"Lebih baik kamu pergi dari sini. Jangan sampai gara-gara tingkahmu, aku di permalukan di tempat kerjaku sendiri!" perintah Ezra.
"Urusan kamu denganku belum selesai!" Mateo masih memasang tatapan tajam. Ia mendengus kesal, yang akhirnya pergi meninggalkan Ezra. Pemuda yang kini menjabat sebagai CEO di perusahaan sang Ayah, ia kembali lagi duduk di kursi berputar. Sedikit memijit keningnya karena pening, ia tak habis pikir kepada sahabatnya yang seharusnya marah kepada Nico, bukan pada dirinya.Melanjutkan pekerjaannya pun sudah pusing, akhirnya Ezra bergegas pergi dari perusahaan itu."Selamat siang, Pak!" Seorang wanita sebagai karyawannya menyambut Ezra yang baru saja keluar dari ruangannya."Siang," jawab Ezra santai, la melanjutkan langkahnya, tetapi wanita itu mengejarnya."O, ya, Pak. lima belas menit lagi klien dari perusahaan sebelah akan datang." Mendengar ucapan wanita tersebut, Ezra menghentikan langkahnya."Wakilkan saja," sahut Ezra."Ta– tapi, Pak. Jika klien itu tidak mau?""Batalkan saja kontrak kerja sama dengannya. Lagian bukan perusahaan kita yang mengalami kerugian." sahut Ezra santai. Wanita itu hanya mengangguk, ia tidak bisa berbuat apa jika Ezra sudah memutuskan."Ca, bisa kamu membantuku?" tanya Ezra kepada wanita yang baru saja akan melangkah pergi darinya. "Apa, Pak?" "Ikut denganku!" Ezra meraih pergelangan tangannya, membawa ke ruangan pribadi dan keduanya duduk saling berhadapan."Ma– malam ini?" tanya Wanita bernama Aca, setelah Ezra menjelaskan rencana sesuatu padanya. Ezra mengangguk."Baiklah," baginya, membantu Ezra selaku teman lama nya itu bukan hak yang sulit. "Ca, potong gaji sebesar 70% jika seseorang tahu rencanaku!" ancam Ezra sambil menyunggingkan bibirnya."Aku sudah bosan mendengar ancamanmu, Pak. Bapak tenang saja!" jawabnya santai. Lalu bangkit dan pergi dari hadapannya Ezra.****Mateo yang Baru saja tiba di kediamannya, ia bingung melihat keadaan rumah yang sedikit ada barang. Ia pun mencari keberadaan Helena. "Loh, Mamah mau ke mana?" tanya Mateo. Pria muda itu bahkan terkejut mendapati Helena yang sudah menggunakan pakaian rapi. Ia sedang menata pakaiannya dimasukkan ke koper besar."Kita pergi dari sini, Mateo. Penghuninya sudah tidak membutuhkan kami di sini,' celetuk Helena.Ia tidak membawa pakaiannya yang mewah, baju-bajunya yang dulu ia bawa kembali ke rumah orang tuanya yang sederhana. Helena benar-benar bertekad pergi dari rumah pemberian Nico itu. Rasanya tidak tahu diri jika Helena masih menetap di sana."Mah, kenapa bicara seperti itu? om Nico tidak mungkin membiarkan mamah pergi," ucap Mateo. "Memang, tetapi Mamah yang sengaja menjauh darinya, Mateo!" Helena berkata ditemani kesibukannya mengemas pakaiannya. Barang-barang seperti perias wajahnya pun sudah tertata rapi di koper."Apa semua ini gara-gara, Ezra?" Helena menggeleng cepat."Kamu salah paham. Mamah sengaja membatalkan pernikahan dengan om Nico, karena pria itu sendiri yang mengatakan jika dia mempunyai tiga istri.""Mah ..." Mateo meraih tangan Helena, di seka nya air mata yang terus mengalir di pipi Helena. Hatinya terenyuh, karena ia jarang melihat Helena larut dalam kesedihannya."Itu semua hanya akal-akalan Ezra. Nyatanya, om Nico sengaja mengatakan seperti itu agar Ezra merasa puas, Mah.""Kamu tahu dari siapa, Hah? Sudah jelas-jelas telinga mamah yang menjadi saksi kebusukannya!" ketus Helena."Om Nico mengatakan langsung padaku tadi. Coba pikirkan baik-baik. Pernikahan Mamah dan om Nico tinggal beberapa hari lagi," Mateo membujuk Helena atas permintaan Nico.Begitu percayanya Mateo pada pria paruh baya itu. Mengingat semenjak Helena dan Nico menjalin kasih, apa yang diinginkan oleh Mateo terkabulkan oleh Nico."Astaga ... jadi, siapa yang benar dan salah?" Helena berjongkok dengan tangan meremas bagian kepalanya. Pusing terasa berdenyut, karena ia mendapatkan fakta lain tentang permasalahannya."Sebaiknya Mamah istirahat. Tenangkan pikiran Mamah." Mateo menuntun Helena duduk di tepi ranjang. Helena yang sangat merasa lelah, akhirnya membaringkan tubuhnya di ranjang. Melihat tubuh Helena sudah dibalut selimut putih, Mateo pun bergegas pergi ke dalam kamar. Sementara itu, ternyata Helena pura-pura tertidur. Membuka matanya kembali, saat Mateo menutup pintu kamar."Sebenarnya siapa yang berbohong? Tidak mungkin seorang Ayah nurut kepada ucapan anaknya, tetapi melihat Ezra, pria muda yang keras kepala. Masuk akal juga mas Nico mengikuti permintaannya," gumam Helena. Menjawab pertanyaan yang ada di pikirannya.Ting!Helena meraih ponsel di atas meja, tepat di sampingnya setelah mendengar gawai canggih itu terdapat notifikasi masuk.[Hai ... bisa kita bertemu sekarang. Ada sesuatu penting yang akan saya bahas.]Helena menghela napas panjang seraya membantingkan ponselnya di sampingnya. "Siapa lagi ini?" Pikirannya seperti akan meledak. Pertanyaan yang memutari isi kepala Helena saja belum terjawab kan, ia sudah mendapatkan pesan dari seorang yang tak di kenal.[Siapa Anda? Di mana kita bertemu?][Restoran Oscar. Cepat. Jangan membuang waktu berharga mu, Helena!]Rasa penasarannya semakin memuncak. Ia bergegas bangkit, membuka lemarinya dan mengganti pakaiannya. Setelah selesai, ia berjalan mengendap-endap bersembunyi kepada Mateo. Tidak mungkin ia meminta izin padanya. Brak!Helena membanting pintu mobil. "Jika benar mas Nico mempunyai tiga istri, mungkin malam ini terakhir kalinya aku tidur di rumah ini."Wanita yang menggunakan dress putih itu bergegas melajukan mobilnya. Tidak bisa tenang, karena pikirannya semakin menerka-nerka dengan apa yang akan terjadi.****"Helena ... Helena!" Suara bariton dari seorang pria mengganggu Mateo yang sedang tertidur. Ia mendengus kesal seraya mengibaskan selimutnya, lalu bangkit dan menghampiri sumber suara."Loh, om Nico?" Mateo mendapati Nico dengan nafasnya tergesa-gesa.Pria paruh baya yang masih menggunakan jas hitamnya bergegas masuk ke rumah. "Helena ... Helena!" Dibukanya setiap ruangan oleh Nico yang memasang raut wajah panik. Membuat Mateo membantunya."Sepertinya Mamah tidak ada, Om!" karena saat Mateo masuk ke dalam kamarnya, wanita itu tidak ada."Astaga ..." keluh Nico membantingkan tubuhnya di sofa. Mateo yang berdiri di depan pintu Helena bergegas menghampirinya."Sebenarnya apa yang terjadi, Om?" "Lagi-lagi Ezra mengancam ku, Nak. Sepulang dari kantor, ia marah besar kepada Om karena mengadu padamu. Ia berkata akan menculik Helena jika om tidak segera membatalkan pernikahan dengannya." Hati panas yang mendadak di serang bara api, membuat pikiran Mateo mendidih. Mateo bangkit, dengan tangan yang sudah mengepal."Ezra sekarang di mana, Om?" "Dengan santainya di tidur di rumah." Ucapan dari Nico, membuat Mateo kali ini ragu percaya padanya."Jika Ezra di rumah, itu tanda nya Mamahku tidak diculik olehnya, Om. Sebenarnya Mamah pergi ke mana dan dengan siapa?" Nico tertegun, sedikit bingung menghasut Mateo untuk percaya padanya lagi. "Banyak suruhan Ezra yang berkeliaran. Sekarang Helena pun tidak ada di rumah, bukan?"Tak banyak berpikir, Mateo yang masih menggunakan piyama hitam bergegas menemui Ezra, Nico pun mengikutinya dengan hati yang bersorak.Akhirnya setelah Helena mengizinkan keduanya pulang ke rumah yang sempat ia huni, Aca dan Mateo terbebas oleh rengekan bayi terutama perintah Ezra. Kini tepat pukul 8 malam, pasangan suami-istri itu sedang berduduk santai sambil menonton siaran televisi. Pasangan baru itu terlihat sedang menikmati masa pengawalan yang indah. Namun, sekilas keindahan itu mendadak sirna saat Aca mengingat kedua orang tuanya. “Jangan besok, Ca. Kita cari waktu yang pas,” tegur Mateo, ia keberatan mengikuti permintaan Aca yang menginginkan pulang ke kampung halamannya. Wanita berbaju dress hitam selutut itu mendengus kesal seraya melihat kedua tangannya di dada. “Aku khawatir kepada orang tuaku, Mateo. Jika kamu tidak bisa pergi, biarkan aku sendiri yang pulang.”Mateo menggeleng cepat. “Untuk sekarang ini kamu bisa Videocall. Kamu itu tanggung jawabku, tidak mungkin aku membiarkan kamu pergi begitu saja.”Akhirnya karena rasa rindu yang sulit terbendung, Aca segera meraih ponselnya untuk menghubungi k
Emosi yang sudah memuncak menyelimuti perasaan Helena, membuat Ezra saat ini tidak bisa berkutik. Akhirnya pria itu membawa sang istri ke dalam ruangan bayinya. Sesaat derai air mata membasahi pipi Helena. Begitu nyeri rasanya di dada, melihat bayi yang tak berdaya Tergeletak ditemani beberapa alat medis yang tertempel di dada serta perutnya. “Kau tega melihat bayi ini, Zra?” Isak tangis Helena menjadi-jadi. Ia terus mencecar suaminya karena perbuatannya atas kesengajaan Ezra membuang asinya. Tiga tim medis itu hanya diam karena tidak tahu apa-apa. Mereka berisi di belakang pasangan yang sedang berdebat.Helena belai pipi bayi mungil itu, derai air matanya terus bercucuran seakan ingin sekali menggendongnya. “Kau memang Bubukan dari hasil benih suamiku. Namun, kau tidak perlu khawatir. Akan ada aku yang selalu menemanimu setiap saat.”Seketika Helena menoleh kepada tiga tim medis yang sengaja Ezra perintahkan untuk menemani bayinya. “Kapan Bayiku bisa keluar dari box ini?”“Setelah
“Bagaimana, Pak? Jika ada kendala terkait pasien segera hubungi kami,” Ujar seorang tim medis yang ikut ke rumah megah itu. Selain membantu memasangkan alat yang akan ditempelkan ke badan sang bayi, nantinya ketiga tim medis itu diperintahkan untuk mengontrol keadaan Helena dan bayi tersebut. Ezra perhatikan alat medis yang terkait sempurna di badan bayi laki-lakinya, seketika ia mengangguk. “Besok pukul 6 pagi kalian datang ke sini. Rawat bayi sampai pukul 6 sore.”Lagi-lagi permintaan Ezra membuat tiga tim medis itu keberatan. “Maaf, Pak. Kita juga ada pekerjaan di rumah sakit.”“Tidak ada alasan. Saya sudah meminta izin kepada rumah sakit.” Nyatanya, biaya sekitar 1milyar sudah masuk ke pihak rumah sakit. Selain untuk menyewa alat medis di sana, pun tiga tim medis dan beberapa dokter sudah ia jadwalkan untuk menjaga kondisi Helena dan Bayinya agar terjamin pulih dengan baik.“Ba– baik, Pak. Kami akan kembali rapat waktu.” Pamit ketiga tim medis itu lalu bergegas pergi. Kini ruma
Kejadian menakutkan untuk Ezra akhirnya datang juga. Begitu cemasnya saat melihat brankar yang terdapat Helena di atasnya beranjak memasuki ruangan operasi. Dokter memutuskan untuk Helena melakukan tindakan Caesar, selain janinya prematur daya tahan tubuh Helena pun lemah. Tak banyak berpikir akhirnya Ezra menyetujui saran dari Dokter wanita beralmamater putih itu. Helena justru bersikap tenang, karena Ezra selalu di sampingnya. Jarum infusan serta beberapa alat medis terpasang di tubuhnya. Namun, Helena sesaat terkekeh melihat Ezra menangis sambil mengusap-usap keningnya. “Kamu tenang, Suamiku. Aku akan baik-baik saja.” Ezra tertegun. Ia lirik bagian perut istrinya yang mulai ditutup kain berwarna hijau. “A– aku takut, istriku. Pokoknya kamu rileks, ada aku di sini.”“Jika Bapak takut, Bapak Keluar saja. Istri Bapak pasti baik-baik saja.” Ezra menggeleng cepat. “Aku tidak mungkin meninggalkannya. Pokoknya jangan sampai istriku terluka!”Ujaran dari Ezra mengundang tawa para Dokter
“Kenapa mereka berpikir seperti itu? Padahal aku sama sekali tidak pernah memaksa Ezra untuk memberikan asetnya padaku. Dari dulu, kau pun tahu Ezra selalu mengejar-ngejar Mama.” Gerutu Mateo sesampainya di rumah. Pria berjas hitam itu begitu kepada sang istri, karena Aca terus menahannya untuk sabar. Padahal emosinya sudah memuncak, mungkin jika tidak ada Aca di sana, bibir beberapa karyawan itu sudah di sumpel menggunakan sempak olehnya. Aca menghela napas panjang sambil duduk di depan suaminya, ia tidak mungkin membiarkan Mateo mencoreng nama baiknya di sana. Mengingat kini jabatannya sudah menjadi CEO yang pastinya harus bersikap dermawan. “Aku pun menyadari jika Mamah sudah nenek-nenek, tetapi mereka tidak tahu bagaimana kita berusaha menolak permintaan Ezra!” “Mateo, lihat perlakuan Ezra. Apa dia langsung marah dalam menyikapi permasalahan seperti ini? Kamu seharusnya sabar, jangan sampai emosi itu membawa nama baikmu tercoreng di pabrik.” Celetukan dari Aca, membuat Mateo
Sebagai pria muda yang hidup sebatang kara, bagi Ezra ia harus mempererat hubungannya dengan sang istri, terutama kepada Mateo selaku anak tirinya dan kerabat dekatnya.Kini Ezra yang sedari dulu dikelilingi harta berlimpah, sama sekali tidak merasa rugi. Baginya melihat Helena bahagia menjadi istrinya pun ia sudah merasa puas. Yang dikejar olehnya ialah ketenangan dan kedamaian di lubuk hatinya, mengingat saat Nico dan Ibundanya masih ada, ia seperti pemuda gelandangan yang haus akan perhatian. Namun, secuil pun Ezra tidak mempunyai dendam kepada kedua orang tuanya, justru kobaran semangatnya semakin memuncak saat ini. Ia harus membuktikan jika dirinya bisa berdiri karena perjuangannya, bahkan bisa memberikan kebahagiaan yang layak kepada anak dan Istrinya. “Terima kasih, Suamiku. Aku pikir kamu memang benar-benar sudah tidak membutuhkan Mateo.” Ujar Helena kegirangan sambil mengusap lembut pipi Ezra yang sedang mengendarai mobil. “Aku bukan pria yang sengaja menyembunyikan kepemi