Braaaaak.Pintu ruang rawat di lantai paling atas rumah sakit itu terbuka keras. Alex menerobos masuk, langkahnya terburu-buru. Wajahnya pucat, napasnya berat. Ruangan itu memang bukan ruang rawat biasa—satu lantai penuh diperuntukkan hanya bagi keluarga pemilik rumah sakit. Tidak sembarang orang bisa masuk. Tapi Alex tidak peduli. Detik ini dia hanya ingin melihat putrinya.“Sa… sayang…”Suaranya patah. Langkahnya otomatis ingin mendekat ke ranjang pasien di tengah ruangan. Tapi sebelum ia sempat menyentuh tubuh kecil itu, Angelica menahan tangannya.“Jangan, sayang. Olivia baru saja tertidur,” ujar Angelica pelan.Alex berdiri kaku. Matanya langsung basah. Di hadapannya, Olivia meringkuk kecil di atas ranjang pasien. Selimut menutupi sampai ke dada, salah satu tangan kecilnya diinfus, dan selang oksigen terpasang di hidung mungilnya. Tubuh itu terlihat lemah. Napasnya naik turun tak beraturan. Terlalu tenang, terlalu sunyi untuk ukuran anak kecil yang biasanya aktif dan cerewet sepe
Hari ini adalah hari ke-8 Alex dan William berada di kantor itu. Kantor yang berhasil dirugikan sebesar jutaan dollar.Kantor cabang Golden Gate mulai bergerak ke fase baru. Kasus Leonardo resmi diproses oleh tim hukum pusat, dan hari itu Alex memimpin rapat pertama terkait pemulihan internal.Pukul 09.00 pagi, seluruh kepala divisi kembali duduk di ruang rapat utama. Di layar proyektor, tampak daftar agenda yang singkat tapi padat: Pemulihan Sistem, Evaluasi SDM, dan Pelatihan Ulang.Alex berdiri di depan ruangan.“Kita tidak bisa hanya berhenti pada pencopotan satu orang. Yang rusak bukan cuma keuangan, tapi sistemnya. Struktur pengawasan longgar, pelaporan lemah, dan staf terlalu terbiasa menunggu perintah. Kita perbaiki semua itu mulai sekarang.”Ia menoleh ke William yang membagikan lembar panduan program audit internal ke setiap peserta rapat.“Mulai minggu ini, seluruh divisi wajib menjalani audit menyeluruh. Termasuk proses pengadaan, laporan aktivitas, dan penggunaan anggaran
Seperti Alex akan ada di kota ini lebih lama dari yang sudah ditetapkan. Dia benar-benar dibuat sibuk oleh anak buahnya yang mencoba-coba untuk melakukan korupsi besar-besaran. Padahal perusahaan ini belum lama mulai berkembang, tapi bisa-bisanya orang kepercayaannya malah ingin menghancurkan anak cabang perusahaannya. Bahkan untuk sekedar berkomunikasi dengan keluarganya pun dia tidak memiliki waktu. Alex bekerja lebih keras nyaris tak pernah tidur hanya untuk mengecek semua data yang ada. Dia ingin segera pulang dan menuntaskan masalah di sini.Pukul 10.00 pagi, Alex dan William sudah duduk di ruang rapat kecil di lantai dua kantor cabang. Di hadapan mereka, duduk dua orang pria dari vendor lokal bernama Silverline Solutions. Yang satu mengaku sebagai pemilik, yang satunya bagian administrasi.Alex membuka pertemuan tanpa basa-basi. “Terima kasih sudah datang. Kami ingin konfirmasi beberapa transaksi antara perusahaan Anda dan kantor cabang kami dalam dua bulan terakhir.”Pemilik ve
Pukul 08.15 pagi, Alex dan William sudah berada di ruang arsip kantor cabang. Ruangannya tidak terlalu luas, dindingnya dipenuhi rak logam yang berisi tumpukan map dan folder dari berbagai departemen. William berdiri di dekat rak paling ujung, membuka satu map bertuliskan Proyek Pelatihan Wilayah Utara - Leonardo A.Sementara Alex duduk di bangku lipat, menelusuri satu per satu dokumen fisik sambil mencocokkannya dengan data digital di laptopnya.“Ini aneh, Tuan,” ujar William sambil mengangkat satu lembar fotokopi invoice.Alex menoleh. William menunjukkan kertas yang dipegangnya.“Ini invoice pembayaran sewa aula untuk pelatihan dua bulan lalu. Tapi nama aula ini sama persis dengan yang ada di proyek tahun lalu, bahkan dengan nomor invoice yang sama. Bedanya, tahun lalu memang benar ada pelatihan. Sekarang, ini kayak hasil salinan.”“Ini juga ada proyek fiktif lagi,” tambah William menyerahkan data lain.Alex mengambilnya dan membandingkan dengan arsip tahun lalu. Kertasnya sama. H
“Angelica… dia orangnya seperti apa sih, Carlota?”Carlota tidak langsung menjawab. Ia berhenti melipat selimut, lalu duduk di kursi dekat sofa.“Kenapa tanya itu, Nona?” tanyanya pelan.Michelle menarik napas. “Nggak tahu. Tiba-tiba pengin tahu aja. Tadi Alvaro bilang… dia selalu nanyain aku. Tapi aku masih sulit percaya.”Carlota mengangguk. Ia meletakkan tangannya di pangkuan, lalu mulai menjawab.“Kalau soal Nyonya Angel, saya cuma bisa bilang satu hal, Nona. Beliau memang baik. Nggak dibuat-buat. Nggak ada kepura-puraan.”Michelle terdiam, mendengarkan.“Beliau bukan tipe yang banyak omong atau sok perhatian. Tapi kalau ada orang yang butuh bantuan, beliau selalu datang duluan. Bahkan kadang diam-diam membantu orang tanpa harus diketahui oleh orang lain. Hal ini juga yang membuat nyonya Maximus akhirnya luluh dan meyakini kalau menantunya ini adalah orang baik. Dulu biar sangat jahat sekali pada Nyonya Angelica. Tapi sekarang beliau benar-benar menganggap Nyonya Angelica seperti
Setelah mengantar Michelle menjalani sesi terapi di klinik milik dokter Anna, dan sempat makan siang bersama di sebuah restoran yang tidak ada di pusat kota New Capitol, Alvaro kini telah mengantar Michelle kembali ke apartemen yang menjadi tempat tinggal sementaranya. Hari itu cukup melelahkan, tapi berjalan lebih baik dari biasanya. Michelle tampak sedikit lebih tenang, meski ekspresi wajahnya tetap tertutup seperti biasa.Alvaro membantu Michelle masuk, memastikan kursi rodanya terparkir rapi di dekat sofa. Ia meletakkan tas kecil berisi obat di atas meja, lalu berdiri sebentar sambil mengecek jam tangan. Waktu menunjukkan hampir pukul empat sore."Aku kembali ke rumah sakit dulu ya," ucap Alvaro pelan. Ia berdiri di depan Michelle, matanya menatap lurus. "Kamu istirahat. Jangan lupa minum obatnya.”Michelle mengangguk kecil, dan saat ia ingin menjawab, tiba-tiba Alvaro—entah karena refleks atau saking terbiasanya memperlakukan pasien dengan hangat—mengusap pelan rambut Michelle.