Zara dengan terburu-buru memarkir mobilnya di garasi dan segera memasuki rumah. Begitu pintu terbuka, ia melihat Nita yang sedang menggenggam nampan dengan handuk di atasnya. Lantas ia pun menghampirinya.
"Apa Tuan sudah pulang, Nita?" tanya Zara sambil menarik nafas. Nita mengangguk pelan, "Sudah, Nyonya. Saya kebetulan mau mengantarkan handuk ini ke kamar mandi untuk Tuan." Zara segera mengambil alih nampan tersebut dari tangan Nita, "Biarkan saya yang membawanya. Saya ingin memberi kejutan pada Tuan setelah semalaman saya tidak pulang."Nita tampak ragu, namun ia akhirnya mengalah dan mengangguk, "Baiklah, Nyonya. Silakan."
Zara tersenyum tipis dan segera melangkah menuju kamar mereka.
Mahesa melepas jam tangannya dan meletakkannya di meja sebelah tas kerjanya. Tanpa menoleh, ia mendengar pintu kamarnya terbuka pelan. Yakin bahwa itu Nita, yang mengantarkan handuk sesuai perintahnya, ia tidak memberikan respons.
Namun, ternyata yang membuka pintu adalah Zara, istrinya. Melihat sikap acuh tak acuh Mahesa, Zara mengerucutkan bibirnya sambil menaruh handuk yang ia bawa di atas tempat tidur. Dalam hati, ia bergumam betapa dinginnya suaminya itu. Meski begitu, Zara tahu bahwa Mahesa sangat mencintainya.
Dengan iseng, Zara menghampiri Mahesa dan memeluknya dari belakang. Barulah Mahesa menyadari bahwa itu bukan Nita, melainkan Zara. Ia mengenali gelang yang dikenakan istrinya tersebut.
"Sudah pulang, hm?" tanya Mahesa sambil berbalik badan untuk menatap Zara.
"Sudah, baru saja," jawab Zara seadanya."Sebelum pergi kamu gak bilang?" Mahesa mengaitkan helaian rambut di telinga Zara.
Zara menunduk sedih. "Maaf... Aku hanya tak mampu berada di sini sedangkan suamiku sendiri bermalam dengan wanita lain, makanya aku memutuskan untuk pergi dan mencari kesenangan agar aku tidak kepikiran, tapi nyatanya aku justru merindukanmu." Kemudian Zara memeluk Mahesa dengan hati yang bergumam, "Aku sama sekali tidak peduli soal itu! Aku pergi karena aku merindukan kekasihku."
Mahesa mengusap-usap punggung Zara. "Maaf..."
Zara menggelengkan kepala. "Ini bukan salahmu, bukankah ini kesepakatan kita bersama?" senyum Zara yang menatap wajah sang suami, yang merupakan anak dari orang yang sudah menghancurkan hidupnya.
"Baiklah kalau begitu, tapi aku harus mandi sekarang," ucap Mahesa yang tak nyaman dengan tubuhnya yang terasa berat dan lelah.
Zara mengangguk dan mempersilahkannya, dan saat itu juga Mahesa berjalan menuju kamar mandi. Hingga akhirnya Zara keluar kamar ketika ia mengingat satu nama, Raisa.
Ia memasuki kamar yang menjadi istri kedua suaminya itu dengan langkah pelan. Raisa tengah menatap jendela luar kamarnya, malam yang sangat gelap dan tanpa bintang menyertai suasana hati Raisa. Zara menghampiri Raisa.
Raisa menoleh dan bertanya, "Kamu kemana saja seharian ini, Zara? Aku baru melihatmu sekarang."
Mendengar pertanyaan itu, Zara menghembuskan nafas panjang dan menjawab, "Kemarin malam, aku pergi ke hotel untuk menginap di sana. Aku butuh waktu untuk sendiri."
Raisa merasa bersalah mendengar jawaban Zara. Ia menggenggam tangan Zara dengan erat dan berkata, "Maafkan aku, Zara. Aku tahu pasti berat untukmu menerimaku." Zara menggelengkan kepalanya, menatap Raisa dengan lembut. "Bukan begitu, Raisa." Raisa langsung memeluk Zara dengan erat, air mata mengalir di pipinya."Maaf jika keberadaanku membuatmu sakit hati, tapi tolong jangan tinggalkan aku, aku merasa tidak memiliki siapapun di sini."Zara menyunggingkan senyum dengan pikirannya yang berkata, "Dasar wanita bodoh! Aku justru bahagia atas keberadaanmu, tentu karena kamu adalah bagian dari rencanaku."
Raisa belum berhenti menangis. "Jika ada yang mengganjal di hatimu, jangan sungkan untuk memberitahu ku."
Zara mengangguk seraya melepaskan pelukannya, mengusap air mata Raisa. "Sudah jangan dibahas lagi, aku ingin bertanya, apa kamu betah tinggal di sini?"
Raisa dengan ragu menjawab, "Aku belum terbiasa dengan semuanya apalagi beberapa aktivitas hampir semua dikerjakan oleh maid dan aku tidak benar-benar merasa tak nyaman."
Zara menyentuh lengannya. "Kamu harus terbiasa karena bagaimana pun kamu adalah Nyonya disini, ya walaupun hanya istri kontrak suamiku."
Raisa mengangguk membenarkan. "Hem... tapi aku juga merasa bosan berada di sini seharian penuh."
"Di lantai ini tepatnya di sebelah kamar ini, ada sebuah perpustakaan yang bisa kamu kunjungi jika kamu merasa bosan."
Mata Raisa berbinar karena ia yang gemar membaca. "Benarkah?! Aku boleh mengunjunginya?"
Zara tersenyum. "Tentu saja, kamu bebas membaca apapun yang kamu suka, tapi hanya pada malam hari. Oke!?"
Raisa mengangguk dengan antusias. "Oke."
Bersamaan itu Laras masuk ke kamar Raisa dengan membawa nampan berisi makan malam untuknya.
Zara, yang sedari tadi berbicara dengan Raisa, lantas menoleh. "Selamat menikmati makan malammu, Raisa," ucap Zara dengan ramah. "Aku minta maaf karena tidak bisa menemanimu lama-lama. Mahesa pasti sudah menungguku di meja makan."
Raisa mengangguk paham, "Tidak apa, Zara. Terima kasih sudah singgah sebentar." Ia mencoba tersenyum agar tidak terlihat kecewa. Zara mengangguk dan perlahan berlalu dari kamar Raisa, pintu kamar tertutup rapat di belakangnya. Raisa menatap pintu itu, merasa kehampaan menyelimuti hatinya. Ia tak memiliki teman selain dirinya, dan Laras terlalu formal untuk diajak berbicara santai. Sementara itu, di meja makan, Mahesa memang sudah menunggu kedatangan Zara. Piring-piring berisi berbagai makanan sudah tersaji di atas sana, namun ia enggan memulai tanpa kehadiran Zara. Zara menghampiri dengan tersenyum tipis, "Maaf membuatmu menunggu, Sayang. Aku tadi sempat mampir ke kamar Raisa untuk melihat keadaannya." Mahesa hanya mengangguk kecil, dengan Zara yang menempatkan dirinya di sisi kanan Mahesa.Sementara itu Tuan Fariz tengah mendengarkan salah satu mata-matanya yang ia tugaskan untuk memantau rumah putranya, dan seperti biasanya semua aman terkendali.
Lalu mengapa kepergian Zara tak terpantau olehnya, itu karena Zara yang menggunakan mobil baru serta nomor plat palsu saat keluar dari sana, belum lagi ia memang sudah mengancam akan membunuh ayah dari mata-mata itu jika berani mengatakan yang sebenarnya karena kini dia berada dalam sandera Damian atas keinginannya.
Bersambung,
Raisa meremas baju yang sedang dilipatnya, matanya terpaku pada layar televisi yang mengeluarkan gambar bergerak berwarna pudar. Televisi lama itu menampilkan wajah Zara yang sedang mengenakan kacamata hitam besar, cahaya sorotan kamera membuat matanya yang sembab terlihat jelas meski tertutup kaca gelap. Suara wartawan bertubi-tubi menanyakan tentang kabar rumah tangganya, karena akhir-akhir ini berita jarang meliput kebersamaan mereka.Dengan suara parau Zara berkata, "Pernikahan ku sedang berada di ujung tanduk, dan itu disebabkan oleh orang ketiga."Raisa seketika menegang ketika mendengarnya. "Kenapa Zara mengatakan hal itu?""Jadi benar kalau Pak Mahesa berselingkuh? Apa Anda mengenali siapa wanita itu?" tanya seorang wartawan dengan nada yang menggali.Zara, dengan bibir bergetar dan suara yang serak, mencoba untuk menjawab namun hanya isak tangis yang pecah di udara. Pengawal pribadi Zara segera mengulurkan tangan, menuntunnya pergi dari kerumunan wartawan yang semakin menj
Mahesa berjalan mondar-mandir di ruang tamu, kecemasan terpancar jelas dari kedua matanya yang semakin merah. "Cek semua rekaman CCTV!" perintahnya pada kepala keamanan dengan suara yang berat dan tegas. Setelah beberapa saat yang tegang, hasilnya pun keluar: Raisa terlihat keluar melalui pintu belakang rumah yang menuju ke hutan kecil di belakang rumah semalam.Dengan langkah cepat dan penuh ketegasan, Mahesa mendekati Laras yang berdiri di sudut ruangan dengan wajah dinginnya. "Laras, kenapa ini bisa terjadi? Bukankah kamu yang bertugas untuk menjaga Raisa?" suaranya meninggi, penuh dengan kekecewaan dan amarah. Laras, yang ketakutan, hanya bisa menunduk lebih dalam, bibirnya gemetar ingin menjelaskan namun tak satu kata pun yang bisa keluar.Tanpa menunggu jawaban lebih lanjut, Mahesa berbalik dan menginstruksikan tim keamanannya, "Kita tidak punya waktu lagi, ikuti saya ke hutan, kita harus menemukan Raisa sebelum sesuatu terjadi padanya." Suara Mahesa yang resah menggema di an
Dengan berlinangan air mata, Raisa membuka hati pada Bu Mira yang duduk di depannya dan mulai menceritakan bagaimana semuanya dimulai. "Bu, Raisa gak tahu harus bagaimana lagi," ucap Raisa dengan suara bergetar. "Situasi kami sangat rumit, Bu. Dia mungkin tidak akan pernah bisa menerima anak ini." Bu Mira, yang mendengarkan dengan seksama, terlihat bingung namun penuh empati. Ia menghela napas dalam-dalam, mencoba mencari kata-kata yang tepat untuk menghibur. "Tapi Raisa, anak ini juga darah dagingnya. Bagaimana mungkin dia bisa berpaling begitu saja?"Raisa menggigit bibir bawahnya, menahan gejolak emosi. "Lebih baik Raisa pergi, Bu, daripada harus mendengar sendiri kata-kata pengusiran dari mulutnya, sedangkan dia saja masih bingung untuk mempertahankan bayi ini atau tidak, Raisa tidak sengaja mendengar percakapannya dengan kepala maid jadi Raisa memutuskan untuk pergi. Raisa akan terus merawat dan membesarkan bayi ini sendiri, dan dia harus tetap hidup," Suaranya semakin lemah, s
Hujan gerimis di luar membawa suasana yang dingin. Dalam kesunyian itu, suara ketukan pintu yang samar menjadi semakin jelas, memecah kesenyapan malam. Bu Mira, yang terbungkus selimut tebal, terbangun dari tidurnya di sofa ruang tamu. Dengan mata yang masih setengah terpejam, ia melirik jam dinding yang sudah menunjukkan pukul 2 dini hari. "Siapa yang ngetuk pintu ya?" gumamnya pelan.Namun rasa penasarannya mengalahkan kantuknya, ia pun beranjak dengan langkah gontai menuju pintu depan."Ia tunggu sebentar!" seru Bu Mira.Sesampainya di depan pintu, Bu Mira membuka kunci dengan tangan yang gemetar, tidak sabar ingin tahu siapa gerangan yang datang di tengah malam buta. Saat pintu terbuka, rona kegembiraan menyala di wajahnya saat ia melihat sosok putrinya, Raisa, berdiri di hadapannya. Raisa yang seluruh pakaiannya basah kuyup karena hujan, namun masih mampu tersenyum lembut kepada ibunya."Ibu..." lirih Raisa dengan mata yang berkaca-kaca."Raisa, putriku..." sahutnya yang henda
Di kamarRaisa menyesuaikan tudung jaketnya yang besar, memastikan wajahnya tersembunyi sempurna di balik bayang-bayang. Detik jam berdentang pelan di telinganya, menegaskan betapa larut malam itu sudah berlalu. Raisa sebisa mungkin melangkahkan kakinya pelan-pelan serta mengendap-endap agar tidak diketahui siapapun."Sepertinya aku harus ambil jalan belakang, tidak mungkin jika aku pergi lewat gerbang depan, itu terlalu jauh dan pastinya banyak sekali penjagaan di sana," pikir Raisa yang tiba-tiba memikirkan gerbang belakang, yang biasa ia lewatkan saat ia berjalan menuju rumah kaca.Langkahnya hati-hati, menghindari kerikil dan ranting yang mungkin mengkhianati keberadaannya dengan suara yang mungkin terdengar.Setiap bayangan yang bergerak membuat jantung Raisa berdegup kencang, namun ia tetap bergerak maju. Udara dingin menerpa wajahnya yang terselubung, memberi semangat baru dalam setiap tarikan nafas.Di kejauhan, beberapa penjaga dengan senter di tangan mereka tampak berjaga,
"Kenapa kamu hanya dia, Ras? Ada apa? Bagaimana kondisi diluar sekarang?" tanya Raisa yang membuat Laras tersadar akan lamunannya."Emm maaf Nona, saya belum bisa memastikan,” kata Laras dengan ragu.Raisa menghembuskan nafas panjang. "Baiklah kalau begitu."Bersamaan dengan itu Laras meletakkan piring buah dan susu disana."Daripada Nona Raisa memikirkan mereka, lebih baik Nona nikmati saja buah-buahan ini. Karena ini bagus untuk kehamilan Anda," tandas Laras yang tengah mengalihkan perhatiannya.Raisa menoleh sekilas tanpa nafsu. "Aku tidak tenang, Ras.""Yakin saja bahwa mereka akan baik-baik saja,” senyum Laras.Raisa mengangguk sambil menerima piring yang di sodorkan oleh Laras kepadanya."Semoga apa yang aku khawatirkan tidak benar-benar terjadi, jika Zara pergi lalu bagaimana dengan nasibku dan juga bayi ini? Apa Tuan Mahesa masih akan mempertahankannya?" pikir Raisa yang menyuapkan buah ke dalam mulutnya."Kalau begitu saya permisi Nona, karena di bawah masih ada pekerjaan yan