Malam hari telah tiba, seorang anak terbangun di sebuah bukit. Ia segera berdiri dan menatap sekitar dengan wajah yang kebingungan, keringatnya bercucuran begitu deras. Wajahnya seakan-akan mengatakan bahwa semua hal yang berlalu bukanlah kenyataan.
Arthur memegangi wajahnya, "Aku, hidup kembali? Bagaimana bisa? Apakah lagi-lagi aku diberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku?" ujar Arthur yang bertanya-tanya kepada dirinya. Ingatannya di kehidupan sebelumnya masih teringat jelas dan masih hangat diingatannya. Arthur merenung memikirkan kembali apa yang baru saja terjadi pada dirinya barusan. Ia terjatuh lalu mati karena Felix mendorongnya, kemudian Felix memukuli Grace. Seketika hatinya terbakar, saat ini Arthur dipenuhi oleh amarah yang meledak-ledak. Dia sudah memantapkan hatinya untuk segera memberi Felix pelajaran yang setimpal. Arthur segera mengambil sepedanya dan melaju dengan kencang menuruni bukit. Di malam hari itu Arthur berkeliling kota menggunakan sepedanya untuk menciptakan dimana Felix berada. Amarah dan dendam yang menumpuk di hatinya membuat dirinya tidak lagi berpikir jernih. Arthur berniat melakukan hal gila, dan hanya ada satu kata dipikirannya, "Bunuh". Dalam batinnya yang terbakar Arthur berkata, "Aku tidak akan memaafkanmu kali ini Felix! Aku akan membunuhmu! Akan ku pastikan kau mati di tanganku!" Dengan menggunakan informasi ingatannya di kehidupan pertamanya. Arthur mengingat jelas biasanya malam-malam begini Felix sering mengajak Grace keluar ke kafe. Ia tahu dimana letak face favoritnya berada, Arthur terus mengayuh sepedanya dengan kencang secepat kilat. Sampai akhirnya dia sampai di depan cafe itu. Arthur melihat Felix dan juga Grace yang sedang berada di dalam cafe, sesuai dengan dugaannya. Grace terlihat tidak bahagia, dia hanya diam saja seperti sebuah boneka. Sementara itu Felix terlihat sangat menikmatinya dan begitu bahagia. Mata Arthur yang melihatnyan terasa terbakar, begitu pula dengan hatinya. Sebuah batang besi yang dia ambil dari perjalanan sewaktu ke sini, sedang dipegang di tangannya. Kriet! Arthur masuk ke dalam kafe dengan memegang batang besi di tangannya. Orang-orang di dalam kafe ketakutan dan menjerit-jerit. Semua orang berlari-lari menyelamatkan diri mereka dan juga ada yang bersembunyi. Melihat semua orang di dalam kafe menjadi dramatis, membuat Felix heran. Felix melihat Arthur yang sedang berdiri di depannya. Wajahnya terlihat tersenyum lebar sampai gigi gerahamnya terlihat. "Siapa kau? Apa yang akan kau lakukan dengan besi di tanganmu?" ujar Felix yang tubuhnya bergetar ketakutan. Tanpa basa-basi Arthur segera menghantam besinitu tepat di kepala Felix. Arthur merasa belum puas, hatinya benar-benar terbakar dan dipenuhi dengan dendam yang sangat besar. Ia terus menghantam besi itu ke kepala Felix bertubi-tubi hingga bentuk kepalanya tidak lagi dikenali. Setelah merasa puas dan dendamnya telah hilang. Arthur menjulurkan tangannya kepada Grace yang terlihat ketakutan. Ia berniat untuk menolong Grace dan membawanya kabur bersamajya ke suatu tempat. Karena ia tahu bahwa dirinya telah menjadi seorang kriminal dan tidak bisa hidup dengan aman di masyarakat. "Grace, ayo ikut denganku." ucap Arthur yang tersenyum ramah dengan tangan yang berlumuran dengan darah. Grace sangat ketakutan hingga akhirnya ia berteriak, "Pembunuh! Tolong selamatkan aku! Aku tidak mau mati! Ada pembunuh di sini!" teriak Grace sambil bersembunyi di bawah meja dengan tubuhnya yang bergemetaran hebat. Arthur merasa hatinya tersentak melihat gadis pujaannya berkata dan memandang dirinya seperti itu. Wuing! Wuing! suara sirine mobil polisi sudah datang, pemilik toko telah menelponnya sejak Arthur masuk ke dalam kafenya. Polisi itu dengan sigap segera menahan Arthur dan mengunci pergerakannya. Sebelum diseret keluar, Arthur berteriak kepada Grace, "Grace! Aku melakukan semua ini demi dirimu! Aku melakukan ini untuk menyelamatkanmu dari penderitaan yang selama ini kau hadapi! Ketahuilah bahwa aku mencintaimu Grace!" Namun Grace tidak merespon apa-apa dan dirinya tetap dalam ketakutan. Melihat Grace yang seperti itu membuat hati Arthur terluka lebih dalam lagi. Hatinya begitu sesak dan nafasnya menjadi begitu sempit hingga air matanya keluar dengan deras dalam diam. Pada akhirnya Arthur di masukkan ke penjara dan divonis hukuman dua puluh tahun dipenjara. Orang tuanya datang melihat anak mereka yang tumbuh menjadi seorang pembunuh. Wajah mereka berdua terlihat sangat kecewa dan tidak percaya bahwa anaknya yang baik itu akan menjadi seorang pembunuh yang brutal. "Ibu tidak kuat melihatnya lagi. Ibu tidak akan lagi datang untuk menemuimu, karena setiap kali melihatmu, hati ibu sakit." ucap ibu Arthur sembari menangis terisak-isak. Sementara itu ayahnya menenangkan hati istrinya dan membawanya pergi. Sebelum itu ayahnya berkata, "Ayah tidak pernah merasa sekecewa ini padamu nak." ujar ayahnya. Sementara itu Arthur hanya bisa diam saja dan merenungkan perbuatannya. Ia tahu bahwa dirinya salah, dan tidak seharusnya berbuat hal ekstrim seperti itu. Karena perbuatannya, kini satu-persatu orang yang ia cintai pergi meninggalkan dirinya. Arthur menghabiskan dirinya dua puluh tahun hidupnya di penjara. Usianya kini sudah tiga puluh lima tahun, ia sudah dibebaskan dari penjara. Meski begitu jiwanya masih terasa belum bebas, masih ada hal yang mengganjal di hati dan pikirannya. Keadaan kota di depannya kini terlihat berbeda, sama seperti di kehidupan pertamanya. Dengan informasi di kehidupan sebelumnya, Arthur dapat mengenali tempat-tempat yang tampak berbeda setelah dua puluh tahun lamanya. Arthur tidak segera pulang ke rumah, karena ia tahu bahwa itu bukan lagi tempat dimana ia harus berada. "Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan sekarang. Mungkin aku harus mencari pekerjaan, meski itu akan sulit." ujar Arthur dalam batinnya. Ia mencari pekerjaan ke sana kemari dan terus mendapatkan penolakan karena identitasnya sebagai kriminal. Sampai akhirnya ada seseorang yang mau memperkerjakan dirinya. Meski pekerjaan kasar, Arthur merasa sedikit lega karena akhirnya dia bisa menghasilkan uang sebagai seorang kuli bangunan. Ia segera memulai pekerjaannya di hari pertama, tentunya tidak semulus kelihatannya. Orang-orang di sana tahu bahwa Arthur adalah seorang kriminal yang baru saja keluar dari penjara. Semua orang menjauhi dirinya karena takut sewaktu-waktu ia akan berbuat kejahatan lagi. Satu bulan sudah berlalu, dan Arthur bisa menyewa tempat untuk tinggal sendiri. Orang-orang yang bekerja bersamanya pun perlahan-lahan sudah mulai terbuka kepada dirinya. Meski begitu masih terdapat beberapa orang yang tetap menjauhinya dan membicarakannya di belakang. Saat waktu istirahat tiba, Arthur mengobrol dengan teman kerjanya, "Ngomong-ngomong, aku belum pernah melihat pemilik rumah yang rumahnya sedang kita bangun selama sebulan ini." ujar Arthur. Temannya yang bernama, Ethan David menjawab, "Sebelum kau datang dan bekerja di sini. Pemilik rumah ini pernah datang sekali." "Benarkah? Aku jadi penasaran orang sekaya apa dia sampai membuat rumah sebesar dan seluas ini." ucap Arthur sambil melihat ke sekeliling rumahnya sedang di bangun. "Keluarga mereka sangat kaya, tapi kekayaan itu dari suaminya. Mereka terlihat tampak bahagia bersama kedua anak mereka yang masih kecil." balas Ethan yang sepertinya memimpikan keluarga yang seperti itu juga. Setelah beberapa saat mereka mengobrol bersama, pemilik rumah itu datang untuk melihat progres rumah mereka. Semua pekerja di sana memberikan salam kepadanya, dan mulai bekerja kembali karena pemiliknya datang. Begitu juga dengan Ethan, dan Arthur yang segera bekerja kembali agar tidak dikira malas-malasan. Keluarga yang bahagia, memiliki dua anak dan memiliki rumah yang begitu besar pasti mereka keluarga yang sangat bahagia. Arthur berpikir seperti itu sambil tersenyum karena hal itu teringat kembali dengan dirinya dan Grace di kehidupan pertamanya. Sampai akhirnya Arthur terkejut melihat siapa pemilik rumah itu. Grace, bersama dengan seorang pria yang tidak ia kenali sedang bermesraan bersama di hadapannya.Di malam hari, si sebuah tempat yang sunyi dan gelap, hanya sedikit penerangan. Sebuah bangunan tua terbengkalai yang letaknya cukup jauh dari perkotaan. Dahulu bangunan ini adalah bangunan yang belum jadi, masih dalam tahap konstruksi, tapi tidak dilanjutkan dan ditinggalkan.Kini tempat ini menjadi tempat bersemayamnya para berandalan yang membawa Arthur. Mereka semua berjumlah sekitar 13 orang, mungkin sisanya sedang pergi keluar. Arthur melihat para berandalan ini yang terlihat menyedihkan, hidup melarat tanpa tujuan sama seperti dirinya.Bos berandalan itu menggendong Arthur di punggungnya dan kemudian menyapa semua orang yang ada di dalam bangunan tua ini. "Bagaimana kerja kalian hari ini? Apakah ada sesuatu yang menarik?" ujarnya kepada para bawahannya.Salah satu orang menjawabnya dengan wajah riang. "Aku mendapatkan banyak perhiasan dari seorang wanita kaya. Kita bisa menjual semua perhiasan ini dan menjadi kaya!" ucapnya yang terlihat sangat bersenang-senang dengan perhiasan
Di suatu kota yang asing pada malam hari, seorang anak berjalan antah-berantah. Ia tak memiliki tujuan kemana ia akan pergi, ia terus berjalan dengan pikiran kosong. Seperti mayat hidup yang terus bergerak entah kemana, ia terus berjalan.Arthur, sudah benar-benar kehilangan harapannya, dia tidak tahu harus kemana lagi. Ia sudah menahan lapar selama 3 hari lamanya dengan perut yang tak terisi. Tanpa makan dan minum, dengan tubuhnya yang lemas dan bibirnya yang kering.Seseorang di jalan menemuinya dan merasa kasihan padanya. "Nak, apakah kau baik-baik saja? Ini ada sedikit makanan dan minuman untukmu." ucap seseorang yang datang memberikan roti dan sebotol air.Arthur menatapnya dengan tatapan kosong dan mengambil pemberiannya. Dia berhenti bergerak untuk pertama kalinya, dan beristirahat sebentar untuk makan dan minum. Duduk di seberang jalan, sambil melihat mobil-mobil mewah melintas di depannya."Dahulu aku juga memilikinya, bahkan lebih baik dari mobil itu." gumam Arthur dengan su
Sebuah malam yang indah, malam yang diharapkan akan menjadi momen yang luar biasa. Malam hari yang diharapkan itu kini sudah bukan lagi malam yang indah bagi Arthur. Langit malam yang penuh dengan bintang yang bercahaya itu bagaikan neraka baginya. Ini adalah malam keempat kalinya ia melihat langit di bawah rimbunya dedaunan. Duduk dengan tatapan dan pikiran yang kosong, melamun melihat langit. Wajahnya terlihat sangat pucat dan tidak baik-baik saja. Ia bergumam, "Apa yang harus aku lakukan? Aku hanya ingin Grace mendapatkan kehidupan yang lebih baik. Tapi apa yang aku dapatkan? Pengkhianatan? Penderitaan? Ketidakadilan? Aku kehilangan segalanya." Arthur segera pulang ke rumahnya dengan tubuh yang sudah lemas. Ia pergi menuruni bukit sambil melamun karena banyak pikiran di benaknya. Dirinya sudah tidak tahu lagi harus berbuat apa, ia merasa begitu buntu. Sepulang dari rumah, ayah dan ibunya menyambutnya dengan wajah bahagia. Arthur sudah melihat momen ini untuk keempat kalinya
Arthur tidak pernah menyangka atau bahkan ia tidak pernah memikirkan hal seperti ini. Melihat wanita pujaan hatinya menikah dan hidup bahagia dengan pria lain bahkan sampai memiliki anak. Berapa terlukanya hati Arthur melihat hal itu, hingga membuat air mata hampir keluar. Mata mereka berdua bertemu untuk sesaat, namun dari reaksi Grace sepertinya ia tidak mengenal dirinya. Arthur berniat untuk berbicara dengannya langsung, tapi ia tidak ingin merusak hubungan keluarganya. Terlebih lagi ada anak-anak mereka, jadi Arthur menahan diri dan menunggu kesempatan untuk berbicara. "Ada apa denganmu, kawan?" tanya Ethan. Arthur tersenyum dan menjawab, "Tidak ada apa-apa, aku hanya teringat sesuatu." Kata-katanya tidak mengandung hal apapun. Tapi wajah dan tatapan matanya tidak bisa berbohong. Saat sore hari telah tiba, tiba-tiba saja Grace berjalan sendirian untuk melihat progres rumahnya. Saat itu juga Arthur mengambil kesempatan untuk berbicara kepadanya. Arthur menghampirinya dengan se
Malam hari telah tiba, seorang anak terbangun di sebuah bukit. Ia segera berdiri dan menatap sekitar dengan wajah yang kebingungan, keringatnya bercucuran begitu deras. Wajahnya seakan-akan mengatakan bahwa semua hal yang berlalu bukanlah kenyataan. Arthur memegangi wajahnya, "Aku, hidup kembali? Bagaimana bisa? Apakah lagi-lagi aku diberikan kesempatan untuk memperbaiki kesalahanku?" ujar Arthur yang bertanya-tanya kepada dirinya. Ingatannya di kehidupan sebelumnya masih teringat jelas dan masih hangat diingatannya. Arthur merenung memikirkan kembali apa yang baru saja terjadi pada dirinya barusan. Ia terjatuh lalu mati karena Felix mendorongnya, kemudian Felix memukuli Grace. Seketika hatinya terbakar, saat ini Arthur dipenuhi oleh amarah yang meledak-ledak. Dia sudah memantapkan hatinya untuk segera memberi Felix pelajaran yang setimpal. Arthur segera mengambil sepedanya dan melaju dengan kencang menuruni bukit. Di malam hari itu Arthur berkeliling kota menggunakan sepedany
Sore hari telah tiba, burung-burung berkicau dan terbang lebih tinggi untuk kembali ke sarangnya. Begitu juga dengan bel pulang sekolah yang telah berdering, seluruh murid di sekolah segera bersiap-siap untuk pulang ke rumahnya. Begitu kelas selesai, Arthur segera menghampiri bangku Grace untuk berbicara empat mata. Arthur menatap Grace sambil tersenyum ramah kepadanya. "Grace, ayo kita pergi dari sini." ujar Arthur yang langsung menarik tangan Grace. Grace marah dan menghempaskan tangan Arthur. "Apa yang ingin kau lakukan! Aku sudah punya pacar! Cari saja gadis lain yang belum memiliki pacar!" teriak Grace dengan wajah yang kesal. Namun Arthur tidak melihatnya begitu, ia melihat wajahnya yang sedih dan meminta tolong. Begitulah yang Arthur sadari di masa depan, meski ia telat menyadarinya. Arthur menundukkan kepalanya sejenak, dan ia menatap Grace dengan wajah serius. Arthur menggenggam kembali tangan Grace dan berkata, "Aku tahu semuanya!" Tiga kata yang diucapkan Arthur m