Share

Seratus Juta

Arumi pun bergegas pergi ke arah sumber suara tersebut sambil berkata, "Aku tid—"

Namun suarannya langsung tercekat ketika tahu siapa orang yang ada di dalam ruangan yang baru saja diinjaknya.

"Ar," panggil laki-laki yang ada di dalam ruangan tersebut ketika melihat Arumi.

Sadar dengan laki-laki yang sedang menatapnya, kemudian Arumi pun menoleh ke arah wanita paruh baya yang sedang merokok dengan santai di ruangan itu. "Buk, apa yang Ibuk rundingkan tadi dengan Mas Nizam? Seratus juta apa?" tanyanya meminta kejelasan.

"Dia mau menikahimu," jawab wanita paruh baya tersebut. "Aku memberi dia syarat seratus juta kalau mau membawamu pergi, tapi sepertinya dia keberatan."

"Dia sudah benar kalau tidak mau menikahiku," debat Arumi lalu kembali menoleh ke arah laki-laki yang sudah menjadi kekasihnya selama setahun ini.

"Tunggu Ar, aku bukan tidak mau menikahimu," sanggah Nizam sambil berdiri dari kursinya.

"Sudahlah Mas, ibumu sudah mengatakan semuanya," pungkas Arumi.

Nizam tersentak mendengar hal itu.

"Kaget?" tanya Arumi dengan sinis.

"Tunggu Ar, aku bisa jelaskan semuanya," ucap Nizam sambil melangkah ke arah Arumi.

Lalu Arumi pun tersenyum remeh. Dan dengan tangan bersedekap dia berkata, "Kamu punya waktu satu menit untuk menjelaskan."

'Berapa kali aku harus kecewa karena dia. Tanpa masalah dari dia, masalahku yang lainnya pun sudah banyak. Aku tidak perlu disumbang masalah lagi, dari dia ataupun orang tuanya,' batin Arumi yang tadi sudah mendengar tentang hubungan yang sebenarnya antara Nizam dan wanita yang tadi pagi menamparnya.

"Aku ...." Nizam terlihat kebingungan.

"Habis waktumu," tandas Arumi sambil menatap ke arah jam dinding seolah ia benar-benar menghitung waktu yang diberikan olehnya, padahal tidak sama sekali.

"Ar, tolong berikan aku waktu. Aku akan membatalkan pernikahanku dengan Kaila. Aku janji," ujar Nizam sambil mencoba mengambil tangan Arumi yang sudah tak jauh darinya.

Langsung saja Arumi menghindar. "Mas, katakan padaku. Sejak kapan kamu mengenal wanita bernama Kaila itu?"

Nizam menatap ke arah lain, dari ekspresi wajahnya terlihat jelas kalau dia masih kesulitan menjawab pertanyaan Arumi ini.

"Nggak bisa jaw—"

"Aku kenal dia sejak lima tahun lalu," potong Nizam. "Tapi baru tiga bulan ini tiba-tiba ibuku menjodohkan kami," imbuhnya.

"Kamu sudah bertunangan dengan dia kan?" tanya Arumi yang meminta kejelasan tentang hal ini, walaupun sebenarnya ia sudah mendengar hal ini dari ibu kekasihnya yang tadi siang meneleponnya dan mengatakan beberapa hal tentang hubungan Nizam dan wanita yang bernama Kaila tersebut.

Sekali lagi gaya yang sama ditunjukkan oleh Nizam ketika Arumi meminta penjelasan.

"Jadi benar, kamu dan dia—"

"Ar, sebulan yang lalu Ibuk sakit, dan aku tidak bisa menolak pertunangan ini. Kamu harus mengerti posisiku saat itu."

"Harus?" Senyuman remeh langsung muncul dari bibir Arumi. "Kalau aku mengerti kamu, lalu yang mengerti aku ini siapa, ha? Siapa?"

Air mata sudah mengambang di pelupuk mata Arumi, tapi ia tetap mencoba untuk terlihat tegar.

"Kamu memposisikan aku sebagai perusak hubungan orang Mas! Apa ini lucu?" raungnya. "Kalau tahu seperti ini kenyataannya, harusnya yang kutampar tadi pagi bukan dia, tapi kamu," ucap Arumi sembari menunjuk tepat ke arah wajah Nizam.

"Ar, aku mohon tenanglah! Aku akan segera membatalkan semuanya demi kamu, tenanglah." Nizam merendah.

"Sekarang kita sudah tidak ada hubungan apa pun. Kamu silahkan pergi Mas, aku capek habis kerja," usir Arumi dengan sopan sambil menunjuk ke arah pintu masuk rumah itu.

"Ar," panggil Nizam sambil sekali lagi ingin mencoba meraih tangan Arumi.

"Keluar!" teriak Arumi tiba-tiba.

Sontak saja Nizam yang terkejut pun dengan cepat meninggalkan rumah ini setelah berpamitan pada Ibuku yang sedari tadi masih memperhatikan pertengkaran kami berdua dengan santai sambil menghisap rokok di tangannya.

"Hah," desah Arumi sambil mendaratkan pantatnya di sofa setelah kepergian Nizam.

"Selesai?" tanya Ibuk sambil menatapku dengan ekspresi datar.

Sedangkan aku langsung menatap tajam ke arah Ibukku yang merupakan pemilik tempat remang-remang terbesar di wilayah wajib kontrasepsi ini. "Apanya yang selesai? Buk, tadi laki-laki itu menemuiku," ujarnya memulai pembicaraan.

"Ya, jadi kamu sudah tahu," gumam Ibuk.

"Tahu, terus?"

"Ibuk terpaksa memberikan kamu karena orang yang membawanya minta perawan," terang Ibuk. "Kamu kan tahu sendiri kalau di sini mana ada yang namanya perawan," imbuhnya.

Helaan napas panjang pun keluar dari bibir Arumi. Ingin sekali dia berteriak pada Ibunya, tapi apa gunanya sekarang? Lagipula tubuhnya sudah sangat capek menghadapi rentetan masalah hari ini.

"Sudahlah Buk, terserah Ibuk saja bagaimana berpikirnya. Yang jelas aku harap Ibuk tidak mendapat karma karena hal ini, aku—"

"Kamu menyumpahi Ibuk?" Mata Ibuk melotot.

"Tentu saja," sahut Arumi sembari bangun dari kursi yang didudukinya. "Memangnya jika Ibuk jadi aku, Ibuk akan senang diperlakukan seperti ini?"

Sesaat Arumi menatap ke arah Ibunya dengan tajam. Dan tak menunggu lama, kemudian ia pun melangkah meninggalkan ruang tamu tersebut tanpa menunggu jawaban dari wanita yang melahirkannya ke dunia itu.

Setelah beberapa saat melangkah, akhirnya ia pun masuk kembali ke dalam kamarnya. Ia merebahkan tubuhnya di atas ranjang yang ditempatinya sejak kecil.

"Huff ...," Arumi menghembus napas panjang ketika merasakan pikirannya buntu.

Air matanya pun kembali menetes, ingin rasanya ia berteriak sekeras mungkin untuk melampiaskan perasaannya yang tertekan karena harus terbelenggu dalam keadaan menyedihkan yang seolah tak ada habisnya.

"Kenapa hidup sangat sulit, padahal aku nggak minta yang muluk-muluk. Aku hanya ingin hidup tenang, bekerja di toko Nita sampai punya uang banyak, lalu pergi dari tempat ini. Cuma itu saja, kenapa sulit sekali?" keluh Arumi sembari mengangkat tangannya ke arah langit-langit kamar yang saat ini dipandanginya.

Hingga ....

Tok-tok-tok!

"Ar!" Suara ibu Arumi mengagetkannya.

"Kenapa lagi toh," gerutu Arumi sembari bangun dari ranjangnya.

"Ar!"

"Apa?" sahut Arumi dengan kasar sembari membuka pintu kamar tersebut.

Namun ketika pintu baru saja terbuka, tiba-tiba Ibuk dengan cepat menarik tangan Arumi dan mendorongnya ke arah dapur.

"Ada apa toh, Buk?" tanya Arumi yang merasa bingung.

"Dengar, bawa uang ini dan pergi dari sini lewat belakang," ujar Ibuk sembari memberikan sebuah tas kecil yang terlihat cukup berisi pada Arumi.

"Ada apa?" tanya Arumi lagi yang makin penasaran dengan tingkah ibunya.

"Sudah, pokoknya jangan kembali sebelum besok! Ngerti?"

Arumi pun langsung mengerutkan dahinya mendengar hal itu. Namun belum sempat ia bertanya lagi, ibunya sudah mendorongnya keluar dari pintu dapur dan kemudian mengunci pintu tersebut.

"Ada apa sih," gumamnya yang kemudian melangkah ke arah samping dan ingin mencari tahu apa yang sedang terjadi di depan rumahnya, sehingga membuat Ibunya mengeluarkan dirinya lewat pintu belakang.

Namun baru beberapa saat ia melangkah, tiba-tiba terdengar keributan serta sirine mobil polisi yang terdengar di kejauhan. Akhirnya Arumi pun mengurungkan langkahnya dan segera berbalik meninggalkan kawasan itu dengan memanjat dinding pembatas kawasan tersebut seperti yang diperintahkan oleh Ibunya.

Brugh!

"Issh," desis Arumi yang baru saja terjatuh keluar pagar. "Siapa toh yang bikin pagar tinggi begini," gerutu Arumi sembari bangun dari tanah tempatnya terjatuh.

Ia kemudian bergegas meninggalkan tempat tersebut walaupun langkahnya kini harus tertatih karena kakinya yang terluka. "Ck, harus ke jalan besar, bisa bahaya kalau mereka nyari sampai sini," gumam Arumi sembari terus melangkah.

Namun ketika baru sampai di jalan raya, tiba-tiba saja ....

Ciiit! Suara rem motor yang diinjak dengan tiba-tiba pun menggema di sekitar jalanan yang sudah tak begitu ramai tersebut.

Brugh!

"Akh!" pekik Arumi yang kini terduduk di aspal. "Aku hidup," gumamnya sembari membuka mata ketika merasakan tidak ada yang salah dengan dirinya.

"Kamu cari mati!" teriak pengendara motor yang kini melangkah ke arah Arumi sembari membuka helmnya.

Seketika mata Arumi membulat ketika melihat wajah si pengendara motor tersebut. "Kamu lagi," ucapnya.

"Kamu gadis yang kemarin malam kan?"

'Kenapa harus dia lagi,' gerutu Arumi di dalam hati sembari mengangkat telunjuknya ke arah Satria yang saat ini sedang menatap tajam ke arahnya.

Tiba-tiba ....

"Itu dia!" teriak seseorang dari kejauhan.

Langsung saja Arumi menarik tangan pemuda di depannya itu. "Ayo!"

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status