“Aku menginginkanmu, Angel.”
Tubuh Angelica yang berdiri membelakangi pria itu sontak meremang saat sepasang lengan kekar melingkari pinggangnya, menariknya dengan perlahan ke pelukan yang erat. Terlebih suara berat Alex yang penuh godaan berbisik di telinganya. Belum sempat memproses segalanya, tangan kekasihnya itu mulai bergerak penuh gairah di atas tubuh Angelica.Angelica terkesiap.
Seharusnya, dia menolak dan coba menghentikannya. Ada yang harus dia bicarakan terkait pertemuannya dengan ibu Alex.
Namun, pria itu tahu benar titik-titik kelemahan Angelica, hingga dia pun tak kuasa menahan diri.
“Tunggu saja, akan kujadikan Kau Nyonya Alexander, Sayang,” bisik Alex penuh penekanan. Pria itu pun mendorong tubuh wanita itu pelan ke dalam ruang pribadi di dalam ruang kerjanya dan melakukannya seolah tak ada hari esok..... “Bu, Angel?!”Deg!
Panggilan sang dokter membuat Angelica tersentak dan kembali dari lamunannya. Bisa-bisanya dia teringat akan masa lalunya di saat seperti ini.
Masa lalu yang tak akan pernah bisa Angel lupakan seumur hidupnya, tapi harus dia kubur dalam-dalam.
“Anak Ibu harus segera dibawa ke rumah sakit di New Capitol agar mendapat perawatan yang tepat. Sementara, di rumah sakit ini tidak memiliki alat yang memadai,” ucap dokter lagi pada Angelica.Mendengar itu, Angelica mendadak sesak. “A–apa biayanya mahal, Dokter?” tanyanya.
Dia tak punya uang sama sekali. Semua hasil kerjanya sudah habis untuk pengobatan Olivia. Saat ini dia berada di kota Bolivia, kota termiskin yang ada di Kota Sun City.
“Iya, Bu. Tapi anak Ibu harus segera mendapatkan perawatan intensif. Kondisinya sudah semakin melemah. Kalau dibiarkan terus seperti ini, saya tidak berani menjamin kalau anak Ibu akan berumur panjang,” jawab dokter. Dokter tidak ingin memberikan harapan palsu pada keluarga pasien karena hal itu justru akan semakin memperburuk keadaan gadis kecil berusia tiga tahun yang saat ini sedang berjuang melawan kelainan jantung yang dideritanya sejak lahir. “Ya Tuhan, di mana aku harus mencari biaya pengobatannya? Tolong beri petunjuk... Aku tidak ingin kehilangan Olivia. Separuh hidupku adalah dia... Ya Tuhan, berikan jalan, beri aku petunjuk apa yang harus aku lakukan?” gumamnya dalam hati. Linangan air mata dan isakan kecilnya membuat dokter yang ada di hadapannya pun ikut merasa sedih. Namun, tiba-tiba saja Angelica ingin menemui Alex, pria yang dulu pernah menjadi kekasihnya. Mereka berpisah karena kedua orang tua Alex yang merasa malu memiliki calon menantu dengan latar belakang yang sangat rendah. Tanpa berpamitan kala itu, Angelica langsung pergi tanpa pesan apapun pada Alex, lelaki yang mencintainya sepenuh hati. “Aku harus ke kota. Aku harus minta tolong pada Alex untuk memberiku pekerjaan. Minimal aku bisa membayar biaya pengobatan Olivia,” ucapnya pada diri sendiri. Lantas Angelica pun berpamitan pada dokter dan pulang ke apartemen kecil yang selama ini ia tempati bersama gadis kecilnya. Tapi, sekarang Olivia harus dirawat di rumah sakit karena penyakit kelainan jantung yang dideritanya semakin parah. Angelica segera berkemas, hanya membawa beberapa barang kebutuhan mereka berdua. Dia meminta izin pada dokter untuk membawa Olivia tanpa menggunakan fasilitas rumah sakit. Namun, dokter tidak mau mengambil risiko. Dia tahu alasan Angelica menolak menggunakan fasilitas rumah sakit untuk mengantarkan mereka ke kota—karena Angelica tidak memiliki biaya. Dokter pun berkata bahwa dia yang akan menanggung semua biayanya sampai Olivia mendapat perawatan di rumah sakit terbaik yang ada di kota. “Kita mau ke mana, Mama?” tanya Olivia. Wajahnya masih pucat, dan saat ini mereka berada di dalam mobil ambulans yang akan membawa keduanya menuju rumah sakit di kota. Angelica duduk di samping putri semata wayangnya. “Kita harus pindah rumah sakit, Sayang, dan kita akan menempuh perjalanan yang sangat panjang. Olivia tidur, ya?” bujuknya pada sang buah hati. “Mama jangan menangis,” ujar gadis kecil itu saat melihat sang mama kembali meneteskan air mata. “Mama nangis bahagia, Sayang, karena akhirnya Olivia akan mendapatkan perawatan yang terbaik,” jawabnya jujur. “Olivia harus kuat, ya, Nak, biar cepat sembuh.” Dengan antusias, Olivia pun mengangguk. Meski dalam benaknya terus berputar bagaimana caranya mendapatkan uang untuk biaya rumah sakit, tetapi, di depan Olivia, Angelica harus tampak kuat dan sering tersenyum, menyembunyikan rasa sakit di dalam hatinya. ***Dua hari kemudian... Angelica berdiri di depan ruang kerja Alex. Dia harus menghadap langsung pada pemilik perusahaan yang tak lain adalah mantan kekasihnya. Angelica harus siap menerima amarah pria tersebut. Dengan perasaan takut, Angelica mengetuk pintu ruang kerja Alex. Terdengar langkah kaki mendekati pintu tersebut, dan ternyata asisten pribadi Alex yang membukanya. “Angel?” William menyapa dengan suara pelan. “Ngapain kau ke sini?” tanyanya lagi. Tentu saja William yakin Alex akan sangat marah bila melihat Angelica di sini. Sang CEO hampir gila mencari keberadaan wanita itu karena Angel tiba-tiba menghilang di saat Alex benar-benar jatuh cinta kepadanya. “A-aku mau bertemu dengan Alex,” jawab Angelica. Belum sempat William menjawab tubuh keduanya menegang mendengar suara berat Alex. Suara yang 4 tahun belakangan ini sangat Angelica rindukan. “Siapa itu, William?” Suara berat Alex terdengar menggema di ruangan itu. William menarik napas berat, lalu membuka pintu ruang kerja sang atasan dengan lebar. “Angel yang datang, Tuan,” ucapnya pelan, nyaris berbisik. Mata Alex melebar menatap Angelica yang berdiri di depan pintu ruang kerjanya. Wanita yang meninggalkannya tanpa pesan setelah tujuh tahun bersama, sekaligus wanita yang hampir membuatnya mengakhiri hidup.Buku ini terbit bab baru tiap jam 12.00 Wib.
"Brengsek."Bugh!Satu pukulan keras kembali mendarat di pipi kiri Markus sebelum dia sempat menarik selimut atau mengenakan pakaian. Perempuan di sampingnya berteriak panik dan buru-buru menutupi tubuhnya dengan seprai, lalu sembunyi di sudut kamar sambil terisak.Bugh! Bugh!Dua pukulan lagi menghantam rahang dan pelipis Markus. Pria itu terjatuh dari ranjang, membentur lantai, kepalanya berdenyut hebat."A–Alex, apa yang—"Bugh!Markus tak sempat menyelesaikan kalimatnya. Tinju Alex kembali menghantam wajahnya. Kali ini lebih keras. Hidungnya berdarah. Napasnya tersengal. Dia berusaha menangkis, tapi tubuhnya telanjang, lemas, dan belum siap untuk pertarungan."Berapa banyak yang sudah kamu curi dari keluarga kami, hah?!" bentak Alex, suara beratnya menggema di seluruh kamar.Bugh!Markus hanya bisa mengangkat tangan, mencoba melindungi wajahnya yang mulai bengkak. Pipi kanannya sobek, darah menetes ke lantai. Alex menendang pinggangnya keras, membuat Markus meringkuk dan mengerang
Puas memeluk Papanya, Alex beralih memeluk sang mama yang terbaring lemah di ranjang pasien. Pelukan itu terasa berat, seperti menampung segala luka yang belum pernah sempat ia ungkapkan. Ia tahu betul, kepergian Amelia meninggalkan luka besar—tidak hanya untuk dirinya, tapi juga untuk wanita yang kini terbaring tak berdaya di depannya.Selama ini, sang mama adalah sosok keras yang tidak pernah menunjukkan kasih sayangnya secara terbuka. Tapi sekarang, melihat mama dalam kondisi seperti ini, semua kemarahan dan sakit hati yang pernah dia simpan perlahan runtuh. Wajah mamanya pucat, tubuhnya nyaris tak bergerak, dan dari matanya yang terbuka setengah, terlihat jelas bahwa dia masih sadar, tapi tak mampu lagi bicara. Stroke berat itu benar-benar telah mengambil separuh nyawanya.Alex hanya bisa menggenggam tangan dingin itu. Tangannya besar dan kuat, tapi untuk pertama kalinya dia merasa kecil di hadapan mamanya. Sebagai anak, dia tahu ini bukan waktu untuk mengungkit kesalahan lama. Bu
Alex pulang dengan langkah cepat, wajahnya menunjukkan kecemasan yang sulit disembunyikan. Ia tidak menyangka waktu akan berjalan serumit ini. Seharusnya, setelah menerima kabar mengejutkan dari sepupunya mengenai kondisi kedua orang tuanya, ia hanya perlu pulang, berpamitan pada istrinya dan anak mereka, lalu segera berangkat ke West Country. Tapi semuanya berubah begitu ia membuka pintu rumah.Langkahnya terhenti di ambang ruang tamu. Di sana, duduk dua wanita yang sama sekali tidak ia harapkan akan berada dalam satu ruangan. Sophia, istri sahnya secara hukum, duduk tenang namun tajam menatap Angelica, wanita yang telah mengisi hidup Alex dengan cinta dan ketulusan. Suasana tampak tegang, meski tak ada suara, namun hawa di ruangan itu seakan menahan napas.“Dari mana kamu tahu rumahku?” tanya Alex pada Sophia. Suaranya tenang, tapi sorot matanya tajam, curiga, dan jelas tak menyambut kehadiran wanita itu dengan hangat.Angelica tidak bergeming dari tempat duduknya. Ia tetap duduk di
Jika Markus sedang asyik bercinta dengan calon pengasuh putrinya, berbeda dengan Alex yang saat ini sedang berada di kantor dan menerima telepon dari saudara sepupunya."Halo," sapa Alex sambil menyandarkan punggung ke kursi kerjanya. Panggilan itu datang tiba-tiba, membuatnya sedikit terkejut karena jarang-jarang sepupunya menelepon di jam sibuk seperti ini. Dia mematikan layar laptopnya dan fokus pada percakapan.Meski dia selama ini sudah dibuang oleh kedua orang tuanya, bahkan tidak diizinkan lagi menggunakan nama besar Maximus di belakang namanya, namun hubungan Alex dengan sepupunya yang satu ini masih sangat baik. Mereka sering bertukar kabar, saling membantu di balik layar. Sepupunya itu adalah salah satu dari sedikit anggota keluarga besar yang tidak ikut memusuhi Alex saat ia memilih Angelica di masa lalu.Namun akhir-akhir ini, sebagian besar dari mereka, bahkan hampir semua, mendukung hubungan Alex dengan Angelica. Terlebih setelah kematian Amelia, banyak dari mereka yang
Wanita itu berdiri persis di hadapan Markus, memiringkan wajahnya dan mencium Markus dengan penuh nafsu. Ciuman yang awalnya biasa saja, berubah menjadi ciuman yang panas. Wanita itu melingkarkan kedua tangannya di leher Markus, sementara Markus menarik pinggang sang wanita untuk semakin dekat dengannya. Tubuh keduanya tidak berjarak. Sehingga wanita yang akan menjadi babysitter anaknya Markus dan Sophia itu, bisa merasakan kedutan berkali-kali dari dalam celana Markus. Puas melumat bibir wanita itu, masih dengan mata terpejam, Markus mulai menjelajahi leher sang calon pengasuh. Ia bahkan tak ragu meninggalkan tanda merah di leher wanita itu secara adil di sisi kanan dan kiri. Tubuh wanita itu sudah mulai panas, dan tanpa ragu tangannya menyentuh bagian intim sang majikan. Meremas bagian itu dengan penuh hasrat. Sementara bibir mereka kembali berciuman, lidah saling membelit satu sama lain, setiap hembusan nafas mereka menimbulkan desahan kecil hingga membuat keduanya semakin tera
“Apa maksudmu, Markus?! Kau mau mengusir kami dari rumah kami sendiri?!” bentak Tuan Maximus, tak bisa menahan amarah. Suaranya meninggi, penuh rasa tak terima. Dua koper yang tadi dilempar dari lantai atas masih tergeletak di depan mereka. Salah satunya mengenai mata kakinya. Sakitnya masih terasa, tapi itu tak seberapa dibanding luka di hatinya.Markus berdiri di ujung tangga, menatap mereka dari atas sambil menyeringai. “Kalian bukan pemilik rumah ini lagi. Semua harta kekayaan yang kalian punya sudah jadi milikku. Dan itu bukan karena aku mencuri. Itu karena Amelia sendiri yang mengalihkan semuanya kepadaku secara sah. Dengan kesadarannya. Karena dia mencintaiku. Karena dia ingin aku tetap tinggal di rumah ini.”Markus menuruni tangga sambil tertawa—bukan tawa bahagia, tapi tawa sinis yang menyakitkan. Seolah menertawakan dua orang yang dulu mengangkatnya dari kehidupan biasa menjadi bagian dari keluarga konglomerat.“Aku nggak mau repot-repot merawat orang tua yang udah nggak ber