Share

Bab. 5 Kebusukan Nico

Kini, wanita keturunan Indonesia-Belanda itu sedang meratapi nasibnya. Ia tatap kekayaan yang mengelilingi rumahnya itu, membayangkan jika sang kekasih benar-benar marah padanya. Pastinya ia tidak mungkin mendiami rumah itu lagi.

"Astaga ... kenapa hubunganku dan mas Nico menjadi rumit seperti ini! Dasar bocah kecil pembawa sial. Gara-gara Ezra aku tidak bisa tidur nyenyak," keluh Helena. Jangankan untuk tertidur, hatinya dipenuhi keresahan karena takut kekasihnya tiba-tiba pergi darinya.

"Helena?" 

Wanita yang sedang duduk di sofa ruangan utama bergegas bangkit, ia menyeka air matanya. Raut wajah kesedihan, diganti dengan senyum semringah. Suara itu sangat di kenal olehnya yang tak lain adalah Nico.

"M–mas?"

Setelah membuka pintu, ia mendapati Nico yang langsung berlutut di depannya. 

"Maafkan aku, Helena. Ya, sekarang aku jujur padamu jika aku mempunyai istri tiga, tetapi kamu harus percaya padaku jika nantinya kamu menjadi istri terbaikku!"

Bak disambar petir, jantung Helena berhenti seketika. Ia terbelalak, dengan netranya membulat sempurna. Sedikit memundurkan langkah untuk menjadi dari pria yang sedang berlutut padamu.

"Ti– tiga istri?" 

Derai air mata menemaninya berdiri membeku di depan Nico, tubuhnya mendadak lemas sampai akhirnya pandangan pun berubah gelap.

"Helena ... Helena!" Nico panik bukan kepalang melihat Helena pingsan di depannya.

"Helena, bangun sayang. Jangan membuatku panik seperti ini!" di belainya kening Helena dengan lembut oleh Nico, berharap sang kekasih terbangun dari pingsannya.

Mendengar samar-samar suara yang memanggilnya, membuat Helena perlahan membuka mata. Helena menghela napas kasar, mendapati pria yang baru saja melukai hatinya.

"Akhirnya, kamu sadar juga!" Nico mengembalikan senyum semringah, ia kecup jemari lentik Helena, tetapi segera di tepis olehnya.

"Kamu pergi, Mas. Aku jijik melihatmu di sini," pekik Helena. Nico menggeleng.

"Jangan membuang waktuku, Mas!" Helena mendengus kesal seraya bangkit. 

Nico membujuknya, meraih jemari lentik itu untuk duduk kembali. "Baiklah. Aku akan mengatakan yang sebenarnya!"

Ia menatap Helena dengan sendu, mungkin ini terakhir kali bertemu dengannya. "Pernikahan yang sudah tersusun rapi, kebahagiaan yang sudah menunggu kita, mungkin sebentar lagi akan sirna jika kamu menyerah, Helena."

"Omong kosong apa lagi ini, Mas. Katakan! Sebenarnya kamu mempunyai berapa istri?" ujar Helena dengan nada tinggi.

"Apa kamu janji padaku jika sudah mengetahui semuanya, kamu tidak akan meninggalkanku?" tanya Nico dengan binar. Sungguh perasaannya sedang di guncang saat ini.

"Tidak ada janji di antara kita. Aku hanya meminta kepastian, bukan pengkhianatan seperti ini," keluh Helena menghela napas panjang.

Wanita itu sudah lelah dengan pikiran yang terus bertanya-tanya. Hidupnya sudah terlanjur berantakan, tidak mungkin ia mengindahkan perjanjian yang sama sekali tidak masuk akal.

"A– aku mempunyai tiga istri."

Helena tertegun, pendengarannya ternyata tidak salah mendengar ucapnya sejak tadi. "Tapi aku janji setelah kita menikah, aku akan mengutamakan mu. Mungkin jika kamu tidak terima, aku rela menceraikan ketiganya!"

Helena bangkit, ia menyeka air mata yang terus mengalir. "Aku pikir Mas adalah pria yang setia. Mungkin jika benar apa yang di ucapkan, lebih baik batalkan saja pernikahan ini."

Nico menggeleng cepat, pria itu meraih tangan calon istrinya. "Aku mohon jangan, Helena. Aku sudah terlanjur mencintaimu."

"Dan aku sudah terlanjur kecewa padamu, Mas. Hanya karena aku, Mas tega menceraikan ketiga istrimu itu? Apa perkataan itu membuatku percaya? Mas pikir aku bodoh?" tanya Helena menggebu-gebu.

"Helena, seharusnya kamu tahu diri. Aku sudah memberikan semuanya padamu, aku tidak peduli hartaku, yang penting kamu senang!" seru Nico dengan nada tinggi, membuat Helena menggeleng.

"Memangnya kamu bisa hidup tanpa aku, Hel?" sindir Nico.

Mengingat Helena dan Mateo saat belum mengenal Nico adalah keluarga sederhana. Apa yang di pakai saat ini, sebagian besar pemberian darinya. Sang anak pun yang sudah tubuh dewasa belum mendapatkan pekerjaan. Membuat Nico sangat yakin jika wanita di depannya berpikir keras untuk mempertahankan hartanya.

Helena memasang senyum sinis. "Serendah itu aku di matamu, Mas? Kamu pikir aku takut jatuh miskin? Lebih baik aku hidup terlantar, daripada harus mempertahankan keegoisanmu!"

"Sekarang kamu pergi! Agar aku leluasa mengemas barang-barang ku di sini!" 

Nico menggeleng cepat, bergegas bangkit saat Helena akan melangkah pergi. "Ja– jangan seperti ini. Kamu tetap di sini, jangan pergi. Aku tidak mungkin mengambil apa pun yang sudah aku berikan!" 

"Aku akan pergi. Tolong tenangkan pikiranmu, Helena. Pikir baik-baik untuk membatalkan pesta pernikahan itu." 

Nico yang tak ingin melihat Helena pergi dari rumahnya, akhirnya ia mengalah. Pergi dan membiarkan Helena sendiri di kediaman yang sengaja ia beli untuknya.

Baru saja sampai di halaman rumah tersebut, Nico mendadak menghamburkan senyum manisnya. Mendapatkan seorang pria muda yang sebaya dengan Ezra.

"Hai, Mateo." sapa Nico mendekatinya.

Pria muda yang baru saja akan masuk ke dalam rumahnya, ia tersenyum manis kepada Nico. "Om mau pulang atau baru datang?" 

"Kamu ikut Om. Ada sesuatu yang harus kamu tahu." 

Tanpa membuang waktu banyak di halaman tersebut. Pria muda yang menggunakan kemeja kotak warna coklat masuk ke dalam mobil Nico. 

"Kita mau pergi ke mana, Om? Apa Mamah tahu jika aku ikut dengan Om?" tanyanya. Pikirannya tertuju kepada seorang wanita yang selalu mengurusnya sedari kecil sampai sekarang dengan baik.

Nico yang sedang melajukan mobil mengangguk. "Om sudah minta izin padanya." 

Mungkin sekitar lima belas menit di perjalanan, keduanya sudah tiba di sebuah tempat. Tidak begitu ramai, sangat cocok untuk membicarakan sesuatu yang serius di tempat tersebut.

"Ada apa, Om?" tanyanya. 

Pria muda itu duduk di depan Nico, di hadapannya sudah terdapat secangkir kopi hangat untuk di nikmati yang baru saja Nico pesan.

"Ezra sengaja menghancurkan hubungan Om dan Tante. Ternyata diam-diam Mamamu dan Ezra menjalin kasih di belakang om," ujar Nico. Memasang raut wajah lesu. Padahal ia sedang mengelabuinya untuk terhasut ucapannya.

Pemuda itu terbelalak. "Itu tidak mungkin, Om. Mamah begitu setia kepada Om."

"Itu yang sebenarnya terjadi. Awalnya Om juga tidak percaya, tetapi Ezra sendiri yang mengatakannya!" Nico masih memasang raut wajah murung. 

"Sampai Ezra mengancam om untuk mengakui ketiga istri om, padahal semuanya sudah om ceraikan hanya demi Helena, Nak."

Netra Nico berkaca-kaca. Memohon kepada pria muda di depannya. Tidak dengan hatinya yang bersorak, mudah sekali baginya menghasut Mateo agar percaya padanya.

"Tolong bantu Om untuk membujuk Helena," Nico terus memohon kepada pemuda itu.

"Aku akan mengatakan baik-baik kepada Mamah. Om tenang saja. Bila perlu, aku sendiri yang akan menemui Ezra," ujarnya. 

Nico mengangguk, hatinya sedikit lega mendapati seseorang yang pastinya bisa menolongnya.

"Besok, kamu datang saja ke rumahku atau ke kantor. Dia pasti berada di sana."

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status