LOGIN
Namaku Putri Anggraini, umurku 19 tahun. Seorang anak yatim piatu yang hanya tinggal dengan nenekku, satu-satunya keluargaku.
Aku berada di lorong dingin rumah sakit. Aroma karbol menusuk hidungku dan bercampur dengan bau kepanikan yang kurasakan sendiri. Nenek harus segera dioperasi. Aku bimbang, bingung, lututku terasa lemas seperti air. Aku hanya bisa terisak di pojokan rumah sakit, punggungku menyentuh dinding yang terasa beku, memegangi kerah kemeja seragam minimarketku yang lepek karena keringat dingin. Aku menangis dalam keheningan yang menyiksa, karena tahu tangisan keras pun tak akan mengubah saldo di rekeningku. “Saya bisa membantumu membayarkan biaya rumah sakit,” suara wanita itu lembut namun penuh otoritas. “Asal kamu bisa membantuku juga.” Aku terperanjat, segera berdiri hingga kepala sedikit pusing, air mata masih membasahi pipi. “Apa yang bisa saya bantu?” ucapku, suaraku serak karena isakan. Wanita itu diam sejenak, tatapannya dingin. “Bantu saya untuk melahirkan seorang anak untuk suami saya.” Dunia terasa berputar. Kata-kata itu menampar wajahku lebih keras daripada kenyataan 200 juta. Aku melamun, merasakan darah seolah surut dari kepalaku. Dalam benakku: Aku tidak mau berzina. Aku takut dosa. Nenek selalu mengajariku menjaga diri. “Maaf, saya tidak bisa…” Aku menggelengkan kepala, keras, hingga rambutku sedikit terayun. “Saya tahu saya butuh uang, tapi saya tidak ingin menjual diri saya. Itu dosa besar!” “Tidak, tidak. Kamu tidak akan berzina dengan suami saya,” Angel menjelaskan, nada suaranya tidak berubah, seolah ini adalah transaksi bisnis biasa. Yahh, namanya wanita tersebut adalah Angel Wijaya. “Suami saya juga tidak mau menyentuh perempuan yang bukan halal-nya. Tapi, kamu akan nikah siri dengan suami saya… Bagaimana?” Aku terdiam, jari-jariku meremas telapak tangan hingga kuku memutih. Dalam benakku: Nikah siri? Menjadi istri simpanan? Setelah anak itu lahir, lalu aku diceraikan? Aku tidak bisa seperti itu… yang aku impikan menjadi istri yang baik, punya rumah kecil, dan merawat anak-anakku dengan baik. Aku ingin hidup bahagia, Ya Tuhan! Tapi jika tidak kulakukan… bagaimana dengan Nenekku? Bagaimana cara aku menyelamatkan Nenekku?! Lamunanku pecah ketika seorang suster muncul, ekspresinya cemas. “Bagaimana, Mbak? Apa sudah diurus administrasinya? Pasien harus segera dioperasi.” Panik dingin menyerbu dadaku. Waktu habis. Tidak ada waktu untuk negosiasi moral. Hanya ada Nenek, pisau bedah, dan 200 juta yang tak kumiliki. “Oke, oke, saya setuju!” ucapku cepat, memandang Angel dengan mata memohon. “Tolong bantu Nenek saya dulu. Saya mohon!” Angel mengangguk puas. “Oke Sus, segera operasi sekarang. Saya akan ke bagian administrasi.” “Baik, Bu,” jawab suster itu dengan hormat yang membuatku mengernyit. Wanita itu siapa? Uang belum dibayar, tetapi mereka langsung melaksanakan operasinya? Rasa lega yang menjijikkan bercampur dengan ketakutan yang baru saja kusetujui. Di bagian Administrasi, aku melihat Angel mengeluarkan sebuah kartu hitam. “Tolong berikan perawatan yang terbaik untuk Ibu Ida. Kamar VVIP. Saya tidak mau dengar ada masalah dengannya,” Angel berkata, matanya menusuk ke arah staf administrasi. “Baik, Bu,” jawab staf itu. Mereka semua tunduk padanya. Aku semakin bingung. Wanita ini… sekuat apa dia? Angel menarik pergelangan tanganku dengan genggaman yang kuat menuju parkiran dan masuk ke dalam mobil mewah yang sejuk. “Oke, urusan Nenek kamu sudah saya urus. Kamu tidak perlu khawatir,” ucapnya. “Sekarang giliran kamu. Siapa nama kamu, saya tadi lupa nanya?” “Nama saya Putri, Bu,” jawabku, suaraku mendadak kecil. “Owh oke, Putri. Nama saya Angel Wijaya. Berapa umur kamu?” “Sembilan belas tahun, Bu.” Kami berbincang, lebih seperti dia mengeluarkan perintah daripada kesepakatan. Setiap aturannya terasa seperti belenggu. Semua persyaratan akan dia berikan besok untuk kutandatangani. Kami bertukar nomor telepon. “Oke, besok saya kabari tempat ketemuan kita,” kata Angel. “Saya juga akan membujuk suami saya dulu agar mau menikahimu.” “Baik, Bu. Kalau sudah selesai, boleh saya kembali untuk melihat keadaan Nenek saya?” tanyaku, nadaku kembali panik dan memohon. Aku harus memastikan dia ada di sana, dioperasi, bukan sekadar janji. “Iya, silakan,” jawabnya, tersenyum kecil. “Terima kasih,” ucapku, berlari kecil kembali ke gedung rumah sakit, meninggalkan bau parfum mahal dan janji yang mematikan di belakangku. ******************************************** Malam itu menelan rumah megah keluarga Diningrat. Di balik jendela setinggi langit-langit, hanya suara gesekan pena dan ketukan keyboard Angga yang memecah keheningan di ruang kerja besarnya. Angga Diningrat, pria yang memikul nama besar dan harapan keluarga, larut dalam tumpukan berkas. Sebuah sentuhan lembut, yang seharusnya manis namun kini terasa seperti rantai, melingkari lehernya. “Sayanggg,” suara Angel mendayu, namun kali ini ada getaran yang janggal, lebih tebal dari sekadar manja. Ia membenamkan wajahnya di bahu Angga. “Iya, sayang, ada apa?” jawab Angga, pandangannya masih tertanam pada monitor. Jawabannya terdengar datar, sebuah respons otomatis dari pria yang terlalu lelah untuk menyadari badai yang mendekat. Angel melepaskan pelukan, suaranya berubah tajam, “Aku mau ngomong serius!!” Angga menghela napas, gestur kecil yang menyiratkan betapa prioritasnya terbalik. “Sebentar ya, sayang. Ini tanggung banget. Lima menit.” “Tapi jangan lama-lama ya, Sayang,” pinta Angel, nada suaranya kembali melunak, namun matanya memancarkan ketidaksabaran yang dingin. “Iya, iya. Kamu ke kamar dulu. Nanti aku susul,” ucap Angga, meraih wajah istrinya dan mencium keningnya sekilas—sebuah ciuman yang terasa seperti formalitas. “Oke, Sayang.” Angel mencium pipi suaminya, kali ini ciumannya meninggalkan jejak yang terasa dingin. Setelah membereskan pekerjaannya dengan gerutuan samar, Angga melangkah menuju kamar utama. Ia menemukan Angel berbaring, memunggungi pintu. Angga memeluk tubuh istrinya dari belakang. “Kenapa, Sayang?” suara Angga masih mengandung sisa kelelahan. Angel bangkit, menjauh dari sentuhan suaminya, dan duduk tegak di tepi ranjang. Wajahnya kini diterangi lampu remang-remang, terlihat pucat dan tertekan. “Kamu tahu, ‘kan,” Angel memulai, suaranya tercekat seolah menahan tangisan yang sudah lama menumpuk, “semenjak aku keguguran itu… rahimku diangkat. Dokter bilang aku tidak akan bisa hamil lagi.” Angga berdeham. “Emmm.” Respon singkat itu melukai Angel. Angga sudah tahu. “Tapi… keluargamu terus menuntut aku, Yangg!” Air mata Angel benar-benar tumpah, bukan lagi kepura-puraan, tapi luapan rasa sakit karena harga diri yang terus diinjak. “Mereka terus membicarakan anak! Mereka menjadikan aku aib!” Angga menarik napas panjang. “Ya sudah. Nanti aku tegaskan lagi pada mereka, biar mereka berhenti bicara seperti itu.” Jawabannya terdengar tegas, namun tanpa empati yang dibutuhkan. “Aku juga mau kamu punya anak, Sayang!” rengek Angel manja, namun di baliknya ada keputusasaan yang menggerogoti. “Aku ingin melihat mata kecil yang sama sepertimu!” “Iya, aku juga mau, Sayang. Kita harus berdoa lebih giat lagi,” Angga menarik Angel ke dalam pelukan, mencoba menenangkannya dengan klise. Angel tiba-tiba melepaskan diri, matanya berkilat dengan ide yang telah ia susun rapi. “Yangg… gimana kalau kamu nikah siri dengan wanita lain. Biar bisa punya anak, tapi kita mengakunya itu anak kita.” Ia mengucapkan kalimat itu dengan hati-hati, seperti meletakkan bom waktu. Angga langsung tersentak mundur, sorot mata tidak percaya memenuhi wajahnya. “GAK! AKU GAK MAU!” Suaranya menggelegar, marah karena dilecehkan. “Tapi… kalau kamu nggak punya anak, orang tuamu pasti akan menyuruhmu menceraikan aku!” Angel merintih, tangisnya semakin histeris, diselingi rasa takut yang nyata akan kehilangan statusnya. “Itu bukan caranya, Sayang!” “Lalu mau bagaimana lagi, Angga?! Huhu… aku tidak bisa memberimu anak! Aku merasa cacat!” Angel menangis sejadi-jadinya, air mata membasahi bantal sutra. Angga memeluknya erat. “Sayang, aku percaya pada Tuhan. Mungkin belum saatnya. Kamu jangan berpikiran yang aneh-aneh.” Ia berusaha menenangkan, tanpa menyadari bahwa ancaman yang dialami Angel jauh lebih nyata daripada yang ia bayangkan. “Mamahmu mengancamku, Yangg!” Angel berteriak di antara isak tangis. “Kalau sampai tahun ini aku nggak bisa kasih anak, dia akan menyuruhmu menceraikanku! Huhu…” “Aku akan tegur Mamah. Lagi pula, hanya aku yang bisa menceraikanmu, bukan Mamahku!” Angga meninggikan suara, mencoba memberi jaminan. “Kamu nggak bisa mengerti perasaanku, Angga!” Angel melepaskan diri lagi, kini berdiri. Amarahnya meledak. “Aku capek! Capek dihina Mamahmu, capek diomongin saudara-saudara! Aku cuma mau kamu nikah siri, dan aku akan pura-pura hamil! Setelah anaknya lahir, itu akan jadi anak kita. Aku akan merawatnya dengan baik, asalkan dia anakmu!” Ucap Angel. “Itu hal gila, Angel! Aku nggak mau berbohong sebesar itu!” Angga bergeming, berpegangan pada prinsipnya. Saat itulah, Angel melakukan gerakan yang telah ia latih dalam pikirannya. Dari bawah bantal, tangannya menyambar sebilah pisau kecil yang sudah disiapkan. Jantung Angga langsung mencelos. Air mata Angel kini bercampur dengan kobaran amarah dan keputusasaan yang menakutkan. Ia menodongkan pisau itu ke lehernya sendiri, mundur menjauhi Angga. “Oke, kalau kamu nggak mau, AKU MAU BUNUH DIRI SAJA!” teriak Angel, suaranya pecah. “Jangaaannn! Sayang, jangan begitu, ya!” Angga langsung panik, seluruh ketegasannya runtuh. “Kamu sudah tidak sayang lagi padaku! Kamu tidak mau mengerti posisiku!” Ucap Angel. “Ini bisa dibicarakan baik-baik, Sayang, oke. Turunkan pisaunya, ya,” Angga berbicara dengan nada paling lembut, mencoba mendekat. “GAK MAU! Kecuali kamu janji menikah siri dengan orang pilihanku, baru aku mau turunkan pisau ini!” Angel mendesis penuh tuntutan. “Kita bicarakan baik-baik, Sayang,” Angga melangkah lebih dekat, fokus pada tatapan mata Angel. “Kamu mendekat lagi, aku beneran… Awww!” Angel menjerit, sengaja menggoreskan pisau itu sedikit ke lehernya. Garis merah segera muncul dan membesar. Darah. “JANGAN!” Angga berteriak panik, gemetar melihat darah istrinya. “Oke! Oke, aku setuju! Ya, aku setuju!” “Janji?!” tuntut Angel, menahan perih goresan yang ia buat. “Iya, aku janji!” Angga segera melompat, menyambar pisau itu dari tangan Angel, dan memeluknya erat, menciumi puncak kepala istrinya. Angga memejamkan mata, jiwanya terluka. Di balik bahu Angga, wajah Angel yang tadi penuh tangisan kini menampilkan senyum sinis yang nyaris tak terlihat. “Dari tadi kek setuju. Harus banget gue lukain leher gue sendiri dulu baru setuju? Kalau bukan demi harta dan nama Diningrat, males banget gua main drama kayak gini,” batin Angel dingin, menatap kosong ke kegelapan. Drama baru, yang didasari oleh ambisi dan pengorbanan palsu, baru saja dimulai. ********************************************* Ruangan itu sunyi mencekam, hanya diisi oleh suara halus mesin monitor yang berdetak, seperti penghitung mundur bagi jiwa yang terdampar. Di balik tirai VVIP yang mewah, nenekku terbaring, pucat pasi, tak bergerak, masih tertidur lelap dalam pengaruh bius yang dingin. Aku duduk di sisinya, punggungku terasa kaku dan mataku terus terpaku pada monitor yang menampilkan garis-garis kehidupan yang begitu rapuh. Operasi telah selesai. Berhasil, kata dokter. Tapi keberhasilan ini terasa seperti pisau bermata dua yang menusuk hatiku. Seorang Suster masuk, langkahnya gesit dan profesional. Ia memeriksa monitor dengan cermat, lalu mengganti kantong infus yang sudah hampir kosong. Aroma alkohol dan antiseptik menusuk indraku, mengingatkanku betapa dekatnya kami dengan garis batas antara hidup dan mati. Rasa penasaran yang sempat tertahan kini melonjak. Sosok Angel itu... sebuah bayangan glamor yang anehnya berkuasa di lingkungan rumah sakit. "Sus," aku memanggil pelan, "maaf, boleh tanya? Ibu Angel itu sebenarnya siapa, Sus? Kenapa semua orang di sini begitu hormat dan menurut padanya?" Tanyaku dengan penuh penasaran. Suster itu tersenyum tipis, senyum yang mengandung sedikit rasa muak yang tak tersamarkan. "Oh, Ibu Angel? Beliau istri dari pemilik rumah sakit ini, Mbak." “Istri dari Pemilik rumah sakit. Pantas saja” batinku. "Oh, begitu ya, Sus," jawabku, mencoba terdengar santai, padahal di dalam hati aku merasakan sensasi dingin. "Pantas saja semua hormat. Saya agak kaget melihatnya." "Mbak bisa kenal sama Ibu Angel dari mana?" Suster itu balik bertanya, tatapannya menyelidik. Aku menunduk, menghindari tatapannya. Mengucapkan kebenaran itu terasa pahit, seperti menelan racun yang menyelamatkan. "Dia yang menolongku membayarkan biaya rumah sakit nenekku ini” Seketika, Suster itu membeku, matanya membulat. "Oh, ya ampun, benarkah? Pantas saja! Kami semua diinfokan untuk memberikan perhatian ekstra pada Ibu Ida ini." Ia kembali fokus pada infus, namun pandangannya kini lebih lembut ke arah nenekku. Lalu, tanpa sengaja, lidahnya terpeleset. "Ternyata dia ada baiknya juga, ya. Soalnya biasanya jutek, dan nggak ada ramah-ramahnya sama sekali." Suster itu mendadak tersadar, tangannya terhenti di selang infus. "Maaf, maaf! Aduh, mulut saya ini!" Ia menampar pelan bibirnya sendiri, raut wajahnya panik. Aku terdiam, hatiku mencelos. Perkataan itu mengonfirmasi semua kecurigaanku. "Nggak apa-apa, Sus. Saya juga nggak terlalu kenal sama Ibu Angel." “Sesombong itukah dia?” Hatiku menjerit. Namun, aku tahu. Bantuan itu tidak tulus. Bantuan itu adalah harga yang harus kubayar. Wajah dingin Angel, mata tajamnya, semua kini terasa jelas, dia menolongku karena ada maksud yang besar di baliknya. Suster itu segera menyelesaikan pekerjaannya dan berpamitan keluar, meninggalkan aku sendirian bersama keheningan dan beban yang kian berat. Aku kembali menatap nenekku. Wajah tua yang penuh kasih sayang itu kini tampak tidak berdaya, dilingkari selang dan kabel. Aku memegang tangan beliau yang hangat, mencari kekuatan yang tak kutemukan. Mataku mulai memanas. Air mata menggenang, kabur melihat sosok nenekku. Ya Tuhan. Langkah ini benar atau salah? Rasa putus asa menenggelamkanku. Aku telah menjual sesuatu yang sangat berharga untuk menyelamatkan nyawa ini. Aku telah memasuki sebuah permainan gila demi satu-satunya orang yang tersisa di duniaku. "Aku cuma... tidak mau kehilanganmu," bisikku, lirih, suaraku tercekat oleh isakan yang tertahan. Aku mendekap tangan nenekku di pipiku. Air mataku menetes, bukan hanya karena rasa syukur nenekku selamat, tapi karena ketakutan yang membeku akan masa depan yang telah kuserahkan ke tangan Angel. Bersambung…..Aku berjalan menuju ruang utama Masjid An Nur, langkahku terasa berat seperti dirantai. Angga sudah duduk di depan penghulu, tampak rapi dengan jas hitamnya. Angel, dengan kebaya mewahnya, duduk di samping Angga, memancarkan aura kemenangan yang dingin. Saat pandanganku menyapu ruangan, aku berhenti. Napasku tercekat. Di barisan tamu, ada sepupu bernama Imam dan di samping Imam (sepupuku), duduklah sesosok pria yang sangat kukenal. Uwa Iwan. Kakak kandung almarhum Ayahku. “Uwa Iwan!” sapaku, segera berjalan cepat menghampirinya, rasa terkejut dan haru membuat tenggorokanku tercekat. Aku langsung mencium tangannya. Tangannya hangat, menenangkan. “Putri…” Uwa Iwan menggenggam tanganku erat. Matanya menunjukkan rasa iba yang dalam. “Uwa... Uwa bisa ada di sini?” tanyaku, bingung sekaligus lega. Bagaimana Angga bisa menghubungi beliau? Angel bilang semua akan siri, tanpa wali resmi! Uwa Iwan tersenyum tipis, “Angga sudah menceritakan semuanya ke Uwa, Put. Dia datang dan menjelaskan
Beberapa hari keemudian,Akhirnya Nenekku sudah dibolehkan pulang kerumah. Rasa syukur yang tak terhingga membanjiri hatiku. Aku sangat senang.“Sini, Nek, pelan-pelan. Aku bantu,” ujarku lembut, memapah tubuh ringkihnya yang keluar dari TaksiSetelah Nenek duduk nyaman di sofa, aku langsung bergerak cepat. Aku merapikan semua barang-barang dari rumah sakit, membereskan sisa-sisa kekacauan di kamar.“Pokoknya Nenek harus sehat terus ya, Nek. Janji! Jangan sakit-sakit lagi. Aku cuma punya Nenek doang di dunia ini,” Ucapku, menarik Nenek ke dalam pelukan yang erat dan penuh haru. Air mataku sedikit menetes.Nenek membalas pelukanku, mengusap punggungku perlahan.“InsyaAllah Put, Nenek akan jaga kesehatan. Maaf ya, Sayang... Maaf sudah menyusahkanmu terus,” suaranya terdengar serak.Aku melepaskan pelukan, menatap mata tuanya yang penuh kasih. “Tidak, Ko Nek! Jangan pernah ngomong begitu! Dulu juga hanya Nenek yang merawatku seorang diri, banting tulang buat aku. Sekarang, ini waktunya
Aku dan Angga tiba di restoran yang letaknya dekat dengan tempatku bekerja. Suasana tenang, alunan musik lembut mengiringi kami menyantap hidangan yang sudah tersaji. Aku mencoba fokus pada makanan, tapi tatapan mataku selalu berakhir di wajah Angga. Jarak yang sangat dekat ini membuat sarafku tegang.Dia tampan, baik, perhatian, dan aku belum melihat kekurangan apapun yang ada di dirinya. Bahkan aura ‘suami orang’ itu samar-samar. “Tapi, kenapa dia mau menikah siri denganku? Padahal wanita jauh lebih cantik dariku banyak sekali diluaran sana ”batinku.“Mungkin dia memang benar-benar terpaksa karena istrinya yang meminta, tapi kenapa dia memerhatikanku layaknya seperti calon istri sesungguhnya? Tatapannya... itu bukan tatapan keterpaksaan,” pikiranku terus berkecamuk, mencoba mencari celah logika dari situasi ganjil ini.Angga yang sedari tadi sudah menyadari kegelisahan dan tatapan curi-curiku, akhirnya bersuara, memecah keheningan yang makin mencekam.“Kenapa, Put? Kamu enggak suka,
Aku sudah berada didepan kantor Angga, setelah berputar dulu mengambil KK dari kontrakan. Gedung yang megah, bertolak belakang dengan kondisi keuangan dan perasaanku saat ini. Aku masuk dengan langkah berat menuju Receptionist.Dan sesuai instruksi, Angga sudah memberitahu Receptionist jika aku datang disuruh langsung diantar ke ruangannya.Seorang karyawan wanita mengantarku ke depan pintu kayu jati besar.Tok tok tok,“Permisi Pak Angga,” Ucap karyawan itu.“Iya,” ucap Angga dari dalam.“Ibu Putri sudah datang, Pak,” Ucap karyawan tersebut.“Silahkan masuk, Bu Putri. Terima kasih,” karyawan itu mempersilakan masuk kepadaku lalu meninggalkanku.Aku melangkah masuk, ruangan Angga sangat luas, elegan, dan terasa mewah. Angga sudah berdiri di balik meja kerjanya.“Siang Pak Angga,” sapaku, jam sudah menunjukkan pukul 11 kurang sedikit.“Iya, siang juga, Putri. Silakan duduk,” Ucap Angga dengan senyuman yang terlalu manis untuk situasiku saat ini.“Bisa saya pinjam KTP dan Kartu Keluarga
Aku masih berada di kamar rumah sakit, di sisi ranjang Nenek Ida yang sudah terlihat segar sehabis mandi. Aroma sabun bercampur dengan bau obat-obatan, menciptakan suasana yang intim namun getir. Aku dengan telaten menyuapkan sarapan bubur hangat ke mulut Nenek dan membantu beliau merapihkan pakaian.“Put, kamu tidak kerja hari ini?” Tanya Nenek Ida, matanya yang teduh menatapku penuh perhatian.Aku menyeka sudut bibir Nenek dengan tisu. “Kerja, Nek. Tapi aku masuk siang, jam dua nanti. Sengaja aku ambil shift siang biar bisa menemani Nenek sarapan dan bersih-bersih,” jawabku sambil berusaha menyembunyikan kelelahan yang mulai menjalar di punggungku.Nenek Ida memegang tanganku yang sedang merapikan selimut. Jari-jari beliau yang keriput terasa hangat.“Ya Allah, Putriku. Pasti kamu capek sekali ya, Nak. Harus bekerja keras, lalu pulang ke kontrakan, dan balik lagi ke Rumah sakit untuk menjaga Nenek. Maafkan Nenek ya, merepotkanmu terus.”Mendengar nada kasihan itu, hatiku terasa teri
Pagi hari yang sangat cerah, cahaya matahari menerobos masuk melalui jendela, menyinari ruang makan dengan hangat. Angel dan Angga tengah menikmati sarapan pagi mereka. Udara terasa tenang, namun ketegangan samar menyelimuti Angel yang berusaha terlihat santai.“Sayang, Gimana menurut kamu tentang Putri?” Tanya AngelAngga, yang sedang mengupas kulit pisang dengan gerakan lambat dan hati-hati, mengangkat wajahnya.“Putri? Menurutku… dia anak yang baik, Sopan. Kenapa memangnya?” Jawab Angga.“Bagus kalau begitu.”batin Angel tersenyum, senyum yang sedikit terlalu lebar. mencondongkan tubuh sedikit.“Kamu cocok kan sama dia? Maksudku, kamu nggak ada keberatan sama sekali, kan?” Ucap Angel.Angga berhenti mengupas pisang, pandangannya tertuju pada Angel. Jeda sesaat itu membuat Angel menahan napas."Iya, cocok-cocok aja sih," jawab Angga santai, melanjutkan aktivitasnya."Kenapa sih kamu kelihatan tegang banget, Sayang? Aku nggak akan menolak calon yang sudah kamu pilihkan ko" Ucap Angga.







