LOGINDi sudut kamar, Azka duduk sembari menikmati kepulan asap. Pikiran berkecamuk, tak terima dengan kenyataan bahwa dirinya kini terbebani oleh seorang istri. Sementara itu, Naura duduk di tepian ranjang dengan kepala tertunduk lesu.
Demi mengusir jenuh, Naura mengambil ponsel dari tas kecil yang dia bawa. Wajah sembabnya semakin kentara saat melihat 12 panggilan tak terjawab dan lebih dari 10 pesan masuk dari seseorang yang sangat dia kenal. [Sayang. Kamu di mana] [Aku nelpon kok gak diangkat] [Aku kangen] [Kamu baik-baik saja kan] [Besok kita jalan yuk!] Seketika nyeri mendera hati saat Naura membaca satu per satu pesan dari Firman. Untuk ke sekian kali air matanya jatuh membasahi pipi, bahkan kali ini tak mampu menahan isak tangis. Rasa bersalah mulai menghantui karena saat ini dirinya telah menjadi istri orang. Bagaimana ini? Apa yang harus kukatakan pada Mas Firman? gumam Naura dalam kepedihan. Beberapa kali Naura mencoba menulis pesan untuk kekasihnya, tapi selalu dihapus sebelum pesan itu dikirim. Dia terlalu takut untuk mengatakan yang sebenarnya karena pasti akan menyakiti perasaan Firman. Lebih dari dua tahun mereka menjalin asmara, bahkan Firman sudah berjanji akan melamar Naura bulan depan. Namun, kisah cinta mereka harus kandas sebelum sempat mengecap indahnya rumah tangga. “Hei! Berisik banget si!” protes Azka yang merasa terganggu oleh tangisan Naura. Naura mencoba menahan tangis agar Azka tak marah, tapi yang terjadi dia semakin tergugu. “Hei!” Azka menggeram karena istrinya masih saja menangis. Dia bangkit lalu mendekat dan merebut ponsel dari tangan Naura. Seketika nafasnya memburu saat membaca rentetan pesan dari Firman. “Dasar perempuan murahan. Baru saja kunikahi sudah berani sayang-sayangan dengan orang lain!” sentak Azka. Terperanjat, Naura langsung mendongak, menatap wajah lelaki yang berdiri di depannya. Tuduhan kejam Azka semakin melengkapi luka hatinya hari ini. Ingin rasanya membela diri, tapi keinginan itu langsung sirna ketika melihat kilat kemarahan dari sorot mata Azka. “Siapa Firman?” cecar Azka yang sedang mencoba melampiaskan kemarahan. “Dia kekasihku. Dua bulan lagi dia melamarku dan kami akan segera menikah, tapi sekarang semua sudah berantakan.” Naura memberanikan diri bercerita dengan harapan Azka mau melepaskannya. “Kamu baru saja menikah tapi masih berani bicara rencana pernikahan dengan orang lain? Perempuan macam apa kamu!” sentak Azka. Bukan cemburu. Azka hanya tersinggung karena Naura telah menginjak-injak harga dirinya sebagai seorang suami. Meski tanpa cinta, setiap lelaki pasti akan marah jika istrinya dekat dengan lelaki lain. “Kenapa marah? Bukannya kamu tak menginginkan pernikahan ini? Kamu hanya menginginkan tubuhku kan? Ambil saja apa yang kamu ingin, tapi setelah ini tolong lepaskan aku dan Bapakku!” Entah dari mana Naura mendapat keberanian bicara seperti itu, tapi yang jelas kalimatnya mampu membuat Azka termangu. “Kamu pikir mudah melawan keputusan Mama? Lagian, apa yang menarik dari dirimu hingga berani menawarkan diri?” Azka mencibir. Naura tersenyum getir. Tak masalah dianggap tak menarik, tapi kenapa dirinya tak dilepaskan saja agar bisa menikmati kehidupan sebebas dulu? Di saat mereka sedang beradu argumen, ponsel di tangan Azka mendadak bergetar. Seketika Azka tersenyum sinis saat melihat seseorang sedang melakukan panggilan. Tanpa pikir panjang dia langsung menggeser tombol hijau dan mengaktifkan pengeras suara. “Halo, Sayang! Kamu di mana?” Naura terperanjat karena mengenali suara di seberang telepon. Gadis itu mencoba merebut ponselnya, tapi Azka malah menjauhkan dari jangkauannya. “Jangan telepon-telepon lagi. Naura sudah menjadi istriku!” teriak Azka di depan ponsel. Khawatir Azka semakin menggila, Naura kembali berusaha merebut ponsel itu, tapi Azka dengan sigap menghindar. “Kamu siapa? Di mana Naura?” teriak Firman saat mendengar suara gaduh. Azka tersenyum sinis seraya menghidupkan panggilan video. Tanpa pikir panjang dia langsung mendekap Naura hingga wajah mereka menempel. “Lihat kan? Kami akan bercinta. Sebaiknya kamu tak mengganggu,” ucap Azka seraya mengarahkan kamera ke wajah mereka. Sontak Naura berontak sambil berusaha menghindar, tapi lelaki di seberang telepon sudah kadung melihat. “Lepaskan! Kembalikan ponselku!” Naura kembali meronta sambil mencoba menggapai ponselnya. Kali ini Azka membiarkan Naura mendapat ponselnya, tapi lebih dulu mematikan panggilan. Dia tersenyum senang karena berhasil merusak kebahagiaan Naura. “Kenapa kamu begitu kejam.” Naura merintih dengan air mata berderai. Dia sadar hubungannya dengan Firman pasti akan berakhir, tapi setidaknya tidak dengan cara seperti itu. Firman pasti sangat kecewa karena menganggap Naura berkhianat. “Kejam? Jika aku kejam sudah kutampar kamu berkali-kali!” sahut Azka seraya kembali ke sofa yang ada di sudut ruangan. Naura menggeleng pelan sembari menikmati setiap detik kehancuran dari mimpi-mimpinya. Semua terkesan tak adil, tapi inilah takdir. Sekuat apa pun dia melawan, pemenangnya tetaplah kenyataan. *** Malam tiba. Setelah keributan tadi, mereka masih berada di ruangan yang sama, tapi sama sekali tak ada obrolan tercipta. Baik Azka atau pun Naura sama-sama larut dalam pikiran masing-masing. “Mas Azka! Mama manggil buat makan malam. Sama Mbak Naura sekalian.” Lamunan mereka buyar tatkala Alex berteriak dari luar kamar. Widya sengaja meminta Alex yang memanggil karena ingin bicara dengan anak dan menantunya. “Aku masih kenyang. Makan saja dulu,” sahut Azka tanpa beranjak dari tempat duduk. “Ya sudah. Tapi Mama mau bicara sama Mbak Naura. Biarkan istrimu turun.” “Dia juga masih kenyang,” Azka kembali menyahut. “Mama ingin bicara sama Mbak Naura. Bercintanya nanti lagi kan bisa!” teriak Alex. Mendengar ucapan itu, seketika wajah Naura memerah. Bukan hanya malu, tapi merasa semua orang menganggapnya rendah, padahal sudah dijelaskan mereka belum pernah melakukan apa pun. “Lima menit lagi kami turun!” sahut Azka jengkel. “Baiklah!” Setelah terdengar derap langkah kaki menjauh, Azka bangkit lalu mendekati Naura yang masih duduk menekuk lutut di pinggiran ranjang. “Ikut aku turun, tapi jangan bicara macam-macam. Kamu diam saja nanti!” perintah Azka. “Aku di sini saja!” “Kamu enggak dengar tadi Alex bilang apa?” Azka kembali emosi. “cepat hapus air matamu dan kita turun!” Menghela nafas yang tersengal, Naura menyeka sudut mata kemudian bangkit dan menyusul Azka yang sudah menunggunya di depan pintu. Mereka berjalan beriringan menuruni anak tangga lalu berhenti setelah tiba di ruang makan. “Ayo sini! Kita makan bareng sekalian merayakan pernikahan kalian,” ucap Widya ramah seraya menatap anak dan menantunya bergantian. Naura mengangguk sembari memaksakan senyum menyambut keramahan Widya, sedangkan Azka hanya tersenyum datar. Mereka langsung mengambil tempat duduk berjejer, berseberangan dengan Alex dan Widya. “Ambilkan nasi buat suamimu, Naura!” perintah Widya, masih dengan senyum khasnya yang ramah. Menoleh pada Azka, Naura menelan ludah saat melihat wajah masam suaminya. Namun, dia memilih menuruti permintaan mertuanya. Dia mengambil nasi dan lauk untuk Azka, baru setelah itu mengambil untuknya sendiri. Suasana makan malam itu berlangsung hening. Naura memaksakan menyuap nasi meski perutnya sama sekali tak merasa lapar. “Oh iya, Naura. Kamu sudah berapa lama kenal Azka?” tanya Widya di sela makan. “Kami belum saling kenal,” sahut Naura apa adanya. Kedua alis Widya tertarik ke atas mendengar jawaban sang menantu. “Lah terus kapan kalian pertama kali bertemu?” Naura melirik sekilas lelaki di sebelahnya. Terbesit rasa takut saat ingin berbicara jujur, tapi akhirnya dia memutuskan untuk memberitahu yang sebenarnya demi memperbaiki harga diri yang terkoyak. “Kami pertama bertemu saat tadi siang Pak Azka datang ke rumah. Bapakku bekerja di perusahaannya, tapi sekarang sudah berhenti,” jawab Naura. Widya semakin pusing dengan pengakuan Naura. Dia juga teringat dengan kemarahan Rendy saat melihat Azka. Itu semua terlihat janggal jika memang benar Rendy adalah karyawan di perusahaan yang Azka pimpin. “Kok Mama jadi bingung. Coba kamu ceritakan yang jelas, Na!” Mendadak Azka tersedak. Buru-buru menyambar gelas di depannya lalu menenggak isinya hingga tandas. Dia benar-benar takut jika Naura bicara yang sebenarnya. Naura menoleh, tapi tak peduli dengan Azka yang tersedak. Dia tengah berpikir untuk mengatakan bahwa Azka memaksanya tidur bersama dan jika menolak maka Rendy akan dipenjara. “Sebenarnya ... Pak Azka ....” “Kalau lagi makan jangan banyak bicara. Aku jadi tersedak kan!” Belum sempat Naura berkata jujur, Azka sudah lebih dulu memotong. Lelaki itu benar-benar panik jika sampai Widya tahu bahwa dirinya sudah memaksa Naura untuk tidur bersama demi kompensasi agar Bapaknya tak dipenjara. “Aneh. Yang bicara siapa, yang tersedak siapa,” gerutu Alex yang sejak tadi hanya menyimak. “Iya. Kok kamu bisa tersedak pas Naura mau bicara? Ada apa memangnya?” cecar Widya yang merasakan keanehan sikap Azka. “Kok malah kalian jadi mojokin aku sih!” dengkus Azka. “Mending tidur kalau begini.” Sebelum sempat ada yang menyahut, Azka telah berdiri lalu meraih tangan Naura. Setengah memaksa dia meminta Naura mengakhiri makan malam meski nasi di piring masih banyak. Naura hendak memprotes, tapi saat melihat Azka mendelik, tak ada yang bisa dilakukan selain menuruti keinginan suaminya. Widya sempat memprotes, tapi Azka pura-pura tuli. Dia tetap mengajak istrinya untuk kembali ke kamar saking takutnya Naura bicara banyak hal. “Jangan pernah beritahu Mama bagaimana semua ini bisa terjadi!” seru Azka setelah mereka sampai di kamar. “Memangnya kenapa kalau aku berterus terang?” “Oh ... kamu mau melawan?” Azka tersenyum sinis. “Kamu lupa jika aku bisa memenjarakan Bapakmu kapan saja.” Seketika Naura menelan ludah. Gelisah kembali menggelayuti pikiran jika sampai Azka benar-benar memenjarakan Bapaknya. “Tolong jangan penjarakan Bapak,” rintih Naura, memelas. “Makanya jangan berani melawanku!” “Ba-baik.” Azka tersenyum penuh kemenangan. Setelah itu dia langsung menghempaskan tubuh ke atas ranjang, membiarkan istrinya yang masih berdiri dalam ketakutan.“Ma,” ucap Naura seraya mengetuk pintu kamar mertuanya. Setelah berbalas pesan dengan Firman, Naura memutuskan untuk bertemu mantan kekasihnya itu. Sama sekali tak berniat untuk mendua, hanya saja saat ini ingin suaminya merasakan cemburu seperti apa yang dirasakannya. Tak berselang lama, pintu kamar terbuka. Widya menemui menantunya yang berdiri di depan pintu. Kening perempuan paruh baya itu berkerut saat melihat penampilan Naura. “Ma, aku keluar dulu ya. Nanti kalau Mas Azka pulang, tolong bilang aku sudah meninggalkan pesan di meja kamar,” pamit Naura. “Kamu mau ke mana, Na? Kamu pasti kembali kan?” tanya Widya penuh kekhawatiran. “Iya, Ma! Aku pasti kembali kok. Lagian, aku pergi juga minta antar pak Samsul.” “Syukurlah ... Mama pikir kamu mau minggat karena masalah semalam.” Widya mengusap dada karena merasa lega. “Masalah apa, Ma? Kok aku malah jadi bingung?” Naura masih bersikukuh menyembunyikan senua dari mertuanya. Widya tersenyum lalu mengusap pundak menantunya. “
“Iya, Mas! Kejar cintamu. Mbak Naura terlalu baik untuk terus kamu sakiti. Dia sudah rela meninggalkan tunangannya demi menjadi istri yang baik, tapi kamu masih saja menemui perempuan lain! Memalukan!” imbuh Alex. “Tidak. Aku tak mungkin meninggalkan Naura,” tegas Azka. “Terserah kamu saja, Mas, tapi jika aku berada di posisi Naura, aku akan meninggalkanmu!” cibir Alex. “Ayo, Ma! Mama istirahat saja. Enggak usah pedulikan Mas Azka. Biar dia mengejar cintanya walaupun perempuan itu anak dari orang yang menghancurkan keluarga kita!” Alex bangkit lalu membantu Mamanya berdiri dan memapah ke kamar. Dia tahu persis seperti apa kecewanya sang Mama dengan sikap Azka yang masih saja menemui Gea walaupun sudah dijelaskan dengan gamblang. Azka menjambak rambut kasar. Dia merasa semua orang tak ada yang mengerti perasaannya. Pertemuan dengan Gea hanya sebuah perpisahan, tapi malah menjadi petaka yang mengguncang rumah tangganya. *** Naura belum juga keluar kamar meski waktu telah beranjak
Setelah pertengkaran semalam, Azka merasakan perbedaan sikap yang mencolok pada istrinya. Sejak bangun Naura hanya menyandarkan punggung pada headboard sembari memeluk lutut, bahkan tak menyiapkan pakaian untuknya. Azka tak marah karena menyadari semua ini berawal dari kesalahan sendiri. Justru mencoba bersikap lembut demi mendapat kembali senyum Naura. “Na ... sarapan yuk! Aku mau ke kantor,” ajak Azka yang sudah mengenakan setelan rapi.“Aku sudah kenyang,” sahut Naura tanpa menoleh. Azka mendekat lalu duduk di tepian ranjang. Sebisa mungkin tetap sabar meski diabaikan. “Kamu masih marah, Na? Ka aku sudah mengakui kesalahan. Aku juga sudah minta maaf. Apa kamu belum memaafkanmu?” Naura beringsut menjauh dan kembali memeluk lutut. “Aku sedang tak ingin berdebat, Mas!” Mendengar jawaban itu, Azka membuang nafas perlahan. Paginya tak lagi indah seperti biasa. Tak ada senyum Naura yang selalu menyambut saat mata terbuka, bahkan tak ada obrolan hangat sama sekali. “Oke. Aku turun
“Di kantor aku selalu kepikiran kamu, Na! Makanya aku langsung pulang meski pekerjaan masih banyak.” Azka beringsut mendekat lalu meraih tubuh Naura dan membawanya dalam pelukan. Naura tak berontak, tapi tak balas memeluk seperti biasanya. Hatinya hancur karena lelaki yang dibanggakan, kini mulai membohongi dirinya. Sesaat kemudian Naura bereaksi dengan melepas pelukan Azka lalu mengambil ponsel yang sejak tadi tergeletak di sebelahnya. Dia langsung mencari foto yang tadi dikirim oleh Firman kemudian memberikan ponsel pada Azka. “Jelaskan ini, Mas!” ucap Naura dengan suara parau. Azka langsung kaget saat mata menatap ke layar ponsel. Jantungnya berpacu cepat melebihi batas normal. “Ini ... dari mana kamu dapatkan foto ini?” cecar Azka dengan suara gemetar. “Itu enggak penting, Mas! Katakan saja yang sebenarnya padaku. Kamu baru saja ketemu dengan mantan kekasihmu kan? Dia Gea kan?” Mata Naura mengembun. Sejak tadi sudah mempersiapkan mental untuk bicara hal ini, tapi nyatanya t
Tangan Naura gemetar hebat saat mata menatap ke layar ponsel yang memperlihatkan sebuah foto di mana suaminya sedang menggenggam erat tangan perempuan lain. Darah berdesir kencang seiring hati yang remuk dihantam palu godam. Mendadak persendian lutut melemas hingga tak mampu menahan berat tubuh. Naura ambruk seiring air mata yang luruh membanjiri wajah. Kenapa kamu mengkhianatiku, Mas!Naura meletakkan ponsel di lantai, kemudian duduk memeluk lutut. Sama sekali tak menyangka jika Azka yang pamit lembur justru sedang berduaan dengan perempuan lain. Setelah puas menumpahkan tangis, Naura menyeka sudut mata kemudian menyambar ponsel. Jemari lentiknya lincah menari di atas layar lalu segera menghubungi orang yang mengirim foto tersebut. “Dari mana kamu dapat foto itu?” cecar Naura setelah panggilan terhubung. “Itu enggak penting, Na! Yang jelas, aku hanya mengabarkan jika Azka bukan lelaki baik,” sahut Firman dari seberang telepon. “Bagaimana kamu bisa menarik kesimpulan itu? Mereka
Empat hari lamanya Azka dan Naura menjalani perawatan di rumah sakit. Selama itu, keluarga bergantian menunggui. Kadang Alex sama Rendy, kadang Lina sama Widya. Kedekatan semakin terjalin menjadi berkah dari kecelakaan itu. Setelah mendapat izin dari dokter, hari ini mereka akan pulang. Azka sudah bisa berjalan sendiri meski masih tertatih, sedangkan Naura sudah sembuh secara fisik. Hanya membutuhkan support agar kepercayaan dirinya pulih dan tak terus merasa bersalah atas keguguran itu. “Bu ... mampir ke rumah yuk. Kita bisa ngobrol-ngobrol lagi,” ajak Widya pada besannya. “Lain kali saja, Bu! Di rumah banyak yang harus dikerjakan. Kami harus segera pulang,” tolak Lina. “Iya. Besok-besok kami pasti mampir ke rumah. Sekarang kami harus pulang,” imbuh Rendy. “Oh ... ya sudah. Kalau begitu biar Alex antar kalian,” tawar Widya. “Apa enggak merepotkan,” ujar Rendy seraya menoleh pada Alex. “Tentu saja enggak. Kita kan sudah menjadi keluarga, Pak! Jadi tak ada kata merepotkan,” sahu







