Jihan membuka matanya perlahan, merasakan tubuhnya seperti serpihan kaca yang baru saja dihantam oleh palu raksasa.
Rasa sakit itu merayap, menyelinap dari ujung kaki hingga ke pangkal lehernya, membangunkannya dari mimpi yang penuh absurditas.
Ia menoleh ke samping, napasnya terhenti sejenak. Bayu terbaring di sana, wajahnya tertidur dengan tenang seperti patung dewa yang terbuat dari marmer.
Jihan menelan ludah dengan berat. Wajah itu, dengan garis-garis tajam dan lembut yang bercampur seperti lukisan maestro, masih mampu membuatnya terkesiap.
Kenapa pria ini bisa tetap tampan bahkan saat tidur? pikirnya, rasa berdosa menggumpal di dadanya.
Ia menggelengkan kepala dengan tergesa, mencoba mengusir pikiran itu seperti lalat yang hinggap di makanan.
“Apa yang kamu pikirkan, Jihan? Dia milik orang lain,” bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tercekik oleh rasa bersalah.
Ia bangkit dari tempat tidur, tapi langkah pertamanya terhenti oleh rasa ngilu yang menggigit pangkal pahanya.
“Ssthh ….” desahnya pelan, seperti daun yang merintih saat diinjak. Tangannya menyentuh kulitnya yang memerah, tempat rasa sakit itu menjalar seperti duri.
Matanya beralih ke bawah, ke noda merah yang membekas di dirinya. Darah itu bukan sekadar cairan, melainkan jejak dari malam yang mengubah segalanya.
Bayangan tadi malam datang seperti badai, menghantam pikirannya tanpa ampun. Bayu, dengan tubuhnya yang kekar dan tatapan penuh kuasa, mendekatinya seolah Jihan adalah miliknya sepenuhnya.
Tidak ada cinta di sana, hanya gairah yang membakar seperti api liar, meranggas segala batas moral dan logika.
‘Aku hanyalah istri kedua, bukan?’ pikirnya getir, hatinya terhimpit oleh kenyataan pahit. Dan perasaan, rupanya, tak lagi dibutuhkan oleh pria dalam urusan ini.
Dengan napas panjang yang berat, Jihan berjalan menuju kamar mandi. Suara air shower mengalir, hangatnya menenangkan kulitnya, tapi tidak mampu menghapus rasa perih di hatinya.
“Segera tumbuh,” gumamnya pelan, matanya memandang jauh ke dinding kosong. “Biar aku bisa lepas dari mereka berdua.”
Namun, pikirannya kembali melompat ke wajah Nadya, wanita dengan senyum yang selalu tampak manis tapi menyimpan sesuatu yang membuat Jihan bergidik.
‘Perempuan itu, yang mendesakku agar menyerahkan diri pada suaminya sendiri. Apakah hatinya sudah mati?’ pikir Jihan, rasa jijik menyelinap di sudut bibirnya.
Bahkan Nadya tanpa malu memberinya panduan, seperti pelatih yang menunjukkan gerakan terbaik untuk sebuah pertunjukan.
Gerakan apa saja yang Bayu sukai…? Jihan bergidik, merasakan bulu kuduknya berdiri hanya dengan mengingatnya.
“Tidak. Aku tidak akan melakukannya,” katanya dengan suara tegas, meski ia tahu perasaan itu akan terus menghantui.
Air mengalir deras, menyapu tubuhnya, tapi tidak pernah bisa membersihkan ingatannya.
**
Kecanggungan melayang di udara ruang makan, seperti kabut tipis yang tak terlihat namun terasa menusuk.
Jihan duduk dengan punggung tegak, jarinya perlahan mengoyak tepian roti bakar yang sudah mendingin.
Sesekali, ia melirik Bayu yang duduk di seberangnya, wajah lelaki itu tenggelam dalam rutinitas sarapan. Gerakannya begitu teratur, hampir seperti mesin, memotong roti bakar dengan selai nanas buatan Jihan sendiri.
“Jihan?” suara Bayu tiba-tiba memecah keheningan, nada bicaranya tenang namun mengandung sesuatu yang tak terduga.
Jihan mengangkat kepalanya, alisnya sedikit terangkat, mencoba membaca maksud panggilan itu. “Ada apa, Mas?” jawabnya, nada suaranya lebih lembut daripada yang ia harapkan.
Bayu menghela napas, dalam dan panjang. Bagi lelaki itu, panggilan “Mas” darinya adalah anomali kecil yang bisa ditoleransi, selama itu tidak terjadi di tempat kerja.
Namun, di balik helaan napasnya, ada sesuatu yang lebih berat, seperti kabar yang belum diucapkan.
“Aku hanya memastikan kalau aku tidak meninggalkan jejak di lehermu,” ucapnya dengan nada datar, matanya menelusuri wajah Jihan sesaat sebelum kembali ke roti di tangannya.
Kata-kata itu melesat seperti anak panah, menghantam Jihan tepat di dadanya. Keningnya mengerut sejenak, matanya turun perlahan ke dadanya yang telah tertutup oleh blus merah muda.
Jemarinya tanpa sadar menyentuh kancing pertama, seolah ingin memastikan bahwa semua tertutup sempurna.
“Tapi, di sini banyak,” katanya akhirnya, suaranya hampir seperti bisikan, sambil menunjuk dadanya yang tersembunyi.
Bayu menoleh, tatapan matanya dingin dan tidak beremosi. “Yang penting bukan di lehermu,” katanya dengan santai, seolah ucapannya adalah fakta sederhana tanpa beban. Lalu, dengan nada lebih tajam, ia menambahkan, “Memangnya akan ada yang melihat dadamu selain aku?”
Jihan merasakan darahnya bergejolak. Kata-kata itu seperti bara api yang dilemparkan ke dirinya. Ia ingin menampar wajah pria itu, ingin membuatnya diam sejenak agar ia bisa bernapas tanpa merasa terintimidasi.
Namun, seperti biasa, ia hanya menggeleng, membiarkan amarah itu tenggelam ke dasar hatinya.
Bayu meliriknya sekilas, lalu menawarkan, “Ikut denganku?” Nada suaranya datar, seperti pertanyaan itu hanyalah formalitas.
Jihan menggeleng, kali ini lebih tegas. “Tidak perlu,” jawabnya singkat. “Aku ada sepeda motor. Dan aku juga tidak mau membuat orang salah paham.”
Bayu tidak memberikan tanggapan. Matanya hanya menatap Jihan, lama dan dingin, sebelum akhirnya ia menggeser kursinya ke belakang dan berdiri.
“Jangan sampai terlambat. Banyak kerjaan menunggu. Aku duluan,” katanya sebelum melangkah pergi, meninggalkan keheningan di ruang makan yang kini terasa lebih berat.
Jihan menghela napas panjang, matanya mengikuti punggung Bayu yang menghilang di balik pintu. Sosok itu kembali ke wujud aslinya—arogan, kasar, dan tak kenal ampun.
Ia menatap roti bakarnya yang tinggal separuh, tapi tiba-tiba makanan itu kehilangan daya tariknya.
Hanya napas panjang yang bisa ia lepaskan, bersama pikiran-pikiran yang kembali berputar seperti roda yang tak pernah berhenti.
“Menyebalkan!” Jihan menggerutu, suaranya bergetar oleh amarah yang ia pendam. Ia mendengkus kasar, seperti kuda liar yang dirantai terlalu lama.
“Dia pikir aku wanita murahan? Selalu saja menganggap bahwa aku bukan wanita baik-baik hanya karena sudah bersedia menjadi istri keduanya.” Kata-katanya keluar seperti pecahan kaca, tajam dan melukai dirinya sendiri.
Jihan meraih gelas di depannya dan meneguk air minumnya dalam satu kali tenggakan. Rasanya tidak memuaskan, seperti mencoba memadamkan api dengan setetes air.
Matanya berkilat penuh determinasi, meski hatinya diliputi kepahitan. “Lihat saja, setelah aku hamil dan melahirkan anak untuk mereka, aku tidak akan mau muncul di hadapanmu lagi, Pak Arogan!”
“Kak. Ada yang ingin aku tanyakan ke Kakak.” Suara Bastian terdengar hati-hati saat ia melangkah perlahan mendekati ruang keluarga.Langkah kakinya tertahan sejenak di ambang pintu, ragu, seolah mempertimbangkan kembali niatnya.Di hadapannya, Jihan tampak santai duduk di atas sofa, bersandar dengan satu tangan menopang dagu, matanya terpaku pada layar televisi yang menampilkan acara talkshow sore.Sesekali ia menekan remote control, mengganti channel dengan wajah datar.Mendengar suara adiknya, Jihan menoleh sedikit tanpa mengubah posisinya. “Tanya aja, Bas. Ada apa?” tanyanya ringan, matanya masih menatap layar meski dengan ekspresi kosong.Bastian berdiri di tempatnya sebentar, kemudian menarik napas dalam-dalam, seakan membutuhkan keberanian tambahan sebelum akhirnya mendudukkan diri di sofa yang berseberangan dengan kakaknya.“Kakak … lagi hamil, ya?” tanyanya pelan, penuh kehati-hatian, seperti takut melukai atau membuka luka yang belum sembuh.Pertanyaan itu membuat tangan Jiha
Nadya dengan langkah cepat dan penuh emosi menapaki koridor kantor tempat Bayu bekerja.Sesampainya di depan ruangan Bayu, tanpa mengetuk, ia langsung membuka pintu dan masuk.Bayu yang sedang duduk di balik meja kerjanya langsung menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar laptop tanpa ekspresi.“Ada apa kamu kemari?” tanyanya datar, suaranya dingin tanpa antusiasme.Nadya berdiri tegak di depannya, menahan degup jantung yang berderap karena emosi. Sorot matanya menusuk, bibirnya bergetar menahan amarah yang ingin diluapkan sejak lama.“Kenapa kamu tidak pernah pulang ke rumah, Mas? Kamu tidur di mana selama satu minggu ini?” tanyanya dengan nada yang nyaris menggugat.Bayu hanya menarik napas dalam-dalam. Ia menutup layar laptopnya perlahan, lalu menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. Tatapannya tetap tak diarahkan pada Nadya.“Bukan urusanmu. Aku tidak sedang ingin berdebat denganmu. Pekerjaanku sedang
Langit sudah mulai gelap ketika Jihan akhirnya tiba di rumah. Rasa lelah menggelayuti seluruh tubuhnya, apalagi setelah kejadian di kafetaria bersama Melvin yang membuat pikirannya semakin kalut.Ia membuka pintu perlahan, meletakkan tas tangan di meja dekat pintu, lalu duduk di tepi lantai untuk melepaskan sepatu heels-nya yang sejak tadi menyiksa telapak kakinya.Ia menghela napas panjang dan menggantinya dengan sandal rumahan berwarna cokelat lusuh.Namun, belum sempat ia bangkit berdiri, tiba-tiba terdengar suara keras dari arah pintu.Brak!Pintu terbuka lebar, didorong dengan kasar dari luar.Jihan sontak berdiri tergesa, kaget bukan main. Matanya membelalak saat melihat siapa yang berdiri di ambang pintu dengan wajah merah padam.“Mbak Nadya?” ucapnya dengan nada bingung, jantungnya berdetak tak karuan. Ia mencoba tetap tenang. “Ada apa, Mbak?”Nadya melangkah masuk tanpa permisi, langkahnya cepat dan penuh amarah. Tatapan matanya menusuk seperti belati, tajam dan penuh kecurig
“Kenapa?” tanya Melvin dengan nada yang lebih pelan dari sebelumnya, tapi tak bisa menyembunyikan luka yang terpancar jelas dari sorot matanya.Wajahnya menegang, alisnya merapat, dan matanya tak lepas menatap Jihan yang masih duduk tenang di hadapannya.Suaranya mengandung kekecewaan yang dalam, seolah penolakan tadi telah menghantamnya lebih keras dari yang ia bayangkan.Jihan menatap pria itu sebentar. Ia menghela napas panjang, mencoba tetap tenang meski hatinya sedang bergemuruh.“Tidak apa-apa,” jawabnya lembut, berusaha menjaga nada suaranya agar tak menyakiti lebih jauh.“Hanya saja, Pak Melvin pantas mendapatkan yang lebih dari saya. Pak Melvin cari yang lain saja, ya?” lanjutnya sambil tersenyum tipis, senyum yang penuh getir, penuh rasa bersalah meski ia tahu, ia tidak salah.Namun, senyuman itu tak membuat Melvin merasa lebih baik. Justru sebaliknya. Ia hanya terdiam di tempatnya, bahunya tegang, dan matanya mulai gelap.Perlahan, tangannya mengepal di atas pahanya, mengga
“Apa? Cerai? Yang bener aja, Han? Kok cerai? Kamu kan, lagi hamil?” seru Meta dengan mata membelalak lebar, seolah tak percaya dengan apa yang baru saja didengarnya.Suaranya bergetar, mencampur antara kemarahan, bingung, dan rasa iba. Tubuhnya refleks mencondong ke depan, memperhatikan Jihan yang duduk diam di hadapannya dengan tatapan kosong.Jihan mengangkat wajahnya perlahan, sorot matanya sendu, matanya sembab seolah baru saja menangis.“Karena Mbak Nadya udah nggak menginginkan anak ini lagi, Met. Jadi, ya udah... mau gimana lagi?” jawabnya pelan, pasrah, seolah menyerah pada alur hidup yang makin hari makin tak masuk akal.Meta menelan ludah. Dadanya sesak. Ia mengenal Jihan cukup lama untuk tahu bahwa wanita itu bukan tipe yang mudah menyerah. Tapi kali ini, di hadapannya, Jihan terlihat rapuh.“Kamu kasih tahu Pak Bayu dulu lah, kalau kamu lagi hamil. Jangan main iyain aja keputusan cerai. Dia punya hak tahu!”Namun Jihan menggeleng pelan, gerakan kepalanya nyaris tak terliha
"Jihan?"Tatapan mata Bayu menyambutnya, mata yang memancarkan kelelahan, kebingungan, dan sesuatu yang tak bisa Jihan pahami sepenuhnya.“Saya mau bertanya tentang keputusan yang diambil oleh Mbak Nadya,” ucap Jihan tanpa basa-basi, mencoba tetap tenang walau suara hatinya bergemuruh.Ia tahu, percakapan ini bisa menjadi akhir dari semua harapan yang sempat tumbuh di hatinya.Bayu menelan ludah, tenggorokannya terasa kering. Ia menunduk sejenak, seolah mencari kekuatan untuk mengatakan hal yang paling tidak ingin diucapkannya.Lalu, dengan nada suara yang lebih rendah, ia bertanya, “Kalau saya menceraikanmu, apa kamu tidak keberatan? Saya tidak akan meminta kembali uang yang sudah saya berikan padamu. Tapi, saya bertanya tentang perasaanmu.”Ucapannya menggantung di udara, seolah waktu ikut berhenti bersama jeda di antara mereka. Jihan membeku.Bukan karena Bayu menawarkan cerai, tapi karena ia menanyakannya dengan begitu tenang, seperti semua ini bukan keputusan berat. Meski ia tahu