Alex memberi kode pada asistennya untuk segera keluar dari ruangan, membiarkan dia dan Angelica berdua di dalam. William, sang asisten, tampak ragu sejenak, seolah ingin memastikan bahwa atasannya benar-benar ingin menghadapi wanita ini sendirian. Namun, tatapan tajam Alex membuatnya mengangguk cepat.
"Baik, Tuan. Saya permisi," ucapnya pelan, sebelum menutup pintu ruang kerja sang CEO dengan hati-hati. Suara pintu yang tertutup terdengar begitu nyaring di telinga Angelica, seakan menjadi tanda bahwa kini ia terperangkap dalam situasi yang tak bisa ia hindari. Ia berdiri di hadapan pria yang dulu pernah mencintainya dengan begitu dalam. Pria yang selama tujuh tahun selalu menatapnya dengan penuh kasih sayang, tapi kini menatapnya dengan dingin, penuh kebencian. Berani-beraninya perempuan ini kembali datang dalam kehidupan Alex, setelah dia hampir membuat Alex mengakhiri hidupnya. Alex tidak akan pernah melupakan kejadian itu. Dia hampir gila karena tak berhasil menemukan Angelica. Angelica menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan gemetar di tubuhnya. Andai saja ada jalan lain untuk mendapatkan uang demi pengobatan buah hatinya, mungkin ia akan memilih tempat lain. Akan tetapi, jalan seakan tertutup rapat. Takdir membawanya kembali ke pria ini, satu-satunya orang yang bisa membantunya saat ini. Alex menyandarkan tubuhnya di kursi, tangan kirinya bertaut di atas meja, sementara tangan kanannya mengetuk-ngetukkan jemarinya dengan ritme teratur, seolah sedang menahan amarah yang siap keluar kapan saja. Namun sialnya, hanya dengan melihat wanita ini saja, sesuatu di bawah sana seakan bergerak dan membuat celananya sempit. "Shiiiiit!" geramnya di dalam hati. Sejak berpisah dengan Angelica, tak sekalipun Alex dalam keadaan sadar berhubungan dengan perempuan lain. Karena miliknya memang tidak bisa normal lagi. Tapi entah kenapa melihat Angelica sekarang di hadapannya, sesuatu yang telah lama dianggapnya mati kini justru terasa hidup kembali. Akan tetapi dia kembali fokus pada Angelica. Orang yang paling dia benci dalam hidupnya. "Aku tidak punya banyak waktu. Katakan apa yang kau inginkan hingga kau berani menginjakkan kakimu lagi di ruang kerjaku?" tanyanya dingin. Suaranya terdengar tajam, menusuk tepat ke dalam hati Angelica. Mata Alex menatapnya tanpa belas kasihan, penuh luka yang belum sembuh meski bertahun-tahun telah berlalu. Empat tahun lalu, pria itu kehilangan Angelica dalam kesedihan, ditinggalkan tanpa sepatah kata pun. Alex sempat berada di titik terendah dalam hidupnya, mencari Angelica ke mana-mana, berharap ada penjelasan yang bisa meredakan amarah dan kesakitannya. Tapi yang ia dapatkan hanya kehampaan, kehilangan yang perlahan membunuhnya. Dan sekarang, ketika ia akhirnya bisa mengubur semua perasaan itu, takdir justru mempertemukan mereka kembali dengan cara yang paling menyakitkan. Angelica menelan ludah. Rasanya sulit sekali untuk mengeluarkan suaranya. Tenggorokannya tercekat oleh berbagai perasaan yang berkecamuk di dadanya. "Alex..." suaranya lirih, hampir tak terdengar. "Aku butuh bantuanmu." Alex tertawa kecil, bukan tawa bahagia, melainkan tawa sinis yang penuh sindiran. Ia menyandarkan tubuhnya lebih dalam ke kursi, menatap Angelica dengan ekspresi mengejek. "Bantuan?" ucapnya meremehkan. "Meminta tolong padaku sudah jadi kebiasaanmu, ya? Dan itu belum hilang sampai sekarang?" Angelica berusaha menahan sesak yang mulai menyusup ke dalam dadanya, semakin kuat dan rasanya sakit sekali. "Setiap kali kau butuh bantuan, maka kau akan datang padaku. Tapi ketika kau sudah tidak membutuhkan bantuanku, kau pergi begitu saja. Tanpa pamit. Tanpa penjelasan. Seolah aku ini bukan siapa-siapa dalam hidupmu." Setiap kata yang keluar dari mulut Alex bagaikan belati yang menghujam jantung Angelica. Debaran jantungnya semakin kencang. Ia tahu telah bersalah pada pria ini. Ia tahu betapa dalam luka yang ia tinggalkan. Tapi saat itu, Angelica tak punya pilihan lain. Ia harus pergi, harus menjauh dari Alex karena keadaan memaksanya. "Aku minta maaf..." bisiknya, nyaris tak terdengar. "Tapi sekarang, aku benar-benar membutuhkan bantuanmu, Alex." Mata Angelica mulai berkaca-kaca. Ia mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan, meskipun ia tahu setiap kata yang ia ucapkan hanya akan semakin membangkitkan kemarahan pria itu. "Aku tahu aku bersalah. Aku tahu aku pernah membuat kesalahan yang mungkin akan sangat sulit kau maafkan. Tapi kumohon..." Ia menarik napas dalam, berusaha menahan isak yang hampir pecah. "Tolong beri aku pekerjaan. Aku sangat membutuhkan itu." Angelica menundukkan kepala, menunggu jawaban dari pria yang mungkin menjadi satu-satunya harapannya saat ini. Melihat Angelica berdiri di hadapannya dengan gugup, tangan meremas roknya, dan mata berkaca-kaca, Alex merasakan kepuasan aneh mengalir di dalam dadanya. Wanita ini, wanita yang dulu pergi tanpa jejak, meninggalkannya dalam kehancuran, kini kembali dengan wajah penuh kepasrahan, meminta belas kasihannya. Sebuah ide licik mulai terbit di benaknya. Ini kesempatan yang tak akan ia sia-siakan. Jika dulu Angelica bisa meninggalkannya begitu saja tanpa memikirkan perasaannya, maka sekarang Alex akan memastikan wanita itu merasakan hal yang sama. Tidak, bahkan lebih buruk. Ia akan membuat Angelica menyesal telah datang kepadanya, menyesal telah memohon padanya. Alex menyilangkan tangan di dada, menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai, tatapannya berubah tajam dan penuh perhitungan. Bibirnya melengkung membentuk seringai tipis. "Kau ingin pekerjaan?" tanyanya mengejek. Angelica mengangguk cepat. "Iya, aku bersedia melakukan apa pun. Asalkan aku bisa mendapatkan pekerjaan." Alex mengetuk-ngetukkan jarinya di meja, berpura-pura berpikir, padahal dalam hati ia sudah memutuskan. "Apa pun?" ulangnya, matanya meneliti setiap ekspresi di wajah Angelica, menikmati bagaimana wanita itu semakin ketakutan di bawah tatapannya. Angelica menelan salivanya kelat, tapi tetap mengangguk. "Iya..." Alex terkekeh pelan. "Baiklah. Aku akan memberimu pekerjaan," sahutnya. Wajah Angelica sedikit bersinar, seolah beban berat di pundaknya sedikit terangkat. Tapi belum sempat ia bernapas lega, Alex menambahkan sesuatu yang membuat tubuhnya kembali menegang. "Tapi ada syaratnya." Angelica menatapnya, bingung sekaligus waspada. "Sya–syarat?"“Iya, kali ini hadiah dari kami berdua,” ucap Alex.Tak lama kemudian, kedua orang tua Alex bergabung di ruang tamu. Nyonya Maximus langsung mengambil Noah dari gendongan Angelica, sedangkan Tuan Maximus mengangkat Nathan ke pangkuannya. Dua bayi itu memang tidak akan ikut dalam perjalanan menuju hadiah yang sudah disiapkan Alex dan Angelica untuk Alvaro dan Michelle.“Tapi kami kan sudah dapat hadiah dari om dan tante. Nggak usah Alex kasih apa-apa lagi,” kata Alvaro, menatap saudara sepupunya itu.“Hadiah dari om dan tante itu nggak ada hubungannya sama hadiah yang mau diberikan Alex. Kalau om dan tante kasih hadiah untuk keponakan, kalau Alex dan Angel kasih hadiah untuk pengantin baru. Nggak boleh nolak rezeki, loh,” ujar Nyonya Maximus sambil tersenyum.“Ya udah deh kalau gitu kami pasrah,” jawab Alvaro.Mereka semua tertawa kecil.“Ayo kita langsung berangkat, pakai dua mobil saja, ya. Soalnya nanti Olivia mau mampir beli seragam sekolah,” ucap Alex sambil menyerahkan Nathan pad
“Tapi Olivia beneran punya kado istimewa loh buat Aunty dan Om dokter,” ucapnya sumringah sambil tersenyum lebar.Ucapan itu langsung membuat semua orang di ruang tamu menoleh ke arahnya. Olivia kemudian melirik ke arah Noah, yang dalam pelukan sang mama sambil memegang sebuah amplop berwarna putih.“Mana, Noah? Kakak minta amplopnya dong,” ucap Olivia sambil mengulurkan tangan ke arah sang adik.Noah hanya menatap sekilas lalu menggumam tak jelas, khas bayi berusia 10 bulan yang belum bisa berbicara lancar. Entah gumamannya itu tanda setuju atau menolak, tapi jelas sekali dari gerak tubuhnya, dia seperti enggan memberikan amplop tersebut.Olivia mengerucutkan bibirnya, pura-pura merajuk. “Nanti kakak nggak ajak main ya kalau nakal,” ucapnya sambil menatap adiknya. Meski begitu, suaranya tetap lembut. Bagaimanapun, Olivia sangat menyayangi Noah dan Nathan seperti menyayangi mama dan papanya sendiri.Noah tetap memeluk amplop itu erat, sampai akhirnya Angelica yang membantu. “Noah, kas
“Apa ini?” tanya Alvaro, sedikit terkejut saat melihat Olivia mendorong troli besar memasuki rumah. Di atas troli itu ada sebuah box berukuran besar, dibungkus rapi dan dililit pita.Alvaro dan Michelle baru saja datang pagi itu, tepat pukul 10.00, sesuai janji mereka dua hari setelah pesta pernikahan. Rumah Alex menjadi tempat berkumpulnya keluarga pagi itu. Begitu sampai, mereka langsung disambut dengan pemandangan Olivia yang sudah menunggu sambil mendorong troli sendirian, wajahnya semangat bukan main.“Karena Om Dokter sekarang sudah jadi direktur di rumah sakitnya Olivia, sekarang giliran Olivia dong kasih kado buat Om Dokter dan Aunty. Ini spesial dari Olivia, loh. Sebagai pemilik rumah sakit,” ucap Olivia bangga, tangannya bertolak pinggang seolah sedang pidato di depan karyawan.Alvaro tidak bisa menahan tawa. Michelle juga ikut tertawa sambil mengelus perutnya yang mulai membesar.“Ya ampun. Pengen banget deh nanti anaknya Aunty seusia Olivia sudah punya rumah sakit,” kata M
Setelah sesi sambutan dari kedua keluarga selesai, MC kembali naik ke atas panggung untuk mengumumkan acara selanjutnya. Musik kembali diperdengarkan, kali ini lebih ceria, mengisi suasana agar tetap hidup.“Selanjutnya, kita akan memasuki sesi foto bersama keluarga inti dan para tamu undangan. Kami mohon kepada keluarga besar kedua mempelai untuk naik ke panggung terlebih dahulu,” ucap MC pria dengan suara mantap.Para tamu langsung bergerak rapi. Panitia acara dengan cepat mengarahkan siapa yang harus naik lebih dulu, siapa yang menunggu giliran, dan siapa yang perlu duduk dulu agar semuanya tertib. Kamera dari tim dokumentasi sudah disiapkan sejak tadi. Cahaya dari lampu studio menyala di sekitar pelaminan, mengarahkan fokus pada kedua mempelai yang berdiri di tengah.Keluarga mempelai pria naik terlebih dahulu. Beberapa orang tua, saudara kandung, dan kerabat dekat langsung menuju panggung dengan antusias. Mereka tersenyum lebar, memeluk Michelle dan memuji betapa anggunnya ia har
Suasana ballroom hari itu penuh dengan suara percakapan para tamu yang sedang duduk sambil menanti. Beberapa dari mereka terlihat asyik mengobrol ringan, sementara lainnya sibuk dengan ponsel, mengambil foto suasana. Musik latar tetap mengalun pelan dari sudut ruangan, namun terdengar jelas. Semuanya sedang menunggu satu momen penting: masuknya pengantin utama.Tiba-tiba, terdengar suara dari panggung utama. Seorang pria dan wanita berdiri di sana, mengenakan busana formal yang serasi. Mereka adalah MC acara resepsi pernikahan Michelle dan Alvaro. Suara mereka terdengar bersahabat namun tegas, menyapa seluruh tamu dengan ucapan terima kasih karena telah hadir.“Bapak, Ibu, dan seluruh tamu undangan yang kami hormati... Sekarang, kita sampai pada momen yang telah kita tunggu-tunggu bersama,” ujar MC pria, disambut senyuman rekannya.“Pasangan pengantin kita hari ini telah sah menjadi suami istri sejak pagi tadi. Mereka telah mengucapkan janji suci, dan kini, saatnya mereka hadir di ten
“Ya Tuhan. Kenapa mereka secantik ini?” Naura sangat kagum. Pun dengan Davin. Mereka mulai mengambil kamera mengabadikan momen itu. Sementara di meja lain, tuan dan nyonya Maximus sampai meneteskan air mata. Ini gadis kecil yang dulu hampir ia celakai. Ini gadis kecil yang dulu ia tolak kehadirannya. Dan sekarang justru gadis inilah sumber kebahagiaan mereka berdua. “Pa, yang paling Mama sesali dalam hidup adalah, ketika Mama menjadi wanita yang jahat dan menolak anak yang dikandung oleh Angelica. Bahkan Mama hampir menjadi nenek yang sangat jahat dan hampir menghilangkan nyawa cucu kita,” ucap Nyonya Maximus.“Jangan diingat lagi, Ma. Kita sudah berhasil melewati semuanya. Dan sekarang kita hanya perlu bahagia persamaan dan cucu-cucu kita.”Mata mereka terus menatap ke arah pintu keluar. Olivia sudah terlihat dari pandangan mereka.Saat semua tamu telah duduk dengan rapi dan musik pengiring berubah menjadi irama lembut yang lebih sakral, suasana ballroom seketika menjadi hening. Se