Ruang kerja Alex terasa lebih dingin dari biasanya. Atau mungkin hanya Angelica yang merasakannya. Tatapan Alex yang menusuk seakan membekukan udara di sekitarnya.
Angelica mengumpulkan keberaniannya, meski ia tahu jawaban yang akan ia dapatkan mungkin tak akan menyenangkan. "Syarat apa yang kau maksud, Alex?" tanyanya pelan, suaranya sedikit bergetar. Alex menyandarkan tubuhnya ke kursi dengan santai, jemarinya kembali mengetuk-ngetuk meja dengan ritme teratur. "Syaratnya sederhana, Angel. Kau harus patuh pada setiap perintahku. Tidak ada protes, tidak ada keluhan. Dan yang paling penting..." Ia mencondongkan tubuhnya ke depan, menatap Angelica tajam. "Kau harus menandatangani kontrak kerja sama denganku minimal 10 tahun." Angelica mengerutkan kening. "Se--sepuluh tahun?" Alex mengangguk. "Jika sebelum kontrak itu berakhir kau memutuskan untuk pergi, maka aku akan melaporkanmu ke kantor polisi." Darah di wajah Angelica seakan menghilang. "A--Apa maksudmu?" Alex menyeringai tipis. "Kau pikir aku akan membiarkanmu menghilang lagi setelah kau datang memohon-mohon seperti ini? Tidak, Angel. Kali ini, aku yang memegang kendali. Jika kau berani melanggar perjanjian, aku akan memastikan hidupmu hancur." Angelica menggigit bibirnya, mencoba mencari celah untuk menolak. Namun, bayangan Olivia yang masih terbaring lemah di rumah sakit membuatnya menelan semua keberatan. Ia tak punya pilihan lain. Ia harus bertahan demi putrinya. Dengan menahan sesak di dada, ia pun mengangguk. "Baik... Aku akan menandatangani kontraknya." Mata Alex sedikit menyipit, seolah menikmati kepasrahan Angelica. "Good job. Karena sekarang kau hanya boleh patuh, tanpa protes." Angelica mencoba menarik napas dalam, lalu bertanya, "Apakah aku benar-benar bisa diterima kembali sebagai tim marketing di Golden Gate Corporation?" Tawa dingin Alex menggema di ruangan itu. Tawanya penuh ejekan, seakan mendengar sesuatu yang begitu konyol. "Tim marketing? Kau pikir aku akan membiarkanmu kembali ke perusahaanku?" Alex menatapnya dengan sorot menghina. "Kau tidak pantas bekerja di sini lagi, Angel." Dada Angelica terasa sesak. Ia menggigit bibirnya lebih keras, menahan diri agar tidak menunjukkan betapa hancurnya ia mendengar kata-kata itu. "Kalau begitu..." Angelica menelan ludahnya. "Pekerjaan apa yang akan kau berikan padaku?" Ekspresi Alex menjadi lebih tajam. Dengan suara yang begitu tenang, ia berkata, "Kau akan bekerja sebagai pelayan di rumahku." Dunia Angelica seakan berhenti berputar. Ia menatap pria itu dengan kaget, berharap apa yang ia dengar hanyalah lelucon kejam. Alex tahu Angelica lulusan sarjana. Tapi wajah Alex tetap dingin, tanpa belas kasihan. "Tidak... Aku bisa bekerja di kantor. Aku bisa berkontribusi seperti dulu. Jika aku bekerja di sini, aku bisa mendapatkan gaji untuk kebutuhanku, Alex," ucapnya penuh permohonan. Jika Angelica kembali bekerja menjadi tim marketing di kantor ini, ia bisa memasarkan properti perusahaan ini, untuk mendapatkan bonus. Angelica butuh uang lebih dari gajinya setiap bulan. Dan hal itu hanya bisa dia dapatkan dengan kembali menjadi marketing di kantor ini. Namun, Alex menggeleng pelan. "Aku tidak peduli dengan apa yang kau inginkan, Angel. Kau hanya punya satu pilihan, bekerja di rumahku atau pergi tanpa hasil. Tapi ingat, jika kau pergi sekarang, jangan pernah berpikir untuk kembali bisa bertemu denganku." Semua harga dirinya telah ia kubur sejak memutuskan datang ke tempat ini. Namun, mendengar bahwa satu-satunya pekerjaan yang akan diberikan Alex adalah menjadi pelayan di rumahnya membuatnya merasa semakin diinjak-injak. “Tapi aku butuh uang lebih dari gajiku tiap bulan, Alex,” lirihnya. "Uang lebih?" tanya Alex. Pria itu berdiri lalu berjalan mendekati Angelica, yang kini menatapnya dengan gugup. "I—iya..." "Kau boleh mengambil pekerjaan sampingan di rumahku untuk mendapatkan uang lebih banyak lagi," ucapnya, kini berdiri persis di depan Angelica. Mata Angelica berbinar. "Pekerjaan apa itu, Alex?" tanya Angelica. "Menjadi budak nafsuku. Aku akan membayarmu setiap kali kau berhasil memuaskanku, layaknya wanita penghibur," bisiknya tepat di samping telinga Angelica, membuat tubuh wanita itu meremang. "Tapi, Alex—" "Sssst. Jangan berisik. Kau hanya boleh menjawab, mau atau tidak. Karena kau memang pantas menjadi wanita penghibur," balas Alex tajam. Tapi lagi-lagi, ia tak punya pilihan lain. Demi Olivia, ia harus menerima semua penghinaan ini. Dengan suara hampir tak terdengar, Angelica akhirnya berkata, "Aku terima." “Sekarang pergilah, tinggalkan nomor ponselmu pada William. Tunggu kami yang akan menghubungimu, dan satu lagi,” Alex menatap Angelica dari ujung rambut sampai ujung kaki, “jangan pernah menginjakkan kakimu lagi di kantorku kecuali aku yang memintamu datang. Kau hanya pantas menjadi seorang pelayan!” Hati Angelica, seperti diremas tangan tak kasat mata. Sakit dan perih."Brengsek."Bugh!Satu pukulan keras kembali mendarat di pipi kiri Markus sebelum dia sempat menarik selimut atau mengenakan pakaian. Perempuan di sampingnya berteriak panik dan buru-buru menutupi tubuhnya dengan seprai, lalu sembunyi di sudut kamar sambil terisak.Bugh! Bugh!Dua pukulan lagi menghantam rahang dan pelipis Markus. Pria itu terjatuh dari ranjang, membentur lantai, kepalanya berdenyut hebat."A–Alex, apa yang—"Bugh!Markus tak sempat menyelesaikan kalimatnya. Tinju Alex kembali menghantam wajahnya. Kali ini lebih keras. Hidungnya berdarah. Napasnya tersengal. Dia berusaha menangkis, tapi tubuhnya telanjang, lemas, dan belum siap untuk pertarungan."Berapa banyak yang sudah kamu curi dari keluarga kami, hah?!" bentak Alex, suara beratnya menggema di seluruh kamar.Bugh!Markus hanya bisa mengangkat tangan, mencoba melindungi wajahnya yang mulai bengkak. Pipi kanannya sobek, darah menetes ke lantai. Alex menendang pinggangnya keras, membuat Markus meringkuk dan mengerang
Puas memeluk Papanya, Alex beralih memeluk sang mama yang terbaring lemah di ranjang pasien. Pelukan itu terasa berat, seperti menampung segala luka yang belum pernah sempat ia ungkapkan. Ia tahu betul, kepergian Amelia meninggalkan luka besar—tidak hanya untuk dirinya, tapi juga untuk wanita yang kini terbaring tak berdaya di depannya.Selama ini, sang mama adalah sosok keras yang tidak pernah menunjukkan kasih sayangnya secara terbuka. Tapi sekarang, melihat mama dalam kondisi seperti ini, semua kemarahan dan sakit hati yang pernah dia simpan perlahan runtuh. Wajah mamanya pucat, tubuhnya nyaris tak bergerak, dan dari matanya yang terbuka setengah, terlihat jelas bahwa dia masih sadar, tapi tak mampu lagi bicara. Stroke berat itu benar-benar telah mengambil separuh nyawanya.Alex hanya bisa menggenggam tangan dingin itu. Tangannya besar dan kuat, tapi untuk pertama kalinya dia merasa kecil di hadapan mamanya. Sebagai anak, dia tahu ini bukan waktu untuk mengungkit kesalahan lama. Bu
Alex pulang dengan langkah cepat, wajahnya menunjukkan kecemasan yang sulit disembunyikan. Ia tidak menyangka waktu akan berjalan serumit ini. Seharusnya, setelah menerima kabar mengejutkan dari sepupunya mengenai kondisi kedua orang tuanya, ia hanya perlu pulang, berpamitan pada istrinya dan anak mereka, lalu segera berangkat ke West Country. Tapi semuanya berubah begitu ia membuka pintu rumah.Langkahnya terhenti di ambang ruang tamu. Di sana, duduk dua wanita yang sama sekali tidak ia harapkan akan berada dalam satu ruangan. Sophia, istri sahnya secara hukum, duduk tenang namun tajam menatap Angelica, wanita yang telah mengisi hidup Alex dengan cinta dan ketulusan. Suasana tampak tegang, meski tak ada suara, namun hawa di ruangan itu seakan menahan napas.“Dari mana kamu tahu rumahku?” tanya Alex pada Sophia. Suaranya tenang, tapi sorot matanya tajam, curiga, dan jelas tak menyambut kehadiran wanita itu dengan hangat.Angelica tidak bergeming dari tempat duduknya. Ia tetap duduk di
Jika Markus sedang asyik bercinta dengan calon pengasuh putrinya, berbeda dengan Alex yang saat ini sedang berada di kantor dan menerima telepon dari saudara sepupunya."Halo," sapa Alex sambil menyandarkan punggung ke kursi kerjanya. Panggilan itu datang tiba-tiba, membuatnya sedikit terkejut karena jarang-jarang sepupunya menelepon di jam sibuk seperti ini. Dia mematikan layar laptopnya dan fokus pada percakapan.Meski dia selama ini sudah dibuang oleh kedua orang tuanya, bahkan tidak diizinkan lagi menggunakan nama besar Maximus di belakang namanya, namun hubungan Alex dengan sepupunya yang satu ini masih sangat baik. Mereka sering bertukar kabar, saling membantu di balik layar. Sepupunya itu adalah salah satu dari sedikit anggota keluarga besar yang tidak ikut memusuhi Alex saat ia memilih Angelica di masa lalu.Namun akhir-akhir ini, sebagian besar dari mereka, bahkan hampir semua, mendukung hubungan Alex dengan Angelica. Terlebih setelah kematian Amelia, banyak dari mereka yang
Wanita itu berdiri persis di hadapan Markus, memiringkan wajahnya dan mencium Markus dengan penuh nafsu. Ciuman yang awalnya biasa saja, berubah menjadi ciuman yang panas. Wanita itu melingkarkan kedua tangannya di leher Markus, sementara Markus menarik pinggang sang wanita untuk semakin dekat dengannya. Tubuh keduanya tidak berjarak. Sehingga wanita yang akan menjadi babysitter anaknya Markus dan Sophia itu, bisa merasakan kedutan berkali-kali dari dalam celana Markus. Puas melumat bibir wanita itu, masih dengan mata terpejam, Markus mulai menjelajahi leher sang calon pengasuh. Ia bahkan tak ragu meninggalkan tanda merah di leher wanita itu secara adil di sisi kanan dan kiri. Tubuh wanita itu sudah mulai panas, dan tanpa ragu tangannya menyentuh bagian intim sang majikan. Meremas bagian itu dengan penuh hasrat. Sementara bibir mereka kembali berciuman, lidah saling membelit satu sama lain, setiap hembusan nafas mereka menimbulkan desahan kecil hingga membuat keduanya semakin tera
“Apa maksudmu, Markus?! Kau mau mengusir kami dari rumah kami sendiri?!” bentak Tuan Maximus, tak bisa menahan amarah. Suaranya meninggi, penuh rasa tak terima. Dua koper yang tadi dilempar dari lantai atas masih tergeletak di depan mereka. Salah satunya mengenai mata kakinya. Sakitnya masih terasa, tapi itu tak seberapa dibanding luka di hatinya.Markus berdiri di ujung tangga, menatap mereka dari atas sambil menyeringai. “Kalian bukan pemilik rumah ini lagi. Semua harta kekayaan yang kalian punya sudah jadi milikku. Dan itu bukan karena aku mencuri. Itu karena Amelia sendiri yang mengalihkan semuanya kepadaku secara sah. Dengan kesadarannya. Karena dia mencintaiku. Karena dia ingin aku tetap tinggal di rumah ini.”Markus menuruni tangga sambil tertawa—bukan tawa bahagia, tapi tawa sinis yang menyakitkan. Seolah menertawakan dua orang yang dulu mengangkatnya dari kehidupan biasa menjadi bagian dari keluarga konglomerat.“Aku nggak mau repot-repot merawat orang tua yang udah nggak ber