Jane mendapatkan sejumlah uang dari istri Rex. Dengan tangan gemetar, dia memasukkan gepokan uang itu ke dalam tasnya. Matanya berair, air mata perlahan jatuh membasahi pipinya. Dia keluar dari klub malam itu, berjalan dengan langkah berat dan penuh beban. Sambil menangis, Jane memeluk tasnya erat-erat, seakan itu satu-satunya hal yang bisa memberinya kekuatan untuk melangkah.
Wajahnya berurai air mata sepanjang jalan pulang. Setiap langkah terasa begitu berat, setiap napas terasa penuh dengan kesakitan dan penyesalan. Ketika dia sampai di tepi jalan, Jane mengangkat tangannya, berusaha menghentikan taksi yang lewat. Ketika sebuah taksi berhenti di depannya, dia hampir terjatuh ke dalamnya, menangis pilu di kursi belakang.
Sopir taksi menoleh dengan cemas, tetapi Jane hanya memandang ke luar jendela, air mata terus mengalir tanpa henti. "Kemana, Nona?" tanya sopir itu dengan lembut.
"Ke... ke rumah saya," jawab Jane terisak, memberikan alamatnya dengan suara gemetar. Sopir itu mengangguk dan mulai mengemudi, meninggalkan Jane dengan pikirannya yang bergejolak.
Sesampainya di rumah, Jane berjalan masuk dengan langkah terseok-seok. Dia langsung menuju kamar mandi, tubuhnya terasa berat dan kotor. Di dalam kamar mandi, dia menyalakan shower dengan kasar, air dingin mengguyur tubuhnya. Jane mulai membasuh tubuhnya dengan keras, seakan ingin menghapus semua bekas sentuhan yang membuatnya merasa jijik pada dirinya sendiri.
Tangis Jane pecah di bawah guyuran air. Dia terduduk lemas di lantai kamar mandi, air dari shower terus mengalir di atasnya. Dia mengelus perutnya dengan sedih, memikirkan kemungkinan yang paling menakutkan. "Apa yang telah aku lakukan?" bisiknya kepada dirinya sendiri, suaranya hampir tidak terdengar di antara gemericik air.
Dia mulai khawatir tentang masa depan. Apakah dia akan sanggup jika mengandung bayi orang lain? Bagaimana dia akan menjelaskan semua ini kepada tunangannya? Pikirannya penuh dengan ketakutan dan penyesalan. "Apa yang akan aku katakan pada tunanganku?" gumamnya, tangisnya semakin keras. "Bagaimana aku bisa menjelaskan bahwa aku telah menjual keperawananku kepada pria asing hanya demi uang?"
Jane memeluk lututnya, tubuhnya bergetar karena menangis. Dia merasa sendirian, terluka, dan hancur. Semua keputusan yang dia buat malam itu, semua kompromi yang dia lakukan dengan dirinya sendiri, terasa seperti beban yang tidak bisa dia pikul. Setiap tetes air yang jatuh dari shower terasa seperti penyesalan yang tak terhapuskan.
Waktu berlalu, tetapi Jane tetap terduduk di bawah shower, air matanya menyatu dengan air yang mengalir. Dia tahu bahwa hidupnya telah berubah selamanya, dan rasa takut akan masa depan terus menghantuinya. Dalam keputusasaan, dia hanya bisa berharap bahwa tunangannya akan mengerti, meskipun dalam hati kecilnya dia tahu bahwa pengertian mungkin tidak akan cukup untuk menyembuhkan luka yang telah dia buat.
***
"Kau tenang saja, Dante sekarang sudah mendapatkan perawatan yang lebih baik," kata Fani yang saat itu menemani Jane. Keduanya berdiri di depan sebuah ruangan dengan kaca yang tebal yang menampilkan dengan jelas keadaan Dante yang terbaring tak sadarkan diri di dalam sana dengan segala alat medis yang menempel untuk menopang hidupnya.
Jane menyeka air matanya dan mengangguk senang. "Iya. Aku merasa sangat lega, ini semua berkat pertolonganmu. Jika kau tak menolongku, Dante mungkin akan berada dalam kondisi terburuknya," ujar Jane tulus.
Kemudian, Jane pun merogoh sesuatu dari dalam tas selempangnya lalu kemudian memberikannya pada Fani. "Kumohon jangan bertanya apapun tentang darimana aku mendapatkannya ataupun berusaha menolaknya, Fani. Uang ini... aku hanya mengembalikan uang milikmu, terimalah."
Fani yang baru saja membuka mulutnya itu pun jadi mengurungkan niatnya dan berakhir menghela napas dan menerima amplop berisi uang dari Jane itu dengan berat hati. "Aku tak berharap uangku akan dikembalikan secepat ini, Jane. Aku bersungguh-sungguh saat mengatakan kalau kau bisa meminjam uangku terlebih dahulu."
"Terima kasih banyak, Fani... kau sudah banyak membantuku. Uang itu memang sudah seharusnya aku kembalikan."
Sekali lagi helaan napas berat terdengar dari Fani. Dia menatap Jane dengan khawatir. Ada beragam pertanyaan cemas di benaknya tentang hal buruk apa yang sudah Jane lalui untuk mendapatkan uang sebanyak ini dan apa pekerjaan yang Jane lakukan, tapi dia tak kuasa menanyakannya ketika Jane sudah lebih awal memintanya untuk tak mempertanyakan apapun.
"Kau akan tetap bekerja di swalayan milikku kan Jane?"
Jane tampak tertegun sesaat. Pada detik itu, Fani sudah mengerti apa arti dari ekspresi kososng di wajah cantik Jane. Fani tahu bahwa dia akan kecewa.
"Maafkan aku, tapi sepertinya aku tak bisa kembali bekerja. Dalam satu jam kedepan aku harus pergi dan mulai hari pertama kerjaku. Maafkan aku Fani... aku bahkan tak menunjukan sopan santunku saat mengundurkan diri," sesalnya.
Penyesalan mendalam terlihat diwajah Jane... juga ketakutan yang besar. Dan hal itu tak luput dari pandangan Fani. Hidup selama hampir 50 tahun ii membuat Fani mengerti bahwa penyesalan di wajah Jane bukanlah penyesalan karena kehilangan pendapatan karena harus berhenti bekerja, tapi lebih dari itu. Fani benar-benar tak bisa lagi menahan dirinya untuk pura-pura tak tahu.
"Dengarkan aku Jane," cicit Fani seraya meraih tangan Jane dan menggenggamnya erat. Dia melihat gadis muda itu dengan tatapan sangat khawatir. "Kau yakin kau baik-baik saja kan? Kau tampak sangat tertekan. Aku benar-benar takut kalau kau terlibat dengan sesuatu hal yang membahayakan."
"Aku baik-baik saja, sungguh. Kau tak perlu khawatir lagi, Fani... aku akan berusaha menjaga diriku," ucap Jane meyakinkan perempuan paruh baya itu.
***
"Tenanglah Jane," cicit Jane dengan suara tercekat. Berulang kali dia menumbuk dadanya untuk menetralkan rasa sesak dan juga debar jantungnya yang menggila.
Jane merasa sangat takut. Takut sekali. Saat ini dia duduk di halte bus menunggu mobil jemputan yang Rex siapkan untuknya. Kemudian, sebuah mobil hitam pekat berhenti di depan Jane. Dia menengadah dan menemukan seorang pria yang sepertinya seusia dengan Rex.
"Nona Ruby Jane? Silakan masuk."
Jane bahkan tak diberi kesempatan untuk menjawab 'iya' pada pertanyaan itu. Sambil beberapa kali menghela napas berat, Jane memeluk erat ransel lusuh miliknya itu dan masuk ke kursi penumpang. Kesunyian dalam perjalanan yang sama sekali tidak Jane tahu ke mana tujuan mobil ini akan membawanya semakin membuat Jane risau.
Susah payah Jane menahan air matanya, membuat dadanya terasa sakit dan sesak. Perjananan ini berlangsung cukup lama, mobil yang ditumpanginyya pun melaju memasuki area hutan maple sampai kemudian berhenti di sebuah mansion bergaya klasik yang terlihat indah tapi sunyi.
"Kita sudah sampai, nona Ruby Jane."
"I-Iya." Dengan gugup Jane melangkah keluar dan memandangi bangunan dihadapannya itu dengan bimbang. "Apa tuan Rex..." Jane beralih menatap supir itu dan kemudian tak melanjutkan kalimatnya karena mendadak ragu.
Seolah mengerti. Orang kepercayaan Rex itu mengulas senyum tipis lalu kemudian memberikan kunci pass pada tangan Jane. "Tuan Rex tak ada di sini Nona, tapi beliau akan berkunjung ke sini di waktu yang dia kehendaki dan... ini adalah kartu yang digunakan sebagai kunci pass mansion ini."
"Apa aku akan ditinggalkan sedirian di daerah pegunungan yang sepi ini?" tanya Jane yang tak bisa menyembunyikan ketakutannya lagi.
"Tidak sepenuhnya seperti itu, nona. Ada dua orang maid , tukang kebun dan juga supir yang akan tinggal di mansion ini bersama anda. Dan malam ini tuan Rex akan datang menemui anda, jadi sebaiknya anda segera beristirahat dan bersiap untuk menemui tuan Rex."
"Sini biar aku bantu pakaikan," ujar Rex memintaJane untuk duduk pada tepian tempat tidur sedangkan dirinya mengambil flat shoes dan memakaikannya pada kaki Jane dengan hati-hati."Perutku masih belum sebesar itu sampai mengganggu aktivitasku, Rex. Kamu tak perlu melakukan hal itu untukku," tegur Jane hati-hati karena merasa tak enak hati pada Rex yang kini berlutut di hadapannya untuk sekadar memasangkan sandal."Tak masalah, aku akan terus melakukan ini demi menjagamu dan anak kita." Dengan senyum hangat di wajahnya lalu bangkit berdiri untuk menggandeng tangan Jane dan mengajaknya segera pergi.Pada akhirnya, Jane hanya bisa menghela napas dan tak lagi berkomentar apapun tentang sikap protektif Rex terhadapnya, sekalipun beberapa menit kemudian Rex kembali bersikap berlebihan dengan menuntun Jane menuruni tangga seolah-olah Jane adalah balita yang sedang belajar berjalan."Lakukan pelan-pelan, Ruby... aku tak ingin kau terjatuh." Tegur Rex sembari deng
"Minumlah dan nikmati sarapanmu dengan nyaman. Kalau kau ingin makan sesuatu yang lain untuk makan malam, kau bisa mengatakannya padaku. Sepulang kerja aku akan membelikannya untukmu," ucap Rex seraya menaruh segelas susu khusus ibu hamil itu di hadapan Jane. Sejenak Jane menatap segelas susu hangat itu lalu kemudian beralih menatap Rex dengan tak enak hati. "Rex... kau sudah sangat sibuk dan lelah oleh urusan pekerjaan, kenapa repot-repot membuatkan susu untukku?" Rex mengangkat bahunya ringan lalu kemudian duduk di seberang Jane dan bertopang dagu menatap Jane lekat-lekat dengan senyuman hangat yang selalu merekah di wajahnya. "Aku tidak merasa kerepotan sama sekali. Mulai dari sekarang aku akan menyiapkan susu hangat dan juga vitamin untukmu," ujarnya enteng. "Kalau pun aku mengatakan untuk jangan melakukannya, kamu pasti akan tetap melakukannya kan?" Senyum di wajah Rex semakin merekah. "Tepat sekali. Karena waktuku bersamamu hanya sebentar, aku tak akan menyia-nyiakan satu
Jane merasakan Rex tak membalas ciumannya, sehingga dia mengernyit dan perlahan membuka matanya yang kemudian langsung bertatapan tepat dengan kedua mata elang Rex yang tengah menatapnya begitu intens pada jarak yang sedekat itu.Dia pun menyudahi ciuman itu dan menatap Rex dengan wajah bingung. "Apa kamu tak menyukainya?"Alih-alih memberikan jawaban, Rex justru tersenyum lebar dan beralih menangkup wajah Jane lalu kemudian memiringkan wajahnya dan mulai mencium Jane lebih intens dan lebih dalam. Lidahnya merangsek masuk, bermain dengan lidah Jane dan beberapa kali melumat dan menggigit bibir Jane dengan gemas."Aku ingin lebih dari sekedar ciuman, Ruby." Rex berucap dengan suara berat.Dari kedua mata Rex, Jane melihat api gairah yang menyala-nyala, walaupun tatapannya saat itu menatap ke arah Jane dengan sayu. Kemudian, Jane pun membuka dua kancing bagian atas dari kemeja longgar yang saat ini dipakainya dan dia pun merentangkan kedua tangannya."Lakukan saja jika anda menginginka
"Aku pulang," ujar Rex mengabarkan kepulangannya sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling untuk mencari keberadaan Jane. Lalu kemudian dia tersenyum ketika melihat Jane yang berjalan ke arahnya sambil mengulas senyuman yang sama."Kamu pasti sangat lelah, biar aku bantu meletakan jas dan tas kerjamu." Jane dengan ramah berbicara pada Rex, hendak meraih jas dan tas kerja pria itu, tapi sebelum tangannya menggapai kedua benda itu Rex sudah maju satu langkah dan lebih dulu meligkarkan tangannya untuk memeluk tubuh mungil Jane erat-erat."Senang akhirnya bisa kembali pulang kemari. Hari ini aku merasa sangat lelah," ucapnya sembari menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Jane. Hal itu membuat Jane merasa merinding beberapa kali ketika hangat napas Rex membelai lehernya."Kalau begitu ayo ke kamarmu, aku akan minta maid untuk menyiapkan air hangat."Untuk beberapa saat tak ada respon dari Rex, sampai kemudian terdengar helaan napas panjang dari Rex diiring
"Anda memanggil saya?" tanya seorang manager pemasaran yang kebingungan karena tiba-tiba saja dipanggil ke ruangan Rex. "Maaf tuan Milagro, apa saya membuat kesalahan?" lanjutnya risau.Rex menggelengkan kepalanya dan menatap karyawannya itu dengan serius. "Tidak sama sekali. Aku memanggilmu karena urusan lain," ujarnya."Urusan lain?""Aku dengar kau sudah menikah cukup lama dan punya 2 orang anak. Bisakah kau memberitahuku apa saja persiapan yang harus dilakukan calon ayah semasa kehamilan istri?"Karyawan itu sempat terperangah setelah mendengar pertanyaan tak terduga itu. Sejenak dia merasa gugup untuk menjawab, butuh beberapa detik baginya untuk bisa memikirkan jawabannya sampai akhirnya bisa berani dan percaya diri untuk berbicara serius dengan Rex."Saat pertama kali tahu akan jadi seorang ayah, saya lebih dulu mempersiapkan biaya untuk melahirkan nanti tapi karena anda sepertinya tidak perlu menyiapkannya anda bisa mengabaikan bagian ini. Kemudian saya mulai membeli perlengka
"Tuan memberikan izin pada anda untuk pergi keluar rumah walau tanpa pendampingan dari tuan," ujar Elma menyampaikan pesan yang sebelumnya Rex katakan di telepon.Mendengar itu, Jane pun mengangguk mengerti. Dia tak mengatakan apapun, tak bertanya kenapa Rex tak datang ataupun ke mana perginya Rex, dia hanya diam dan membiarkan Elma membantunya berpakaian dan menata rambutnya sampai rapi.Setelah selesai dengan tugasnya Elma pamit pergi, sedangkan Jane menatap pantulan dirinya di cermin meja rias. Dia menatap lekat-lekat pantulan dirinya dengan tatapan datar ketika menyadari wajah sampai ujung kakinya benar-benar membengkak karena pertambahan berat badan yang cukup banyak di masa awal kehamilannya ini."Perutku akan segera membesar dan tak bisa disembunyikan lagi. Apa yang harus aku lakukan saat hal itu terjadi? bagaimana caranya aku bisa menemui Dante?" ujar Jane sedih.Dia menghela napas berat beberapa kali, sebelum kemudian bangkit dan bersiap-siap untuk pergi mengunjungi Dante di