Dering ponsel itu masih berbunyi, menusuk keheningan yang baru saja dipenuhi desah dan napas terburu. Nama Shane di layar membuat Jamie mengepalkan rahang. Tangannya yang masih memegang pinggang Lyodra terasa tegang. “Jamie…” Suara Lyodra pelan, masih serak, tubuhnya belum sepenuhnya kembali tenang. Bibirnya bengkak, wajahnya merah padam, dan napasnya belum teratur. Ia sadar betul betapa jauh mereka tadi larut, hanya selangkah lagi melewati batas. Jamie menoleh padanya, sorot matanya tajam, tapi di balik itu ada getar tak rela. Seakan ingin menegaskan sesuatu yang Lyodra sudah tahu tapi belum berani ia ucapkan. “Lilu… aku nggak akan biarkan siapa pun merebutmu dariku. Bahkan Shane.” Nada suaranya berat, penuh kepastian. Sementara itu, dering berhenti. Layar ponsel gelap sesaat, lalu menyala lagi. Shane kembali menelpon. Jamie menggeram pelan. Dengan gerakan kasar ia meraih ponsel itu, menekan tombol jawab, dan menyapukan nada dingin. “Apa maumu, Shane?” Dari seberang, suara l
Suasana di dalam mobil semakin berat. Jendela mulai berembun, napas mereka jadi kabut yang menempel di kaca. Lyodra masih duduk di pangkuan Jamie, tubuhnya sudah benar-benar melebur dalam pelukan lelaki itu. “Lilu…” Jamie memanggilnya lirih, namun penuh desakan. Tangannya bergerak menyapu pipi hingga leher Lyodra, lalu berhenti di pinggang, menarik tubuhnya makin rapat. “Kamu tahu nggak, aku udah gila nahan semua ini?” Lyodra menutup mata, kepalanya bersandar di bahu Jamie. “Aku tahu… karena aku juga sama, Jamie. Rasanya nggak ada ruang buat aku bernapas selain sama kamu.” Kalimat itu membuat Jamie seakan kehilangan kendali. Bibirnya segera melumat bibir Lyodra lagi, kali ini tak ada jeda, hanya hasrat yang menuntut. Ciuman mereka dalam, panas, hingga Lyodra terengah di antara desahannya. “Aku nggak bisa berhenti,” desah Jamie, kedua tangannya kini menahan wajah Lyodra seakan takut gadis itu pergi. “Sekalipun aku coba, tubuhku tetap cari kamu.” Lyodra membuka matanya perlahan,
Mobil masih berembun, kehangatan tubuh mereka belum juga reda. Jamie masih menahan Lyodra di pelukannya, seolah takut jika ia melepaskan, Lyodra akan menghilang begitu saja. “Ly…” suaranya parau, napas masih memburu. “Kenapa setiap kali aku dekat denganmu, aku merasa seperti orang gila?” Lyodra tersenyum samar, ujung jarinya menelusuri rahang Jamie. “Karena kamu terlalu mencintaiku, Jamie.” Jamie memejamkan mata, mencium jemarinya. “Terlalu mencintaimu sampai kadang aku takut kehilangan kendali.” Lyodra menunduk, bibirnya menyentuh bibir Jamie lagi, kali ini lebih lembut. Ciuman itu bukan hanya gairah, tapi juga janji. “Kalau begitu,” bisik Lyodra di sela ciuman, “jangan pernah lepaskan aku. Kalau kamu takut kehilangan, dekap aku lebih erat.” Kalimat itu membuat Jamie semakin dalam menatapnya. Ia menarik Lyodra ke pangkuannya, hingga tubuh mereka saling melekat tanpa jarak. Tangan Jamie menyusuri punggung Lyodra, membuat gadis itu gemetar halus. “Ly…” suaranya berat. “
Malam itu, mobil Jamie meluncur meninggalkan gedung cabang dengan kecepatan di atas normal. “Jamie, pelan sedikit. Kamu nyetir kayak dikejar setan,” Lyodra memegang dashboard dengan panik. Jamie tidak menjawab, rahangnya mengeras, tatapan lurus ke jalan. “Bicara sama aku, jangan diam begini!” Lyodra menoleh padanya, suaranya bergetar. “Aku harus apa, Ly?!” Jamie akhirnya meledak. “Harus tersenyum melihat pria lain terang-terangan bilang masih mencintai tunanganku?!” Lyodra terdiam sejenak, lalu menjawab lirih, “Aku nggak tahu dia akan bicara begitu. Sumpah, Jamie. Aku juga kaget.” “Tapi kamu nggak menyangkalnya di sana.” Suara Jamie merendah, tapi penuh luka. “Kenapa, Ly? Apa kamu masih ada rasa buat dia?” “Jamie!” Lyodra menatapnya dengan mata memerah. “Aku milikmu. Cuma kamu! Aku marah banget sama Jupiter karena ngomong kayak gitu. Kamu pikir aku nyaman dengarnya? Tidak! Itu bikin aku merasa dihina.” Jamie menginjak rem mendadak, membuat mobil berhenti di pinggir j
“Ly.” Jamie membuka pintu ruang meeting cabang dengan tiba-tiba, membuat semua kepala menoleh. Sorot matanya langsung mengunci Lyodra yang tengah duduk di seberang Jupiter. “Jamie?” Lyodra terperanjat, bangkit refleks. “Kamu… kenapa tiba-tiba ada di sini?” Jamie berjalan masuk tanpa menjawab. Pandangannya sempat melintas ke Jupiter, lalu kembali ke Lyodra. Senyum tipis tapi dingin terbit di bibirnya. “Jadi, ini yang bikin kamu sering lembur?” Lyodra menelan ludah. “Jangan salah paham. Aku memang lagi koordinasi proyek sama Jupiter.” Jupiter berdiri, menyodorkan tangan. “Tuan Jamie, senang akhirnya bisa bertemu langsung. Aku Jupiter.” Jamie menatap tangan itu sekilas, tidak segera menyambut. Udara di ruangan seakan menegang. Baru setelah beberapa detik, ia menjabat singkat. “Aku tahu siapa kamu.” Senyum Jupiter menipis, ia menarik tangannya pelan. “Kalau begitu, semoga kita bisa kerja sama dengan baik.” Shane yang sejak tadi duduk di sudut ruangan segera menyambar suasana deng
“Ly, ada yang perlu kita revisi dari laporan bulan lalu. Bisa sebentar ke ruanganku?” suara Jupiter terdengar dari ambang pintu. Lyodra mengangkat kepalanya dari tumpukan berkas. Ekspresinya tenang, meski di dadanya ada sedikit getar yang sulit ia kendalikan. Bekerja dengan Jupiter selama bertahun-tahun memang sudah membuatnya terbiasa, tapi tetap saja, ada ruang kecil dalam dirinya yang masih mengingat masa lalu. Ia berdiri, merapikan rok pensilnya, lalu melangkah mengikuti Jupiter. Di ruangan itu, aroma kopi hitam menyambutnya. Jupiter berdiri di depan papan presentasi, menunjuk grafik. “Laporan dari tim pemasaran agak janggal. Sepertinya ada kesalahan perhitungan. Kamu bisa cek ulang?” “Baik, aku cek,” jawab Lyodra singkat. Jupiter menoleh, menatapnya cukup lama sebelum akhirnya tersenyum samar. “Kamu masih sama seperti dulu. Serius, disiplin, selalu bisa diandalkan.” Lyodra menghela napas. “Jup, kita sudah dewasa sekarang. Jangan tarik-tarik masa lalu lagi. Aku di sini prof