Angelica duduk di kursi berhadapan dengan dokter Aurora, spesialis jantung yang menangani kasus Olivia, sejak pindah ke kota. Tangannya saling meremas di atas paha, berusaha menenangkan diri, tetapi detak jantungnya berdegup begitu kencang. Tatapan serius dokter Aurora membuat napasnya terasa semakin berat.
“Bu Angelica, kondisi Olivia semakin memburuk. Kita harus segera melakukan operasi transplantasi jantung. Untungnya, Olivia sudah masuk dalam daftar penerima donor.” Angelica menahan napas. Ada secercah harapan di sana. Tetapi… kenapa wajah dokter Aurora masih tampak berat? “Tapi, Bu Angelica… Anda harus segera menyiapkan biayanya, minimal setengahnya sudah harus segera dibayar.” Seakan ada batu besar yang menghantam dadanya. Seluruh tubuhnya terasa lemas seketika. “Be–berapa biayanya, dok?” Angelica terbata. Dokter menyebutkan perkiraan biaya yang harus disiapkan Angelica. Dokter Aurora kembali menjelaskan. “Untuk prosedur ini, Anda harus membayar sebagian biayanya terlebih dahulu agar antrian Olivia tidak dialihkan ke pasien lain. Rumah sakit juga membutuhkan konfirmasi pembayaran untuk memastikan kesiapan operasi. Mengenai nominalnya bisa anda tanyakan nanti di bagian administrasi.” Dunia Angelica seolah hancur berkeping-keping. Sialnya dia tidak punya uang. Tidak ada tabungan. Tidak ada orang yang bisa dia mintai tolong. Satu-satunya harapannya adalah Alex, dan bahkan pria itu hanya mau menerimanya sebagai pelayan di rumahnya. “Apa tidak ada cara lain, Dok? Apa saya bisa membayar setelah operasinya? Atau… bisakah saya mengajukan bantuan di rumah sakit ini?” tanya Angelica. Dokter Aurora menghela napas. “Kami bisa membantu dalam beberapa aspek, tapi biaya utama tetap harus dibayarkan, Bu Angelica. Jika tidak, ada kemungkinan jantung donor yang seharusnya untuk Olivia akan diberikan kepada pasien lain yang sudah lebih siap secara administrasi.” Kata-kata itu menghantamnya lebih keras dari apa pun. Tangannya gemetar, menutupi mulutnya yang bergetar hebat. Dia akan kehilangan Olivia jika dia tidak segera mencari uang. Air mata yang sejak tadi dia tahan akhirnya jatuh begitu saja. Angelica terisak pelan memenuhi ruangan itu. Dia benar-benar sendiri menanggung beban seberat ini. “Apa benar-benar tidak ada cara lain, dok?” suaranya terdengar parau, putus asa. “Tolong, Dok… saya akan melakukan apa pun. Saya tidak bisa kehilangan anak saya…” Angelica menutup wajahnya dengan kedua tangan. Tubuhnya bergetar membuat dokter Aurora sangat kasihan melihatnya. Sang dokter tahu pasien ini dirujuk dari rumah sakit yang ada di desa, rumah sakit yang tak memiliki peralatan khusus bagi penderitanya. Dokter Aurora menatapnya dengan empati, tetapi dia tidak bisa berbuat banyak. “Saya tahu ini sulit, Bu Angelica… Tapi, operasi ini sangat mendesak. Tak ada cara lain lagi, selain membayar setengahnya. Tolong, segerakan pencarian dananya. Kita tidak punya banyak waktu.” Angelica mengangguk lemah. Dia berdiri dengan langkah gontai, seakan tubuhnya kehilangan tenaga. Saat tangannya hendak meraih gagang pintu, dokter Aurora kembali bersuara. “Bu Angelica… Olivia anak yang kuat. Saya yakin dia ingin mamanya juga tetap kuat.” Ucapan itu membuat Angelica menangis lebih keras. Dia harus berjuang. Apapun caranya, dia harus menyelamatkan Olivia. Angelica kembali menuju ke ruang perawatan Olivia. *****Rumah Alex "Apa? Satu miliar? Untuk apa uang sebanyak itu?" Alex bertanya dengan suara menggelegar. Ia tak habis pikir dengan wanita di hadapannya. Baru pertama kali bekerja, Angelica sudah berani meminta pinjaman sebesar itu tanpa alasan yang jelas. Kalau saja bukan karena niatnya membalaskan sakit hati masa lalu, mungkin Alex sudah mengusirnya dari rumah ini. "A-ada yang harus aku bayar, Alex. Aku janji akan mengembalikannya. Kau boleh memotong gajiku, setiap bulan," jawab Angelica, suaranya bergetar. Angelica mengabaikan rasa malunya. Hanya Alex satu-satunya orang yang bisa memberinya uang dalam jumlah besar. Meski harus menerima amarah pria itu, dia tidak punya pilihan lain. Nyawa Olivia bergantung padanya. "Mau balikin pakai apa uang sebanyak itu? Batu? Pasir? Berapa lama akan lunas kalau dibayar pakai gajimu?" hina Alex dengan tawa sinis. Tapi Angelica tak marah. Ia hanya menunduk, menahan luka di hatinya. "A-aku janji... Aku pasti mengembalikannya, Alex. Aku janji," ulangnya, mencoba meyakinkan. Alex memperhatikan wajah mantan kekasihnya itu. Dari sorot mata wanita ini, ia bisa melihat betapa putus asanya Angelica. Tapi untuk apa uang sebesar itu? Hening beberapa detik sebelum Alex akhirnya berbicara. "Baik, aku akan memberikannya." Ia berhenti sejenak, menatap Angelica dengan seringai dingin. "Tapi, sebagai kompensasi, sebelum uang itu kau kembalikan... setiap malam, kau harus menjadi pemuas hasratku dan bermain dengan liar setiap malam. Artinya kau harus bekerja di rumah ini lebih dari 16 jam tanpa protes." Mata Angelica membulat. Tidak! Dia tidak bisa meninggalkan Olivia di rumah sakit sendirian. Tapi dia juga tahu, Alex tidak akan menerima negosiasi. Satu hari sebelumnya, Angelica sudah menandatangani kontrak kerja yang dibuat Alex. Isinya jelas: dia hanya boleh berhenti jika Alex yang memecatnya. Ia juga wajib bekerja 16 jam setiap hari dengan gaji yang tidak seberapa. Kontrak yang jelas-jelas dibuat untuk memanfaatkan keadaannya yang sedang terpuruk. Seharusnya, malam ini Angelica sudah pulang. Tapi dia terpaksa bertahan di rumah ini hanya untuk bertemu Alex. Pukul 23.00, Alex akhirnya tiba di rumah. Tak ada pilihan lain. Angelica menutup mata sejenak, menahan isak, sebelum akhirnya berkata, "Baik... Aku mau." Senyum kemenangan muncul di wajah Alex. Setiap gerakannya penuh dendam. Angelica harus merasakan sakit yang pernah ia rasakan. "Sekarang, ikut aku ke kamar," ujarnya dingin. Jantung Angelica seakan berhenti berdetak.“Wah, bagus ya ternyata keluargamu sudah lengkap sekarang,” sindir Sophia dengan senyum miring yang tak menyenangkan, menatap Angelica dan Olivia seperti orang asing yang kehadirannya tidak pernah ia harapkan di sini.Alex menoleh tajam. “Pergi dari sini. Kau nggak punya urusan lagi di tempat ini.”Suaranya keras, penuh penolakan. Baginya, kehadiran Sophia di ruangan ini sama sekali tidak diinginkan. Apalagi setelah kejadian kemarin. Ia yakin, Markus dan semua kekacauan itu tidak berdiri sendiri—dan pasti ada andil Sophia di belakangnya.“Aku cuma bawa surat buat kau tandatangani,” jawab Sophia santai, lalu menyerahkan sebuah map cokelat kepada Alex, seolah kedatangannya hanya sekadar urusan administratif biasa. Padahal semuanya sudah diatur, penuh perhitungan.Alex menerimanya, namun tidak langsung tergesa menandatangani. Ia tahu persis, Sophia bukan orang yang bisa dipercaya. Perempuan itu bukan tipe yang datang tanpa motif yang menyesatkan. Dia mulai membaca isi surat itu perlahan,
“Bo–boleh Papa menggendongnya?” suara Tuan Maximus terdengar lirih dan goyah.Wajahnya menunduk sedikit, menyembunyikan rasa bersalah yang selama ini menghantui. Dia sadar betul, dulu dia yang paling menolak kehadiran Angelica. Bahkan kalau waktu bisa diulang, mungkin dia tak akan pernah mengizinkan semua itu terjadi. Tapi sekarang, anak kecil di depannya ini—yang tak pernah mereka harapkan—justru satu-satunya harapan keluarga mereka.Olivia menoleh dari pelukan sang papa, mata bulat gadis kecil itu menatap pria tua yang belum terlalu dikenalnya. Dia merasa ragu kalau pria di hadapannya ini akan bisa menggendongnya. Sementara sang Mama yang terlihat lebih bugar saja tampak selalu mengeluh setiap kali Olivia minta digendong. Tubuh bongsornya menjadi alasan sang mama terus ngomel setiap kali menggendong Olivia. Apalagi berat badan Olivia sekarang naik drastis. Makannya enak terus, nggak seperti dulu mau makan benar-benar sulit. Bukan karena nggak selera, tapi karena mereka hidup berke
"Brengsek."Bugh!Satu pukulan keras kembali mendarat di pipi kiri Markus sebelum dia sempat menarik selimut atau mengenakan pakaian. Perempuan di sampingnya berteriak panik dan buru-buru menutupi tubuhnya dengan seprai, lalu sembunyi di sudut kamar sambil terisak.Bugh! Bugh!Dua pukulan lagi menghantam rahang dan pelipis Markus. Pria itu terjatuh dari ranjang, membentur lantai, kepalanya berdenyut hebat."A–Alex, apa yang—"Bugh!Markus tak sempat menyelesaikan kalimatnya. Tinju Alex kembali menghantam wajahnya. Kali ini lebih keras. Hidungnya berdarah. Napasnya tersengal. Dia berusaha menangkis, tapi tubuhnya telanjang, lemas, dan belum siap untuk pertarungan."Berapa banyak yang sudah kamu curi dari keluarga kami, hah?!" bentak Alex, suara beratnya menggema di seluruh kamar.Bugh!Markus hanya bisa mengangkat tangan, mencoba melindungi wajahnya yang mulai bengkak. Pipi kanannya sobek, darah menetes ke lantai. Alex menendang pinggangnya keras, membuat Markus meringkuk dan mengerang
Puas memeluk Papanya, Alex beralih memeluk sang mama yang terbaring lemah di ranjang pasien. Pelukan itu terasa berat, seperti menampung segala luka yang belum pernah sempat ia ungkapkan. Ia tahu betul, kepergian Amelia meninggalkan luka besar—tidak hanya untuk dirinya, tapi juga untuk wanita yang kini terbaring tak berdaya di depannya.Selama ini, sang mama adalah sosok keras yang tidak pernah menunjukkan kasih sayangnya secara terbuka. Tapi sekarang, melihat mama dalam kondisi seperti ini, semua kemarahan dan sakit hati yang pernah dia simpan perlahan runtuh. Wajah mamanya pucat, tubuhnya nyaris tak bergerak, dan dari matanya yang terbuka setengah, terlihat jelas bahwa dia masih sadar, tapi tak mampu lagi bicara. Stroke berat itu benar-benar telah mengambil separuh nyawanya.Alex hanya bisa menggenggam tangan dingin itu. Tangannya besar dan kuat, tapi untuk pertama kalinya dia merasa kecil di hadapan mamanya. Sebagai anak, dia tahu ini bukan waktu untuk mengungkit kesalahan lama. Bu
Alex pulang dengan langkah cepat, wajahnya menunjukkan kecemasan yang sulit disembunyikan. Ia tidak menyangka waktu akan berjalan serumit ini. Seharusnya, setelah menerima kabar mengejutkan dari sepupunya mengenai kondisi kedua orang tuanya, ia hanya perlu pulang, berpamitan pada istrinya dan anak mereka, lalu segera berangkat ke West Country. Tapi semuanya berubah begitu ia membuka pintu rumah.Langkahnya terhenti di ambang ruang tamu. Di sana, duduk dua wanita yang sama sekali tidak ia harapkan akan berada dalam satu ruangan. Sophia, istri sahnya secara hukum, duduk tenang namun tajam menatap Angelica, wanita yang telah mengisi hidup Alex dengan cinta dan ketulusan. Suasana tampak tegang, meski tak ada suara, namun hawa di ruangan itu seakan menahan napas.“Dari mana kamu tahu rumahku?” tanya Alex pada Sophia. Suaranya tenang, tapi sorot matanya tajam, curiga, dan jelas tak menyambut kehadiran wanita itu dengan hangat.Angelica tidak bergeming dari tempat duduknya. Ia tetap duduk di
Jika Markus sedang asyik bercinta dengan calon pengasuh putrinya, berbeda dengan Alex yang saat ini sedang berada di kantor dan menerima telepon dari saudara sepupunya."Halo," sapa Alex sambil menyandarkan punggung ke kursi kerjanya. Panggilan itu datang tiba-tiba, membuatnya sedikit terkejut karena jarang-jarang sepupunya menelepon di jam sibuk seperti ini. Dia mematikan layar laptopnya dan fokus pada percakapan.Meski dia selama ini sudah dibuang oleh kedua orang tuanya, bahkan tidak diizinkan lagi menggunakan nama besar Maximus di belakang namanya, namun hubungan Alex dengan sepupunya yang satu ini masih sangat baik. Mereka sering bertukar kabar, saling membantu di balik layar. Sepupunya itu adalah salah satu dari sedikit anggota keluarga besar yang tidak ikut memusuhi Alex saat ia memilih Angelica di masa lalu.Namun akhir-akhir ini, sebagian besar dari mereka, bahkan hampir semua, mendukung hubungan Alex dengan Angelica. Terlebih setelah kematian Amelia, banyak dari mereka yang