Dengan napas terengah-engah karena berlarian dari parkiran mobil sampai ke IGD. Disana dia mencari keberadaan Rex dan langsung terpaku di tempatnya untuk beberapa detik ketika perawat mengantarkanya pada salah satu bangsal yang dibuka tirainya.
Di sana Rex terlihat berbaring tak sadarkan diri dengan kepala yang dibebat perban dan tangan yang penuh goresan. Darah bahkan masih terlihat di perban dan pada luka di tangan pria itu. "Bodoh," gerutunya saat melangkahkan kakinya menghampiri Rex. "Tak ada yang lebih bodoh dari kau, Rex. Bisa-bisa baru sebentar keluar rumah kau langsung masuk rumah sakit," tambahnya. Raut kesal dan khawatir memenuhi wajah cantik Claire. Tak lama kemudian dokter yang ditemani perawat pun datang menghampiri dan menjelaskan kondisii Rex. "Luka di kepala sudah mendapat jahitan, pendarahannya sudah berhenti. Mungkin anda harus menunggu beberapa waktu sampai pasien sadarkan diri," jelasnya. Claire mengangguk. "Apa kondisinya parah? Apa aada tulang yang patah?" "Beruntungnya kondisinya tak separah itu. Pasien tak mengalami gegar otak ataupun patah tulang pasca kecelakaan yang dialaminya, beliau hanya mengalami luka robek di kepala dan beberapa luka gores di tangannya." "Syukurlah," sahut Claire merasa lega. Dia terduduk dengan lemas di samping tempat tidur Rex. "Suamiku tak perlu dirawat inap kan?" "Kita observasi untuk beberapa jam kedepan. Jika kondisi suami anda membaik, beliau bisa pulang." "Baik, terima kasih dokter." Claire mengangguk mengerti dan membiarkan dokter itu pergi untuk menemui pasien lain. Sepeninggalnya dokter, Claire hanya duduk diam memandangi Rex dengan tatapan yang sulit diartikan. Ada kekhawatiran, sebal dan satu hal yang lebih dalam lagi. Cukup lama Claire berada dalam posisi itu. Tak jemu dia memandangi Rex untuk memastikan kapan kiranya suaminya itu akan terbangun. Kemudian, saat kelopak mata Rex terlihat mengerjap beberapa kali, Claire kembali menghela napas lega dan dai pun menarik kursinya agar lebih dekat dengan tempat tidur Rex. Perlahan Rex mulai membuka matanya dan mengernyit bingung saat melihat keberadaan Claire di sana. Dia meringis merasakan denyut nyeri di kepala dan seluruh tubuhnya. "Apa sekarang aku ada di neraka? Aku mulai melihat Claire menatapku khawatir," cicitnya berkelakar. Mendengar candaan itu pun mendengus sebal dan tanpa iba menyentil keras hidung Rex sampai membuat pria itu meringis kesakitan. "Kau pikir istrimu ini setan, hm?" gerutu Claire kesal. "Teganya kau memukulku. Padahal aku baru saja sadar setelah terlibat kecelakaan," keluh Rex tanpa memperdulikan gerutuan Claire dan wajah galak perempuan itu ketika kini menatapnya. "Bodoh, seharusnya kau mati saja sekalian." Kalimat kejam itu Claire ucapkan sambil beringsut memeluk Rex. "Mati saja kau bodoh, maka kau akan bertemu denganku di neraka." Kali ini Rex terkekeh dan membalas pelukan Claire. "Kau mengkhawatirkanku, hm?" "Tidak, aku ingin kau cepat mati." "Begitukah? Kalau aku mati, kau akan kesepian dan tak akan punya anak." "Kalau begitu hiduplah Rex bodoh." "Iya aku akan hidup," jawabnya lagi-agi terkekeh geli. Dia mengeratkan pelukannya pada Claire, bergitu merengkuh perempuan yang dicintainya selama beberapa tahun ini, tapi yang dia temukan di hatinya hanyalah kehangatan yang berbeda. Rex menemukan perasaannya tak sebesar dulu dan peluk erat ini terasa kosong. "Kau harus menemaniku, Rex. Walaupun kita bukanlah pasangan suami istri yang baik, tapi bisakah kita tetap jadi sahabat?" Rex sedikit merasa kecewa, tapi kemudian kekecewaan itu hilang dan berganti senyuman hangat. "Iya, mari lakukan apapun yang ingin kau lakukan." *** Di rumah sakit yang lain, Jane masih setia berdiri di depan ruangan rawat Dante, tunangannya. Dante belum juga sadarkan diri. "Sayang, tak bisakah kamu cepat siuman? Aku... aku merasa sangat kesepian. Aku sangat merindukanmu," gumam Jane lirih . Kini dia menatap Dante dengan pandangan yang buram karena air mata yang mulai menggenang lalu meleleh membassahi pipinya. "Dante... maafkan aku. Kau pasti akan marah padaku, tapi aku lebih baik mendengar kamu memakiku daripada melihatmu terus terbaring tak sadarkan diri seperti itu." Jane mulai terisak pedih. Dia merasa putus asa, menyesal dan juga... takut. Tetap saja ada kekhawatiran yang mengganjal di hatinya tentang apa alasan yang harus dia berikan pada Dante ketika pria itu bertanya darimana dia mendapatkan uang sebanyak itu untuk biaya perawatan. "Bagaimana kalau aku hamil dan Dante siuman dan melihatku dalam keadaan hamil? Apa dia akan berakhir meninggalkanku?" gumam Jane pelan sambil terisak-isak sedih. Cukup lama Jane larut dalam kesedihan dan kekhawatirannya itu sampai dia pun harus buru-buru menyeka air matanya karena perawat dan dokter datang untuk memeriksa Dante. "Hari ini pasien akan menjalani beberapa pemeriksaan sebelum menjalani operasi jantungnya," ucap dokter memberikan pengertian pada Jane. Dan Jane pun meengangguk mengerti. "Tolong lakukan yang terbaik, dokter. Tolong selamatkan tunanganku..." "Kami akan berusaha melakukan yang terbaik, nyonya." *** Jane baru saja tiba di mansion ketika dia melihat mobil lain yaang terparkir di sana. Dia baru saja hendak bertanya pasa pria paruh baya yang Rex pekerjakan untuk jadi supirnya, tapi pertanyaan itu tak pernah sempat dia ucapkan karena sang supir sudah mengatakan jawabannya terlebih dahulu. "Itu mobil milik nyonya Claire Nona, Ruby Jane." "Maksud anda instrinya tuan Rex?" Supir itu mengangguk dan menatap Jane dari balik kaca sepion di atas kepalanya. "Iya, beliau istrinya tuan Milagro." Jane tak lagi menanggapi. Dia hanya diam dan memperhatikan mobil Claire, pada detik itu jantungnya berdebar kencang. Dia cukup bimbang untuk bertemu dengan perempuan yang sudah membelinya itu. Sampai kemudian mobil yang ditumpanginya berhenti di depan mansion, Jane pun mengumpulkan keberaniaanya dan turun dari mobil. Sebelum masuk ke dalam, sejenak dia melirik ke arah mobil mewah Claire yang terlihat benar-benar indah. Jane merasa terpesona dan sejenak berpikir bahwa Claire benar-benar beruntung hidup bergelimang harta. "Kau akhirnya pulang," ujar Claire menyapa Jane dengan dingin. Jane menoleh lalu menunduk canggung ketika melihat tatapan dingin yang dilayangkan Claire kepadanya. "Maaf Nyonya saya baru saja kembali dari rumah sakit untuk menjenguk tunangan saya." "Aku tak peduli apapun urusanmu. Aku di sini sehabis mengantar Rex. Dia sedang sakit, karena aku bekerja aku tak mungkin bisa mengurusnya. Kau urus Rex sampai dia sembuh selagi aku sibuk, nanti aku akan kembali ke sini untuk mencari tahu apakah kau sudah hamil atau belum." Setelah mengatakan semua kalimat itu, Claire berjalan menghampiri Jane dan sejenak mendengatkan bibirnya ke dekat telinga Jane untuk sekadar berbisik- "Berterima kasihlah pada Rex nona muda. Kau dipelihara olehnya dengan baik. Di dunia ini tak ada perempuan peliharaan yang diberikan mansion, kendaran pribadi dan fasilitas mewah lainnya. Dalam perjanjian antara kau dan akupun tak ada hal seperti itu, jadi kuharap kau sadar diri dan posisimu." Jane tertegun di tempatnya. "Bersikaplah sebagaimana kau berasal. Jangan hanya karena Rex memberimu semua fasilitas mewah ini menjadikanmu lupa daratan. Kau bukan nyonya rumah yang punya kebebasan untuk bepergian senyaman itu. Fokuslah hamil... kau perempuan miskin," lanjut Claire begitu kejamnya. Setelahnya dia benar-benar pergi meninggalkan Jane yang hanya bisa terdiam membisu di tempatnya."Sini biar aku bantu pakaikan," ujar Rex memintaJane untuk duduk pada tepian tempat tidur sedangkan dirinya mengambil flat shoes dan memakaikannya pada kaki Jane dengan hati-hati."Perutku masih belum sebesar itu sampai mengganggu aktivitasku, Rex. Kamu tak perlu melakukan hal itu untukku," tegur Jane hati-hati karena merasa tak enak hati pada Rex yang kini berlutut di hadapannya untuk sekadar memasangkan sandal."Tak masalah, aku akan terus melakukan ini demi menjagamu dan anak kita." Dengan senyum hangat di wajahnya lalu bangkit berdiri untuk menggandeng tangan Jane dan mengajaknya segera pergi.Pada akhirnya, Jane hanya bisa menghela napas dan tak lagi berkomentar apapun tentang sikap protektif Rex terhadapnya, sekalipun beberapa menit kemudian Rex kembali bersikap berlebihan dengan menuntun Jane menuruni tangga seolah-olah Jane adalah balita yang sedang belajar berjalan."Lakukan pelan-pelan, Ruby... aku tak ingin kau terjatuh." Tegur Rex sembari deng
"Minumlah dan nikmati sarapanmu dengan nyaman. Kalau kau ingin makan sesuatu yang lain untuk makan malam, kau bisa mengatakannya padaku. Sepulang kerja aku akan membelikannya untukmu," ucap Rex seraya menaruh segelas susu khusus ibu hamil itu di hadapan Jane. Sejenak Jane menatap segelas susu hangat itu lalu kemudian beralih menatap Rex dengan tak enak hati. "Rex... kau sudah sangat sibuk dan lelah oleh urusan pekerjaan, kenapa repot-repot membuatkan susu untukku?" Rex mengangkat bahunya ringan lalu kemudian duduk di seberang Jane dan bertopang dagu menatap Jane lekat-lekat dengan senyuman hangat yang selalu merekah di wajahnya. "Aku tidak merasa kerepotan sama sekali. Mulai dari sekarang aku akan menyiapkan susu hangat dan juga vitamin untukmu," ujarnya enteng. "Kalau pun aku mengatakan untuk jangan melakukannya, kamu pasti akan tetap melakukannya kan?" Senyum di wajah Rex semakin merekah. "Tepat sekali. Karena waktuku bersamamu hanya sebentar, aku tak akan menyia-nyiakan satu
Jane merasakan Rex tak membalas ciumannya, sehingga dia mengernyit dan perlahan membuka matanya yang kemudian langsung bertatapan tepat dengan kedua mata elang Rex yang tengah menatapnya begitu intens pada jarak yang sedekat itu.Dia pun menyudahi ciuman itu dan menatap Rex dengan wajah bingung. "Apa kamu tak menyukainya?"Alih-alih memberikan jawaban, Rex justru tersenyum lebar dan beralih menangkup wajah Jane lalu kemudian memiringkan wajahnya dan mulai mencium Jane lebih intens dan lebih dalam. Lidahnya merangsek masuk, bermain dengan lidah Jane dan beberapa kali melumat dan menggigit bibir Jane dengan gemas."Aku ingin lebih dari sekedar ciuman, Ruby." Rex berucap dengan suara berat.Dari kedua mata Rex, Jane melihat api gairah yang menyala-nyala, walaupun tatapannya saat itu menatap ke arah Jane dengan sayu. Kemudian, Jane pun membuka dua kancing bagian atas dari kemeja longgar yang saat ini dipakainya dan dia pun merentangkan kedua tangannya."Lakukan saja jika anda menginginka
"Aku pulang," ujar Rex mengabarkan kepulangannya sambil mengedarkan pandangannya ke sekeliling untuk mencari keberadaan Jane. Lalu kemudian dia tersenyum ketika melihat Jane yang berjalan ke arahnya sambil mengulas senyuman yang sama."Kamu pasti sangat lelah, biar aku bantu meletakan jas dan tas kerjamu." Jane dengan ramah berbicara pada Rex, hendak meraih jas dan tas kerja pria itu, tapi sebelum tangannya menggapai kedua benda itu Rex sudah maju satu langkah dan lebih dulu meligkarkan tangannya untuk memeluk tubuh mungil Jane erat-erat."Senang akhirnya bisa kembali pulang kemari. Hari ini aku merasa sangat lelah," ucapnya sembari menenggelamkan wajahnya di ceruk leher Jane. Hal itu membuat Jane merasa merinding beberapa kali ketika hangat napas Rex membelai lehernya."Kalau begitu ayo ke kamarmu, aku akan minta maid untuk menyiapkan air hangat."Untuk beberapa saat tak ada respon dari Rex, sampai kemudian terdengar helaan napas panjang dari Rex diiring
"Anda memanggil saya?" tanya seorang manager pemasaran yang kebingungan karena tiba-tiba saja dipanggil ke ruangan Rex. "Maaf tuan Milagro, apa saya membuat kesalahan?" lanjutnya risau.Rex menggelengkan kepalanya dan menatap karyawannya itu dengan serius. "Tidak sama sekali. Aku memanggilmu karena urusan lain," ujarnya."Urusan lain?""Aku dengar kau sudah menikah cukup lama dan punya 2 orang anak. Bisakah kau memberitahuku apa saja persiapan yang harus dilakukan calon ayah semasa kehamilan istri?"Karyawan itu sempat terperangah setelah mendengar pertanyaan tak terduga itu. Sejenak dia merasa gugup untuk menjawab, butuh beberapa detik baginya untuk bisa memikirkan jawabannya sampai akhirnya bisa berani dan percaya diri untuk berbicara serius dengan Rex."Saat pertama kali tahu akan jadi seorang ayah, saya lebih dulu mempersiapkan biaya untuk melahirkan nanti tapi karena anda sepertinya tidak perlu menyiapkannya anda bisa mengabaikan bagian ini. Kemudian saya mulai membeli perlengka
"Tuan memberikan izin pada anda untuk pergi keluar rumah walau tanpa pendampingan dari tuan," ujar Elma menyampaikan pesan yang sebelumnya Rex katakan di telepon.Mendengar itu, Jane pun mengangguk mengerti. Dia tak mengatakan apapun, tak bertanya kenapa Rex tak datang ataupun ke mana perginya Rex, dia hanya diam dan membiarkan Elma membantunya berpakaian dan menata rambutnya sampai rapi.Setelah selesai dengan tugasnya Elma pamit pergi, sedangkan Jane menatap pantulan dirinya di cermin meja rias. Dia menatap lekat-lekat pantulan dirinya dengan tatapan datar ketika menyadari wajah sampai ujung kakinya benar-benar membengkak karena pertambahan berat badan yang cukup banyak di masa awal kehamilannya ini."Perutku akan segera membesar dan tak bisa disembunyikan lagi. Apa yang harus aku lakukan saat hal itu terjadi? bagaimana caranya aku bisa menemui Dante?" ujar Jane sedih.Dia menghela napas berat beberapa kali, sebelum kemudian bangkit dan bersiap-siap untuk pergi mengunjungi Dante di