“Bagaimana bisa kamu dimadu?” tanya Bu Dian—ibunya Amalia.
Amalia sudah menduga pasti sang ibu marah. Namun, apa yang bisa ia perbuat selain menurut perintah ibu mertuanya. Jika ia menolak, hidupnya akan hancur. Terpaksa,.ia setuju dengan pernikahan kedua suaminya.
“Aku sudah berusaha, Ma. Tetapi masih belum hamil, Madam Syin lalu menikahkan Edward,” ujar Amalia pasrah.
“Lalu, kami setuju begitu saja? Edward pun menerima saja keputusan sepihak mertua kamu?” Bu Dian sangat emosi mendengar penuturan sang anak. Ia baru saja pulang berlibur dari Bali, tentu saja menggunakan uang yang diberikan Amalia.
Wanita dengan lipstik merah darah itu menarik napas panjang. Ia tahu kehadiran istri kedua Edward membuat posisi sang anak terancam. Jika wanita kedua itu berhasil hamil dan melahirkan keturunan, tentu saja Amalia akan tergeser. Dan hal itu yang tak diinginkan Bu Dian. Terlihat sekali Bu Dian gusar memikirkannya.
Amalia pun sama, ia juga cemas jika Edward berpaling darinya dan memilih Yura jika istri kedua suminya itu hamil. Apalagi Madam Syin, mungkin perlahan akan menyingkirkannya.
Sejak lama ibu mertua Amalia itu tidak begitu menyukai sang menantu karena Bu Dian selalu meminta uang dari Amalia untuk bersenang-senang.
“Edward terpaksa, Madam Syin mengancam akan meminta aku ke luar dari rumah jika Edward menolak. Suamiku mempertahankan aku sebagai syarat dia mau menikahi Yura.”
“Jadi, jika Madam Syin menyuruhnya bercerai dari kamu—“
“Iya, Edward akan menolak jika Madam ikut campur rumah tangganya dengan aku.”
Bibir Amalia bergetar saat kalimat demi kalimat ia lontarkan pada sang ibu. Hati wanita mana tak hancur kala suaminya menikah lagi dengan wanita lain. Apalagi Yura lebih muda dan cantik. Amalia meminum lemon tea, suasana kafe saat itu tak begitu ramai. Seperti biasa dirinya bertemu dengan sang ibu di tempat itu sembari menikmati makanan kesukaannya.
“Ya, sudah. Nanti mama pikirkan kembali bagaimana kita bisa menyingkirkan wanita itu. Mama harap kamu jangan gegabah, sebisa mungkin untuk bertahan. Mama pulang dulu, ada janji dengan teman.” Setelah mengecup pucuk rambut sang anak, wanita dengan rambut pendek bob itu menghilang dari pandangan Amalia.
Sementara, Amalia masih terduduk menatap sekeliling dengan nanar. Ia tahu bertahan yang di maksud sang ibu adalah mempertahankan kekayaan Edward. Jika dia keluar dan diceraikan, maka hidup sang ibu pun hancur. Amalia sadar, selama ini ia menjadi ladang emas bagi sang ibu. Namun, ia memilih diam dan berbakti pada wanita itu dan mengikuti kemauannya.
***
Setelah mandi, Edo kembali melihat Yura yang sibuk menyirami bunga di taman Madam Syin. Ibu mertuanya sangat menyukai tanaman dan bunga, sama halnya dengan Yura yang bertangan dingin dalam merawat tumbuhan.
Pria itu gegas menghampiri Yura dengan sedikit mengagetkan gadis itu. Yura membalikkan badan, ia agak terkesiap saat melihat Edo sudah tersenyum nakal.
“Baru kali ini lihat wanita secantik bidadari di taman bunga Mami. Ehm, sayangnya, sudah menjadi milik Edward,” ucap Edo.
Yura sedikit takut dengan Edo, apalagi wajah Adik iparnya yang terlihat berpikiran kotor. Sejak kedatangan Edo, Yura pun enggan menghampiri pria berusia dua puluh lima tahun itu karena sangat menakutkan.
“Harusnya, kamu menjadi wanita paling istimewa, bukan menjadi wanita kedua.” Lagi Edo berbicara.
“Aku memang istimewa, karena itu aku dipilih oleh Madam Syin untuk melahirkan keturunan keluarga ini,” ucap Yura.
Edo bertepuk tangan mendengar jawaban Edo. Pria berambut cepak itu tidak menyangka jika wanita yang terlihat lemah itu akan menjawab dengan elegan. Pantas saja sang ibu memilihnya.
Edo kembali memperhatikan Yura yang terus menyirami bunga, tampak sekali gadis itu tidak peduli atau terganggu dengan kedatangannya. Tangan Edo iseng, mencuil dagu panjang Yura.
Emosi Yura tak tertahan, ia langsung menyiram Edo dengan selang di tangannya. Edo terkesiap sembari memundurkan tubuhnya, tapi Yura terus saja menyiramnya.
“Yura berhenti!” teriak Edo.
Yura senyum tipis melihat Edo tang sudah basah kuyup padahal batu saja dia mandi. Pria itu tidak menyangka jika kakak iparnya melakukan hal tak terduga.
“Jangan pernah sekali lagi menyentuh bagian tubuh ini. Kalau kamu memang pria dari keturunan baik-baik, hargai aku sebagai kakak iparmu,” ujar Yura.
“Wow, keren sekali kamu, Yura. Sayangnya, walau dari keluarga baik-baik, aku lebih suka kehidupan tidak baik.” Edo kembali mendekati Yura, sedangkan Yura kembali menjaga jarak dari Edo.
“Jangan senang dulu kamu Yura, kamu pikir, Edward akan semudah itu kamu miliki? Dia begitu cinta dengan Amalia, lebih baik kamu bersamaku, dari pada membuang waktu bersama pria dingin itu.”
“Jika aku bisa memilih, aku pun tak ingin berada di sini.”
Yura kembali merapikan selang air, kemudian mencuci tangan dan meninggalkan Edo yang mulai bertanya-tanya tentang dirinya.
***
Tidak ada yang salah dalam sebuah pernikahan, hanya saja mungkin takdir yang membuatnya rumit. Jika saja Madam Syin berpikiran jernih, mungkin cara lain akan dilakukan untuk memiliki keturunan dari pada menikahkan Edward dengan wanita lain.
Amalia mencoba memberikan sebuah ide untuk Edward. Pria yang baru saja mandi itu duduk menghampiri sang istri yang siap menceritakan tentang program bayi tabung. Tidak peduli seberapa mahalnya karena uang keluarga Edward pun tak akan haus karena program itu.
“Jadi kamu mau kita program?” Edward menggenggam tangan sang istri.
“Iya, Sayang. Tidak perlu anak dari rahim Yura,” ucap Amalia bersemangat.
Setelah beberapa kali konsultasi dengan beberapa teman, memang ada yang menganjurkan program bayi tabung. Ia pun banyak melihat beberapa selebritis tanah air yang melakukan program itu.
Edward mencoba membaca artikel yang diberikan Amalia. Ia membaca tentang program bayi tabung. Melihat sang istri begitu bahagia karena menemukan solusi, Edward pun berencana berdiskusi dengan sang ibu. Walau terkadang mereka berselisih paham, tetapi apa pun yang keputusan Edward ambil, ia selalu berdiskusi dengan Madam Syin.
“Aku senang kamu setuju, setelah kita melakukan program ini, kamu akan menceraikan Yura, kan, Sayang?”
Edward bergeming mendengar pertanyaan Amalia. Terngiang di benak pria itu tentang pilihan sang ibu. Ia yakin, ibunya tak akan memilihkan wanita tidak baik, tapi ia yakin kali ini sang ibu salah karena seharusnya wanita itu menghargai Amalia sebagai istri pertamanya.
“Iya, Sayang. Apa saja permintaanmu, akan kuikuti.”
Edward merasa berat, tetapi di depan sang istri dia harus setuju dengan apa yang diminta Amalia kali itu.
Walau Edward merasa ragu, tidak salah untuk membuatnya tersenyum, pria itu mengiyakan saja apa yang diminta sang istri.
Pelukan hangat mengakhiri perbincangan mereka, lalu Edwar pamit untuk pergi ke ruang kerja sang ibu pada Amalia.
***
Sejenak Madam Syin berpikir dengan apa yang dituturkan sang anak. Edward datang menjelaskan niatnya dan Amalia untuk program bayi tabung. Jemarinya tak henti bermain pulpen di meja, ia berpikir keras dengan rencana Edward kali ini.Edward langsung menemui sang ibu untuk membicarakan hal yang akan menyelamatkan rumah tangganya, walau ia tak tahu jika rencana itu juga yang akan menyelamatkan keluarga Amalia dari kemiskinan.“Kamu pikir dengan program bayi tabung akan berhasil setelah uang yang kamu keluarkan itu tidak sedikit?” Pertanyaan menohok sang ibu membuat Edward sedikit tersudut.“Kan, kita baru mau mencoba.” Edward kembali membela diri.“Kamu tidak usah cemas, jalani sama dengan Yura, toh Amalia masih tetap bersama kamu. Mami tidak setuju dengan jalan itu, Amalia sudah banyak menghabiskan ua
Yura mengusap bulir bening di pipi lalu, tersenyum getir menatap Edo yang bergeming di hadapannya. Wanita itu enggan menunggu jawaban Edo, ia langsung melewati pria itu melangkah ke dalam.Edward bersembunyi di balik pintu saat Yura masuk agar tidak terlihat oleh istri keduanya. Pria itu menatap punggung sang istri yang menghilang di balik pintu kamarnya. Sedikit rasa iba, ia baru tahu jika Yura pun terpaksa untuk menikah dengannya. Ia bingung menghadapi semua masalah di hidupnya.Paksaan sang ibu, belum lagi dengan keinginan Amalia yang membuatnya tidak bisa mengikutinya. Ia hendak melangkah, tapi terhenti saat Edo memanggil.“Pasti bingung mau masuk ke kamar mana?” tanya Edo dengan sinis.“Bukan urusan kamu.” Edward merasa tidak senang dengan ejekan Edo.Sejak kecil mer
Kedua istri Edward hanya bisa menunduk saat mereka berhadapan dengan Madam Syin—ibu mertua mereka. Edward yang berada di sana pun merasa bersalah atas apa yang terjadi antara mereka berdua.Edward menyesal karena emosi Amalia berasal dari kesalahannya semalam. Istri pertamanya itu begitu lembut, tapi ia tahu jika dia marah, apa pun akan menjadi sasaran. Itu kenyataan yang terjadi. Emosi Amalia tak akan bisa terkendali saat ia mulai tersudut atau merasa tersakiti.“Semua itu terjadi karena nggak mungkin ada asap jika nggak ada api. Apa yang membuat kalian seperti wanita nggak ada tatak rama?” Madam Syin menelisik ke arah kedua menantunya. Terutama Yura yang ia tahu menahan perih di pipi, tapi dia mencoba tenang.Edward ikut memindahi kedua istrinya. Ia iba melihat wajah Yura yang membiru akibat tonjokan Amalia. Namun, ia tak bisa bergerak meng
Edo memilih berada di kelab malam dari pada melihat drama rumah tangga sang kakak. Pria dengan kaos putih dipadu celana jin robek-robek itu duduk memindahi sekeliling tempat ramai itu. Sesekali ia meneguk minuman di depannya. Hari itu ia tak sedang berjanjian dengan siapa pun karena moodnya kurang baik. Sepertinya ia harus merileksasikan otaknya kali ini. Namun, lamunannya buyar seketika seseorang menepuk pundaknya. “Aku mau bicara,” ujar wanita di hadapannya. Edo memutar bola mata malas melihat wanita cantik dengan pakaian sexy di hadapannya. Ia bangkit dan mengikutinya ke luar kelab malam itu. Edo menyenderkan tubuh di tembok, sedangkan wanita di hadapannya siap mengatakan hal yang penting untuk pria itu. “Aku hamil, Do.” Edo menegang mendengar penuturan
“Aku harus kembali ke kamar Amalia sebelum dia bangun dan mencariku.” Edward mengambil baju yang berserakan di lantai. Ia kembali melihat ke arah Yura dan mencium keningnya lalu beranjak dari kasur. Yura masih bergeming melihat punggung Edward yang menghilang dari pandangannya. Ia mencoba bangkit, tetapi rasa nyeri masih terasa begitu ngilu. Ia memunguti baju di lantai dan memakainya. Perlahan menuju kamar mandi untuk membersihkan diri. Malam itu, ia menyerahkan mahkotanya untuk Edward. Pria yang sejak pertama bertemu selalu saja kasar. Namun, akhirnya luluh dengan kesabaran Yura. Pipinya masih sangat nyeri, di bawah guyuran shower, Yura kembali mengingat malam indah bersama Edward. Namun, tangisnya kembali terdengar kala ia hanya dijadikan alat untuk memiliki keturunan. Jika dirinya tak kunjung hamil, pasti akan tergeser pula. Hatinya sudah berlabu pada pr
Awalnya Amalia tidak berniat datang ke rumah sang ibu. Namun, berulang kali ponselnya terdengar membuat ia semakin penat. Akhirnya, terpaksa Amalia datang menemuinya.Rumah itu masih sama seperti saat ia terakhir datang. Ruang besar yang seperti tak terurus, belum lagi banyak barang yang berserakan di lantai. Rumah itu juga menjadi tempat tinggal adiknya yang baru saja lahiran.“Kenapa kamu lama sekali mengirimkan mama uang?” tanya Bu Dian.“Ma, uang tabunganku sudah habis. Bukannya belum lama Mama meminta uang dengan alasan untuk kontrol ke dokter. Tapi apa, Mama malah berlibur ke Bali. Uangku habis, Ma.” Amalia mencoba meyakinkan sang ibu.“Kan ada suami kamu. Minta sama dia, mana mungkin dia menolak. Uangnya banyak, Lia.” Bu Dian selalu saja memaksakan kehendaknya.
“Apa ada kabar dari Edo dan Yura?” tanya Edward pada sang ibu.“Tadi Edo bilang sudah di Jakarta, tapi mereka berhenti makan. Sejak di rumah orang tua Yura tidak ada sinyal.” Edward lega mendengar penjelasan sang ibu. Namun, ia kembali melihat waktu yang sudah agak malam, tapi mereka pun belum muncul juga. Edward kembali mencoba menelepon Yura, tetapi tetap sama tidak ada jawaban.Tidak mau sang istri curiga, Edward gegas menemui Amalia dulu. Walau hatinya sangat cemas memikirkan Yura yang pergi bersama dengan Edo.“Baru pulang langsung ke ruangan Mami, ada apa?” tanya Amalia.“Mami bertanya tentang Yura.”“Biarkan saja, Sayang. Lagi pula, paling dia sedang bersenang-senang dengan Edo. Tahu sendiri adik
Walau sering bertemu dengan banyak wanita, Edo belum pernah merasakan getaran aneh seperti saat ia bersama suster cantik yang ada di hadapannya. Namanya Rena, kulit putih dengan wajah khas Indonesia membuat Edo tak bergerak dari tempatnya.“Sudah selesai,” ucap Rena.“Kayanya belum, ini kepala saya masih pusing.” Edo mencoba berlama-lama dengan Rena.“Kalau Anda pusing, nanti saya minta dokter untuk periksa. Sebentar.”Rena tak jadi melangkah karena tangannya tertahan oleh Edo. “Kamu saja.”“Saya bukan Dokter, maaf tangan Anda.”Edo melepaskan tangannya dari tangan Rena. Ia tidak mau beranjak dari ranjang itu karena masih ingin berduaan dengan Rena. Akan tetapi, sebagai perawat di rumah sakit itu, Rena p