“Kamu haid?” Izhar mendekati Ayesha sambil membawakan keresek berisikan pesanan gadis itu.
Yang ditanya duduk di sisi kasur sambil memegangi pinggangnya dan mendengus seraya mengangguk. Ayesha menerima keresek yang diberikan Izhar untuknya, berisikan pembalut yang dia pesan pada Izhar saat pria itu dalam perjalanan pulang.“Makasih,” ucap Ayesha seraya membuka kereseknya dan melihat ada camilan juga di sana.“Ay enggak nitip yang lainnya,” ucap Ayesha pelan.“Inisiatif Aa, Ay. Barang kali kamu moody lagi, kalau datang bulan. Enggak datang bulan aja, kerjaan kamu kesel, jengkel, sebel, marah-marah.” Izhar terkekeh pelan seraya duduk di sisinya.Ayesha mendecak sambil menyungging senyum. Ada benar juga. Ayesha mendesis sambil agak mencengkeram perutnya. Dia kadang mengalami ini, kram saat haid dan nyeri.“Kenapa? Sakit?” Izhar mengusap punggung Ayesha halus, untuk membantunya merasa baikan.“Mm,” jawab Ayesha.“Kalau hamil, kamu enggak akan nyeri haid,” ucap Izhar asal.“Ya, iya. Orang hamil, ada isinya. Yang enggak hamil, enggak ada isinya, makanya sel telurnya luruh. Gimana, sih?!” sewot Ayesha menanggapi ucapan suaminya tersebut.Izhar lantas terkekeh menatapi Ayesha. Dan terus mengelus punggungnya, mengutamakan yang agak di bawah. Benar, dia sangat mengerti tanpa diminta Ayesha. Dia berpengalaman.Ayesha memejamkan matanya sejenak. Dia menikmati usapan di punggungnya sambil mencengkeram pinggangnya yang juga terasa sakit. Dia mencoba mengatur nafasnya juga.“Aa sadar enggak, belakangan ini Aa kayaknya lebih sering nemenin Ay ketimbang Teh Mala?“ Ayesha jadi agak sedikit terpikirkan, mengingat lirikan sinis Nirmala saat dirinya berinteraksi dengan Izhar di luar kamar, itu yang membuatnya malas keluar kamar.“Enggak, kok. Malam ini giliran kamu, kan?” Izhar semakin hangat juga pada Ayesha belakangan ini.“Giliran Teh Mala,” jawab Ayesha seraya melirik Izhar yang berada di sisinya itu.Izhar terdiam sejenak dan tersenyum kemudian. Saat hubungannya dengan Ayesha semakin baik, Nirmala sudah menunjukkan perubahan sikapnya yang jadi sering marah-marah juga. Namun rasanya itu membuat Izhar tak nyaman dan ingin lebih sering bersama Ayesha.Setelah Ayesha mengatakan jika dirinya baikan, Izhar keluar dari kamar Ayesha. Saat hendak ke kamar Nirmala, Izhar dikagetkan dengan Nirmala yang sudah ada di pintu kamarnya.“Aa beliin sesuatu buat Ayesha, tapi enggak beli apa-apa buat aku?” tanya Nirmala.“Itu pembalut, Ayesha enggak punya pembalut. Dia tanya kamu tadi, apa kamu punya pembalut tapi kamu bilang enggak punya. Aa tahu, kamu punya. Kenapa kamu enggak kasih tadi?” tanya Izhar balik seraya melalui Nirmala dan memasuki kamarnya.“Aa kenapa malah balik tanya sama aku? Aku yang tanya duluan, jawab dulu! Aa beliin sesuatu buat Ayesha, tapi enggak ada apa-apa buat aku? Aa bukannya bilang berusaha bersikap adil?”Nirmala mengikuti Izhar memasuki kamarnya, menatapi punggung pria yang baru pulang bekerja itu.“Kemarin kamu kan, udah. Aa beliin banyak makanan buat kamu. Kemarin Ay enggak minta apa-apa sama Aa. Dia baru minta pembalut hari ini,” balas Izhar.“Apa susahnya beli sesuatu juga buat aku? Kemarin kan, Ay sendiri yang emang enggak mau apa-apa. Kenapa Aa enggak tanya juga, aku mau apa?” Nirmala mendebat Izhar.“Biasanya kamu selalu bilang duluan kalau butuh apa-apa.”“Aa enggak ada inisiatifnya buat aku sekarang, ya?” Nirmala mendecak menatapi Izhar.Izhar menatap Nirmala. Dia merasa agak sedikit terkejut dengan perubahan sikap Nirmala yang semakin berani melawannya. Padahal sebelumnya Nirmala tidak seperti ini. Dia patuh. Dia tahu agama, dia paham. Namun itu sepertinya tidak jadi tolak ukur perasaan seseorang.“Kamu nguping tadi?” Izhar menatapi Nirmala yang tak menjawab pertanyaannya sama sekali.Izhar menghela nafasnya berat. Dan menatapi wanita yang kini menatapnya dengan tajam.“Kamu mau apa? Kita beli sekarang?” Izhar tak ingin bertengkar dengannya karena masalah sepele.Nirmala menganggukkan kepalanya. Izhar mengusap wajahnya sambil berjalan mengambil kunci mobilnya. Sementara Nirmala bersiap, dia segera mengambil kerudung besarnya dan cadarnya. Dia dan Izhar segera berangkat ke mana pun Nirmala inginkan. Izhar selalu menurutinya.Sementara Ayesha menatapi Izhar dan Nirmala yang pergi berduaan. Ayesha melirik keresek belanjaan dari Izhar dan mendecak pelan. Dia memaksakan dirinya untuk terkekeh kemudian.“Itu sogokan supaya mereka bisa pergi berduaan dan gue enggak iri? Persetan, gue enggak iri atau cemburu sama sekali,” umpatnya seraya memegangi perutnya lagi yang terada sakit.Perjalanan itu menjadi cukup manis ketika tangan Izhar memegangi tangan Nirmala. Berjalan-jalan berduaan saat Izhar baru pulang bekerja, agaknya bukan ide buruk. Izhar menemani Nirmala membeli apa pun yang dia inginkan. Makanan, barang atau yang lainnya.Dan dalam perjalanan pulang, mereka jauh lebih baik dari sebelumnya. Saat perjalanan pergi, mereka saling diam dan tak bicara karena baru saja berdebat. Sekarang, mereka mengobrol dengan mesra seperti sebelum Ayesha hadir di kehidupan mereka.“Kita udah lama enggak staycation,” ucap Nirmala.“Iyakah?” Izhar melirik Nirmala dan seketika tersenyum karena ucapannya Nirmala.“Aa besok libur, kan? Gimana kalau kita semalam ini di hotel?” tawar Nirmala.“Ide bagus. Kapan lagi kita punya kesempatan kayak gini?” Izhar setuju dengan tawaran Nirmala.Pria itu lupa akan seseorang di rumah yang mereka tinggalkan sendirian. Walau sebenarnya bukan masalah juga bagi Ayesha untuk berada di rumah sendirian. Malah gadis itu kegirangan seharusnya.Tapi saat itu, karena sudah merasa memiliki hubungan yang erat dengan Izhar, dia jadi agak merasa kesepian. Merasa jika dirinya ada hanya untuk digunakan, dan begitu datang bulan, Izhar kembali lagi pada Nirmala. Ayesha mulai terbiasa dengan kehadiran Izhar yang senantiasa mengajaknya bicara secara rutin. Namun Izhar tak ada malam itu, rasanya sepi. Dan dia menyesal berharap lebih pada Izhar.Ayesha agak menunggu kepulangan mereka. Mungkin Izhar akan membawakannya makan malam, jadi dia tak makan malam itu. Walau sudah mulai larut.“Mereka ke mana?” Ayesha mendengus sambil memegangi perutnya yang berbunyi.Ayesha agak cemas pada mereka, takut terjadi sesuatu. Karena dia pernah menunggu orang tuanya pulang, namun mereka tak pernah pulang lagi. Gadis itu kemudian keluar dari kamarnya, dengan membawa handphone dan berusaha menelepon Izhar.Dia mondar-mandir tak jelas semalaman, sambil membuka-tutup gorden. Menunggu jawaban Izhar sia-sia baginya. Karena Izhar mematikan handphonenya jika sedang bersama orang tersayangnya.“Ck, mereka kenapa, sih?!” keluhnya seraya terus menelepon Izhar.Karena cemas dan khawatir, Ayesha duduk di ruang tengah dengan keadaan mengantuk lagi takut. Ditunggunya hingga Izhar dan Nirmala pulang, karena dia tak tahu jika mereka tak akan pulang. Sampai akhirnya, gadis itu tertidur di sofa. Dikerumuni nyamuk, dipeluk udara dingin, dengan perutnya yang terasa kram.“Saya enggak bisa tinggal diam. Saya bisa bawa kasus ini ke pengadilan.” Ayesha menyilangkan tangannya, menatapi gadis yang menangis sesenggukan setelah melempar tempat pensil pada Juan hingga menyebabkan pelipis Juan terluka.“Aish... ini cuman masalah anak-anak. Kita enggak harus sampai bawa-bawa ini ke pengadilan, kan? Namanya juga anak-anak,” ucap pria yang kelihatannya ayah dari gadis itu cukup manis untuk membujuk Ayesha yang kini merangkul Juan yang duduk di UKS. “Lagian itu salah anak kamu! Kenapa sampai harus bentak-bentak anak saya. Dia kan, jadi takut. Itu salah satu refleks anak untuk melindungi dirinya sendiri!“ bela ibunya dengan lantang. “Oh...” Ayesha tertawa sinis dan melebarkan matanya dengan kesal. “Ternyata ibu sama anak sama aja. Tukang jual gosip.” “Ayesha!” Izhar menatapi Ayesha dan menyentuh pundaknya, yang langsung ditepis Ayesha. “Apa?! Tukang jual gosip?! Saya enggak sekedar bergosip, itu fakta! Anak yang tu
“Kamu ketemu Arsy sama ibunya?!” Ayesha melebarkan matanya saat Juan mengakuinya. “Juan... Juan tahu mereka karena lihat beberapa kali fotonya. Juan agak curiga, kenapa ayah enggak tinggal sama kita kayak ayah-ayah lainnya. Ternyata ayah punya keluarga lain,” ucap Juan pelan. Terdengar nadanya kecewa. Dia mungkin sudah menahan perasaannya untuk tak menunjukkan jika dia tahu sesuatu di depan bundanya. Namun Ayesha kemudian menghela nafasnya dan mendekati Juan. Tangannya mengusap halus pundak putranya itu. “Maaf, karena membiarkan kamu terlahir sebagai anak madu,” ucap Ayesha lirih. “Bunda enggak perlu minta maaf. Juan enggak pernah malu punya bunda,” jawab Juan cepat, dia tak ingin membuat bundanya yang telah mengorbankan banyak hal untuknya. Ayesha menghela nafasnya. Lagi pula, Juan memang harus tahu tentang ini. Ayesha menatapi putranya yang sudah beranjak dewasa. Dia kemudian memegangi keningnya, mengangkat sedikit rambut putranya
Juan tumbuh dengan pesat. Dia bersekolah di Bogor untuk sekolah dasarnya dan akan pindah ke kota asal ibunya untuk melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi. Juan tumbuh menjadi anak yang aktif. Karena pindah kota lagi, dia bisa dekat dengan ayahnya sekarang. “Arsy juga bakal sekolah di sekolah yang sama,” ucap Izhar tiba-tiba. Ayesha yang sedang menatapi persyaratan yang diperlukan untuk mendaftar lantas menggeser brosur sekolah yang ditunjukkan Izhar untuk Juan bersekolah di sana. “Aa yakin enggak akan masalah?” Ayesha menatapi Izhar dengan tatapan yang masih sama. “Enggak akan, Ay. Justru supaya Juan sama Arsy saling mengenal. Juan belum pernah main sama Arsy sebelumnya. Kamu enggak pernah izinkan Aa bawa Juan pulang. Neneknya kangen sama Juan,” ucap Izhar seraya menghela nafasnya dengan berat. “Itu buat kebaikan Juan. Aku enggak mau, Juan sampai mendengar sesuatu yang buruk dari ibu Aa.” Izhar menghela nafasny
“Ay bakal ikut keluarganya Devan pindah ke luar kota.” “Ay, kamu itu istri Aa. Justru kamu seharusnya itu Aa. Kenapa kamu malah ikut-ikut keluarga Devan?” Izhar merasa tertekan karena mendengar Ayesha akan pergi ke kota lain. Ayesha mengulum senyum dan menatapi Juan yang berada di kursi tingginya. Dia kemudian menyuapi Juan makanannya. Bayi itu terlihat sangat lahap makannya. “Ay kalau enggak sama Devan di sini sendirian. Aa enggak pernah ada sepenuhnya buat Ay, Devan yang malah jadi harus repot sama Ay, meski Ay udah nikah. Jadi, ya mau gimana lagi? Ay di sini atau Ay di sana, kayaknya buat Aa sama aja, kan?” Ayesha tersenyum tipis. Izhar menghela nafasnya. Setelah banyak yang dirinya dan Ayesha lakui, pada akhirnya Ayesha malah ingin pergi. Dia pikir kehadiran Juan akan cukup untuk mengikat Ayesha. Namun sepertinya tidak. Apa lagi dirinya kurang menghadirkan dirinya untuk sosok ibu dari anak laki-lakinya itu. “Juan bakal Ay bawa pa
Izhar tak pernah diizinkan menggendong Juan lagi setelahnya. Ayesha benar-benar mengawasi Juan hingga tak satu pun orang berani menggendong Juan. Bahkan teman-temannya yang ingin bermain dengan Juan dilarang untuk menggendongnya, hanya boleh menyentuhnya saja secara normal. Dan karena Nirmala dan Ayesha mungkin sudah seharusnya tidak berada di atap yang sama, karena mereka benar-benar tak bisa akur, akhirnya Nirmala pulang ke rumah Izhar. Dan pembantu rumah tangga mereka tentunya akan ikut bersama Izhar dan Nirmala. “Emang kamu bisa, rapihin rumah sendiri?” Izhar menghela nafasnya berat. “Devan bakal nyari pembantu buat bantu-bantu Ay di sini. Aa boleh pergi sekarang,” ucap Ayesha, secara tak langsung ingin mengusir Izhar yang sebenarnya memang akan pergi. “Ay, kamu jangan keterusan kayak gini, dong. Ke depannya, Arsy sama Juan bakal tumbuh besar, yang pastinya nanti mereka tahu kalau mereka itu kakak beradik. Jangan sampai Juan sama Arsy nant
“JUAN!” Ayesha memekik keras mendapati Juan yang sudah tergeletak di lantai dengan mulutnya yang terbuka lebar dan menjerit memanggil sang ibu. Ayesha berlari secepatnya untuk meraih Juan. Izhar sendiri segera menaruh Arsy di sofa dan menggendong Juan. Ayesha tanpa pikir panjang langsung merebut Juan dari Izhar. Tampak bagaimana tubuhnya gemetar, seolah merasakan sakit yang sama dengan yang dirasakan putranya. Perempuan itu tak bisa berkata-kata untuk beberapa saat. Tangannya memeluk erat Juan yang menangis sejadinya. Sementara Izhar tampak cukup panik sekarang menatapi Ayesha yang membeku, kaget karena putranya baru saja kenapa-napa. Sementara Arsy ikut menangis karena mendengar tangisan Juan, itu membuat Izhar segera menggendong Arsy juga. Karena itu, Nirmala juga bergegas keluar dari kamar mandi dan menatapi Ayesha dan Izhar. Ayesha tampak hampir menangis menatapi putranya yang menangis sangat kencang, sepertinya dia terbentur cukup keras saat jatuh.
Sore itu, Ayesha mengajak Juan bermain di halaman rumah dengan mobil mini pemberian teman-temannya itu. Juan yang sudah mulai bisa merangkak kini tampak bersemangat berada di mobil mini itu sambil menatapi Ayesha. Ayesha tersenyum sambil terkekeh pelan melihat antusiasnya. “Juan kakinya ke sini bisa, enggak? Injak!” ujar Ayesha sambil memintanya untuk menginjak gas yang ada di bawah sana, atau remnya, namun kelihatannya bayi itu belum bisa menanganinya. “Belum bisa? Ya udah, enggak apa-apa. Kita dorong-dorong aja, sama Bunda.” Ayesha kemudian mendorong mobil mini itu dengan sabar di halaman rumahnya. Selama dia bermain bersama Juan, pembantu rumah tangga yang dihadirkan Izhar tengah menyapu dan mengepel bagian teras. Ayesha sangat sibuk bersama Juan, dia mengorbankan semua waktunya untuk pria kecil yang menjadi temannya tidur dan bermain sehari-hari. “Bu Mala masih jalan-jalan keluar ya, Mbak?” tanya pembantu rumah tangga itu. “Oh, k
Ayesha tersenyum menatapi putranya yang semakin gembul. Tubuhnya jauh lebih berat dari pertama kali dia menginjakkan kakinya di dunia. Dan bahkan sekarang sudah mampu untuk duduk, walau kadang masih kehilangan keseimbangannya sendiri. Ayesha terkekeh begitu Juan kembali terbaring dan lantas tertawa riang. Suaranya yang manis melengking itu menyenangkan. “Aduh, Juan jatuh. Bunda tolongin Juan, Bunda!” Ayesha menirukan suara anak kecil dan kemudian membantu Juan bangkit, hingga Juan kembali duduk dan menatap Ayesha dengan bersemangat. Nirmala dan Ayesha masih tinggal bersama, di rumah Ayesha. Namun keduanya kadang berselisih. Kali ini bukan karena Izhar. Karena Ayesha sendiri tampaknya tak begitu berharap lagi pada Izhar. Namun Nirmala tetaplah wanita pencemburu, sementara Ayesha yang cuek bebek pada Izhar justru membuat Izhar harus memberikan perhatian lebih padanya dan membuat Nirmala cemburu. Ayesha keluar dari kamarnya sambil menggendong Juan dan mena
Ayesha bahkan tak bisa beraktivitas bebas sejak ada orang tuanya Nirmala di rumah. Dia jarang turun ke bawah dan bahkan melakukan segala aktivitas di atas. Dia menjemur Juan pun di atas. Izhar kadang kali tak membantunya merawat Juan, mungkin memang benar yang lebih diinginkan Izhar itu anaknya Nirmala ketimbang anaknya. “Juan udah mandi? Kapan mandinya?” Izhar menghampiri Ayesha di balkon rumah. “Udah dari tadi,” balas Ayesha, dia hendak memasukkan Juan lagi ke dalam karena sudah lima menit berjemur, tak perlu lama-lama. “Kenapa enggak nunggu Aa? Bisa sendiri, emang?” tanya Izhar sambil mengusap tangan Juan halus. “Orang udah selesai, berarti bisa. Mungkin habis ini juga Ay harus kerja sendiri, supaya mandiri,” sindir Ayesha, lantaran dia merasa tak cukup mendapatkan perhatian dari Izhar. Izhar menghela nafasnya berat. Ini dia, omong kosong yang akan membuat mereka bertengkar lagi. “Kamu bicara apa sih, Ay? Karena Aa engga