Share

part 9

Author: El Furinji
last update Last Updated: 2025-09-27 16:58:41

Friska meradang saat tahu Azka tak jadi datang. Sejak beberapa hari lalu, Niatnya untuk bersenang-senang dengan Azka selalu gagal. Dia mulai khawatir kran uangnya akan berhenti mengalir jika sampai Azka benar-benar menjauh.

“Ini pasti gara-gara perempuan bernama Naura itu! Siapa dia sebenarnya sampai Azka mau menikah dengannya!” Friska kembali menggeram dengan tangan terkepal erat. Saat menelepon tadi, dia juga mendengar suara perempuan berdehem. Dia meyakini itu Naura.

Aku harus secepatnya mencari tahu siapa perempuan itu! Friska menggumam perlahan.

Tak mau membuang waktu, perempuan yang sudah terbiasa dengan kehidupan bebas itu langsung mengganti pakaian dengan yang lebih sopan. Langkah terayun cepat meninggalkan penginapan tempat dia biasa bertemu dengan Azka, pergi ke tempat seseorang yang akan dimintai bantuan.

Tak sampai setengah jam mobil yang Friska kendarai berhenti di depan sebuah rumah kontrakkan. Gadis yang mengenakan kaos ketat itu langsung turun lalu mengeluarkan ponsel dari sling bag dan menghubungi temannya.

“Dion, kamu di rumah kan?” tanya Friska setelah panggilan terhubung.

“Iya. Ada apa, Fris? Tumben kamu telpon,” sahut suara dari seberang.

“Bukain pintu gih. Aku di depan.”

“Bentar.”

Friska langsung mematikan panggilan kemudian berjalan ke arah rumah. Tak lama kemudian pintu terbuka, menampakkan seorang lelaki yang hanya mengenakan celana pendek dan kaos oblong.

“Masuk yuk!” ajak Dion.

Tanpa diminta ke dua kali, Friska langsung mengekori langkah Dion. Mereka duduk di lantai karena tak ada kursi di ruangan itu.

“Aku yakin ada sesuatu yang penting sampai kamu mencariku ke sini,” tebak Dion.

“Iya. Aku mau minta tolong sama kamu. Kali ini bayarannya lumayan.”

Dion tersenyum. Lelaki yang pernah bekerja di perusahaan milik Azka itu tentu sangat tergiur dengan tawaran Friska karena biasanya mendapat bayaran lumayan.

“Katakan saja apa yang harus kulakukan,” sahut Dion bersemangat.

“Aku mau kamu menyelidiki perempuan yang menikah dengan Pak Azka. Namanya Naura, tapi aku tak punya data apa pun tentang dirinya,” jelas Friska.

Dion tampak berpikir serius. Mencari sesuatu hanya berbekal nama itu sangat sulit, tapi demi mendapat bayaran, dia bertekad mengambil pekerjaan itu.

“Baik. Aku akan cari perempuan itu buat kamu. Tapi, kenapa kamu harus susah payah mencari orang yang tak kamu kenal?” tanya Dion.

“Kamu sudah tahu kan kalau selama ini aku mengincar Pak Azka. Eh ... tahu-tahu dia nikah sama perempuan lain. Bisa gagal rencanaku untuk jadi orang kaya,” jawab Friska jujur.

Mereka sudah kenal satu sama lain karena pernah bekerja di manajemen yang sama. Dulu Dion didepak dari perusahaan karena terlibat penggelapan barang, sedangkan Friska aman karena lihai dalam menggoda atasan, bahkan diangkat menjadi sekretaris.

“Bukan masalah jika aku harus mencari seseorang hanya berbekal nama, tapi sepertinya bayarannya lumayan mahal. Aku tak bisa melakukan ini sendiri. Harus menyewa orang lain juga kan,” ungkap Dion.

“20 juta. 10 kuberikan di muka, sisanya kalau kamu sudah menyelesaikan tugas. Deal?”

Friska mengulurkan tangan, tapi Dion tak kunjung menyambutnya, malah memandang dengan tatapan aneh. Hal itu membuatnya bingung, padahal bayaran yang ditawarkan sudah sangat besar untuk sekedar mencari seseorang.

“Apa bayarannya kurang banyak?” tanya Friska.

Dion menggeleng, masih tak mengalihkan pandangan dari perempuan di depannya.

“Lalu?” Friska bertanya lagi.

“Aku ingin tambahan bayaran, tapi bukan berwujud uang,” ungkap Dion.

Friska tersenyum. Dia sudah tahu arah bicara Dion. “Kamu menginginkanku kan?”

“Tepat sekali,” sahut Dion semringah.

“Boleh saja, tapi kamu harus janji membantuku untuk menyingkirkan perempuan bernama Naura itu.”

“Apa pun akan kulakukan asalkan bayarannya bagus dan bonus kencan denganmu.”

Dion tersenyum semringah. Tanpa banyak bicara lagi, dia bangkit dan mengunci pintu.

***

Di tempat lain, Naura dan Azka sudah sampai di tempat tujuan. Mobil sudah berhenti, tapi Naura tak kunjung turun. Dia ingin mengatakan sesuatu, tapi bibirnya terasa kelu.

“Kenapa?” tanya Azka yang bingung dengan sikap Naura.

Naura menghela nafas panjang, memejam sejenak lalu menghembuskan perlahan. Detik berikutnya menoleh pada lelaki yang masih duduk di belakang setir.

“Bapak lagi sakit. Aku tak ingin beliau khawatir dengan keadaanku. Jadi, aku mohon bersikaplah lembut di depan Bapak dan Ibu agar mereka percaya aku bahagia,” ucap Naura.

“Apa peduliku?” sahut Azka.

“Aku tahu kamu sebenarnya lelaki baik-baik. Hanya saja saat ini sedang tersesat di jalan yang salah. Tapi, aku yakin kamu masih memiliki sedikit kebaikan dan mau membantuku.”

Azka mencebikkan bibir. “Sudah minta tolong masih juga mengataiku. Sudah ayo turun. Aku tak punya banyak waktu.”

Naura tersenyum lega. Setiap manusia memiliki sisi baik, tapi kadang tertutup oleh rasa gengsi hingga akhirnya memutuskan untuk tak melakukan kebaikan tersebut. Beruntung malam ini Azka mau membantunya.

Naura langsung mengajak Azka ke teras. Dia mengetuk pintu sembari mengucap salam. Tak lama kemudian pintu terbuka. Sesosok perempuan dengan wajah sembab muncul dari balik pintu.

“Naura. Kamu benar pulang, Na!” ucap Lina tak percaya dengan apa yang dilihat.

“Iya, Bu! Ini aku, anakmu!”

Naura langsung melabuhkan pelukan. Tangis haru pecah saat dua manusia itu bertemu. Mereka berpelukan erat sampai lupa jika ada orang lain. Setelah Azka berdehem, mereka baru mengurai pelukan.

“Kamu baik-baik saja kan, Na?” ucap Lina seraya menatap wajah anak dan menantunya bergantian.

“Iya, Bu. Aku baik-baik saja. Bapak di mana?”

“Bapak di kamar. Ayo masuk. Bapak pasti senang lihat kamu pulang,” ajak Lina.

Naura mengangguk. Tanpa permisi dia langsung menggandeng tangan Azka lalu membawanya ke kamar sang Bapak. Dia terpaksa berbuat demikian agar orang tuanya percaya dirinya bahagia meskipun apa yang terlihat tak sama dengan apa yang dirasa.

Rendy yang sedang rebahan langsung bangun saat mendengar bunyi derit pintu. Senyum di wajah terpancar jelas saat sorot matanya menangkap wajah sang anak.

“Naura,” ucap Rendy semringah. Dia hendak berdiri, tapi Naura buru-buru mendekat dan langsung memeluknya.

“Bapak sakit apa? Sudah minum obat belum? Apa kita ke rumah sakit saja?” ucap Naura setelah pelukan terurai. Tangan lembutnya terulur menyentuh dahi Rendy, memastikan semua dalam kondisi normal.

“Kata siapa Bapak sakit? Bapak biasa-biasa saja kok,” kilah Rendy seraya melirik pada istrinya.

Waktu Lina menghubungi Naura, Rendy memang tidak tahu. Sengaja dilakukan karena khawatir sakit suaminya akan bertambah parah jika mendengar suara Naura tanpa bisa bertemu.

“Jangan bohong, Pak. Badan Bapak saja masih panas begini,” ungkap Naura seraya kembali menyentuh dahi Bapaknya.

“Ini panas biasa kok. Cuma kecapen,” kilah Rendy. “Bagaimana kabarmu? Apa dia menyakitimu?”

Sampai detik ini Rendy masih menyimpan kebencian untuk Azka. Setiap melihat wajah mantan atasannya itu amarahnya langsung membuncah meski sebisa mungkin disembunyikan.

“Enggak kok, Pak! Mas Azka orangnya baik. Dia sangat perhatian sama aku. Iya kan, Mas!” ucap Naura seraya mengedipkan mata pada lelaki yang berdiri di sebelahnya.

“Iya. Sudah pasti Naura bahagia ikut bersamaku. Semua kebutuhannya tercukupi. Bisa makan enak, tidur juga nyenyak,” sahut Azka asal-asalan.

Pernyataan itu sukses membuat Naura tersenyum kaku. Bukan seperti itu persepsi kebahagiaan bagi orang waras, tapi lebih mengutamakan perasaan. Namun, itu sudah membuat Naura sedikit lega. Setidaknya Azka tak menunjukkan sikap kasarnya.

Untuk beberapa saat mereka semua mengobrol. Azka lebih banyak diam dan hanya menjawab seperlunya, sedangkan Rendy terus memperhatikan mimik wajah anaknya. Meski terus tersenyum dan mengatakan bahagia, Rendy masih belum percaya sepenuhnya.

“Pak, Bu, kami pamit ke kamar dulu ya. Mas Azka mau istirahat,” ucap Naura kemudian.

“Iya. Bapak juga mau istirahat.”

Setelah itu, Naura kembali meraih tangan Azka lalu menggandengnya pergi. Sepintas diperhatikan mereka seperti pasangan bahagia pada umumnya, tapi jika sedikit jeli akan menemukan banyak kecanggungan.

“Kenapa kamu mengajakku ke sini? Seharusnya kamu pamit. Aku enggak betah lama-lama di sini,” protes Azka setelah mereka sampai di kamar.

“Bapak masih sakit. Kita menginap dua atau tiga hari di sini. Bisa kan?”

“Enggak! Aku banyak urusan! Kita pulang sekarang!” tegas Azka.

“Tapi Bapak masih sakit.”

“Itu bukan urusanku!”

Naura terdiam mendengar jawaban Azka. Benar adanya jika sakitnya Rendy bukan urusan Azka. Toh mereka hanya berpura-pura saja untuk terlihat baik-baik saja.

“Bagaimana kalau kamu tinggal aku di sini satu minggu. Setelah itu kamu boleh jemput aku,” usul Naura.

Bukan hanya karena ingin menjaga Bapaknya yang sedang sakit, tapi Naura harus menyelesaikan masalahnya dengan Firman. Dia merasa terlalu kejam jika tiba-tiba menghilang tanpa kejelasan.

Sejak dalam perjalanan pulang, Naura sudah berencana menemui Firman. Dia ingin meminta maaf karena tak bisa menepati janji yang pernah terucap. Bukan karena cinta yang menguap, tapi meyakini jika Azka tak akan melepaskannya sebelum mendapat apa yang diinginkan. Kalaupun misal suatu saat Azka melepaskannya, mustahil Firman mau menerima kembali jika Naura sudah tak perawan, apalagi menyandang gelar janda.

“Kenapa jadi kamu mengaturku?” protes Azka.

“Bukan begitu, tapi ini serba terpaksa. Kamu lihat sendiri kan keadaan Bapak.”

Azka berpikir sejenak. Sebenarnya tak masalah jika dia membiarkan Naura tinggal di rumah itu satu minggu, bahkan selamanya pun tak apa. Azka hanya khawatir dengan kemarahan Mamanya jika pulang sendiri tanpa Naura.

“Baiklah! Aku memberimu waktu tiga hari di sini, tapi dengan catatan kamu harus menelepon Mam dan menceritakan yang sebenarnya!”

“Terima kasih, Mas!” teriak Naura sembari meraih tangan Azka dan menggenggamnya dengan kedua tangan. Senyum semringah terbit di wajah perempuan yang akhir-akhir ini selalu diliputi mendung.

Azka sempat melongo saat merasakan genggaman tangan Naura yang begitu erat. Ketika melihat senyumnya pun bisa merasakan jika itu sebuah kebahagiaan. Entah mengapa dia ikut merasa senang melihat senyum itu.

“Sudah! Aku mau pulang!” pungkas Azka seraya menarik kembali tangannya.

“Iya. Tapi pamit sama Bapak dan Ibu dulu ya, Mas!”

Azka mengangguk. Dia mulai terbiasa dengan sandiwara itu. Setelah berpamitan dan menjelaskan kenapa meninggalkan Naura sendiri, Azka langsung meluncur pergi.

Continue to read this book for free
Scan code to download App

Latest chapter

  • Terpaksa Tidur Dengan Atasan Bapak   KESEMPATAN KE DUA

    “Baiklah, Mas! Aku akan memberimu kesempatan, asal kamu bisa meluluhkan hati Bapak dan Ibu.” Tersenyum semringah, Azka bangkit kemudian membantu Naura berdiri. Dipeluk erat sang kekasih untuk melepas kerinduan yang telah mengendap di dasar hati. Seminggu tanpa Naura, hidup menjadi hampa. Setelah puas meluapkan rindu, mereka kembali duduk. Azka tak henti mengabarkan betapa hatinya sepi tanpa kehadiran istrinya. Meski Naura hanya menanggapi sederhana, tapi jauh di dalam lubuk hati perempuan itu merasakan hal yang sama. Obrolan mereka terhenti saat Rendy dan Lina pulang menggunakan sepeda motor. Tadi, saat Firman datang, mereka memang susah bersiap mau bepergian. Tentu saja mereka kaget saat pulang justru Azka yang sedang bersama Naura. “Berani sekali kamu ke sini setelah apa yang kamu lakukan pada anakku! Dasar tak tahu malu!” sentak Rendy seraya mendekat. Meski mendapat hujatan, Azka bangkit dan menyambut mertuanya dengan meraih tangan hendak mencium takdim. Namun, Rendy justru me

  • Terpaksa Tidur Dengan Atasan Bapak   PENJELASAN

    “Hentikan!” Naura berteriak histeri lalu menghalangi Firman yang akan menghajar Azka lagi. “Kenapa, Na? Biar kuhajar bajingan itu!” Nafas Firman semakin memburu, bahkan tangan terkepal erat, gemetar. “Kamu yang kenapa, Mas! Dia suamiku. Kenapa kamu memukulnya!” Mata bening yang mulai digenangi air mata itu menatap tajam pada Firman. Sempat sesaat merasa terharu dengan ketulusannya, tapi seketika menguap melihat tingkah Firman yang sok jagoan. Sebentar kemudian Naura berbalik lalu membantu Azka berdiri. Jemari menyeka darah dari sudut bibir suaminya. Melihat lebam di wajah itu, Naura seakan merasakan kesakitan serupa. “Kamu masih membela lelaki bajingan seperti dia, Na? Demi pecundang itu kamu mengabaikan cintaku?” Firman menggeleng pelan sembari tersenyum kecut. “Buka matamu, Na! Aku yang tulus mencintaimu, bukan dia!” “Cukup, Mas! Jangan terlalu jauh mencampuri rumah tanggaku. Kita sudah bukan siapa-siapa!” Naura merasa sikap Firman sudah melampaui batas. Tak seharusnya dia me

  • Terpaksa Tidur Dengan Atasan Bapak   MANTAN

    Sejak tak tinggal bersama hampir setiap saat Azka dan Widya selalu menelepon, tapi Naura selalu mematikan panggilan. Dia hanya menjawab dengan mengirim pesan bahwa dirinya baik-baik saja dan butuh ketenangan. Sebenarnya Rindu bertalu di dalam dada, tapi setiap teringat jika suaminya menghamili orang, rasa itu terkalahkan oleh sakit hati. Terlebih saat mendengar kabar jika sekarang Friska tinggal bersama mereka, Naura semakin merasakan kesedihan yang terus menggerogoti jiwanya. Hari-harinya dilewati dengan kesedihan. Naura sering mengurung diri di dalam kamar. Menyendiri, membiarkan mimpi memudar tergerus sunyi. “Na! Keluar dulu sebentar. Ada yang nyari.” Teriakan Lina berhasil membuyarkan lamunan Naura. Namun, dirinya masih enggan beranjak dari ranjang. “Tamu siapa, Bu?” tanyanya. “Keluar dulu. Nanti juga tahu,” sahut Lina. “Baiklah.” Meski enggan, akhirnya Naura mengalah. Dia bangkit lalu segera keluar kamar, tapi Ibunya sudah tak terlihat di depan pintu. Dia langsung melangk

  • Terpaksa Tidur Dengan Atasan Bapak   part 29

    “Mas, nanti aku pakai mobilnya ya, aku mau ke rumah Ibu. Sekalian kamu transfer duit ke rekeningku ya. Aku mau kasih Ibu.” Seminggu sejak kepergian Naura, rumah itu serasa hambar. Kehadiran Friska justru membuat suasana semakin tak nyaman dengan kelakuannya yang hampir setiap hari meminta uang dalam jumlah banyak. “Memangnya yang kemarin sudah habis?” tanya Azka. Sarapan pagi tak lagi menjadi sesuatu yang menyenangkan di mana sebelum Friska datang selalu diwarnai obrolan hangat. “Sudah, Mas! Kan buat shopping. Ini keinginan jabang bayi loh. Kalau gak dituruti takutnya nanti anak kita ngences.” Mendengar jawaban Friska, selera makan Widya langsung menguap. Diletakkan sendok dan garpu dengan kasar hingga menimbulkan bunyi lumayan keras. “Memangnya kamu pikir cari duit itu mudah? Tahunya minta terus!” dengkus Widya yang lelah melihat tingkah menyebalkan Friska. “Enggak gitu juga kali, Ma! Namanya orang tua cari uang ya buat anak istri. Jadi wajar kalau Mas Azka kasih duit ke aku b

  • Terpaksa Tidur Dengan Atasan Bapak   HASIL USG

    Setelah melalui perdebatan yang lumayan alot, Friska memasuki ruang pemeriksaan sendirian. Seorang perempuan yang mengenakan snelli menyambutnya dengan senyum ramah. “Silakan. Berbaring dulu ya, Bu!” ucap Dokter Erina. Mengangguk, Friska langsung berbaring di brankar yang berbalut seprei warna putih, senada dengan warna tembok di sekitarnya. “Kita mulai ya, Bu,” ucap Dokter Erina seraya mendekat. Pemeriksaan diawali dengan mengecek tensi darah, dilanjutkan rangkaian pemeriksaan lain. Setelah hasil normal, proses USG segera dimulai. Dengan jantung berdebar Friska menatap ke layar yang menampakkan gambar calon bayi di rahimnya. Beberapa saat kemudian, proses USG telah selesai. Azka dan Alex diizinkan masuk karena Friska tak lagi harus memamerkan bagian tubuhnya. “Bagaimana hasilnya, Dok?” tanya Azka yang sudah tak sabar. “Alhamdulillah ... semua dalam keadaan normal. Ibu dan calon bayi sama-sama sehat,” sahut Dokter Erina. “Maksudku, berapa usia kandungannya, Dok?” Azka langsun

  • Terpaksa Tidur Dengan Atasan Bapak   Pulang

    Rendy dan Lina yang sedang berada di teras seketika menghentikan obrolan saat sebuah mobil berhenti di halaman. Mereka kompak bangkit saat melihat Naura turun dengan wajah sembab. “Naura ... kamu kenapa?” Lina menyambut anak perempuannya dengan sebuah pertanyaan. Tak menyahut, Naura justru langsung menubruk dan mendekap erat Ibunya. Tangisnya yang sudah ditahan seketika pecah dalam pelukan. Lina memilih mengelus punggung anaknya ketimbang melanjutkan pertanyaan.“Ayo kita ke dalam saja, Na!” ajak Lina setelah tangis Naura sedikit mereda. Dia mengurai pelukan lalu menggandeng anaknya ke dalam, diikuti Rendy yang sejak tadi hanya terpaku sembari menerka-nerka. “Sebenarnya ada apa, Na? Kenapa kamu datang langsung menangis?” tanya Rendy setelah mereka duduk bersama di ruang tengah. “Mas Azka, Pak!” sahut Naura. Perih kembali mendera hati setiap teringat bahtera rumah tangganya yang kerap dihantam badai. “Azka kenapa? Ada apa dengan suamimu? Apa dia sakit?” sambar Lina. Naura mengge

More Chapters
Explore and read good novels for free
Free access to a vast number of good novels on GoodNovel app. Download the books you like and read anywhere & anytime.
Read books for free on the app
SCAN CODE TO READ ON APP
DMCA.com Protection Status