MasukMeski seorang badboy, Azka tetap rajin berangkat ke kantor setiap pagi. Perusahaan yang dia pimpin menjadi salah satu tempat favoritnya untuk melepas kejenuhan hati.
“Jangan banyak bicara pada Mama jika tak ingin Bapakmu masuk penjara. Ingat itu!” Sebelum tadi berangkat, Azka menyempatkan diri untuk mengancam Naura. Sungguh dia takut jika Naura mengatakan hal sebenarnya. Bukan mustahil jika Widya akan mencabut kuasanya atas perusahaan yang dia pimpin. Saat tiba di kantor, Azka dibuat kaget oleh karangan bunga yang membanjiri halaman kantor. Semua bertuliskan doa dan ucapan selamat atas pernikahannya dengan Naura. Ini pasti kelakuan Alex! Azka menggumam dengan tangan terkepal. Pernikahan itu berlangsung mendadak dan hanya diketahui oleh keluarga mereka saja. Azka meyakini adiknya yang menjadi dalang atas menyebarnya berita itu. “Selamat menempuh hidup baru, Pak Azka!” Bukan hanya karangan bunga saja, tapi hampir semua karyawan yang berpapasan mengucapkan selamat. Tentu saja Azka semakin jengkel karena tak lagi bisa menyembunyikan pernikahan itu. Tak menanggapi ucapan para karyawan, Azka langsung masuk ke ruangannya. Dihempaskan tubuh di atas kursi lalu menyandar sembari memijit pelipis yang berdenyut nyeri. Beberapa saat kemudian, dia menghubungi sahabatnya yang memang bekerja di perusahaan itu untuk datang ke ruangannya. Namanya Galih. Mereka susah bersahabat sejak lama dan bisa dibilang Galih adalah orang kepercayaan Azka dalam mengurus perusahaan. Azka memutar posisi duduknya saat mendengar derit pintu terbuka. Seorang lelaki berpakaian formal masuk dan langsung duduk di kursi kosong berseberangan dengannya. “Selamat .... selamat ...! Akhirnya kamu bisa melupakan Gea!” ucap Galih seraya tersenyum. “Jangan ikut-ikutan! Ini musibah!” protes Azka yang tak suka mendengar ucapan itu. “Musibah?” Galih mengernyit. “Musibah bagaimana?” “Jangan banyak tanya. Aku lagi pusing! Sekarang kamu cari tahu siapa yang menyebarkan berita ini!” “Gak usah dicari. Kemarin adikmu yang mengabarkan padaku. Ya udah aku berinisiatif menyebarkan ke semua elemen perusahaan,” sahut Galih. “Jadi kamu yang menyebarkan berita ini! Argghhhh!” Azka menggeram, tapi sama sekali tak membuat Galih takut, malah tertawa sebentar. “Memangnya kenapa sih kamu kok ya nikah pakai diam-diam segala? Kamu digerebek apa gimana?” cecar Galih kemudian. “Jangan tanya hal itu. Tanyakan lainnya saja!” pungkas Azka. Galih mengangguk. Meski merasa aneh dengan pernikahan sahabatnya yang mendadak, dia memilih untuk tak terlalu ikut campur masalah pribadi Azka. “Oh iya, Az! Aku mau bicara soal pak Rendy,” ucap Galih beberapa saat kemudian. Azka mengernyit. “Rendy? Ada apa dengan lelaki itu?” “Begini, Az! Dia itu salah satu karyawan senior di perusahaan ini. Dedikasinya tinggi, bahkan terkenal sangat jujur di kalangan karyawan. Aku rasa dia enggak mungkin menggelapkan uang perusahaan.” Azka tersenyum sinis lalu tertawa. “Kamu kok jadi bodoh begitu. Bisa-bisanya tertipu oleh tingkah Rendy yang sok lugu. Bukti sudah jelas kalau memang dia yang menilap uang itu.” “Tapi, Az, Pak Rendy itu karyawan senior. Dia susah lama terlibat urusan keuangan perusahaan. Aneh sekali kalau baru sekarang dia menilap,” ucap Galih mengungkapkan kejanggalan dari kasus Rendy. “Jadi kamu mau anggap siapa yang menggelapkan uang perusahaan?” cecar Azka. “Aku curiga sama ....” Galih menggantung kalimat karena mendengar bunyi derit pintu yang terbuka. Dia menoleh. Wajahnya langsung masam saat melihat seorang perempuan dengan make up tebal mendekat ke arah mereka. “Kalau begitu, saya permisi dulu, Pak Azka,” ucap Galih kemudian bangkit dan meninggalkan ruangan. Azka mengangguk dan memaklumi sikap Galih. Sahabatnya itu memang tak menyukai Friska, perempuan yang menjadi sekretarisnya sejak beberapa bulan lalu. “Benar Pak Azka sudah menikah?” tanya Friska sembari menarik kursi lalu duduk di atasnya. Tak menyahut, Azka mengendikan bahu. Dirinya enggan jika harus bicara soal pernikahan itu, apalagi perempuan yang menjadi istrinya belum jelas asal usulnya. “Siapa Naura? Apa dia lebih hebat dari aku?” cecar Friska yang memang tak menyukai kabar pernikahan itu. “Entahlah ... tapi seingatku kamu yang paling jago membuatku senang,” sahut Azka datar. Friska tersenyum bangga. Detik berikutnya perempuan itu bangkit lalu memutari meja dan berhenti di dekat Azka. Dia langsung duduk di tanganan kursi sembari bergelayut manja di pundak atasannya. “Kalau begitu, mari kita kembali bersenang-senang. Mau di sini atau kita cari tempat lain?” Friska berkata dengan suara genit. “Lain kali saja! Aku lagi males, ” tolak Azka seraya mendorong Friska menjauh. Lelaki itu benar-benar kehilangan hasrat bercinta saking banyaknya beban pikiran. Meski Friska sudah menggoda, sama sekali dia tak tertarik. “Aku akan membuatmu bersemangat.” Tak mau menyerah, Friska kembari menggelayut di pundak Azka, bahkan kali ini semakin berani. Namun, hal itu justru membuat Azka menjadi murka. “Kamu dengar enggak aku ngomong apa!” bentak Azka seraya berdiri. Lelaki itu menatap tajam pada Friska yang sudah membuat suasana hatinya semakin tak menentu. Sontak saja Friska menjadi panik. Ini kali pertama Azka menolak ajakannya. “Maaf! Aku hanya ingin menyenangkanmu,” ucap Friska dengan mata berkaca-kaca. Menarik nafas dalam-dalam, Azka menyugar rambut kasar. Suasana hatinya menjadi tak bagus sejak Naura datang dalam kehidupannya. “Keluarlah! Aku ingin sendiri!” perintah Azka dengan suara pelan. “Baik,” sahut Friska. Tanpa banyak bicara, Friska beranjak meninggalkan ruang kerja atasannya. Hati menjadi dongkol karena niat menggoda Azka tak berjalan mulus. Ah ... ini pasti gara-gara Naura. Aku harus mencari tahu siapa sebenarnya perempuan itu. Berani sekali dia merebut Azka dariku. Apa pun yang terjadi, Azka harus menjadi milikku! Friska menggumam dengan tangan terkepal erat. Bibit dendam mulai tumbuh karena ada yang berani mengganggu rencananya untuk menjadi istri Azka.“Ma,” ucap Naura seraya mengetuk pintu kamar mertuanya. Setelah berbalas pesan dengan Firman, Naura memutuskan untuk bertemu mantan kekasihnya itu. Sama sekali tak berniat untuk mendua, hanya saja saat ini ingin suaminya merasakan cemburu seperti apa yang dirasakannya. Tak berselang lama, pintu kamar terbuka. Widya menemui menantunya yang berdiri di depan pintu. Kening perempuan paruh baya itu berkerut saat melihat penampilan Naura. “Ma, aku keluar dulu ya. Nanti kalau Mas Azka pulang, tolong bilang aku sudah meninggalkan pesan di meja kamar,” pamit Naura. “Kamu mau ke mana, Na? Kamu pasti kembali kan?” tanya Widya penuh kekhawatiran. “Iya, Ma! Aku pasti kembali kok. Lagian, aku pergi juga minta antar pak Samsul.” “Syukurlah ... Mama pikir kamu mau minggat karena masalah semalam.” Widya mengusap dada karena merasa lega. “Masalah apa, Ma? Kok aku malah jadi bingung?” Naura masih bersikukuh menyembunyikan senua dari mertuanya. Widya tersenyum lalu mengusap pundak menantunya. “
“Iya, Mas! Kejar cintamu. Mbak Naura terlalu baik untuk terus kamu sakiti. Dia sudah rela meninggalkan tunangannya demi menjadi istri yang baik, tapi kamu masih saja menemui perempuan lain! Memalukan!” imbuh Alex. “Tidak. Aku tak mungkin meninggalkan Naura,” tegas Azka. “Terserah kamu saja, Mas, tapi jika aku berada di posisi Naura, aku akan meninggalkanmu!” cibir Alex. “Ayo, Ma! Mama istirahat saja. Enggak usah pedulikan Mas Azka. Biar dia mengejar cintanya walaupun perempuan itu anak dari orang yang menghancurkan keluarga kita!” Alex bangkit lalu membantu Mamanya berdiri dan memapah ke kamar. Dia tahu persis seperti apa kecewanya sang Mama dengan sikap Azka yang masih saja menemui Gea walaupun sudah dijelaskan dengan gamblang. Azka menjambak rambut kasar. Dia merasa semua orang tak ada yang mengerti perasaannya. Pertemuan dengan Gea hanya sebuah perpisahan, tapi malah menjadi petaka yang mengguncang rumah tangganya. *** Naura belum juga keluar kamar meski waktu telah beranjak
Setelah pertengkaran semalam, Azka merasakan perbedaan sikap yang mencolok pada istrinya. Sejak bangun Naura hanya menyandarkan punggung pada headboard sembari memeluk lutut, bahkan tak menyiapkan pakaian untuknya. Azka tak marah karena menyadari semua ini berawal dari kesalahan sendiri. Justru mencoba bersikap lembut demi mendapat kembali senyum Naura. “Na ... sarapan yuk! Aku mau ke kantor,” ajak Azka yang sudah mengenakan setelan rapi.“Aku sudah kenyang,” sahut Naura tanpa menoleh. Azka mendekat lalu duduk di tepian ranjang. Sebisa mungkin tetap sabar meski diabaikan. “Kamu masih marah, Na? Ka aku sudah mengakui kesalahan. Aku juga sudah minta maaf. Apa kamu belum memaafkanmu?” Naura beringsut menjauh dan kembali memeluk lutut. “Aku sedang tak ingin berdebat, Mas!” Mendengar jawaban itu, Azka membuang nafas perlahan. Paginya tak lagi indah seperti biasa. Tak ada senyum Naura yang selalu menyambut saat mata terbuka, bahkan tak ada obrolan hangat sama sekali. “Oke. Aku turun
“Di kantor aku selalu kepikiran kamu, Na! Makanya aku langsung pulang meski pekerjaan masih banyak.” Azka beringsut mendekat lalu meraih tubuh Naura dan membawanya dalam pelukan. Naura tak berontak, tapi tak balas memeluk seperti biasanya. Hatinya hancur karena lelaki yang dibanggakan, kini mulai membohongi dirinya. Sesaat kemudian Naura bereaksi dengan melepas pelukan Azka lalu mengambil ponsel yang sejak tadi tergeletak di sebelahnya. Dia langsung mencari foto yang tadi dikirim oleh Firman kemudian memberikan ponsel pada Azka. “Jelaskan ini, Mas!” ucap Naura dengan suara parau. Azka langsung kaget saat mata menatap ke layar ponsel. Jantungnya berpacu cepat melebihi batas normal. “Ini ... dari mana kamu dapatkan foto ini?” cecar Azka dengan suara gemetar. “Itu enggak penting, Mas! Katakan saja yang sebenarnya padaku. Kamu baru saja ketemu dengan mantan kekasihmu kan? Dia Gea kan?” Mata Naura mengembun. Sejak tadi sudah mempersiapkan mental untuk bicara hal ini, tapi nyatanya t
Tangan Naura gemetar hebat saat mata menatap ke layar ponsel yang memperlihatkan sebuah foto di mana suaminya sedang menggenggam erat tangan perempuan lain. Darah berdesir kencang seiring hati yang remuk dihantam palu godam. Mendadak persendian lutut melemas hingga tak mampu menahan berat tubuh. Naura ambruk seiring air mata yang luruh membanjiri wajah. Kenapa kamu mengkhianatiku, Mas!Naura meletakkan ponsel di lantai, kemudian duduk memeluk lutut. Sama sekali tak menyangka jika Azka yang pamit lembur justru sedang berduaan dengan perempuan lain. Setelah puas menumpahkan tangis, Naura menyeka sudut mata kemudian menyambar ponsel. Jemari lentiknya lincah menari di atas layar lalu segera menghubungi orang yang mengirim foto tersebut. “Dari mana kamu dapat foto itu?” cecar Naura setelah panggilan terhubung. “Itu enggak penting, Na! Yang jelas, aku hanya mengabarkan jika Azka bukan lelaki baik,” sahut Firman dari seberang telepon. “Bagaimana kamu bisa menarik kesimpulan itu? Mereka
Empat hari lamanya Azka dan Naura menjalani perawatan di rumah sakit. Selama itu, keluarga bergantian menunggui. Kadang Alex sama Rendy, kadang Lina sama Widya. Kedekatan semakin terjalin menjadi berkah dari kecelakaan itu. Setelah mendapat izin dari dokter, hari ini mereka akan pulang. Azka sudah bisa berjalan sendiri meski masih tertatih, sedangkan Naura sudah sembuh secara fisik. Hanya membutuhkan support agar kepercayaan dirinya pulih dan tak terus merasa bersalah atas keguguran itu. “Bu ... mampir ke rumah yuk. Kita bisa ngobrol-ngobrol lagi,” ajak Widya pada besannya. “Lain kali saja, Bu! Di rumah banyak yang harus dikerjakan. Kami harus segera pulang,” tolak Lina. “Iya. Besok-besok kami pasti mampir ke rumah. Sekarang kami harus pulang,” imbuh Rendy. “Oh ... ya sudah. Kalau begitu biar Alex antar kalian,” tawar Widya. “Apa enggak merepotkan,” ujar Rendy seraya menoleh pada Alex. “Tentu saja enggak. Kita kan sudah menjadi keluarga, Pak! Jadi tak ada kata merepotkan,” sahu







