Home / Rumah Tangga / Terpaksa Menjadi Ibu Pengganti CEO Arogan / Tidak akan Mau Muncul di Hadapan Mereka lagi

Share

Tidak akan Mau Muncul di Hadapan Mereka lagi

last update Last Updated: 2025-04-29 22:46:03

Jihan membuka matanya perlahan, merasakan tubuhnya seperti serpihan kaca yang baru saja dihantam oleh palu raksasa.

Rasa sakit itu merayap, menyelinap dari ujung kaki hingga ke pangkal lehernya, membangunkannya dari mimpi yang penuh absurditas.

Ia menoleh ke samping, napasnya terhenti sejenak. Bayu terbaring di sana, wajahnya tertidur dengan tenang seperti patung dewa yang terbuat dari marmer.

Jihan menelan ludah dengan berat. Wajah itu, dengan garis-garis tajam dan lembut yang bercampur seperti lukisan maestro, masih mampu membuatnya terkesiap.

Kenapa pria ini bisa tetap tampan bahkan saat tidur? pikirnya, rasa berdosa menggumpal di dadanya.

Ia menggelengkan kepala dengan tergesa, mencoba mengusir pikiran itu seperti lalat yang hinggap di makanan.

“Apa yang kamu pikirkan, Jihan? Dia milik orang lain,” bisiknya pada dirinya sendiri, suaranya nyaris tercekik oleh rasa bersalah.

Ia bangkit dari tempat tidur, tapi langkah pertamanya terhenti oleh rasa ngilu yang menggigit pangkal pahanya.

“Ssthh ….” desahnya pelan, seperti daun yang merintih saat diinjak. Tangannya menyentuh kulitnya yang memerah, tempat rasa sakit itu menjalar seperti duri.

Matanya beralih ke bawah, ke noda merah yang membekas di dirinya. Darah itu bukan sekadar cairan, melainkan jejak dari malam yang mengubah segalanya.

Bayangan tadi malam datang seperti badai, menghantam pikirannya tanpa ampun. Bayu, dengan tubuhnya yang kekar dan tatapan penuh kuasa, mendekatinya seolah Jihan adalah miliknya sepenuhnya.

Tidak ada cinta di sana, hanya gairah yang membakar seperti api liar, meranggas segala batas moral dan logika.

‘Aku hanyalah istri kedua, bukan?’ pikirnya getir, hatinya terhimpit oleh kenyataan pahit. Dan perasaan, rupanya, tak lagi dibutuhkan oleh pria dalam urusan ini.

Dengan napas panjang yang berat, Jihan berjalan menuju kamar mandi. Suara air shower mengalir, hangatnya menenangkan kulitnya, tapi tidak mampu menghapus rasa perih di hatinya.

“Segera tumbuh,” gumamnya pelan, matanya memandang jauh ke dinding kosong. “Biar aku bisa lepas dari mereka berdua.”

Namun, pikirannya kembali melompat ke wajah Nadya, wanita dengan senyum yang selalu tampak manis tapi menyimpan sesuatu yang membuat Jihan bergidik.

‘Perempuan itu, yang mendesakku agar menyerahkan diri pada suaminya sendiri. Apakah hatinya sudah mati?’ pikir Jihan, rasa jijik menyelinap di sudut bibirnya.

Bahkan Nadya tanpa malu memberinya panduan, seperti pelatih yang menunjukkan gerakan terbaik untuk sebuah pertunjukan.

Gerakan apa saja yang Bayu sukai…? Jihan bergidik, merasakan bulu kuduknya berdiri hanya dengan mengingatnya.

“Tidak. Aku tidak akan melakukannya,” katanya dengan suara tegas, meski ia tahu perasaan itu akan terus menghantui.

Air mengalir deras, menyapu tubuhnya, tapi tidak pernah bisa membersihkan ingatannya.

**

Kecanggungan melayang di udara ruang makan, seperti kabut tipis yang tak terlihat namun terasa menusuk.

Jihan duduk dengan punggung tegak, jarinya perlahan mengoyak tepian roti bakar yang sudah mendingin.

Sesekali, ia melirik Bayu yang duduk di seberangnya, wajah lelaki itu tenggelam dalam rutinitas sarapan. Gerakannya begitu teratur, hampir seperti mesin, memotong roti bakar dengan selai nanas buatan Jihan sendiri.

“Jihan?” suara Bayu tiba-tiba memecah keheningan, nada bicaranya tenang namun mengandung sesuatu yang tak terduga.

Jihan mengangkat kepalanya, alisnya sedikit terangkat, mencoba membaca maksud panggilan itu. “Ada apa, Mas?” jawabnya, nada suaranya lebih lembut daripada yang ia harapkan.

Bayu menghela napas, dalam dan panjang. Bagi lelaki itu, panggilan “Mas” darinya adalah anomali kecil yang bisa ditoleransi, selama itu tidak terjadi di tempat kerja.

Namun, di balik helaan napasnya, ada sesuatu yang lebih berat, seperti kabar yang belum diucapkan.

“Aku hanya memastikan kalau aku tidak meninggalkan jejak di lehermu,” ucapnya dengan nada datar, matanya menelusuri wajah Jihan sesaat sebelum kembali ke roti di tangannya.

Kata-kata itu melesat seperti anak panah, menghantam Jihan tepat di dadanya. Keningnya mengerut sejenak, matanya turun perlahan ke dadanya yang telah tertutup oleh blus merah muda.

Jemarinya tanpa sadar menyentuh kancing pertama, seolah ingin memastikan bahwa semua tertutup sempurna.

“Tapi, di sini banyak,” katanya akhirnya, suaranya hampir seperti bisikan, sambil menunjuk dadanya yang tersembunyi.

Bayu menoleh, tatapan matanya dingin dan tidak beremosi. “Yang penting bukan di lehermu,” katanya dengan santai, seolah ucapannya adalah fakta sederhana tanpa beban. Lalu, dengan nada lebih tajam, ia menambahkan, “Memangnya akan ada yang melihat dadamu selain aku?”

Jihan merasakan darahnya bergejolak. Kata-kata itu seperti bara api yang dilemparkan ke dirinya. Ia ingin menampar wajah pria itu, ingin membuatnya diam sejenak agar ia bisa bernapas tanpa merasa terintimidasi.

Namun, seperti biasa, ia hanya menggeleng, membiarkan amarah itu tenggelam ke dasar hatinya.

Bayu meliriknya sekilas, lalu menawarkan, “Ikut denganku?” Nada suaranya datar, seperti pertanyaan itu hanyalah formalitas.

Jihan menggeleng, kali ini lebih tegas. “Tidak perlu,” jawabnya singkat. “Aku ada sepeda motor. Dan aku juga tidak mau membuat orang salah paham.”

Bayu tidak memberikan tanggapan. Matanya hanya menatap Jihan, lama dan dingin, sebelum akhirnya ia menggeser kursinya ke belakang dan berdiri.

“Jangan sampai terlambat. Banyak kerjaan menunggu. Aku duluan,” katanya sebelum melangkah pergi, meninggalkan keheningan di ruang makan yang kini terasa lebih berat.

Jihan menghela napas panjang, matanya mengikuti punggung Bayu yang menghilang di balik pintu. Sosok itu kembali ke wujud aslinya—arogan, kasar, dan tak kenal ampun.

Ia menatap roti bakarnya yang tinggal separuh, tapi tiba-tiba makanan itu kehilangan daya tariknya.

Hanya napas panjang yang bisa ia lepaskan, bersama pikiran-pikiran yang kembali berputar seperti roda yang tak pernah berhenti.

“Menyebalkan!” Jihan menggerutu, suaranya bergetar oleh amarah yang ia pendam. Ia mendengkus kasar, seperti kuda liar yang dirantai terlalu lama.

“Dia pikir aku wanita murahan? Selalu saja menganggap bahwa aku bukan wanita baik-baik hanya karena sudah bersedia menjadi istri keduanya.” Kata-katanya keluar seperti pecahan kaca, tajam dan melukai dirinya sendiri.

Jihan meraih gelas di depannya dan meneguk air minumnya dalam satu kali tenggakan. Rasanya tidak memuaskan, seperti mencoba memadamkan api dengan setetes air.

Matanya berkilat penuh determinasi, meski hatinya diliputi kepahitan. “Lihat saja, setelah aku hamil dan melahirkan anak untuk mereka, aku tidak akan mau muncul di hadapanmu lagi, Pak Arogan!” 

Continue to read this book for free
Scan code to download App
Comments (3)
goodnovel comment avatar
yesi rahmawati
Astaga bayu, bukannya ngasih libur jihan sehari malah minta jihan tetap masuk. Sakit woi itu nya jihan
goodnovel comment avatar
Mispri Yani
ngga ada kata kata lain kah Bayu selain pertanyaan aneh itu
goodnovel comment avatar
Teh Gelas
iyaa benrr tuh kabur aja udah jihan
VIEW ALL COMMENTS

Latest chapter

  • Terpaksa Menjadi Ibu Pengganti CEO Arogan   Akhir Cerita Kita

    Hari itu mendung menggantung di langit, seakan ikut merasakan ketegangan di dalam rumah mereka. Usia kandungan Meta sudah sembilan bulan, dan pagi itu ia terbangun dengan perut melilit nyeri tajam. Napasnya tercekat, dan keringat dingin membasahi dahi.“Rafi…” panggilnya parau.Rafi, yang baru saja selesai mandi, langsung menghampiri. Wajahnya pucat melihat tubuh Meta gemetar.“Sayang, kamu kenapa?” tanyanya cemas kemudian berlutut di samping ranjang.“Sepertinya kontraksinya makin sering dan sakit sekali,” jawab Meta di sela napasnya. Matanya berkaca-kaca menahan nyeri.Tanpa berpikir panjang, Rafi segera memapah Meta menuju mobil. Ia melajukan kendaraan secepat mungkin menuju rumah sakit. Sementara itu, Meta menjerit kecil setiap kali kontraksi baru melanda, membuat Rafi semakin panik.“Bertahan, Meta, sebentar lagi sampai,” katanya, meski suaranya sendiri bergetar.Di ruang ber

  • Terpaksa Menjadi Ibu Pengganti CEO Arogan   Hadiah Ulang Tahun Penuh Haru

    Hari itu, suasana di apartemen mereka begitu hangat dan meriah. Tak ada pesta besar, hanya perayaan kecil ulang tahun Rafi yang ke-32.Meta menata meja makan sederhana dihiasi lilin-lilin kecil, kue tart cokelat di tengahnya, dan beberapa masakan rumahan yang dibuatnya sendiri.Rafi masuk dari pintu depan dan langsung terpana. “Wah… ini kejutan untukku?” tanyanya setengah tertawa, memandang sekeliling.Meta tersenyum, meraih tangan Rafi dan menuntunnya ke kursi. “Iya, spesial untuk suami terbaikku,” katanya hangat, membuat mata Rafi berbinar bahagia.Mereka pun menghabiskan waktu makan malam dalam kehangatan. Rafi bercanda dan tertawa, dan Meta tak henti-hentinya menatapnya dengan mata berbinar. Ia tahu, malam ini adalah waktu yang tepat untuk memberikan kejutan istimewa.Setelah meniup lilin dan membuat permohonan, Rafi menatap Meta penasaran. “Kamu terlalu banyak kejutan malam ini,” godanya.Meta

  • Terpaksa Menjadi Ibu Pengganti CEO Arogan   Percintaan Panas Setelah Berpisah

    Detik berikutnya, bibir mereka bertemu lagi. Kali ini bukan sekadar ciuman rindu, melainkan ciuman hangat dan bergelora.Rafi merengkuh pinggang Meta, dan Meta melingkarkan tangannya di leher Rafi, membiarkan tubuhnya melebur dalam hangatnya dekapan sang suami.Ciuman mereka semakin dalam dan panas. Rafi mendorong tubuh Meta menuju dinding, menekannya lembut di sana hingga mereka bisa saling merasakan detak jantung dan hangatnya tubuh masing-masing.Meta hanya mampu mendesah kecil di sela-sela ciuman mereka, membuat Rafi makin bergelora.“Sayang,” bisik Rafi di sela napasnya, menelusurkan kecupan lembut ke leher Meta hingga membuatnya merinding.Meta menggigit bibirnya, seluruh tubuhnya bergetar. “Jangan berhenti…” bisiknya, membuat Rafi tersenyum dan menciuminya lagi lebih dalam.Tanpa banyak bicara, Rafi mengangkat Meta kembali ke dalam gendongannya, membawanya menuju kamar tidur.Ia merebahkan Meta di

  • Terpaksa Menjadi Ibu Pengganti CEO Arogan   Salah Paham

    Meta memacu mobilnya menuju rumah orang tua Rafi, hati berdebar-debar bercampur cemas.Ia sudah bertekad untuk menemui Rafi, meminta maaf, dan mengutarakan perasaan yang selama ini tertahan. Ia bahkan sudah mempersiapkan kata-kata yang ingin disampaikannya dalam benaknya.Namun, saat mobilnya berhenti di depan pagar, sesuatu membuatnya terpaku.Di halaman, Rafi sedang berbincang hangat dengan seorang wanita berambut panjang.Mereka tampak begitu akrab, bercanda dan tertawa. Wanita itu bahkan sesekali memukul lengan Rafi manja, membuat Rafi tertawa lepas.Sekejap, dada Meta terasa seperti tertimpa batu. Matanya memanas, dan sebelum sempat berpikir, air mata sudah membasahi pipinya.Apa ini? pikirnya, napasnya tercekat. Ia merasa dikhianati. Ia datang untuk memperbaiki keadaan, dan sekarang harus melihat pemandangan yang begitu melukai perasaannya.Ia mundur selangkah, berbalik untuk segera pergi. Namun, gerakan Meta membuat Rafi menyadari kehadirannya.“Meta?” panggil Rafi kaget, lalu

  • Terpaksa Menjadi Ibu Pengganti CEO Arogan   Keputusan Meta

    Suara ketukan pintu membuat Meta beranjak dari sofa. Matanya sedikit sembab, tubuhnya terasa lemas, dan semangatnya seakan tersedot habis dalam beberapa hari terakhir.Ketika ia membuka pintu, wajah Jihan sudah berdiri di sana—tatapan sahabatnya itu tajam dan penuh emosi.Tanpa basa-basi, Jihan langsung melangkah masuk. “Meta,” katanya setengah marah, setengah khawatir, “apa yang kamu lakukan? Membiarkan Rafi pergi begitu saja? Kamu sadar nggak betapa tulusnya dia mencintai kamu?”Meta terdiam di tempatnya, bahunya merosot. Ia sudah tahu cepat atau lambat Jihan pasti akan datang dan melontarkan semua kekesalannya.Jihan menatapnya lebih dalam lalu menghela napas pelan. “Aku tahu, harga dirimu pasti membuatmu sulit untuk mengejarnya duluan. Tapi jangan bodoh, Meta. Rafi itu lelaki baik. Kalau dia bisa sabar dan mencintaimu seperti itu, jangan sia-siakan.”Jihan menggenggam tangan Meta dan menatapnya kembali. “Kamu tidak akan menemukan pria sebaik Rafi, dan kamu tahu itu.”Mata Meta mul

  • Terpaksa Menjadi Ibu Pengganti CEO Arogan   Menenangkan Diri Terlebih Dahulu

    Meta merasakan atmosfer di ruangan itu begitu aneh sejak Rafi masuk. Tidak biasanya Rafi pulang begitu diam dan kaku.Meta mendekat dan menatap suaminya itu dengan tatapan lembut. “Rafi… kamu kenapa?”Pertanyaan itu membuat Rafi seperti tersentak. Ia menoleh cepat, dan kali ini Meta bisa melihat jelas gejolak di mata suaminya—campuran amarah dan kecewa.“Kenapa?” ulang Rafi. Suaranya berat dan nyaris bergetar. Ia menarik napas dalam, dan kali ini emosinya pecah. “Harusnya aku yang tanya begitu. Kamu kenapa, Meta?!”Meta mengerutkan kening, bingung sekaligus cemas. “Aku nggak ngerti maksud kamu…”Rafi tertawa getir, membuat dada Meta berdesir. “Jangan pura-pura, Meta. Kamu pikir aku nggak lihat Julian keluar dari sini barusan? Dan pesan-pesannya di ponselmu? Kamu sengaja membuka pintu untuknya?”Mata Meta melebar kaget. Ia langsung menggeleng. “Buka pintu un

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status