"Ezra, jaga etikamu!"
Nico yang terbelalak akan kedatangan sang anak, ia bergegas bangkit dan mendekati Ezra, Helena menghela napas panjang, ia merasa lega akan kedatangan Ezra."Kenapa kamu lancang seperti ini?""Jika bukan tante Helena wanitanya, aku tidak peduli!" sentak Ezra. Pria muda itu berjalan mendekati Helena."Apa Tante baik-baik saja?" tanya Ezra, Helena mengangguk tanpa mengeluarkan suara."Sebegitu pedulinya kamu kepada Helena." "Karena tante Helena adalah kekasihku!" Nico terbelalak, tatapan tajam darinya tertuju kepada Helena. Helena menggeleng cepat, ia bangkit mendekati Nico. "Ezra bohong, Mas. Jangan percaya."Nico yang kini menatap kebencian pada Helena, ia berkata, "Dasar wanita rakus. Kamu sudah menghabiskan hartaku, bisa-bisanya kamu juga punya hubungan dengan anakku."Nico bergegas pergi, di temani emosi yang sudah mencapai ubun-ubun. Membuat Helena berlari mengejar Nico. "Mas, aku berani bersumpah tidak punya hubungan apa pun dengan Ezra." "Tante!" Tak mau kalah, Ezra pun mengejar keduanya. Ia berhasil meraih tangan Helena. Membiarkan Nico masuk ke dalam mobil.Helena mendengus kesal, ia membalikkan badan seraya melayangkan tangannya, menampar Ezra sangat kencang."Cukup, Ezra. Kenapa kamu menghalangi hubungan kami?" "Ka– karena aku sangat mencintai, Tante," ujar Ezra lirih, meringis perih sambil mengusap-usap pipinya yang mendadak merah."Cinta dari mana, hah? Kalau kamu cinta sama Tante, seharusnya kamu bahagia melihat Tante dekat dengan Ayahmu yang jelas-jelas bisa membahagiakan Tante!""Itu tidak mungkin, Tan," sahut Ezra."Ingat! Tante hanya mencintai mas Nico, tidak ada yang lain, apalagi kamu!" Tunjuk Helena kepada Ezra dengan tatapan tajam. Wanita itu pergi, menjauh dari Ezra di temani amarah yang masih meronta-rota.Ezra yang masih mengamati Helena di dalam mobil, akhirnya bergegas menghampirinya. Tidak tega melihat Helena berdiri sendirian menunggu taksi.Begitu keras kepalanya pemuda itu, menepis rasa sakit hatinya yang sudah di cecar oleh pujaan hatinya. "Ayo aku antar!" tawar Ezra yang sudah berdiri di samping Helena. Wanita itu sama sekali tidak menggubris ucapan Ezra."Tan, mana ada taksi lewat jam 2 malam seperti ini. Apa Tante mau ada seseorang yang sengaja menjahati Tante? Diculik, dirampok, ah, pokoknya kejahatan malam yang lain." Ezra membual, membuat Helena mendelikkan mata padanya."Kau pelakunya!""Ayolah ..."Helena berpikir sebentar. Akhirnya Helena mau di antar oleh Ezra, karena tubuhnya sudah menggigil. Di temani rasa nyeri di hati karena Nico tega meninggalkannya, ia masuk ke mobil dan duduk di samping Ezra."Kenapa Tante mau di ajak ke hotel itu?" tanya Ezra. "Kenapa kamu berada di sana?" tanya balik Helena."Karena gak mungkin membiarkan pujaan hatiku terluka, meskipun oleh Ayahku sendiri." "Tutup mulutmu!" Pekik Helena, yang akhirnya Ezra bungkam tanpa kata. Hatinya merasa senang yang akhirnya pujaan hatinya luluh berduaan dengannya, meskipun jawaban Helena ketus bahkan menyeramkan."Kenapa kamu mengatakan kepada mas Nico kalau aku adalah kekasihmu?" tanya Ezra.Ezra mengacuhkannya ia fokus melajukan mobil dengan tatapan ke depan. "Ezra!" tanya Helena bernada tinggi."Hmm!" Deheman dari Ezra, membuat Helena mendengus kesal."Jawab. Sekarang mas Nico marah padaku bahkan menyebutku dengan sebutan wanita rakus. Padahal aku selalu mengacuhkanmu!" Ezra seperti tidak punya telinga, sama sekali tidak menggubris ucapan Helena."EZRA!" Teriaknya di dekat telinga Ezra."Tutup mulutmu!" sindir Ezra, apa yang diucapkan Helena, kembali diucapkan olehnya."Astaga ... buka mulutmu!" "Aaaaaa!" Dengan santainya Ezra menganga, membuat Helena mengacak-ngacak rambutnya karena frustrasi."Bukan itu maksudku. Jawab. Kenapa kamu menuduhku kekasihmu?" tanya Helena dengan tatapan tajam."Karena di mimpiku memang seperti itu!" jawab Ezra santai.Helena menggeleng. "Tolong jelaskan kepada mas Nico, jika ucapanmu itu tidak benar. Jangan membuat hubunganku dengannya berantakan seperti ini!" Ezra menoleh pada Helena, seraya memicingkan mata. "Yakin minta tolong padaku?" Helena mengangguk. "Ok!"Perdebatan itu akhirnya usai. Keduanya tak banyak lagi berbicara karena Ezra sudah menepikan mobilnya di depan gerbang rumah Helena. Wanita itu bergegas keluar dari mobil. "Ezra, Tante mohon dekatkan lagi hubungan Tante dengan mas Nico."Ezra mengangguk, ia melajukan mobilnya kembali. Bukan pria muda yang bodoh baginya, karena nyatanya di pikiran Ezra sudah berencana untuk menghancurkan kedekatan Helena dan sang Ayah.Tiba di kediamannya ...Ezra tersenyum licik, melihat sang Ayah yang berdiri di depan teras rumahnya, membayangkan amarah Nico akan mencecarnya. Pria muda itu menghela napas panjang mencari energi untuk bisa menerima amukan sang Ayah."Selamat malam, Ayah." Ujarnya santai sembari berjalan melewati Nico yang menatap tajam padanya.Nico menarik jas hitam Ezra untuk menghentikan langkah. "Kenapa kamu bisa tahu Ayah dan Helena berada di hotel itu?""Karena Ayah membawa belahan jiwaku," jawab Ezra santai, tanpa menoleh padanya.“Lupakan Helena, jangan sampai Ayah benar-benar marah padamu!” pekik Nico. "Aku tidak peduli, atau Ayah sengaja menguji kesabaranku untuk membuka kebusukan Ayah di depan tante Helena?" Ezra menghentakkan bahunya, agar cengkeraman tangan Nico tersingkir dari tubuhnya."Kau!" Ezra yang begitu santai jalan ke kamar, membuat Nico semakin geram. Kini, keduanya seperti sedang berlomba-lomba memiliki Helena.Pagi hari yang tak terasa untuk Ezra dan Nico. Keduanya sudah menggunakan pakaian rapi, karena akan pergi ke kantor. Ezra CEO di perusahaan Nico. Namun, bukan berarti Nico melepas Ezra begitu saja. Karena masih banyak perusahaan lainnya di berbagai kota agar tidak terbengkalai."Zra, ayah mau bicara!" Ezra yang sudah bangkit di kursi meja makan setelah menyelesaikan sarapannya, ia mematung di tempat tanpa menoleh padanya."Duduk!" perintah Nico. Ezra mengikuti permintaan Nico, ia duduk di depannya. "Cari wanita yang lebih pantas untukmu, jangan Helena. Umurnya tak lagi muda, Zra!" "Aku tahu!" jawab Ezra santai."Kenapa kamu begitu keras kepala seperti ini? Ayolah ... mengalah untuk Ayah."Ezra mendecih. "Untuk apa aku mengalah? Seharusnya Ayah yang mengalah padaku. Istri Ayah ada lima, dua di ceraikan begitu saja. Tersisa tiga, mau di apakan wanita-wanita itu, hah?""Seharusnya kamu mengerti karena ayah pindah-pindah kota," jawab Nico. Kali ini, ia menghadapi Ezra dengan tenang."Lagi pula, aku sudah menjelaskan semuanya kepada tante Helena. Bahkan wanita itu marah besar kepada Ayah." Ucapan dari Ezra, membuat Nico terbelalak. "Jangan bercanda, Zra. Kamu mengatakan apa pada Helena, hah?""Aku mengatakan jika Ayah mempunyai tiga istri. Kurasa cukup untuk tante Helena yang sebentar lagi akan pergi dari kehidupan Ayah!""Kau benar-benar keterlaluan!" Nico mendengus kesal, ia bangkit dan bergegas pergi dari hadapannya.Melihat punggung Nico sudah menghilang dari pandangannya, Ezra tertawa terbahak-bahak."Pak Tua yang bodoh!" gumam Ezra sambil menggeleng.Akhirnya setelah Helena mengizinkan keduanya pulang ke rumah yang sempat ia huni, Aca dan Mateo terbebas oleh rengekan bayi terutama perintah Ezra. Kini tepat pukul 8 malam, pasangan suami-istri itu sedang berduduk santai sambil menonton siaran televisi. Pasangan baru itu terlihat sedang menikmati masa pengawalan yang indah. Namun, sekilas keindahan itu mendadak sirna saat Aca mengingat kedua orang tuanya. “Jangan besok, Ca. Kita cari waktu yang pas,” tegur Mateo, ia keberatan mengikuti permintaan Aca yang menginginkan pulang ke kampung halamannya. Wanita berbaju dress hitam selutut itu mendengus kesal seraya melihat kedua tangannya di dada. “Aku khawatir kepada orang tuaku, Mateo. Jika kamu tidak bisa pergi, biarkan aku sendiri yang pulang.”Mateo menggeleng cepat. “Untuk sekarang ini kamu bisa Videocall. Kamu itu tanggung jawabku, tidak mungkin aku membiarkan kamu pergi begitu saja.”Akhirnya karena rasa rindu yang sulit terbendung, Aca segera meraih ponselnya untuk menghubungi k
Emosi yang sudah memuncak menyelimuti perasaan Helena, membuat Ezra saat ini tidak bisa berkutik. Akhirnya pria itu membawa sang istri ke dalam ruangan bayinya. Sesaat derai air mata membasahi pipi Helena. Begitu nyeri rasanya di dada, melihat bayi yang tak berdaya Tergeletak ditemani beberapa alat medis yang tertempel di dada serta perutnya. “Kau tega melihat bayi ini, Zra?” Isak tangis Helena menjadi-jadi. Ia terus mencecar suaminya karena perbuatannya atas kesengajaan Ezra membuang asinya. Tiga tim medis itu hanya diam karena tidak tahu apa-apa. Mereka berisi di belakang pasangan yang sedang berdebat.Helena belai pipi bayi mungil itu, derai air matanya terus bercucuran seakan ingin sekali menggendongnya. “Kau memang Bubukan dari hasil benih suamiku. Namun, kau tidak perlu khawatir. Akan ada aku yang selalu menemanimu setiap saat.”Seketika Helena menoleh kepada tiga tim medis yang sengaja Ezra perintahkan untuk menemani bayinya. “Kapan Bayiku bisa keluar dari box ini?”“Setelah
“Bagaimana, Pak? Jika ada kendala terkait pasien segera hubungi kami,” Ujar seorang tim medis yang ikut ke rumah megah itu. Selain membantu memasangkan alat yang akan ditempelkan ke badan sang bayi, nantinya ketiga tim medis itu diperintahkan untuk mengontrol keadaan Helena dan bayi tersebut. Ezra perhatikan alat medis yang terkait sempurna di badan bayi laki-lakinya, seketika ia mengangguk. “Besok pukul 6 pagi kalian datang ke sini. Rawat bayi sampai pukul 6 sore.”Lagi-lagi permintaan Ezra membuat tiga tim medis itu keberatan. “Maaf, Pak. Kita juga ada pekerjaan di rumah sakit.”“Tidak ada alasan. Saya sudah meminta izin kepada rumah sakit.” Nyatanya, biaya sekitar 1milyar sudah masuk ke pihak rumah sakit. Selain untuk menyewa alat medis di sana, pun tiga tim medis dan beberapa dokter sudah ia jadwalkan untuk menjaga kondisi Helena dan Bayinya agar terjamin pulih dengan baik.“Ba– baik, Pak. Kami akan kembali rapat waktu.” Pamit ketiga tim medis itu lalu bergegas pergi. Kini ruma
Kejadian menakutkan untuk Ezra akhirnya datang juga. Begitu cemasnya saat melihat brankar yang terdapat Helena di atasnya beranjak memasuki ruangan operasi. Dokter memutuskan untuk Helena melakukan tindakan Caesar, selain janinya prematur daya tahan tubuh Helena pun lemah. Tak banyak berpikir akhirnya Ezra menyetujui saran dari Dokter wanita beralmamater putih itu. Helena justru bersikap tenang, karena Ezra selalu di sampingnya. Jarum infusan serta beberapa alat medis terpasang di tubuhnya. Namun, Helena sesaat terkekeh melihat Ezra menangis sambil mengusap-usap keningnya. “Kamu tenang, Suamiku. Aku akan baik-baik saja.” Ezra tertegun. Ia lirik bagian perut istrinya yang mulai ditutup kain berwarna hijau. “A– aku takut, istriku. Pokoknya kamu rileks, ada aku di sini.”“Jika Bapak takut, Bapak Keluar saja. Istri Bapak pasti baik-baik saja.” Ezra menggeleng cepat. “Aku tidak mungkin meninggalkannya. Pokoknya jangan sampai istriku terluka!”Ujaran dari Ezra mengundang tawa para Dokter
“Kenapa mereka berpikir seperti itu? Padahal aku sama sekali tidak pernah memaksa Ezra untuk memberikan asetnya padaku. Dari dulu, kau pun tahu Ezra selalu mengejar-ngejar Mama.” Gerutu Mateo sesampainya di rumah. Pria berjas hitam itu begitu kepada sang istri, karena Aca terus menahannya untuk sabar. Padahal emosinya sudah memuncak, mungkin jika tidak ada Aca di sana, bibir beberapa karyawan itu sudah di sumpel menggunakan sempak olehnya. Aca menghela napas panjang sambil duduk di depan suaminya, ia tidak mungkin membiarkan Mateo mencoreng nama baiknya di sana. Mengingat kini jabatannya sudah menjadi CEO yang pastinya harus bersikap dermawan. “Aku pun menyadari jika Mamah sudah nenek-nenek, tetapi mereka tidak tahu bagaimana kita berusaha menolak permintaan Ezra!” “Mateo, lihat perlakuan Ezra. Apa dia langsung marah dalam menyikapi permasalahan seperti ini? Kamu seharusnya sabar, jangan sampai emosi itu membawa nama baikmu tercoreng di pabrik.” Celetukan dari Aca, membuat Mateo
Sebagai pria muda yang hidup sebatang kara, bagi Ezra ia harus mempererat hubungannya dengan sang istri, terutama kepada Mateo selaku anak tirinya dan kerabat dekatnya.Kini Ezra yang sedari dulu dikelilingi harta berlimpah, sama sekali tidak merasa rugi. Baginya melihat Helena bahagia menjadi istrinya pun ia sudah merasa puas. Yang dikejar olehnya ialah ketenangan dan kedamaian di lubuk hatinya, mengingat saat Nico dan Ibundanya masih ada, ia seperti pemuda gelandangan yang haus akan perhatian. Namun, secuil pun Ezra tidak mempunyai dendam kepada kedua orang tuanya, justru kobaran semangatnya semakin memuncak saat ini. Ia harus membuktikan jika dirinya bisa berdiri karena perjuangannya, bahkan bisa memberikan kebahagiaan yang layak kepada anak dan Istrinya. “Terima kasih, Suamiku. Aku pikir kamu memang benar-benar sudah tidak membutuhkan Mateo.” Ujar Helena kegirangan sambil mengusap lembut pipi Ezra yang sedang mengendarai mobil. “Aku bukan pria yang sengaja menyembunyikan kepemi