Share

Membuktikan Sendiri

last update Last Updated: 2025-04-28 11:43:38

Bayu meneguk wine dengan gerakan terburu-buru, seolah cairan merah gelap itu adalah obat penawar bagi luka batin yang tak terlihat.

Di sofa ruang tengah yang remang-remang, ia duduk dengan tubuh yang mulai terasa berat, mencoba menenggelamkan dirinya dalam gelombang mabuk sebelum keberanian palsu merasuki raganya.

“Kenapa Nadya bisa merelakanku berbagi dengan wanita lain,” gumamnya pelan, seperti berbicara kepada hantu masa lalunya yang tak kunjung pergi. Ia menggelengkan kepala, dan kembali membiarkan wine mengalir melewati tenggorokannya.

“Aku tidak bisa bercinta dengan wanita mana pun selain Nadya,” ucapnya lagi, kali ini dengan nada yang lebih berat, penuh sesal.

Kata-katanya seperti riak kecil di tengah lautan sunyi, sementara kesadarannya perlahan tenggelam, meskipun wine yang ia teguk baru seteguk-dua teguk.

Di kamar yang diterangi lampu temaram, Jihan berdiri di depan cermin besar yang memantulkan seluruh tubuhnya.

Napasnya terdengar berat, hampir seperti hembusan angin yang merintih. Satin lingerie yang membalut tubuhnya terasa seperti jaring laba-laba, lembut namun menjerat.

“Siap tidak siap, aku harus siap. Bukankah lebih cepat lebih baik?” bisiknya, suaranya terdengar rapuh, meski ia berusaha memahat keberanian dalam dirinya.

“Aku tidak bisa menolaknya lagi. Bastian sudah dia selamatkan,” ucapnya dengan mata yang perlahan terpejam, berusaha melarikan diri dari bayangan apa yang akan segera terjadi.

Brak!

Suara pintu yang dihantam keras membuat Jihan tersentak. Tubuhnya membeku, pandangan matanya terpaku pada sosok Bayu yang berdiri di ambang pintu.

Matanya yang merah dan sayu menatapnya dengan pandangan yang sulit ditebak. Langkahnya terhuyung, namun ia terus maju, seperti serigala yang mengintai mangsanya.

Bayu menyunggingkan senyum, tetapi senyum itu lebih menyerupai cakar malam yang menyayat ketenangan.

Ia mendekat, setiap langkahnya membuat Jihan semakin menelan ludah, mencoba mengusir rasa takut yang mulai menggerogoti.

“Rupanya kamu sudah menyiapkan semuanya,” bisiknya dengan nada yang mengalir seperti racun, menebar ketidaknyamanan.

Bau alkohol yang tajam menyeruak, memenuhi indra penciuman Jihan, membuatnya meringis. “Anda mabuk, Pak?” tanya Jihan, suaranya terdengar kecil, hampir seperti bayangan suaranya sendiri.

Bayu mengangkat tangannya, ujung jarinya menyusuri garis lembut pipi Jihan, dingin seperti kabut dini hari.

“Jangan memanggilku dengan sebutan itu, Jihan. Aku ini suamimu,” ucapnya dengan suara serak yang lebih menyerupai desah angin malam yang menyentuh dinding kesepian.

Jihan mengerutkan kening, mencoba memahami kata-kata yang meluncur dari mulutnya. Ia baru sadar bahwa mabuk telah membengkokkan logika Bayu, membuat setiap ucapannya terdengar seperti mantra yang mengerikan.

Jihan berdehem pelan, mencoba menenangkan detak jantungnya yang berlomba dengan ketakutan.

“Kalau begitu, kenapa kamu mabuk? Kamu tidak siap? Bukankah lebih cepat lebih baik? Katanya pengen cepet-cepet pergi dariku,” ucapnya.

Suaranya terdengar seperti bisikan kecil yang dipaksa untuk menjadi keras, namun keberaniannya begitu rapuh, setipis tisu yang hampir robek.

Rahang Bayu mengetat mendengar kata-katanya, seperti kawat baja yang tertarik hingga batas.

Mata gelapnya menyapu tubuh Jihan, dan pandangannya tertahan pada pakaian satin yang membalut tubuh wanita itu.

Baju itu—atau mungkin niat yang tersembunyi di baliknya—membangkitkan bara yang sudah lama membara dalam dirinya.

“Ya. Kamu benar. Lebih cepat lebih baik,” ucap Bayu dengan suara yang rendah namun tajam, seperti pisau yang perlahan menyayat udara.

“Kamu pikir aku nyaman berada di posisi ini?” lanjutnya. Tanpa aba-aba, kedua tangannya meraih lengan Jihan, menggenggamnya dengan tekanan yang cukup untuk membuat wanita itu tersadar betapa tipis jarak antara keberanian dan kehancuran.

Tatapan Bayu menembus langsung ke dalam mata Jihan, intens dan membakar, membuat wanita itu merasa seperti daun kering yang hampir hangus di bawah matahari terik.

Ia berusaha mempertahankan ketenangannya, meski getaran kecil mulai terlihat di tangannya.

“Jangan menatapku seperti itu … Mas,” bisiknya pelan, hampir seperti doa yang terpaksa dikeluarkan. Bibirnya gemetar, tetapi ia memaksa dirinya untuk menanggalkan formalitas.

Senyum seringai muncul di wajah Bayu, seperti bayangan serigala yang menyeringai di balik pepohonan gelap.

Ia mengangkat tangannya, ujung jarinya menyentuh sisi wajah Jihan, mengusapnya dengan sentuhan yang lembut, tetapi di balik kelembutan itu ada ketegangan yang membara.

“Katanya tidak pernah melakukannya dengan siapa pun,” ucapnya dengan nada mencemooh.

“Kenapa kamu tahu bahwa baju ini bisa membangkitkan gairah laki-laki? Dan wangimu ….” Bayu mendekat, menghirup aroma manis vanila yang memancar dari leher Jihan, seperti racun yang perlahan menyusup ke dalam tubuhnya.

“Oh, shiitt!” umpat Bayu sambil menatap wajah Jihan dengan tatapan tajam. “Kamu bohong, kan? Sebenarnya kamu sudah berpengalaman?”

Jihan menggelengkan kepalanya dengan cepat, rambutnya yang halus bergerak seperti riak air.

Padahal, ide gila ini berasal dari Nadya, wanita yang terus mendesaknya untuk memanfaatkan tubuhnya demi mencapai tujuan. Keberanian Jihan saat ini hanyalah bayangan dari paksaan itu.

Tanpa peringatan, Bayu menarik tengkuk Jihan dan mendaratkan ciuman yang begitu brutal di bibirnya.

Hembusan napas mereka bercampur menjadi satu, dan bibir Jihan seolah terbakar oleh sentuhan yang agresif itu.

Giginya menggigit, melumat bibir Jihan dengan hasrat yang liar, seperti badai yang menghantam dinding rapuh.

Jihan, yang awalnya ingin melawan, malah kehilangan kendali. Tangannya terangkat, mengacak-acak rambut Bayu yang kini menjadi medan bagi jemarinya untuk berlabuh.

Ciuman mereka semakin dalam, dan Jihan hanya bisa terhanyut dalam arus yang diciptakan oleh pria di hadapannya, meski rasa takut dan keraguan masih bergelayut di sudut hatinya.

Tubuhnya ambruk di atas tempat tidur, seolah gravitasi telah menggandakan cengkeramannya.

Dalam keadaan setengah sadar, meski satu botol wine telah mengalir melalui nadinya, Bayu masih dapat merasakan desakan liar di bawah sana, seperti gelombang pasang yang tak lagi bisa dibendung.

Dengan gerakan perlahan namun penuh determinasi, Bayu melucuti pakaiannya, menyisakan dirinya dalam bentuk yang paling primal.

Jihan menelan ludah berkali-kali, matanya terpaku pada tubuh atletis yang kini terpampang di depannya.

Otot-otot Bayu seperti ukiran seni yang hidup, memancarkan aura kekuatan dan ketertarikan yang tak bisa diabaikan.

Jihan gemetar. Pikirannya terombang-ambing antara rasa takut dan sesuatu yang tak mampu ia definisikan.

Membayangkan bagaimana tubuhnya akan ditaklukkan oleh pria dengan tubuh berotot ini membuat bulu kuduknya berdiri, seperti angin dingin yang tiba-tiba menusuk kulit.

Bayu, dengan sorot mata yang membara, mulai menjelajahi tubuh Jihan. Jemarinya menyusuri kulit halusnya, seperti petualang yang menemukan harta karun yang telah lama tersembunyi.

Sentuhan itu terasa mendalam, seolah setiap inci kulitnya adalah teka-teki yang ingin ia pecahkan. Jihan hanya bisa pasrah, membiarkan dirinya terperangkap dalam badai hasrat pria itu.

Suaranya terputus-putus, terkadang mendesah pelan, terkadang hanya diam membatu seperti patung yang tak berdaya.

Hingga akhirnya, penyatuan itu terjadi. Bayu mengumpat kasar, frustrasi karena Jihan terasa sulit dijangkau, seperti gerbang yang tertutup rapat dan enggan terbuka.

Namun, saat kebenaran itu muncul, ia membeku. Sebuah kesadaran mengguncangnya—Jihan benar-benar masih perawan.

Mata Bayu menatap wajah Jihan yang memejam erat, seperti seseorang yang mencoba melarikan diri dari rasa sakit yang tak terelakkan.

Tangan wanita itu mencengkeram sprei dengan begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih, menahan gelombang perih dari mahkota yang baru saja direnggut.

Perasaan campur aduk menyapu Bayu—malu, bersalah, dan takjub. ‘Jadi, begini rasanya bercinta dengan wanita yang masih gadis.’

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Menjadi Ibu Pengganti CEO Arogan   Memberitahu Yang Sebenarnya

    Bayu mengangkat wajahnya perlahan. Matanya menatap sang mama yang kini duduk dengan punggung tegak, menunggu jawaban.Sorot mata Sara penuh keyakinan, seolah ia sudah tahu jawaban dari pertanyaannya bahkan sebelum Bayu membuka mulut. Bayu bisa merasakan dadanya sesak.Kenyataan yang selama ini ia tutupi, kini perlahan mengambang di permukaan. Tak ada tempat untuk bersembunyi lagi.“Iya, Ma...” ucapnya akhirnya, suaranya nyaris seperti bisikan yang tercekik di tenggorokan.“Nadya memang bermasalah. Dia tidak bisa memberiku anak.”Dalam sekejap, wajah Sara berubah. Wanita itu mendongakkan kepala dan mematung sejenak.Matanya membelalak, seolah kalimat itu baru saja menamparnya keras. Mulutnya terbuka lebar, nyaris tak percaya.“Astaga, Bayu…” desisnya. Tangannya refleks menutup mulut sebelum ia menggeleng berkali-kali, mencoba menyangkal kenyataan yang baru saja dikonfirmasi anaknya sendiri.

  • Terpaksa Menjadi Ibu Pengganti CEO Arogan   Desakan dari Sang Mama

    “Mama? Kenapa nggak bilang kalau mau ke sini?” tanya Bayu, berdiri dari kursinya dengan ekspresi terkejut.Tatapannya langsung tertuju pada sosok wanita paruh baya yang berdiri angkuh di depan pintu ruang kerjanya—Sara, ibunya.Penampilannya masih sama elegan dan penuh wibawa seperti biasa, dengan rambut disanggul rapi dan mantel mahal yang menggantung di bahunya. Kehadirannya selalu membawa aura tekanan tersendiri bagi Bayu.“Kenapa kamu terlihat terkejut melihat Mama di sini?” balas Sara dengan nada dingin, matanya tajam mengamati anak lelakinya.Ia melipat kedua tangannya di dada, mempertegas sikapnya yang sedang tidak ingin basa-basi.Bayu menggeleng pelan, mencoba menenangkan dirinya meski dada terasa sesak. “Nggak biasanya Mama datang tanpa memberitahuku dulu,” ucapnya jujur, berusaha terdengar tenang.“Melvin sudah pulang ke Indonesia dan aku sudah memberinya pekerjaan sebagai General Manager di sini,” lanjutnya, mencoba mengalihkan topik pembicaraan agar suasana tidak memanas

  • Terpaksa Menjadi Ibu Pengganti CEO Arogan   Kedatangan Mertua

    “Mama?” Mata Nadya terbelalak, menatap sosok perempuan paruh baya yang berdiri di ambang pintu rumahnya dengan wajah tanpa ekspresi.Waktu baru menunjukkan pukul enam lewat sepuluh menit, udara pagi masih terasa dingin, dan cahaya matahari baru saja menyelinap masuk lewat celah tirai jendela ruang tamu.Tubuh Sara berdiri tegak, mengenakan mantel abu-abu dan tas tangan berwarna gelap menggantung di lengannya.Aroma parfum khasnya langsung menyergap penciuman Nadya—wangi elegan yang selalu membuatnya gugup tanpa alasan.“Mama kok nggak bilang kalau mau ke sini? Ada apa, Ma?” tanya Nadya dengan lembut, berusaha menyembunyikan keterkejutannya.Sara melangkah masuk tanpa menanggapi sapaan itu, pandangannya menyapu sekeliling rumah dengan sorot mata kritis. Dengan langkah ringan namun penuh wibawa, ia duduk di sofa tanpa diminta.“Di mana Bayu?” tanyanya datar, tanpa basa-basi.“Mas Bayu sudah berangkat, Ma. Mungkin sekitar lima belas menit yang lalu. Mama ke sini nggak sama Papa?” tanyany

  • Terpaksa Menjadi Ibu Pengganti CEO Arogan   Jangan Beritahu Bayu

    “Kak. Ada yang ingin aku tanyakan ke Kakak.” Suara Bastian terdengar hati-hati saat ia melangkah perlahan mendekati ruang keluarga.Langkah kakinya tertahan sejenak di ambang pintu, ragu, seolah mempertimbangkan kembali niatnya.Di hadapannya, Jihan tampak santai duduk di atas sofa, bersandar dengan satu tangan menopang dagu, matanya terpaku pada layar televisi yang menampilkan acara talkshow sore.Sesekali ia menekan remote control, mengganti channel dengan wajah datar.Mendengar suara adiknya, Jihan menoleh sedikit tanpa mengubah posisinya. “Tanya aja, Bas. Ada apa?” tanyanya ringan, matanya masih menatap layar meski dengan ekspresi kosong.Bastian berdiri di tempatnya sebentar, kemudian menarik napas dalam-dalam, seakan membutuhkan keberanian tambahan sebelum akhirnya mendudukkan diri di sofa yang berseberangan dengan kakaknya.“Kakak … lagi hamil, ya?” tanyanya pelan, penuh kehati-hatian, seperti takut melukai atau membuka luka yang belum sembuh.Pertanyaan itu membuat tangan Jiha

  • Terpaksa Menjadi Ibu Pengganti CEO Arogan   Debat Hebat Suami Istri

    Nadya dengan langkah cepat dan penuh emosi menapaki koridor kantor tempat Bayu bekerja.Sesampainya di depan ruangan Bayu, tanpa mengetuk, ia langsung membuka pintu dan masuk.Bayu yang sedang duduk di balik meja kerjanya langsung menoleh sekilas, lalu kembali menatap layar laptop tanpa ekspresi.“Ada apa kamu kemari?” tanyanya datar, suaranya dingin tanpa antusiasme.Nadya berdiri tegak di depannya, menahan degup jantung yang berderap karena emosi. Sorot matanya menusuk, bibirnya bergetar menahan amarah yang ingin diluapkan sejak lama.“Kenapa kamu tidak pernah pulang ke rumah, Mas? Kamu tidur di mana selama satu minggu ini?” tanyanya dengan nada yang nyaris menggugat.Bayu hanya menarik napas dalam-dalam. Ia menutup layar laptopnya perlahan, lalu menyandarkan tubuh ke sandaran kursi. Tatapannya tetap tak diarahkan pada Nadya.“Bukan urusanmu. Aku tidak sedang ingin berdebat denganmu. Pekerjaanku sedang

  • Terpaksa Menjadi Ibu Pengganti CEO Arogan   Kemarahan Tidak Jelas Nadya

    Langit sudah mulai gelap ketika Jihan akhirnya tiba di rumah. Rasa lelah menggelayuti seluruh tubuhnya, apalagi setelah kejadian di kafetaria bersama Melvin yang membuat pikirannya semakin kalut.Ia membuka pintu perlahan, meletakkan tas tangan di meja dekat pintu, lalu duduk di tepi lantai untuk melepaskan sepatu heels-nya yang sejak tadi menyiksa telapak kakinya.Ia menghela napas panjang dan menggantinya dengan sandal rumahan berwarna cokelat lusuh.Namun, belum sempat ia bangkit berdiri, tiba-tiba terdengar suara keras dari arah pintu.Brak!Pintu terbuka lebar, didorong dengan kasar dari luar.Jihan sontak berdiri tergesa, kaget bukan main. Matanya membelalak saat melihat siapa yang berdiri di ambang pintu dengan wajah merah padam.“Mbak Nadya?” ucapnya dengan nada bingung, jantungnya berdetak tak karuan. Ia mencoba tetap tenang. “Ada apa, Mbak?”Nadya melangkah masuk tanpa permisi, langkahnya cepat dan penuh amarah. Tatapan matanya menusuk seperti belati, tajam dan penuh kecurig

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status