Share

Selamat Jalan, Raisya!

Sesaat setelah kepergian Raisya, Nurmala duduk termenung di sisi ranjang kamarnya.Tatapannya nanar ke arah kebaya pengantin yang teronggok di sudut ruangan. Air mata yang sejak tadi ditahannya pun kini tumpah tanpa bisa ia bendung lagi.

Undangan bahkan telah tersebar, dan hari ini seharusnya ia tersenyum di pelaminan bersama Zain. Namun, ternyata takdir berkata lain, justru tangis berkepanjangan yang ia dapatkan saat Zain pulang dalam keadaan telah menjadi mayat.

Zainal Abidin!

Pria gagah dengan jambang tipis yang memiliki senyum menawan. Sosok yang telah mencuri hatinya setelah sekian lama ia menutup hati. Zain yang penuh perhatian, membuat Nurmala luluh. Ia memperlakukan Nurmala bak ratu. 

Zain pula yang mengenalkannya pada sosok supel Raisya. Raisya yang diperkenalkan Zain sebagai adik angkatnya. Namun perlakuan Zain pada Raisya sungguh berbeda dari yang Nurmala kira. Binar-binar cinta di mata Zain ketika memandang Raisya cukup membuat Nurmala tahu perasaan keduanya yang sesungguhnya.

Raisya merupakan gadis supel. Memiliki stok ceria melebihi kapasitas yang selalu membuat Nurmala iri. Nurmala gadis introvert yang lebih suka menyendiri, sedangkan Raisya ... ia begitu berisik bagi Nurmala, tapi Nurmala menyukainya.

Ketika memandang Raisya, seolah Nurmala melihat sosok Zain. Raisya dan Zain bak dua sisi mata uang yang tak terpisahkan, saling melengkapi. Bahkan, wajah mereka bagai pinang di belah dua, amat mirip meski Raisya memilik kulit sedikit gelap.

Bahkan malam sebelum Zain memutuskan menemui Raisya, ia sempat menitipkan Raisya pada Nurmala dengan rentetan pesan yang tak Nurmala mengerti maksudnya. Hal yang membuat hati Nurmala bak tergores sembilu. Nyeri!

Bunyi notifikasi dari aplikasi hijau membuyarkan lamunan Nurmala. Ia mengusap wajahnya kasar. Isakan tangisnya masih sesekali terdengar.

[Nur, ini temanmu, bukan? Kemarin kulihat dia keluar dari rumah calonmu.]

Ia baca pesan dari Laila--teman yang tinggal di ujung jalan--diikuti dengan sebuah video yang membuat Nurmala ternganga. Sebuah warung kecil di pinggir jalan luluh lantak diterjang truk tronton bermuatan penuh batu gunung. Terlihat sosok yang sedari tadi mengganggu pikirannya--Raisya.

Seluruh badan serta wajahnya yang berlumuran darah digotong dan diletakkan di atas brankar lalu disambut sebuah mobil ambulans. Dengan mudahnya air mata Nurmala lolos begitu saja hanya demi seorang Raisya. Sosok yang seharusnya ia benci dan jauhi.

Raisya yang baru beberapa saat lalu meninggalkan rumah Zain dalam keadaan terluka batin. Ingin rasanya Nurmala memutar waktu jika mampu, untuk memperbaiki semuanya. Namun apalah daya, dia tak kuasa.

"Maafkan aku, Mas," lirihnya, merasa bersalah pada almarhum Zain.

Gegas ia tekan nomor Laila dengan terburu-buru.

"Assalamu'alaikum, La?" sapanya kepada Laila.

"W*'alaikumsalam, Nur? Gimana, apa itu beneran temanmu?" tanya Laila, dari seberang sana.

"Iya, La. Kamu tau nggak sekarang dia dibawa ke RS mana?" tanya Nurmala, khawatir.

"Aku nggak tau juga, Nur. Aku dapat video itu dari suamiku. Dia yang ngrekam di TKP. Bentar ya ku tanya paksu dulu. Nanti ku W* alamatnya kalau dia tahu," jawabnya.

"Kutunggu segera, ya, La? Makasih banyak! Assalamu'alaikum."

Nurmala mengakhiri panggilan setelah mendengar jawaban salam dari Laila. Hatinya ketar-ketir memikirkan nasib Raisya karena tak ada satupun keluarganya yang tinggal di kota ini.

***

Nurmala menatap Raisya yang tengah terbaring lemah di dalam sana, dengan berbagai macam alat menempel di tubuhnya.

"Bertahanlah, Sya! Meski mungkin menyusul Mas Zain segera adalah pilihanmu. Kumohon bertahanlah!" Nurmala terisak.

Terlihat dokter diikuti beberapa orang perawat berjalan terburu-buru menuju ruangan ICU, ruangan di mana Raisya terbaring.

Perasaan Nurmala tak menentu, degup jantungnya berdetak cepat. Melalui pintu yang sedikit terbuka, Nurmala melihat monitor yang terhubung ke tubuh Raisya menunjukkan garis lurus. Terlihat dokter mulai menggunakan alat kejut jantung. Sekali, dua kali masih tak ada reaksi. Beberapa perawat mulai kelimpungan.

"Bangun, Sya! Kamu harus bertahan! Jangan menyerah," Nurmala berbisik lirih.

Nurmala terperanjat, manakala melihat sosok familiar yang berada di dalam sana. Sosok yang telah dinyatakan meningal dunia bahkan jasadnya terhitung telah dua hari terkubur di dalam tanah.

"Mas Zain!!" serunya lirih.

Andai tidak berpegangan pada dinding, mungkin sekarang tubuhnya luruh ke lantai. 

Nurmala serasa ingin memekik, apalah daya mulutnya bagai terkunci. Bulir-bulir bening mulai berjatuhan, tak kuasa membendung sesal yang tiba-tiba menghujam juga sepercik cemburu yang datang menyeruak. Begitu cintanya kah Zain kepada Raisya hingga nekat menerjang batas? Bukankah tak seharusnya dia disini?

"Jangan bawa Raisya, Mas! Ikhlaskan takdirmu, kembalilah ke alammu ...." Raisya memohon, entah kepada siapa. Kepalanya menggeleng perlahan, melihat tangan pucat Zain mencoba menyentuh kening Raisya. Nurmala menangis tergugu.

"Mbak keluarga pasien?"

Tiba-tiba seorang ibu menepuk pundak Nurmala dari belakang. Ia pun terlonjak dan reflek menoleh ke arah si ibu.

"Yang sabar, ya, Mbak? Mari duduk dulu, biar dokter yang menangani saudari Mbak." katanya lagi.

Nurmala hanya mengangguk. Matanya kembali melihat ke arah brankar Raisya.

Hilang.

Sosok Zain sudah tidak ada, dan dokter serta perawat tak lagi sesibuk tadi; layar monitor di samping Raisya kembali bergerak naik turun.

"Alhamdulillah, terimakasih, Ya Allah ...." lirih Nurmala sambil mengusap air mata dengan ujung jilbab.

Tak beberapa lama terdengar derap langkah tergesa-gesa beberapa pasang kaki menuju ke arah ruang ICU. Sepasang suami istri berumur tak lebih dari 50an diikuti seorang pemuda di belakang mereka. Pandangan mereka pun bertemu. Mata si ibu begitu sembab, masih tersisa lelehan air mata di pipinya yang putih.

Nurmala bergegas mendekat mereka lalu meraih tangan dan menciumnya dengan takzim.

"Bu, saya Nurmala, teman Raisya," kata Nurmala ketika melihat raut kebingungan dari wajah Ibu Raisya.

Mendengar penuturan Nurmala, beliau langsung memeluk Nurmala lalu terisak.

"Yang sabar, ya, Bu. Insyaallah Raisya baik-baik saja. " hiburnya, meski ia sendiri  pun tak yakin dengan ucapannya.

Terlihat seorang perawat keluar dari ruangan berjalan menuju ke arah keluarga pasien.

"Keluarga saudari Raisya?" serunya.

Mendengar nama Raisya disebut, mereka pun menghambur mendekat.

"Anda orang tuanya?" tanyanya lagi, memastikan. Kedua orang tua Raisya pun mengangguk.

"Bapak atau Ibu, salah satu saja, ya? Bisa ikut saya masuk." ujarnya, lembut.

Akhirnya Ibu Raisya mengikuti perawat dari belakang menuju ke tempat Raisya berada.

***

"Selamat jalan, Sya!" Nurmala berbisik lirih.

Ia melambaikan tangan pada ambulans yang telah membawa Raisya menuju kota kelahirannya.

Ia ucapkan salam perpisahan untuk yang terakhir kali, tak berharap berjumpa lagi dengan Raisya. Meski dengan melihat Raisya, terkikis kerinduannya pada sosok mendiang calon pengantinnya. Namun dibalik itu, ada luka menganga di hati Nurmala yang entah sampai kapan bisa terobati.

"Selamat tinggal ... Raisya!! Selamat tinggal masa lalu!!" bisiknya, lagi.

Mobil ambulans itu berlalu meninggalkan suara sirine yang menyayat hati.

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status