"Dia katanya ayahnya," jawab orang yang ada di luar kamar tersebut.
"Kamu punya ayah, Ar?" tanya Cheri tiba-tiba. "Eh, maksudku, ayahmu di dekat sini tinggalnya?"Arumi pun langsung berdiri dan menjawab, "Nanti aku ceritakan, apa kamu mau ikut aku menemui dia?"Dengan sifat Cheri yang suka penasaran, ia pun langsung berdiri dan menunjukkan dua jempolnya pada Arumi sembari tersenyum lebar.Alhasil, mereka berdua pun melangkah bersama untuk bertemu dengan laki-laki yang hampir memasuki usia paruh baya tersebut. Beberapa menit berlalu, kini Arumi dan Cheri sampai di teras bangunan paling luar kos-kosan tersebut."Ar, apa itu ayahmu?" bisik Cheri karena merasa aneh melihat laki-laki yang terlihat cukup muda untuk memiliki anak seusia Arumi."Tentu saja dia ayahku, siapa lagi," sahut Arumi dengan suara yang cukup keras. Ia memang sengaja melakukan hal itu agar Arifin, ayahnya, menoleh pada dirinya.Mata Cheri langsung terbelalak mendengar hal itu. Langkahnya sempat terhenti, tetapi kemudian ia melanjutkan langkahnya untuk mengekor pada Arumi."Arumi," gumam Arifin sembari menatap Arumi dari ujung kepala hingga ujung kaki."Ada apa, Yah?" arumi menjeda sembari berdiri tepat di depan Arifin. "Kenapa tiba-tiba saja sampean ada di sini?" tanyanya lagi.Arifin pun berdecak sebelum akhirnya kembali duduk di salah satu kursi yang ada di sana."Untuk apa kamu menyusulku ke sini?" tanya Arifin dengan desahan di akhir Kalimatnya.'Untung saja aku belum sempat berangan kalau aku akan disambut dengan hangat oleh dia,' batin Arumi sembari menghela napas panjang dan kemudian duduk di kursi lain yang ada di sana.Begitu juga dengan Cheri yang kini ikut duduk sembari terus mengamati Arifin karena benar-benar tidak percaya jika Arifin dengan wajah yang mumpuni itu punya anak sebesar Arumi. Bahkan baginya, andai saja ia dan Arifin kenal sembarangan, maka mungkin saja ia akan mau punya pacar setampan ayah Arumi itu."Kenapa Yah, apa kamu tidak suka aku datang ke sini?" Arumi membuang kata sampean di dalam panggilannya karena ia merasa jika laki-laki di depannya itu kini tidak pantas lagi ia hormati seperti saat mereka bertemu pertama kali."Bukan tidak suka, tapi istriku tidak boleh tahu kalau aku ini punya kamu," jawab Arifin dengan santai.Hati Arumi berdesir, seolah ada pisau yang baru saja menggoresnya. "Kenapa, kamu malu?" tanyanya sembari tersenyum sinis.Langsung saja Arifin menoleh dan menatap tajam Arumi. "Kamu harus sadar kalau kamu itu hanya anak haram antara aku dan ibumu, jadi jangan banyak bertingkah," hardiknya sembari menunjuk-nunjuk wajah Arumi.Langsung saja Arumi mengepalkan tangannya. Ia sebisa mungkin menahan air yang hampir saja keluar dari kelenjar di matanya."Huh, jadi jika aku ini anak haram, apa kamu pikir aku ini tidak berhak atas apa pun dari kamu? Heh, ini bukan jaman kerajaan kuno.""Kamu …!" geram Arifin."Kamu apa?" tantang Arumi. "Lagipula yang menjadikanku anak haram itu kalian berdua, lalu kenapa aku yang harus kehilangan semuanya?"Arumi menundukkan kepalanya mendengar pertanyaan Arumi tersebut."Dengar ya, Yah. Jika tidak terpaksa, aku ini juga tidak akan datang ke sini dan mencari kamu," lanjut Arumi."Lalu?" tanya Arifin sembari mengangkat kembali pandangannya dan mengerutkan keningnya pada Arumi."Ibuk baru saja masuk penjara karena dituduh sebagai bandar—""Lalu kamu datang ke sini untuk menumpang hidup padaku 'kan?" tebak Arifin.Langsung saja senyum sinis muncul di bibir Arumi. "Kamu memang sangat peka, memang sebenarnya itu tujuanku datang ke Jakarta. Eh, tapi ternyata …." Ia mengakhiri kalimatnya dengan ekspresi terkejut dan mengejek yang melebur menjadi satu."Tidak perlu menyindirku seperti itu," sahut Arifin sembari mengeluarkan sebungkus rokok dari saku kemejanya. Lalu menyulutnya dengan santai di depan Arumi dan Cheri."Siapa yang menyindirmu Ayah, kamu jangan salah sangka," sahut Arumi dengan santai."Kamu memang punya kemampuan bicara yang hebat seperti ibumu," komentar Arifin. "Dengar, aku tidak perduli kamu membenci, tidak mengakuiku atau apa, asal kamu tidak muncul di depan istri dan anak-anakku sudah cukup. Dan ya, aku hanya bisa memberimu 500 ribu setiap bulan, tidak lebih."Pedih hati Arumi mendengar hal itu. Baiklah dia memang tidak berekspektasi lebih tentang hubungannya dengan Arifin. Namun, tetap saja saat mendengar kalimat Arifin yang seolah jijik padanya itu, hatinya tetap terasa sakit."Ayah, 500 ribu itu apa? Itu hanya cukup untuk membayar sewa kamarku, apa yang harus aku gunakan untuk makan?"Sebenarnya Arumi tidak seputus asa itu sampai harus meminta-minta pada Ayahnya. Namun, ia hanya ingin tahu saja, sampai seperti itu Arifin tidak perduli padanya."Dengar, aku ini sudah sangat baik hati mau memberimu uang!" sergah Arifin.Seketika Cheri yang duduk di samping Arumi pun langsung memegangi lengan Arumi dengan erat karena merasa takut dan mengingatkan Arumi untuk tidak gegabah.Arifin mengangkat tangannya dan mulai menunjuk wajah Arumi lagi. "Dengar, kamu itu punya tubuh dan wajah cantik, kamu pasti tahu cara nyari duit dengan itu. Tidak mungkin Sus tidak mengajari kamu tentang itu 'kan?"'Apa dia minta Arumi untuk menjual diri? Ini sangat keterlaluan, gila,' komentar Cheri di dalam hati.Cheri memang baru mengenal Arumi, tapi dia bisa merasakan kalau Arumi adalah wanita baik-baik. Jadi tidak sepantasnya kalau Arifin yang notabennya adalah ayahnya, justru menyuruh Arumi bekerja seperti itu.Arumi lalu menundukkan wajahnya, sebuah senyum sinis terbentuk di sana. "Aku tahu dulu kamu itu laki-laki brengsek, tapi tidak menyangka setelah puluhan tahu kamu hanya berubah menjadi bajingan," ujarnya.Sedetik kemudian tangan Arifin sudah berpindah mencengkeram kerah kaos oblong yang digunakan Arumi. "Jangan macam-macam kamu!" ancamnya.Arumi yang kini wajahnya terdongak karena ayahnya mencengkeram kaosnya dengan posisi berdiri pun langsung kembali menunjukkan semyum smirknya. "Lepaskan tanganmu!" Arumi menepis tangan Ayahnya dengan kuat, hingga terlepas."Dengar Ayah, ah iya, ini mungkin terakhirnya aku memanggilmu ayah." Arumi menjeda untuk melihat reaksi Ayahnya, tetapi sia-sia saja karena Arifin terlihat tak acuh. "Aku tidak membutuhkan uang 500 ribumu.Dan ya, karena kau tidak perduli kalau aku membenci atau tidak menganggapmu Ayah, maka aku ingin memutuskan hubungan kita dan—""Oh, jadi kamu merasa hebat," sela Arifin sembari menatap Arumi dengan sinis. "Baik kalau begitu, karena kamu sendiri tidak mau uang yang aku berikan dan mau memutusakan sendiri hubungan kita, maka aku tidak masalah.Ini bahkan lebih baik, jadi dengan begini kamu tidak akan mengganggu kehidupanku dan keluargaku. Kalau bisa, setelah ini jangan lewat depan halaman rumahku, mengerti?""Ya, tidak perlu kamu ingatkan pun, aku tidak tertarik lewat sana lagi," jawab Arumi sembari ikut berpura-pura tak perduli dengan itu semua."Baik, sekarang kamu silahkan anggap aku mati, dan jangan pernah memanggil aku Ayah lagi. Karena sangat menjijikka melihat gadis sebesar kamu memanggilku Ayah," ujarnya yang kemudian mengambil sebungkus rokok miliknya yang sempat ia letakkan di atas meja.Dan kemudian ia pun langsung berbalik dan melangkah pergi tanpa menoleh ke arah Arumi lagi.Cheri yang sedari melongo mendengar kalimat-kalimat kejam dari Arifin pun langsung menoleh ke arah Arumi."Ar, kamu jangan terla—"Brugh!"Ar!"Sesaat kemudian pintu yang baru saja diketuk oleh Arumi tersebut pun terbuka. Ia menatap seorang laki-laki yang keluar dari sana."Loh, bukannya kamu sedang keluar negeri?" tanya Arumi sambil menatap kekasihnya tersebut menggunakan kaos oblong dan celana pendek biasa."Sejak kapan kamu menjadi dekat dengan Aris?" tanya Satria yang terdengar seperti sedang mengintrogasi.Arumi langsung memutar bola matanya. Ia sudah sangat terbiasa dengan kecemburuan Satria yang agak berlebihan."Istrinya tidak senang saat mendengar kamu mengajaknya liburan, kamu mengerti?" Satria berdalih agar Arumi tak marah karena dia cemburu lagi.Mata Arumi membola. "Dia punya istri?"Sesaat kemudian terlihat Aris keluar lewat pintu lain."Ris, kamu punya istri?" tanya Arumi langsung.Aris pun tersenyum canggung. Dia tadi mendengar dengan jelas kebohongan apa yang Satria katatakan. "Iya Nyonya," jawabnya."Lah, harusnya kamu ajak juga istri kamu, jadi kita bisa liburan bersama," ucap Arumi sembari t
Tiga bulan berlalu. Perlahan perasaan Arumi mulai membaik, walaupun terkadang ia masih suka melamun dan tiba-tiba menangis sendiri ketika teringat dengan putri kecilnya."Hayo … ngelamun lagi," ucap Nita yang baru saja datang ke taman kecil samping cafe. Ia kemudian dengan santai duduk di samping Arumi yang sedari tadi terus menghadap bunga."Apa ada pesanan lagi?" tanya Arumi sembari mengusap air matanya."Tidak ada, semuanya sudah beres," jawab Nita. "Kamu ingat dengan Syahila lagi?" tanyanya.Arumi menghela napas panjang. "Ya … mau bagaimana lagi. Tadi malam aku mimpi gendong dia," jawabnya."Ar, kamu pasti tahu aku mau ngomong apa. Jadi aku nggak akan ngomong itu lagi, soalnya kata-kata mutiaraku udah habis buat menghibur kamu." Nita berseloroh.Arumi pun menoleh sembari tersenyum kecil. "Iya … aku nggak akan sedih lagi. Ini sudah tiga bulan lebih 'kan?" Ia menirukan ucapan Nita ketika terakhir kali menghiburnya."Nah, gitu baru bener," sahut Nita sembari mencubit ge
Beberapa menit berlalu, saat ini Satria, Abi dan Arumi pun sampai di lantai paling atas tempat di mana Rena berada."Syahila," panggil Arumi karena mendengar putri kecilnya itu sedang menangis kencang."Ren, berikan bayinya," ucap Abi sembari mencoba melangkah ke arah Rena, tetapi langsung berhenti ketika Rena mengangkat tangannya, memberi tanda agar dia berhenti."Aku berubah pikiran," ucap Rena."Berubah pikiran apa, kami sudah membawa Abi ke sini," sahut Satria dengan tangan yang mengepal kuat.Rena pun mengganti pandangannya pada Satria. "Sat, kamu seharusnya tidak ikut campur dalam urusan rumah tanggaku ini. Aku beri kamu kesempatan untuk pergi dari sini, aku hitung sampai tiga. Satu … dua ti—""Aku tidak akan ke mana pun. Serahkan bayinya dan kamu bisa pergi dengan Abi ke mana pun yang kamu mau," tukas Satria."Kenapa kamu selalu bertingkah dominan? Di sini aku bosnya, bukan kamu!" teriak Rena.Sesaat kemudian tangisan Syahila terdengar makin kencang."Mbak, tolong beri
Setelah beberapa menit, akhirnya Arumi pun selesai menyusui Syahila. Tangannya mengepal kuat memikirkan apa alasan yang bisa ia gunakan untuk mengulur waktu."Sudah selesai, Nyonya?" tanya baby sitter yang baru saja masuk ke dalam kamar itu.Arumi pun langsung menoleh. "Sudah," jawabnya.Kemudian baby sitter itu pun mendekat ke arah Arumi. "Saya ditugaskan oleh Tuan Abi untuk membantu Anda berkemas," ujarnya.Sesaat kemudian Arumi pun mengangguk. "Tapi aku ingin ke kamar mandi dulu, tidak apa-apa kan? Soalnya perutku seperti melilit ini," ujarnya sembari berakting meringis menahan sakit."Iya Nyonya, tidak apa-apa. Saya akan mengatakan ini pada Tuan," jawab baby sitter sembari mengambil alih Syahila.'Sayang, kita bertahan dulu ya,' batin Arumi sembari menatap ke arah bayi mungilnya yang sedang tertidur lelap.Dan kemudian ia pun segera melangkah mencari kamar mandi di kamar itu. Sepuluh menit berlalu, saat ini Arumi terus berada di dalam kamar mandi dan duduk
Kemudian Arumi beralih menatap orang tersebut. "Apa maksudnya ini? Kenapa kamu mencelakai dia?" tanyanya."Semua ini atas perintah Tuan," jawab orang tersebut dengan ekspresi dingin.Sementara itu Rasyid pun kembali terbatuk-batuk."Lalu?" Arumi bertanya kembali sembari menatap orang yang ada di depannya itu dengan tak kalah tajam.Sesaat kemudian, orang di depan Arumi yang memiliki paras cantik seperti perempuan tetapi bersuara gahar khas lelaki itu pun mengeluarkan sebuah botol dari dalam jasnya dan kemudian memberikannya pada Rasyid.Secepat kilat Rasyid menyambar botol tersebut dan langsung menenggak isinya. 'Apa-apaan ini?' batin Arumi yang makin terkejut melihat apa yang terjadi."Aku pikir kamu sudah berpindah haluan," seloroh orang tersebut sembari menengadahkan tangannya.Beberapa esaat kemudian, Rasyid yang tadi membungkukkan tubuhnya saat menahan sakit kini kembali berdiri tegap. "Belum waktunya kamu bicara seperti itu," pungkasnya sembari memberikan kembali botol obat pe
Satu jam lebih berlalu. Saat ini Arumi sedang berdiri di dekat sebuah perempatan yang ramai dengan kendaraan berlalu lalang."Di mana …," gumam Arumi sembari menatap ke arah jam tangan yang diberikan oleh Satria. Kakinya menghentak-hentak kecil karena tidak sabar menunggu."Bagaimana kalau Syahila lapar," gumam Arumi lagi yang merasakan payudaranya penuh dan itu tandanya kalau buah hatinya itu sedang lapar. Masih teringat dengan jelas bagaimana tangisan bayi kecil itu di telepon tadi.Tak lama kemudian terlihat sebuah mobil berwarna hitam mendekat ke arahnya. Dan setelah mengamati selama beberapa saat, terlihat seorang laki-laki turun dari mobil tersebut."Kenapa kamu lama sekali," gerutu Arumi karena melihat itu adalah Rasyid yang menjemputnya.Setelah itu Arumi pun segera masuk ke dalam mobil tersebut tanpa basa-basi. "Ayo cepat kita pergi," ucapnya ketika Rasyid juga sudah masuk ke dalam mobil tersebut."Apa Anda benar-benar sendirian?" tanya Rasyid sembari menekan pedal g