejenak, suasana menjadi sunyi. Hanya suara detik jam dinding yang terdengar di antara ketegangan yang merayap di udara.Bayu melangkah mendekat. Matanya langsung mengarah pada kotak susu formula yang tergeletak di meja kecil dapur.Alisnya bertaut dalam kerutan tajam. Dengan gerakan cepat, ia meraih kotak susu itu dan menatap labelnya—susu khusus ibu hamil. Tatapannya berubah.
“Saya tidak bisa menceraikan kamu dalam waktu dekat ini, Jihan. Mama sudah tahu kamu,” ucap Bayu dengan suara pelan.Ia menatap perempuan di hadapannya itu dengan tatapan yang sarat keraguan dan kelelahan.Wajah Jihan begitu tenang, namun Bayu tahu, jauh di balik ketenangan itu ada hati yang menahan banyak tanya, banyak luka yang belum sempat dibalut.“Kamu tidak keberatan, kan?” tanyanya kemudian, mencoba mengukur reaksi Jihan, berharap ia tetap sekuat biasanya.Jihan menghela napas panjang. Tarikannya lambat dan dalam, seperti mencoba menahan sesuatu yang ingin keluar—mungkin rasa kecewa, atau mungkin sekadar kelelahan emosional yang sudah terlalu lama ia pendam.Matanya menatap Bayu dengan teduh, namun penuh kehati-hatian.“Bagaimana dengan Mbak Nadya?” tanyanya pelan, nyaris seperti gumaman.Bayu menunduk sejenak, lalu mengangkat wajahnya dan menjawab dengan nada yang datar namun mantap.“Itu biar jadi urusan saya. Kamu tidak perlu memikirkannya. Mama sudah tahu kalau saya punya d
Bayu mengangkat wajahnya perlahan. Matanya menatap sang mama yang kini duduk dengan punggung tegak, menunggu jawaban.Sorot mata Sara penuh keyakinan, seolah ia sudah tahu jawaban dari pertanyaannya bahkan sebelum Bayu membuka mulut. Bayu bisa merasakan dadanya sesak.Kenyataan yang selama ini ia tutupi, kini perlahan mengambang di permukaan. Tak ada tempat untuk bersembunyi lagi.“Iya, Ma...” ucapnya akhirnya, suaranya nyaris seperti bisikan yang tercekik di tenggorokan.“Nadya memang bermasalah. Dia tidak bisa memberiku anak.”Dalam sekejap, wajah Sara berubah. Wanita itu mendongakkan kepala dan mematung sejenak.Matanya membelalak, seolah kalimat itu baru saja menamparnya keras. Mulutnya terbuka lebar, nyaris tak percaya.“Astaga, Bayu…” desisnya. Tangannya refleks menutup mulut sebelum ia menggeleng berkali-kali, mencoba menyangkal kenyataan yang baru saja dikonfirmasi anaknya sendiri.
“Mama? Kenapa nggak bilang kalau mau ke sini?” tanya Bayu, berdiri dari kursinya dengan ekspresi terkejut.Tatapannya langsung tertuju pada sosok wanita paruh baya yang berdiri angkuh di depan pintu ruang kerjanya—Sara, ibunya.Penampilannya masih sama elegan dan penuh wibawa seperti biasa, dengan rambut disanggul rapi dan mantel mahal yang menggantung di bahunya. Kehadirannya selalu membawa aura tekanan tersendiri bagi Bayu.“Kenapa kamu terlihat terkejut melihat Mama di sini?” balas Sara dengan nada dingin, matanya tajam mengamati anak lelakinya.Ia melipat kedua tangannya di dada, mempertegas sikapnya yang sedang tidak ingin basa-basi.Bayu menggeleng pelan, mencoba menenangkan dirinya meski dada terasa sesak. “Nggak biasanya Mama datang tanpa memberitahuku dulu,” ucapnya jujur, berusaha terdengar tenang.“Melvin sudah pulang ke Indonesia dan aku sudah memberinya pekerjaan sebagai General Manager di sini,” lanjutnya, mencoba mengalihkan topik pembicaraan agar suasana tidak memanas
“Mama?” Mata Nadya terbelalak, menatap sosok perempuan paruh baya yang berdiri di ambang pintu rumahnya dengan wajah tanpa ekspresi.Waktu baru menunjukkan pukul enam lewat sepuluh menit, udara pagi masih terasa dingin, dan cahaya matahari baru saja menyelinap masuk lewat celah tirai jendela ruang tamu.Tubuh Sara berdiri tegak, mengenakan mantel abu-abu dan tas tangan berwarna gelap menggantung di lengannya.Aroma parfum khasnya langsung menyergap penciuman Nadya—wangi elegan yang selalu membuatnya gugup tanpa alasan.“Mama kok nggak bilang kalau mau ke sini? Ada apa, Ma?” tanya Nadya dengan lembut, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.Sara melangkah masuk tanpa menanggapi sapaan itu, pandangannya menyapu sekeliling rumah dengan sorot mata kritis. Dengan langkah ringan namun penuh wibawa, ia duduk di sofa tanpa diminta.“Di mana Bayu?” tanyanya datar, tanpa basa-basi.“Mas Bayu sudah berangkat, Ma. Mungkin sekitar lima belas menit yang lalu. Mama ke sini nggak sama Papa?” tanyany