Share

Salah Faham

Flash Back

Zain menatap Raisya dan Faisal yang sedang bercengkrama dengan pandangan nanar. Ia tak habis pikir bagaimana bisa Faisal yang notabene terkenal dingin bisa seceria dan seramah itu dengan Raisya. Tak bisa ia pungkiri, Raisya memang punya daya pikat sendiri dibanding gadis-gadis lain. Fisiknya yang menawan dengan karakternya yang unik membuat semua orang betah berlama-lama dengannya.

Zain mengurungkan niatnya untuk mendekat. Ada percikan-percikan cemburu yang siap meledak di hati Zain saat ini. Ia takut pada perasaannya sendiri yang selalu mengakui bahwa Raisya hanyalah seorang adik baginya, tak lebih. Meski tak jarang pula Raisya menanyakan perihal hubungan mereka yang memang tak bisa disebut biasa. Namun lagi-lagi Zain mengelak dengan alasan yang meruntuhkan harapan Raisya.

Zain melangkahkan kaki menuju taman kota dengan hati gamang. Masih bisa ia lihat mereka yang sedang bercengkrama di depan sana, di warung bakso Pak Ujang. Taman ini memang  berhadapan dengan deretan warung yang berjejer rapi dan hanya dibatasi jalan yang tak terlalu besar.

"Mas!!" 

Sebuah teriakan di belakang Zain diikuti dengan tepukan di bahu mengagetkannya yang sedang termenung. Reflek kepala yang sedang bersandar dibangku itu pun terangkat seketika. Raisya hanya nyengir.

"Apa? Udah selesai datingnya?" sindir Zain.

Raisya mengernyitkan dahi. Sorot matanya melukiskan tanya yang tak sanggup ia utarakan.

"Dating apa? Orang cuman makan bakso, kok! Mumpung gratis," selorohnya, diikuti tawanya yang kelewat renyah. 

Raisya duduk di samping Zain sambil memainkan ponsel. Zain melirik sekilas, melihat nama yang tertera di layar ponsel Raisya.

"Sya ...." panggil Zain.

"Hhmmm ...." jawab Raisya, masih fokus menatap layar ponsel. 

Zain menghembuskan napas kasar, tetap Raisya tak bergeming, masih asyik berbalas pesan.

"Mas mau menikah!!" ujarnya lantang.

Sejurus kemudian Raisya menoleh, menatap tepat pada bola mata Zain seolah mencari pembenaran akan ucapan yang baru saja terlontar. Namun setelahnya Raisya malah tergelak.

"Mas marah, ya? Karena aku cuekin? Hayoo ngaku!" cercanya. 

Jemari Raisya yang lentik mendarat di pinggang Zain serupa gelitikan-gelitikan yang sukses membuat dadanya berdesir aneh.

Zain menatap lekat mata Raisya setelah berhasil menangkap kedua tangannya.

"Mas mau menikahi Nurmala!!" lanjutnya lagi. 

Wajah Raisya pasi, jemarinya terlihat gemetaran. Matanya mulai mengembun. Dia menunduk dalam. Reaksi Raisya yang sesuai ekspektasi Zain.

Sesungguhnya Zain hanyalah menggertak Raisya. Memberinya pelajaran karena telah mengabaikannya demi pemuda lain. Jauh di lubuk hatinya, ia tak rela jika ada orang lain yang lebih Raisya perhatikan dibanding dirinya.

Tawa Zain hampir saja meledak melihat reaksi Raisya. Sesaat ia menatap lekat mata dengan bulu lentik itu. Namun mata Raisya justru beralih menatap obyek di belakang Zain. Tampak siluet bayangan seorang wanita berkerudung berdiri. Hati Zain mulai dirundung gelisah, hingga akhirnya ia menoleh ke belakang. 

Nurmala!!

Zain tercengang. Ingin rasanya memaki diri sendiri. Ia lupa bahwa setengah jam yang lalu telah menyuruh Nurmala datang untuk membawakan pesanan dari tempat Nurmala bekerja. Zain tak menyangka candaannya akan berakhir seperti ini. 

Zain mengacak rambut frustasi. Entah apa yang dipikirkan Nurmala mendengar penuturannya tadi. Yang jelas sempat ia lihat semburat bahagia terlukis di wajah anggunnya.

"Nur ... aku ... " tenggorokan Zain serasa tercekat, tak mampu berucap. Di sampingnya Raisya hanya menunduk dalam.

Zain memang menyukai Nurmala karena dia begitu anggun dan cantik. Ia bagai rembulan di hati Zain sedang Raisya adalah mataharinya. Tak mampu sehari pun tanpa melihat dan mendengarkan suara riang Raisya.

Nurmala tersenyum begitu manis. Sesaat Zain terlupa akan Raisya yang baru saja berlalu dengan hati hancur. 

"Ya Allah ... Ya Tuhan ... Apa ini jalan yang Engkau pilihkan untuk hamba yang sempat berjanji akan membujang selamanya?" batin Zain. 

***

Raisya memandang Zain dengan tatapan nanar. Air matanya luruh menganak sungai membasahi pipinya yang putih. Alunan musik yang mengalun di cafe pinggiran itu menambah kehancuran hatinya saat ini.

'Saat kau membuka pintu hatimu

Mungkin aku telah jauh

Meninggalkan dirimu

Dan kenanganmu

Rasa kecewaku padamu

Mungkin kau yang terindah

Yang pernah tercipta

Namun bukannya kau harus

Sia-siakan aku dengan segala tingkahmu

Rasa kecewaku padamu'

Kedua insan yang saling terpaut hubungan tak biasa itu terlarut dalam kesedihan masing-masing. Tangan Zain perlahan terangkat hendak merengkuh  tubuh Raisya ke pelukannya, namun urung. Hatinya remuk melihat air mata Raisya tetapi tak mampu berbuat lebih demi melihat Nurmala yang sedang mengawasi mereka di cafe seberang jalan.

"Maafkan, mas, Sya ..."

Ia pun menunduk dalam, mengusap setitik air yang lolos dari pelupuknya. Di tatapnya Raisya yang masih terisak.

"Bagaimanapun keadaan kita, mas tetap sayang sama kamu. Maafkan mas yang udah ngecewain kamu."

Perlahan dia menggeser kursinya, lalu berjalan meninggalkan Raisya yang masih terisak. Di luar sana, Nurmala telah menunggu, masa depan telah menanti meski harus meninggalkan masa lalu dan separuh hatinya yang kini lantak.

***

Sudah  dua bulan semenjak kejadian di cafe, Raisya memblokir nomer Zain dan menonaktifkan semua media sosialnya. Layaknya orang yang sedang sakaw, Zain begitu tersiksa menahan semua gejolak dalam dada. Setiap hari ia susuri tempat yang biasa Raisya kunjungi, namun nihil. Raisya seakan hilang ditelan bumi. 

Sedang Nurmala, dikarenakan kondisi yang mengharuskan ia untuk menikah secepatnya, maka ia mendesak untuk segera dilamar. Zain tak memiliki nyali untuk menjelaskan kesalahfahaman di antara mereka walaupun rasa cinta untuk Nurmala memanglah ada. Walau begitu, Zain menuruti permintaannya untuk segera datang menemui orangtuanya.

Tanpa ada drama yang berarti dari pihak keluarga Nurmala, persiapan pernikahan pun usai dalam waktu singkat. Mereka pulang ke kampung di mana rumah orangtua Nurmala berada, juga rumah yang sempat Zain beli setahun sebelumnya. Di kampung itulah Zain dan Nurmala pertama kali bertemu.

Zain kini seperti mayat hidup yang hanya mampu menurut tanpa menolak. Tanpa Raisya hatinya terasa begitu hampa. Esok adalah hari pernikahannya dengan Nurmala. Namun ia seolah mati rasa, tak mengerti kemana bahagia yang sempat membuncah saat mendapatkan hati Nurmala. Rasa itu pergi ... berlalu tanpa permisi.

Ia melirik jam di tangan. Telah ia bulatkan tekad untuk menemui Raisya di kosan meskipun perjalanan akan memakan waktu satu setengah jam. Meski ia pun tak yakin apakah Raisya masih tinggal di kos yang sama mengingat betapa sempurna caranya menghindari Zain.

"Mau kemana, Mas?" 

Suara Nurmala terdengar memanggil dari belakang saat tubuh Zain sudah berada di atas motor. Ia menoleh lesu.

Alih-alih menjawab, Zain malah terdiam mematung. Setidaknya dengan begitu ia menjaga perasaan Nurmala karena tak harus berterus terang.

"Jangan bilang Mas Zain mau menemui Raisya?" tanya Nurmala, tentu saja dengan nada tak suka.

"Izinkan Mas menemuinya untuk terakhir kali. Mas mohon?" pintanya.

Diluar dugaan Nurmala mencabut kunci motor dari tempatnya dan tanpa permisi berlalu masuk ke dalam rumahnya yang berada tepat di samping rumah Zain.

Zain mencoba meredam amarah namun apalah daya, percek-cokan pun tak dapat dihindari. Pertengkaran yang disaksikan oleh calon mertua serta penghuni rumah lainnya. 

Tak ia hiraukan teriakan Nurmala, gegas Zain lajukan motor menembus hawa malam setelah berhasil menemukan kunci cadangan.

Air mata Nurmala luruh, ada nyeri yang merayap dalam dadanya. Bukan saja tentang cemburu, akan tetapi firasat kehilangan yang begitu kuat.

Related chapters

Latest chapter

DMCA.com Protection Status