Begitu Angelica keluar dari ruangan Alex, ia meninggalkan nomor ponselnya di meja William. Angelica segera pergi dari sana, namun tatapan penuh sindiran langsung menyambutnya. Beberapa karyawan yang mengenalnya dulu menoleh dengan ekspresi yang sulit diartikan.
Sebagian hanya melirik sekilas sebelum kembali sibuk dengan pekerjaan mereka, tapi tak sedikit yang sengaja memperlambat langkah, seolah ingin memastikan bahwa itu benar-benar Angelica, wanita yang dulu begitu beruntung, dan kini kembali dalam keadaan berbeda. "Dia balik lagi ke sini?" bisik salah satu dari mereka dengan nada geli. "Berani juga dia datang setelah apa yang terjadi dulu," sahut yang lain. "Jangan-jangan dia mau kerja di sini lagi?" "Mana mungkin. Tuan Alex nggak sebodoh itu untuk nerima dia lagi." Ema sangat yakin kalau atasannya tidak mungkin menerima Angelica kembali. Dia salah satu saksi hidup bagaimana Alex hancur dan kini membenci Angelica. Ema, adalah rekan kerja Angelica dulu di bagian marketing, wanita itu selalu punya alasan untuk iri dan benci terhadap Angelica. Kalau sampai Angelica benar-benar kembali ke kantor ini, maka dirinyalah yang akan membuat Angelica keluar dengan sendirinya. Angelica mendengar semuanya, tapi dia memilih tidak menanggapi. Kepalanya tetap tertunduk, langkahnya tetap terarah ke luar. Ia tidak punya waktu untuk memikirkan omongan mereka. Yang ada di pikirannya saat ini hanyalah Olivia, anaknya yang sedang berjuang di rumah sakit. Suasana kantor ini masih sama seperti dulu, tapi kini rasanya begitu asing. Dulu, dia sering melangkah dengan percaya diri di lorong ini, disambut dengan senyuman rekan kerja yang mengaguminya. Tapi sekarang? Ia hanya jadi bahan cibiran, obyek rasa puas bagi mereka yang dulu mungkin iri pada keberuntungannya. Angelica segera menuju ke rumah sakit. Saat tiba, Angelica duduk di kursi kecil di samping ranjang rumah sakit. Tubuhnya terasa kaku, tangannya lemas, tapi matanya tak lepas dari Olivia. Anak itu masih tertidur, wajahnya pucat dengan selang oksigen terpasang di hidungnya. Dadanya naik turun dengan napas yang berat, seolah setiap tarikan udara adalah perjuangan. Jantung Angelica terasa nyeri. Sudah tiga tahun Olivia hidup dalam ketidakpastian. Dari bayi, anaknya itu sudah harus bertarung dengan sakitnya sendiri, menahan nyeri yang mungkin bahkan tak bisa ia pahami. Setiap kali demam tinggi, setiap kali tubuhnya membiru karena kekurangan oksigen, Angelica hanya bisa memeluknya, menangis diam-diam, berharap semua penderitaan itu bisa dipindahkan padanya. Tapi kenyataan tak pernah sebaik itu. Olivia tetap harus berjuang sendiri. Angelica meremas jemarinya yang dingin. Dulu, saat pertama kali dokter memberi tahu bahwa bayinya memiliki kelainan jantung, ia hampir kehilangan akal sehat. Ia masih ingat malam-malam tanpa tidur, menangis di sudut kamar rumah sakit, berdoa agar Tuhan tidak mengambil satu-satunya alasan ia bertahan hidup. Tapi Olivia bertahan. Dari bayi hingga sekarang, anak itu selalu bertahan. Bahkan ketika tubuhnya semakin melemah, bahkan ketika dokter mulai berbicara dengan suara lebih pelan, seolah tak ingin memberi harapan palsu, Olivia tetap berusaha tersenyum. Angelica mengusap wajahnya, menahan sesak yang sudah memenuhi dadanya. Ia tidak boleh menyerah. Tidak sekarang. Tidak ketika Olivia masih berjuang. Matanya terpaku pada mesin medis yang terus berbunyi pelan, memberi tanda bahwa jantung kecil itu masih berdetak. Tapi sampai kapan? Sampai kapan Olivia bisa bertahan tanpa operasi yang selama ini ia tunda karena tak punya biaya? Air mata jatuh tanpa bisa ditahan lagi. Ia tak berani menangis terlalu keras, takut Olivia terbangun dan melihat betapa rapuhnya ia saat ini. Tapi Tuhan, rasanya ia ingin menjerit. Ia ingin marah, ia ingin menuntut keadilan. Kenapa Olivia harus menanggung semua ini? Kenapa bukan dia saja? Angelica menunduk, menggenggam tangan kecil itu dengan hati-hati. Kulit Olivia terasa dingin, begitu berbeda dari anak-anak sehat yang seharusnya berlari dan tertawa. "Maafkan Mama, Nak..." bisiknya dalam hati. "Mama akan berusaha lebih keras lagi agar Via bisa segera mendapatkan donor jantung. Mama janji..." Olivia mengerjapkan matanya perlahan, berusaha untuk tetap terjaga. "Mama..." panggilnya dengan suara serak. Angelica tersenyum, meski air mata sudah membanjiri wajahnya. "Iya, Sayang. Mama ada di sini." "Mama jangan nangis..." Olivia mengangkat tangannya yang kecil dan kurus untuk menghapus air mata Angelica, tapi gerakannya begitu lemah, membuat Angelica semakin sesak. "Iya, Mama enggak nangis, Sayang. Mama kuat, Olivia juga harus kuat, ya?" Olivia tersenyum kecil, tapi di balik senyuman itu, ada kepedihan yang begitu dalam. Tubuhnya mungkin kecil, tapi perjuangannya begitu besar. "Mama, Via capek..." suara kecil itu kembali terdengar, membuat dada Angelica terasa dihantam sesuatu yang berat. Air mata yang sejak tadi ia tahan akhirnya jatuh tanpa bisa dihentikan. "Olivia jangan bilang gitu, Sayang. Olivia harus kuat... Olivia harus sembuh..." Gadis kecil itu tersenyum samar. "Mama... kalau Olivia tidur... Mama tetap di sini, kan?" Angelica menggigit bibirnya, berusaha keras menahan isak tangis yang hampir pecah. "Iya, Sayang. Mama enggak akan ke mana-mana. Mama janji." "Olivia sayang Mama..." Angelica menggenggam tangan kecil itu erat. "Mama juga sayang Olivia, lebih dari apa pun di dunia ini." Olivia mengangguk kecil, lalu perlahan memejamkan matanya. Napasnya masih tersengal, tapi ia berusaha untuk tertidur. Angelica menatap wajah mungil itu dengan hati yang hancur. Tangannya gemetar saat mengelus pipi putrinya yang semakin tirus. "Tuhan... tolong jangan ambil anakku... Aku mohon..." isaknya tanpa suara. Pintu ruang rawat inap terbuka, seorang perawat datang mendekati Angelica, “Bu, dokter ingin bertemu dengan, anda,” ucapnya. Angelica mengangguk, dia yakin ini pasti tentang kondisi anaknya yang semakin memburuk, “Ya Tuhan, jangan kau ambil satu-satunya harta paling berharga dalam hidupku,” Angelica membatin.“Iya, kali ini hadiah dari kami berdua,” ucap Alex.Tak lama kemudian, kedua orang tua Alex bergabung di ruang tamu. Nyonya Maximus langsung mengambil Noah dari gendongan Angelica, sedangkan Tuan Maximus mengangkat Nathan ke pangkuannya. Dua bayi itu memang tidak akan ikut dalam perjalanan menuju hadiah yang sudah disiapkan Alex dan Angelica untuk Alvaro dan Michelle.“Tapi kami kan sudah dapat hadiah dari om dan tante. Nggak usah Alex kasih apa-apa lagi,” kata Alvaro, menatap saudara sepupunya itu.“Hadiah dari om dan tante itu nggak ada hubungannya sama hadiah yang mau diberikan Alex. Kalau om dan tante kasih hadiah untuk keponakan, kalau Alex dan Angel kasih hadiah untuk pengantin baru. Nggak boleh nolak rezeki, loh,” ujar Nyonya Maximus sambil tersenyum.“Ya udah deh kalau gitu kami pasrah,” jawab Alvaro.Mereka semua tertawa kecil.“Ayo kita langsung berangkat, pakai dua mobil saja, ya. Soalnya nanti Olivia mau mampir beli seragam sekolah,” ucap Alex sambil menyerahkan Nathan pad
“Tapi Olivia beneran punya kado istimewa loh buat Aunty dan Om dokter,” ucapnya sumringah sambil tersenyum lebar.Ucapan itu langsung membuat semua orang di ruang tamu menoleh ke arahnya. Olivia kemudian melirik ke arah Noah, yang dalam pelukan sang mama sambil memegang sebuah amplop berwarna putih.“Mana, Noah? Kakak minta amplopnya dong,” ucap Olivia sambil mengulurkan tangan ke arah sang adik.Noah hanya menatap sekilas lalu menggumam tak jelas, khas bayi berusia 10 bulan yang belum bisa berbicara lancar. Entah gumamannya itu tanda setuju atau menolak, tapi jelas sekali dari gerak tubuhnya, dia seperti enggan memberikan amplop tersebut.Olivia mengerucutkan bibirnya, pura-pura merajuk. “Nanti kakak nggak ajak main ya kalau nakal,” ucapnya sambil menatap adiknya. Meski begitu, suaranya tetap lembut. Bagaimanapun, Olivia sangat menyayangi Noah dan Nathan seperti menyayangi mama dan papanya sendiri.Noah tetap memeluk amplop itu erat, sampai akhirnya Angelica yang membantu. “Noah, kas
“Apa ini?” tanya Alvaro, sedikit terkejut saat melihat Olivia mendorong troli besar memasuki rumah. Di atas troli itu ada sebuah box berukuran besar, dibungkus rapi dan dililit pita.Alvaro dan Michelle baru saja datang pagi itu, tepat pukul 10.00, sesuai janji mereka dua hari setelah pesta pernikahan. Rumah Alex menjadi tempat berkumpulnya keluarga pagi itu. Begitu sampai, mereka langsung disambut dengan pemandangan Olivia yang sudah menunggu sambil mendorong troli sendirian, wajahnya semangat bukan main.“Karena Om Dokter sekarang sudah jadi direktur di rumah sakitnya Olivia, sekarang giliran Olivia dong kasih kado buat Om Dokter dan Aunty. Ini spesial dari Olivia, loh. Sebagai pemilik rumah sakit,” ucap Olivia bangga, tangannya bertolak pinggang seolah sedang pidato di depan karyawan.Alvaro tidak bisa menahan tawa. Michelle juga ikut tertawa sambil mengelus perutnya yang mulai membesar.“Ya ampun. Pengen banget deh nanti anaknya Aunty seusia Olivia sudah punya rumah sakit,” kata M
Setelah sesi sambutan dari kedua keluarga selesai, MC kembali naik ke atas panggung untuk mengumumkan acara selanjutnya. Musik kembali diperdengarkan, kali ini lebih ceria, mengisi suasana agar tetap hidup.“Selanjutnya, kita akan memasuki sesi foto bersama keluarga inti dan para tamu undangan. Kami mohon kepada keluarga besar kedua mempelai untuk naik ke panggung terlebih dahulu,” ucap MC pria dengan suara mantap.Para tamu langsung bergerak rapi. Panitia acara dengan cepat mengarahkan siapa yang harus naik lebih dulu, siapa yang menunggu giliran, dan siapa yang perlu duduk dulu agar semuanya tertib. Kamera dari tim dokumentasi sudah disiapkan sejak tadi. Cahaya dari lampu studio menyala di sekitar pelaminan, mengarahkan fokus pada kedua mempelai yang berdiri di tengah.Keluarga mempelai pria naik terlebih dahulu. Beberapa orang tua, saudara kandung, dan kerabat dekat langsung menuju panggung dengan antusias. Mereka tersenyum lebar, memeluk Michelle dan memuji betapa anggunnya ia har
Suasana ballroom hari itu penuh dengan suara percakapan para tamu yang sedang duduk sambil menanti. Beberapa dari mereka terlihat asyik mengobrol ringan, sementara lainnya sibuk dengan ponsel, mengambil foto suasana. Musik latar tetap mengalun pelan dari sudut ruangan, namun terdengar jelas. Semuanya sedang menunggu satu momen penting: masuknya pengantin utama.Tiba-tiba, terdengar suara dari panggung utama. Seorang pria dan wanita berdiri di sana, mengenakan busana formal yang serasi. Mereka adalah MC acara resepsi pernikahan Michelle dan Alvaro. Suara mereka terdengar bersahabat namun tegas, menyapa seluruh tamu dengan ucapan terima kasih karena telah hadir.“Bapak, Ibu, dan seluruh tamu undangan yang kami hormati... Sekarang, kita sampai pada momen yang telah kita tunggu-tunggu bersama,” ujar MC pria, disambut senyuman rekannya.“Pasangan pengantin kita hari ini telah sah menjadi suami istri sejak pagi tadi. Mereka telah mengucapkan janji suci, dan kini, saatnya mereka hadir di ten
“Ya Tuhan. Kenapa mereka secantik ini?” Naura sangat kagum. Pun dengan Davin. Mereka mulai mengambil kamera mengabadikan momen itu. Sementara di meja lain, tuan dan nyonya Maximus sampai meneteskan air mata. Ini gadis kecil yang dulu hampir ia celakai. Ini gadis kecil yang dulu ia tolak kehadirannya. Dan sekarang justru gadis inilah sumber kebahagiaan mereka berdua. “Pa, yang paling Mama sesali dalam hidup adalah, ketika Mama menjadi wanita yang jahat dan menolak anak yang dikandung oleh Angelica. Bahkan Mama hampir menjadi nenek yang sangat jahat dan hampir menghilangkan nyawa cucu kita,” ucap Nyonya Maximus.“Jangan diingat lagi, Ma. Kita sudah berhasil melewati semuanya. Dan sekarang kita hanya perlu bahagia persamaan dan cucu-cucu kita.”Mata mereka terus menatap ke arah pintu keluar. Olivia sudah terlihat dari pandangan mereka.Saat semua tamu telah duduk dengan rapi dan musik pengiring berubah menjadi irama lembut yang lebih sakral, suasana ballroom seketika menjadi hening. Se