LOGINPagi itu, mentari menyinari Kota Jakarta, namun sinarnya tak mampu menembus kegelapan di dalam hati Angga Diningrat. Ia berdiri di balik jendela kantornya yang megah, di lantai tertinggi gedung perusahaan yang menjulang. Pemandangan kota yang luas, yang biasanya memberinya rasa kuasa, kini terasa seperti hamparan kebohongan yang harus ia tanggung.
Angga tidak melihat keindahan, ia hanya melihat labirin. Tubuhnya kaku, pandangannya kosong menatap keramaian di bawah. Tadi malam, ia telah menyetujui sebuah hal gila, sebuah sandiwara mengerikan yang dirancang oleh keputusasaan—atau mungkin ambisi dingin—Angel. "Menikah siri... pura-pura hamil... kebohongan terbesar yang pernah kubangun," desisnya tanpa suara. Selama hidupnya, ia selalu memegang teguh prinsip, menjaga kehormatan nama Diningrat. Tetapi kini, ia terpaksa menjadi arsitek dari kebohongan yang akan menghancurkan fondasi pernikahannya, bahkan hidupnya. Ancaman Angel dengan pisau itu bukan hanya ancaman fisik; itu adalah penghinaan terhadap martabatnya, sebuah pemaksaan yang membuat setiap tarikan napasnya terasa berat. Angga mengepalkan tangan, buku-buku jarinya memutih. Ia seorang pria berkuasa, pemilik segalanya, namun kini ia merasa tidak berdaya di hadapan air mata dan manipulasi istrinya. Ia ingin berteriak menolak sandiwara ini, namun bayangan darah segar di leher Angel, dan teror kehilangan istrinya, membungkamnya. Aku benci ini. Aku benci menjadi bagian dari kepalsuan ini. Kepalanya tertunduk lesu. Beban moral itu menghimpit jiwanya, lebih berat daripada seluruh tanggung jawab perusahaan. "Ya Allah, tolong bantu aku," batin Angga, suaranya di dalam kepala terdengar seperti permohonan terakhir. Ia mengangkat pandangannya ke langit, mencari petunjuk yang tak kunjung datang. "Aku paling tidak suka hal semacam ini. Aku tidak pernah mau menipu mereka... tolong arahkan aku, tunjukkan mana jalan yang baik, mana yang benar untukku." Ia merasa sendirian di puncak dunia itu, terperangkap di antara cinta yang menuntut pengorbanan busuk, dan prinsip yang kini harus ia khianati. Pagi itu, Angga tahu, ia bukan lagi Angga Diningrat yang menjunjung kejujuran. Ia adalah pion dalam permainan Angel, dan ia baru saja kehilangan kendali atas takdirnya sendiri. Keputusan itu terasa seperti besi panas yang membakar hatinya, dan ia harus segera memikirkan bagaimana cara menjalankan drama keji ini tanpa menghancurkan dirinya sepenuhnya. ********************************************* Siang itu, udara di ruang VVIP terasa berat dan menyesakkan, meski pendingin ruangan bekerja optimal. Aku masih duduk di sisi ranjang, izin dari pekerjaanku, fokusku kini hanya pada satu-satunya orang yang kusayangi di dunia ini. Suara monitor berdetak perlahan, dan kemudian, sebuah gerakan kecil. Mata Nenekku terbuka, sayu dan lelah. "Putri..." Suara Nenek berbisik, sangat lemah, seperti embusan angin. Aku segera menggenggam tangannya yang keriput. "Nenek! Syukurlah, Nenek sudah sadar." Nenek berusaha tersenyum, tetapi wajahnya masih menyimpan bekas kesakitan. Pandangannya berkeliling ruangan mewah itu, lalu kembali kepadaku, dipenuhi kekhawatiran. “Ayo kita pulang saja, Put” Nenek berucap lirih, nadanya dipenuhi rasa bersalah. “Rumah sakit ini pasti mahal sekali. Nenek tidak mau merepotkanmu, tidak mau membuatmu berutang.” Ucapan polos itu seperti pukulan telak. Aku harus menahan gejolak air mata yang tiba-tiba mendesak keluar. “Nek, Nenek tenang saja, ya. Ini semua sudah ada yang bayar, Nek.” Aku berusaha membuat suaraku terdengar yakin dan ceria, tetapi terasa serak. “Ada orang baik yang membantu. Dia yang membayar seluruh biaya rumah sakit Nenek.” “Masyaallah…” Mata Nenek melebar, air mata haru menggenang di sudut matanya. “Kamu punya teman sebaik itu, Put? Padahal, biaya rumah sakit ini benar-benar mahal sekali, Nak. Temanmu itu pasti sangat kaya, ya?” Aku hanya bisa memaksakan sebuah senyum palsu sambil mengangguk. Kaya, dan menuntut harga yang jauh lebih mahal dari uang, batinku pedih. "Iya, Nek," kataku, menarik napas dalam-dalam untuk melanjutkan kebohongan yang sudah kubangun. "Tapi... setelah Nenek sembuh, aku harus mengikutinya bekerja selama satu tahun penuh. Jadi, Nenek akan sendirian di rumah. Tapi Nenek jangan khawatir, semua uang dan kebutuhan Nenek pasti akan kukirimkan setiap bulan." Wajah Nenek sedikit muram mendengar aku harus pergi, namun segera diganti dengan raut penuh pengertian. “Tidak apa-apa, Put,” ujar Nenek dengan keikhlasan yang membuatku hancur. “Temanmu itu sudah baik sekali mau membantu bayar rumah sakit Nenek. Masa iya Nenek melarang. Itu namanya tidak tahu terima kasih. Insya Allah, Nenek akan menjaga diri Nenek dengan baik.” Mendengar ucapan Nenek, mataku langsung berkaca-kaca hebat. Bukan karena haru semata, tetapi karena kontras menyakitkan antara ketulusan Nenek dan pengkhianatan yang terpaksa kulakukan demi beliau. Setiap kata-kata terima kasih dari Nenek terasa seperti seutas tali yang mengikat leherku. Aku tahu, Nenekku telah memberikan restu atas penjualanku, tanpa menyadari apa yang sebenarnya kuserahkan. “Iya, Nek,” bisikku, meremas tangan beliau erat. “Pokoknya, Nenek harus tetap sehat, ya. Itu yang paling penting.” “Iya,” balas Nenek, senyumnya kini benar-benar tulus dan hangat. Senyum itu menghangatkan jiwaku, sekaligus mengingatkanku akan beratnya harga yang harus kubayar untuk menjaga senyum itu tetap ada. ********************************************* Siang berganti sore, dan beban di pundak Angga kian menghimpit. Rumah besar keluarga Diningrat terasa asing, penuh dengan ekspektasi tak terucapkan. Angga melangkah masuk sendirian, tanpa Angel. Ia mencium tangan kedua orang tuanya. Kehangatan sentuhan mereka terasa ironis, mengingat kebohongan dingin yang kini ia pikul. Angga duduk di sofa beludru di sebelah ibunya, mencoba menyamarkan kegelisahan di matanya. “Ada apa, Mah? Nyuruh Angga ke sini?” tanya Angga, suaranya terdengar lebih lelah dari yang ia sadari. Ibu Sonya Diningrat, wanita elegan yang membawa beban nama keluarga, langsung menunjuk tumpukan foto di meja kopi. “Nih, Mamah sudah pilihin wanita baik-baik, dari keluarga terpandang. Untuk istri keduamu. Biar kamu bisa punya anak, Angga.” Nada suaranya tegas, tanpa ruang untuk negosiasi. Rasa frustrasi Angga melonjak. Pikirannya terasa seperti kuali yang mendidih. "Mah, kenapa sih Mamah selalu memaksa? Istriku sampai stres tahu enggak, Mah! Semua orang punya kekurangan. Mungkin memang belum waktunya saja!" Ucap Angga sedikit meninggikan suara, sedikit kemarahan meletup, bukan hanya karena ibunya, tapi karena keadaannya sendiri. “Mamah cuma mau yang terbaik buat kamu, Angga! Angel itu… Mamah tahu dia bukan anak baik-baik! Kenapa kamu nggak mau dengar Mamah?” Suara Ibu Sonya merendah, dipenuhi kekecewaan yang mendalam. Angga terdiam, membeku di tempat. Ya Tuhan. Keduanya… keduanya sama-sama memaksaku menikah lagi. Di satu sisi, Angel menuntut pernikahan siri dan kebohongan besar. Di sisi lain, Mamahnya menuntut pernikahan kedua demi status dan keturunan. Keduanya bertujuan sama—Angga harus punya anak—tetapi jalan yang mereka tawarkan sungguh mencekik. Bohong pada keluarga, atau bohong pada diri sendiri? Pikiran tentang tanggung jawab dua istri dan ketakutan akan ketidakadilan di akhirat memukulnya keras. Rasanya seperti ada bom waktu yang siap meledak di dalam kepalanya. “Angga! Angga, dengerin Mamah nggak, sih?” Suara Ibu Sonya menyentaknya dari lamunan. Saat ketegangan memuncak, Bapak Wahyu Diningrat, yang sedari tadi diam, akhirnya bersuara. Suaranya tenang, membawa otoritas. “Mah, sudah. Kasihan Angga kamu omeli terus. Biarkan dia mengambil jalannya sendiri.” Ucap Pak Wahyu “Tapiii, Pahhh… Angga tuh…” Ibu Sonya mencoba membantah. “SSTT! Mah.” Potongan tegas dari Bapak Wahyu membuat Ibu Sonya terdiam, meski raut wajahnya masih cemberut. Angga kembali melamun, tetapi kali ini, otaknya bekerja cepat. Inti masalahnya adalah menikah lagi. Jika ia bisa menyelesaikan masalah ini tanpa kebohongan Angel, itu adalah jalan keluar terbaik baginya. “Lebih baik aku kasih tahu Mamah saja. Intinya sama, aku tetap menikah lagi. Setidaknya, aku tidak perlu berbohong pada orang tuaku sendiri.” Batin Angga Angga tahu, Mamahnya bisa pengertian jika didekati dengan cara yang benar. Sejak kecil, Ibu Sonya adalah tempat Angga berdiskusi. Ini adalah masalah terbesar dalam hidupnya, dan Angga butuh sekutu. Ia menarik napas panjang, mengambil keputusan. “Mah… ikut Angga sebentar, yuk,” ucap Angga lembut, nadanya berubah dari marah menjadi memohon. “Mau ke mana?” Ibu Sonya masih kesal. “Ayo Ikut Angga dulu sebentar Angga mau jelaskan sesuatu.” Angga berdiri dan meraih lengan ibunya, menariknya perlahan. Akhirnya, Ibu Sonya mengalah. Angga membawa ibunya ke kamar Angga dan menutup pintu, menciptakan ruang pribadi di tengah rumah yang penuh mata. “Mah, Mamah beneran mau Angga nikah lagi?” tanyanya pelan dan hati-hati. “Iya, Angga…” Angga memotongnya cepat, membiarkan bom itu jatuh. “Aku… ada niat menikah lagi.” Mata Ibu Sonya langsung berbinar, ekspresinya berubah drastis menjadi penuh semangat. “Serius kamu?!” “Iya, serius.” Angga mengangguk, lalu mencondongkan tubuhnya ke depan. “Tapi, Angga harus jelaskan semuanya dulu. Dan Mamah harus JANJI ke Angga, Mamah nggak boleh kasih tahu Angel kalau Mamah tahu soal ini.” Ucap Angga “Iya, iya! Mamah janji, Angga!” Ibu Sonya berjanji dengan sungguh-sungguh. Angga menghela napas lega, rasa lelah luar biasa menyelimutinya. "Sebenarnya… Angel sendiri yang mau Angga menikah lagi. Tapi nikah siri, dengan orang pilihan dia. Nanti, kalau dari pernikahan kedua Angga dikasih rezeki anak, anak itu akan diakui sebagai anak Angga dan Angel. Angel akan berbohong, pura-pura hamil di depan Mamah dan Papah." Ucap Angga menjelaskan Angga menatap ibunya dengan tatapan memohon, matanya memancarkan keputusasaan. "Dia lakukan itu karena dia tidak ingin bercerai denganku. Jadi, Angga mohon sama Mamah, bantu Angga ya. Pura-pura nggak tahu. Tolong jaga rahasia ini." Ucap Angga Ibu Sonya terdiam. Keterkejutannya begitu besar hingga ia tak bisa berkata-kata. Angel mau berbohong sebesar ini? Ia menatap wajah anaknya yang pucat, memohon, dan terpukul. Naluri keibuan mengalahkan kemarahannya. Angga yang dari kecil diajarkan kejujuran, kini harus memikul kebohongan sebesar ini. “Mungkin kali ini aku setujui. Setidaknya dia bisa menikah lagi dan punya keturunan. Tapi, siapa yang dia nikahi? Jangan-jangan modelnya sama seperti Angel? Tidak, itu tidak bisa dibiarkan.” Batin Bu Sonya Ibu Sonya kembali pada mode kontrolnya. “Kamu menikah dengan siapa, Angga?” tanyanya ingin tahu, nadanya berubah menjadi cemas. “Aku juga belum tahu, Mah. Nanti setelah aku tahu, akan kukenalkan ke Mamah diam-diam, tanpa Angel tahu. Biar Mamah bisa menilai orangnya. Kalau Mamah nggak setuju, Angga akan berusaha bujuk Angel cari yang lain… oke?” Angga mencoba menenangkan. "Janji, ya?" ucap Ibu Sonya, sorot matanya penuh harapan sekaligus kekhawatiran. “Iya, Mah.” Angga memeluk ibunya erat. Dalam pelukan itu, ia merasa bebannya terbagi dua. Ia telah mengkhianati pernikahannya, tetapi setidaknya, ia tidak mengkhianati ibunya. Langkah terberat telah diambil, dan kini ia harus menghadapi konsekuensinya. Bersambung…Aku berjalan menuju ruang utama Masjid An Nur, langkahku terasa berat seperti dirantai. Angga sudah duduk di depan penghulu, tampak rapi dengan jas hitamnya. Angel, dengan kebaya mewahnya, duduk di samping Angga, memancarkan aura kemenangan yang dingin. Saat pandanganku menyapu ruangan, aku berhenti. Napasku tercekat. Di barisan tamu, ada sepupu bernama Imam dan di samping Imam (sepupuku), duduklah sesosok pria yang sangat kukenal. Uwa Iwan. Kakak kandung almarhum Ayahku. “Uwa Iwan!” sapaku, segera berjalan cepat menghampirinya, rasa terkejut dan haru membuat tenggorokanku tercekat. Aku langsung mencium tangannya. Tangannya hangat, menenangkan. “Putri…” Uwa Iwan menggenggam tanganku erat. Matanya menunjukkan rasa iba yang dalam. “Uwa... Uwa bisa ada di sini?” tanyaku, bingung sekaligus lega. Bagaimana Angga bisa menghubungi beliau? Angel bilang semua akan siri, tanpa wali resmi! Uwa Iwan tersenyum tipis, “Angga sudah menceritakan semuanya ke Uwa, Put. Dia datang dan menjelaskan
Beberapa hari keemudian,Akhirnya Nenekku sudah dibolehkan pulang kerumah. Rasa syukur yang tak terhingga membanjiri hatiku. Aku sangat senang.“Sini, Nek, pelan-pelan. Aku bantu,” ujarku lembut, memapah tubuh ringkihnya yang keluar dari TaksiSetelah Nenek duduk nyaman di sofa, aku langsung bergerak cepat. Aku merapikan semua barang-barang dari rumah sakit, membereskan sisa-sisa kekacauan di kamar.“Pokoknya Nenek harus sehat terus ya, Nek. Janji! Jangan sakit-sakit lagi. Aku cuma punya Nenek doang di dunia ini,” Ucapku, menarik Nenek ke dalam pelukan yang erat dan penuh haru. Air mataku sedikit menetes.Nenek membalas pelukanku, mengusap punggungku perlahan.“InsyaAllah Put, Nenek akan jaga kesehatan. Maaf ya, Sayang... Maaf sudah menyusahkanmu terus,” suaranya terdengar serak.Aku melepaskan pelukan, menatap mata tuanya yang penuh kasih. “Tidak, Ko Nek! Jangan pernah ngomong begitu! Dulu juga hanya Nenek yang merawatku seorang diri, banting tulang buat aku. Sekarang, ini waktunya
Aku dan Angga tiba di restoran yang letaknya dekat dengan tempatku bekerja. Suasana tenang, alunan musik lembut mengiringi kami menyantap hidangan yang sudah tersaji. Aku mencoba fokus pada makanan, tapi tatapan mataku selalu berakhir di wajah Angga. Jarak yang sangat dekat ini membuat sarafku tegang.Dia tampan, baik, perhatian, dan aku belum melihat kekurangan apapun yang ada di dirinya. Bahkan aura ‘suami orang’ itu samar-samar. “Tapi, kenapa dia mau menikah siri denganku? Padahal wanita jauh lebih cantik dariku banyak sekali diluaran sana ”batinku.“Mungkin dia memang benar-benar terpaksa karena istrinya yang meminta, tapi kenapa dia memerhatikanku layaknya seperti calon istri sesungguhnya? Tatapannya... itu bukan tatapan keterpaksaan,” pikiranku terus berkecamuk, mencoba mencari celah logika dari situasi ganjil ini.Angga yang sedari tadi sudah menyadari kegelisahan dan tatapan curi-curiku, akhirnya bersuara, memecah keheningan yang makin mencekam.“Kenapa, Put? Kamu enggak suka,
Aku sudah berada didepan kantor Angga, setelah berputar dulu mengambil KK dari kontrakan. Gedung yang megah, bertolak belakang dengan kondisi keuangan dan perasaanku saat ini. Aku masuk dengan langkah berat menuju Receptionist.Dan sesuai instruksi, Angga sudah memberitahu Receptionist jika aku datang disuruh langsung diantar ke ruangannya.Seorang karyawan wanita mengantarku ke depan pintu kayu jati besar.Tok tok tok,“Permisi Pak Angga,” Ucap karyawan itu.“Iya,” ucap Angga dari dalam.“Ibu Putri sudah datang, Pak,” Ucap karyawan tersebut.“Silahkan masuk, Bu Putri. Terima kasih,” karyawan itu mempersilakan masuk kepadaku lalu meninggalkanku.Aku melangkah masuk, ruangan Angga sangat luas, elegan, dan terasa mewah. Angga sudah berdiri di balik meja kerjanya.“Siang Pak Angga,” sapaku, jam sudah menunjukkan pukul 11 kurang sedikit.“Iya, siang juga, Putri. Silakan duduk,” Ucap Angga dengan senyuman yang terlalu manis untuk situasiku saat ini.“Bisa saya pinjam KTP dan Kartu Keluarga
Aku masih berada di kamar rumah sakit, di sisi ranjang Nenek Ida yang sudah terlihat segar sehabis mandi. Aroma sabun bercampur dengan bau obat-obatan, menciptakan suasana yang intim namun getir. Aku dengan telaten menyuapkan sarapan bubur hangat ke mulut Nenek dan membantu beliau merapihkan pakaian.“Put, kamu tidak kerja hari ini?” Tanya Nenek Ida, matanya yang teduh menatapku penuh perhatian.Aku menyeka sudut bibir Nenek dengan tisu. “Kerja, Nek. Tapi aku masuk siang, jam dua nanti. Sengaja aku ambil shift siang biar bisa menemani Nenek sarapan dan bersih-bersih,” jawabku sambil berusaha menyembunyikan kelelahan yang mulai menjalar di punggungku.Nenek Ida memegang tanganku yang sedang merapikan selimut. Jari-jari beliau yang keriput terasa hangat.“Ya Allah, Putriku. Pasti kamu capek sekali ya, Nak. Harus bekerja keras, lalu pulang ke kontrakan, dan balik lagi ke Rumah sakit untuk menjaga Nenek. Maafkan Nenek ya, merepotkanmu terus.”Mendengar nada kasihan itu, hatiku terasa teri
Pagi hari yang sangat cerah, cahaya matahari menerobos masuk melalui jendela, menyinari ruang makan dengan hangat. Angel dan Angga tengah menikmati sarapan pagi mereka. Udara terasa tenang, namun ketegangan samar menyelimuti Angel yang berusaha terlihat santai.“Sayang, Gimana menurut kamu tentang Putri?” Tanya AngelAngga, yang sedang mengupas kulit pisang dengan gerakan lambat dan hati-hati, mengangkat wajahnya.“Putri? Menurutku… dia anak yang baik, Sopan. Kenapa memangnya?” Jawab Angga.“Bagus kalau begitu.”batin Angel tersenyum, senyum yang sedikit terlalu lebar. mencondongkan tubuh sedikit.“Kamu cocok kan sama dia? Maksudku, kamu nggak ada keberatan sama sekali, kan?” Ucap Angel.Angga berhenti mengupas pisang, pandangannya tertuju pada Angel. Jeda sesaat itu membuat Angel menahan napas."Iya, cocok-cocok aja sih," jawab Angga santai, melanjutkan aktivitasnya."Kenapa sih kamu kelihatan tegang banget, Sayang? Aku nggak akan menolak calon yang sudah kamu pilihkan ko" Ucap Angga.







