Share

Benda Di dalam Uang

Setelah lebih dari lima menit meninggalkan tempat tadi dengan penuh ketegangan, akhirnya Satria yang saat ini sedang membonceng Arumi pun mulai bersuara.

"Ada apa ini sebenarnya?" tanya Satria sembari melirik kaca spion motor sportnya.

"Nanti aku ceritakan, yang penting sekarang kita ke warung kopi yang aku tunjukan dulu," jawab Arumi sembari berpegangan erat pada pinggang Satria karena Satria membawa motornya cukup kencang.

Setelah itu Arumi pun menunjukkan jalan ke tempat yang ia katakan. Dan entah kenapa, tanpa protes Satria mendengarkan setiap perkataan Arumi tanpa tahu dengan pasti ke mana ia dan Arumi akan pergi.

"Di depan berhenti," ucap Arumi setelah lebih dari sepuluh menit berada di boncengan Satria.

Satria pun mengikuti perkataan Arumi dan memarkirkan motornya di halaman sebuah warung kopi yang terlihat cukup ramai pelanggan itu.

"Ayo!" ajak Arumi sembari menarik tangan Satria seperti yang ia lakukan sebelumnya.

"Katakan dengan benar, apa yang sebenarnya terjadi? Dan apa kamu terluka?" tanya Satria sembari menatap cara berjalan Arumi yang tertatih, sekaligus juga menatap baju tidur pendek yang digunakannya.

Setelah duduk di salah satu bangku, akhirnya Arumi pun menyahut, "Tidak apa-apa. Kamu tadi hanya menyenggol sedikit, jadi hanya jatuh biasa. Kalau kakiku ini karena tadi aku melompat dari tembok belakang rumah."

Satria langsung mengernyit mendengar hal itu. "Lalu, apa orang tadi mengejar kamu?"

"Tidak tahu juga, tapi yang pasti aku memang dalam masalah tadi," jawabnya sembari meletakkan tas yang dibawanya di atas meja.

"Ck!" decak Satria yang merasa cukup kesal karena ia harus terlibat sesuatu yang tidak jelas dan tidak ada hubungannya dengan dirinya.

Lalu ....

"Mas, pesan apa?" tiba-tiba seorang pemuda menghampiri dirinya dan Arumi.

"Dua kopi ijo Mas, sama cilotnya dua," sahut Arumi dengan cepat tanpa membiarkan Satria memilih.

"Ada lagi?" tanya pemuda tersebut sembari menatap Arumi dan Satria bergantian.

"Nggak ada," jawab Arumi kembali.

Pada akhirnya Satria pun hanya mengangguk pada pemuda tersebut dan kemudian kembali menatap Arasy yang sedang berusaha membuka resleting tas yang dibawanya.

"Kenapa?" tanyanya ketika melihat Arumi yang sedang kesulitan.

"Ini," ucap Arumi sembari membalik posisi tas tersebut dan memperlihatkan gembok yang terpasang di resleting tas yang tak begitu besar itu.

"Di mana kuncinya?" tanya Satria sembari mengamati gembok tersebut.

"Nggak tahu."

Langsung saja Satria mendongakkan kepalanya mendengar jawaban mencengangkan itu. "Lalu ini milik siapa? Jangan-jangan kamu—"

"Hiss, sembarangan. Aku bukan maling," sela Arumi. "Itu tadi diberikan ibuku sebelum menyuruhku pergi. Katanya sih uang, tapi aku penasaran."

"Uang," gumam Satria sembari kembali menatap tas tersebut. Baginya cukup aneh kalau seorang ibu memberikan uang untuk anaknya dalam wadah yang digembok tapi tak memberikan kunci gembok tersebut.

Sesaat kemudian Arumi tanpa bicara apa pun tiba-tiba berdiri dan kemudian melangkah ke arah satu pelayan warung kopi.

"Mau apa dia," gumam Satria sembari memperhatikan Arumi dari kejauhan.

Dan setelah beberapa saat, akhirnya Arumi pun kembali sambil membawa gunting di tangannya.

"Kamu mau membuka paksa?" Satria.

"Yah, mau bagaimana lagi," jawab Arumi sembari menggenggam tas tersebut erat dan kemudian mulai menggunting sedikit demi sedikit, hingga terlihatlah benda yang ada di dalam tas tersebut.

'Benar uang,' pikir Arumi yang cukup terkejut melihat hal itu. Ia tak menyangka jika ibu yang selama ini dilihatnya sebagai wanita egois ternyata peduli padanya.

Langsung saja Arumi mengambil salah satu gulungang uang seratus ribuan itu dan dengan cepat membukanya. Namun, hal yang mengejutkan terjadi ketika ia melihat benda yang ada di tengah-tengah gulungan uang tersebut.

"Apa itu benar-benar Ibumu yang memberikan?" tanya Satria sembari ikut menatap benda serbuk yang saat ini sedang dipegang oleh gadis di depannya.

Kemudian sebuah senyum miris muncul di bibir Arumi. "Kalau bukan dia, terus siapa lagi," jawab Arumi sembari kembali membuka gulungan lain dan menemukan benda yang sama.

'Dia benar-benar ingin membuatku celaka,' batin Arumi sembari menggenggam erat dua buah klip yang berisi serbuk putih bernilai mahal tersebut.

"Aku tidak yakin jika dia ibumu," seloroh Satria sembari menatap tas yang terlihat masih banyak isinya.

"Sebenarnya aku juga tidak ingin percaya, tapi mau bagaimana lagi sejak kecil aku memang sudah hidup bersama dia," sahut Arumi sembari segera mengeluarkan semua benda haram tersebut dan kemudian segera mengantonginya.

Mereka pun terus mengobrol santai hingga akhirnya Arumi pun berpura-pura mencari udara segar dan segera membuang benda-benda tersebut ke sungai besar yang berada tak jauh dari warung kopi tersebut.

"Terserahlah, karena kamu yang nyuruh aku pergi bawa uangnya ... ya aku bakal pergi," ucap Arumi sembari menatap aliran air sungai yang cukup deras. Ingin rasanya ia hanyut saja di sungai yang ada di depannya itu, tapi ia sadar kalau bunuh diri tak akan menyelesaikan satu masalah pun dalam hidupnya.

"Aku tidak tahu apa pun tentang keluargamu dan aku tidak ingin ikut campur dengan urusan kamu. Tapi aku hanya ingin bilang, kalau kamu ingin hidup dengan baik maka keluar saja dari lingkunganmu," ujar Satria yang kini berdiri tepat di sebelah Arumi.

Satria mengatakan hal ini bukan tanpa alasan. Semua orang bisa saja maju walaupun tinggal ditempat yang buruk, tapi itu jika ditunjang dengan orang-orangnya di sekitar yang mendukung dirinya untuk memperoleh hal yang lebih baik. Namun berbeda dengan Arumi, terlihat jelas jika orang-orang di sekitarnya seolah menyeretnya untuk tetap terjebak bersama mereka.

"Kamu benar, aku akan pergi," sahut Arumi sembari sedikit terisak. Sesaat kemudian ia pun menoleh. "Apa kamu bisa menolongku sekali lagi dan setelah itu aku anggap kita impas?"

"Apa?"

"Setelah makan tolong antarkan aku ke rumah seseorang, bisa?"

"Ya."

**

Keesokan Harinya.

Setelah semalam tidur di rumah Nita dan bercerita panjang lebar, akhirnya kini mereka sudah waktunya membuka toko.

"Nanti biar aku saja yang mengambil HP-mu," ujar Nita sembari menggenggam gagang sapu dan mulai mengayunkannya.

"Jangan, nanti kam—"

Ciiit! Tiba-tiba sebuah motor matic berhenti di halaman toko.

"Kenapa lagi," gumam Arumi.

"Lama-lama dia jadi fans kamu Ar," sahut Nita sembari menatap ke arah orang yang baru datang tersebut, sama seperti sahabatnya.

Tiba-tiba ....

"Pelakor! Keluar!"

"Matamu buta! Aku di sini!" teriak Arumi sembari membawa kemoceng di tangannya.

"Hajar, Ar!" teriak Nita memberi semangat.

Arumi pun dengan santainya melangkah ke halaman toko, tempat orang yang meneriakinya itu berdiri. Khusus hari ini, ia pastikan tidak akan menolak jika ada orang yang ingin mengajaknya berkelahi.

"Apa?" sergah Arumi sembari menepuk-nepukkan kemoceng di tangannya, seolah benda tersebut adalah senjata pamungkasnya.

Plak!

Shht!

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status