"Bocah itu benar-benar sudah kehilangan akal!" Bi Sum terus menggerutu sambil memeriksa memar di leher Sadia.Mulut Sadia terkatup rapat tak bicara sepatah kata pun. Ia masih terkejut dengan apa yang baru saja terjadi. Selama ini belum pernah ada orang yang menyakitinya begitu keras, bahkan bibinya sendiri tak pernah melakukan itu padanya. Ia tak menangis lagi, air matanya sudah benar-benar kering sekarang."Entah apa yang akan terjadi jika aku tak datang tepat waktu. Aku bahkan tak berani memikirkannya," ucap Bi Sum sembari menghela napas panjang.Sadia mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Ternyata ia sedang berada di kamar Bi Sum. Bi Sum dan Mala berbagai ruangan kecil ini sebagai kamar."Lihat ini, ada memar di lehernya. Bagaimana bisa dia melakukan itu pada istri sendiri!?" Bi Sum menggelengkan kepalanya lagi dan lagi.Sadia mencoba untuk bersikap tenang tetapi ketika tangan Bi Sum menekan lehernya, tiba-tiba terasa begitu sakit."Sakit, Bi Sum!" pekik Sadia tanpa sadar di sel
Tegang.Seketika mata Sadia terbelalak. Darahnya berdesir ketika baru saja menyadari bahwa yang baru saja menenangkannya dalam pelukan hangat itu bukanlah Malik. Ia baru sadar dengan siapa ia berhadapan kali ini. Tubuhnya menegang, menyadari ia baru saja mencari mati dengan pria itu.Kebingungan mulai melanda pikirannya, tak tahu harus bagaimana menghadapinya. Jantungnya berdegup cepat menolak untuk tenang. Lengan Husam perlahan meninggalkan sisi pinggang Sadia, membuatnya kaget sekaligus terpukul. Pria itu sama sekali tidak mendorong Sadia untuk menjauh untuk kesalahan yang baru saja ia lakukan.Sadia mulai merutuki dirinya sendiri. Entah apa yang ia pikirkan. Ia sudah menikah, namun masih memikirkan pria lain, itu sama saja seperti berselingkuh. Rasa bersalah mulai menggerayapi hatinya. Rasa itu semakin bertambah ketika ia beringsut menjauh dari Husam.Pria disampingnya itu sama sekali tak menoleh. Wajahnya pun datar tanpa ekspresi. Namun matanya terlihat masih bengkak dan sembab.
Malik tiba-tiba berbalik lalu menarik dan mendorong Sadia ke belakangnya, membuat tubuhnya gemetar ketakutan karena takut mimpinya menjadi kenyataan. Pistol di tangannya masih diarahkan ke Malik, Ken dan anak buahnya yang lain berdiri di belakangnya."Hu.. Husam, aku bisa menjelaskannya." Tergagap Sadia mencoba untuk bicara, namun kata-katanya terhenti begitu saja ketika Husam meletakkan jari telunjuknya di bibirnya."Ssst! jangan katakan sepatah kata pun. Aku tidak ingin mendengar suaramu. Itu hanya akan menambah penderitaanmu nanti." Husam menegaskan dengan penuh kebencian dan dendam."Jangan bicara seperti itu padanya. Aku tidak akan pikir-pikir dahulu sebelum membunuhmu." Malik menjawab dengan dendam dan kepahitan yang sama. Husam hanya terkekeh.Sadia menatap Malik dengan penuh harap, baru kali ini ia merasa ada seseorang yang membelanya di depan pria brengsek itu. Husam melirik Sadia yang pandangan matanya masih tertuju pada Malik, entah apa yang ia pikirkan kali ini"Jauhi dia,
Tamparan keras itu menyisakan sebercak memar di pipi Husam. Rahangnya mengeras dan matanya menggelap menatap gadis di depannya. Kebencian memenuhi dirinya.Sadia menatapnya dengan tatapan yang sama. Kedua orang itu sama-sama saling membenci. Namun Sadia merasakan sebuah kepuasan karena berhasil melakukan sesuatu yang sudah lama ia inginkan, menampar Husam."Ini adalah kesalahan!" celetuk Husam."Kaulah kesalahan itu!" balas Sadia dengan cepat. Husam membalasnya dengan kekehan mengejek."Kau tak tahu apa yang baru saja kau lakukan. Kau akan menyesalinya." Husam menyeringai seram. Ketakutan mulai menguasai diri Sadia, namun ia dengan pandai menyembunyikannya."Apa yang akan kau lakukan hah? Kau akan membunuhku? Aku tidak takut mati! Ayo tembak aku sekarang! Kau benar, aku tidak punya keluarga, tidak akan ada yang peduli aku hidup atau pun mati. Silahkan bunuh aku, aku tidak peduli!" Sadia mencengkeram lengan Husam dengan putus asa.Dengan cepat, Husam mengarahkan pistolnya ke dahi gadi
Beberapa hari sebelumnya...Husam duduk di sisi tempat tidurnya. Pikirannya kelayapan. Begitu banyak masalah yang terjadi akhir-akhir ini. Tangannya perlahan bergerak mencari kokain yang sebelumnya ia simpan rapat-rapat di tempat yang hanya ia sendiri yang tahu.Baru saja ia hendak membuka bungkusan kokain itu, ia melihat sosok seorang wanita mengintip dari pintu kamarnya yang setengah terbuka. Ia tahu betul siapa itu, wanita itu memang punya kebiasaan buruk suka mengintip dan mencampuri urusan orang lain, itu benar-benar membuatnya kesal. Ia merasa sudah saatnya memberinya pelajaran.Setelah ia selesai dengan sebungkus kokainnya, bergegas ia bangkit dari duduknya dan berjalan ke luar dengan penuh amarah. Ia turun ke lantai dua dan langsung menuju kamar Sadia.Terlihat gadis itu sedang terlelap, dengan rambut hitam panjangnya yang menjuntai indah dan sebagian menutupi wajahnya. Rambut yang biasanya selalu tertutup rapat, kini bisa ia lihat lekat-lekat.Perlahan Husam melangkah mendeka
Masih beberapa hari sebelumnya...Husam berada di markas persembunyiannya sejak pagi hari. Ia tidak ingin kembali ke rumah, setidaknya belum untuk saat ini."Apa yang dia katakan?" Husam bertanya sambil menandatangani surat-surat yang diletakkan Ken di hadapannya.Ia menandatanganinya dengan pena hitam yang dulu diberikan oleh Clara ketika mereka masih bersama. Dengan pena itu, kenangannya bersama Clara masih terasa hidup. Kenangan itu seringkali terlintas di kepalanya, namun ia bisa mengabaikannya."Dia bilang kalau dia tahu tentang kesepakatanmu dengan Daniel. Mereka juga tahu tentang Sadia sejak kau menikahinya, mereka berpikir bahwa dia mungkin adalah kelemahanmu."Husam mendengus geli mendengar seseorang berpikir bahwa gadis itu adalah kelemahannya. Mereka benar-benar bodoh, pikirnya. Namun jika mereka benar-benar mencelakai siapapun yang ada di rumahnya, ia pun tak akan segan-segan untuk membalas mencelakai keluarga mereka, bahkan jika memungkinkan ia bisa membalas dendam dengan
Sadia menatap langit-langit kamarnya. Setetes air mata terlihat jatuh dari pelupuk matanya. Ia meratapi hidupnya yang menyedihkan. Tak hanya itu, ia juga menyebabkan orang lain ikut merasakan akibatnya. Malik. Entah bagaimana keadaannya sekarang. "Kau harus segera bersiap. Para tamu akan segera datang." Pikiran Sadia perlahan kabur ketika ia melihat Mala datang sambil membawa pakaian yang terlipat rapi di tangannya."Aku tak ingin pergi." Sadia membalas dengan cepat, kata-katanya terdengar tajam tak lembut seperti biasanya. Sudah hampir satu Minggu setelah ia melihat Malik tertembak oleh Husam, dan hingga sekarang ia belum mendengar kabar apapun tentang pria itu.Satu-satunya yang ia tahu, setelah kejadian menyebalkan kali itu, Husam meninggalkan rumah dan keluar kota untuk mengurus bisnis. Begitu yang ia dengar dari Bi Sum. Setelah itu ia tak lagi melihat sosok Husam di rumah itu. Ia pun mulai berpikir bahwa kebohongannya berhasil mempengaruhinya, Husam percaya bahwa ia bukanlah ciu
Sepuluh menit berlalu, akhirnya Sadia memutuskan untuk keluar dari kamarnya. Dari pintu kamarnya samar-samar ia bisa mendengar dua orang sedang berbincang-bincang, suara itu terdengar familiar di telinganya. Ia menghentikan langkahnya lalu bersandar di daun pintu hingga ia bisa menguping pembicaraan mereka."Awasi dia, aku ingin kau menjaganya dengan nyawamu." Ucap Husam. Ken mengangguk mengerti.Sadia dapat mendengar dengan jelas, suara itu adalah milik Husam. Mendengar suara itu setelah sekian lama tak mendengarnya, membuat Sadia merasakan sesuatu. Jantungnya tiba-tiba berdegup kencang, ia sendiri tak tahu kenapa. Dalam benaknya Sadia bertanya-tanya, siapa yang Husam inginkan untuk dilindungi?"Kau juga harus hati-hati..." Suara laki-laki lain berbicara, namun Sadia tak dapat mengenali suara itu. Ia bertanya-tanya, apa yang mereka bicarakan?Sadia ingin mendengar lebih banyak, namun tiba-tiba kakinya terpelintir hingga membuat tubuhnya terdorong keluar. Ia mengaduh dalam hati sebelu