Sesaat, Angelica kembali membeku. Suasana di dalam kamar ini masih sama seperti terakhir kali dia masuk ke dalamnya, empat tahun lalu.
Alex tinggal seorang diri di kota besar ini, sementara mama, papa, dan kakak perempuannya menetap di West Country . Mereka tidak pernah menyukai hubungannya dengan Alex, hanya karena Angelica berasal dari kelas bawah. Mereka menuduhnya mengincar harta Alex semata. Sementara itu, Alex sibuk menghubungi seseorang melalui pesan singkat, memastikan apakah kamera yang dipasang sudah bekerja dengan baik atau belum. Setelah mendapatkan kepastian bahwa semuanya sesuai permintaannya, dia meletakkan ponselnya di atas meja. Tatapannya jatuh pada Angelica, yang berdiri mematung di ujung tempat tidur. Wanita itu meremas ujung seragam kerjanya sebelum menoleh ke arah Alex. Pandangan mereka bertemu untuk sesaat. "Kenapa? Kau pikir aku akan memberi uang cuma-cuma lagi untukmu?" tanyanya dingin. Angelica menggeleng. "Aku bekerja seumur hidup juga tidak masalah, Alex. Aku membutuhkan uang itu," jawabnya dengan mata berkaca-kaca. Alex bisa melihat keputusasaan dalam sorot mata wanita yang dulu pernah dia cintai. Dia tahu Angelica benar-benar terdesak, dan ini kesempatan yang sempurna untuk membalas dendam. Dia melangkah mendekat, berdiri tepat di depan Angelica. Dadanya terasa sesak mengingat semua luka yang pernah ditinggalkan wanita itu. Betapa teganya Angelica, meninggalkannya di saat dia sangat bergantung padanya dan di saat dia begitu mencintainya. "Panggil aku 'Tuan Alex'. Kau ini pelayanku sekarang, bukan lagi wanita yang kucintai. Status kita bagai bumi dan langit. Benar kata mamaku, mental orang miskin sepertimu memang seperti ini. Makanya seumur hidupmu, kau akan tetap miskin," desisnya tajam. Angelica tidak perlu diingatkan lagi. Dia sudah terlalu sering dihina karena kemiskinannya, karena jurang status sosial yang memisahkan mereka. Dia pernah merasakan sakitnya dikucilkan, tapi mengapa kali ini rasanya lebih menyakitkan? Mungkin karena hinaan itu datang dari pria yang dia cintai. "Ba–baiik, Tuan. Saya tahu status saya sekarang hanya pelayan," jawabnya lirih. Alex menyeringai. Dia lalu berbisik di telinga Angelica, suaranya penuh dominasi. "Kalau begitu, lakukan tugasmu. Untuk mendapatkan pinjaman sebesar satu miliar, kau harus kembali menjadi pemuas hasratku. Kau tidak boleh menolak permintaanku. Satu-satunya hal yang bisa kau lakukan adalah menerima semua syarat yang kuberikan. Uang yang kupinjamkan harus kau kembalikan utuh. Aku bisa memberimu waktu selama yang kau mau, tapi selama itu pula kau harus memenuhi tugasku. Selain menjadi pelayan di rumah ini, kau juga harus menjadi budak nafsuku setiap kali aku menginginkanmu." Ucapan itu membuat dada Angelica semakin sesak. Tapi dia tidak punya pilihan lain. "Baik, Tuan," jawabnya pelan. Jangankan hanya menjadi budak nafsu sang majikan, apa pun akan Angelica lakukan demi kesembuhan buah hatinya. "Maka sekarang, buka bajumu," perintah Alex tanpa ragu. Tubuh Angelica masih wangi setelah mandi, usai menyelesaikan tugasnya. Meski hanya seorang pelayan, dia mendapatkan satu kamar kecil di lantai bawah, dekat dapur. Tidak terlalu besar, tetapi cukup baginya untuk beristirahat setelah lelah bekerja. Dengan tangan sedikit gemetar, Angelica mulai melepaskan pakaiannya satu per satu, hingga tubuhnya yang polos terlihat di depan Alex. Tubuh yang selama tujuh tahun pernah menjadi miliknya. Tubuh yang selalu membuatnya kecanduan. Tidak ada yang berubah, kecuali bagian dadanya yang kini terlihat lebih padat berisi. Bohong jika Alex tidak menginginkannya lagi. Bohong jika dia tidak merindukan segalanya dari Angelica. Tapi dia sudah bersumpah dalam hati, tidak akan pernah jatuh cinta lagi pada wanita yang pernah meninggalkannya. Dia sudah melalui banyak hal. Dia tidak akan jatuh ke lubang yang sama. Tangannya mulai menjelajahi tubuh Angelica, membuat wanita itu memejamkan mata, sesekali mendesah pelan. Setiap sentuhan menariknya kembali ke masa lalu, mengingat bagaimana dulu hampir setiap hari mereka tenggelam dalam gairah liar yang sama. "Kau menjaga tubuhmu dengan sangat baik, Angel. Aku menyukainya," gumam Alex dengan suara serak, penuh hasrat. Tangannya meremas dada Angelica cukup kuat, membuat wanita itu meringis kesakitan. Tapi Angelica tetap diam, tidak membantah. Alex mengangkat dagu Angelica, memaksanya menatapnya. Dalam tatapan itu, Angelica bisa melihat luka yang begitu dalam. Lalu, tanpa peringatan, Alex menunduk dan melumat bibirnya dengan penuh gairah. Dan sialnya, Angelica menerima semua sentuhan itu. Tangannya melingkar di leher Alex, sementara pria itu dengan tergesa-gesa melepaskan pakaiannya sendiri. Alex mendorong pelan tubuh Angelica hingga wanita itu terduduk di atas sofa. Sementara Alex berlutut di hadapannya. Tubuh keduanya saat ini sudah polos tanpa sehelai benang pun sebagai penutup. “Uuuuuuuh,” desahan pelan dari mulut Angelica semakin membuat hasrat Alex tak terbendung. Bibirnya mulai menangkup puncak dada wanita itu. Memainkan lidahnya di atas dada besar sang wanita sebelah kanan, sementara dada kiri Angelica diremas dengan sekuat tenaga oleh tangan besar Alex. Keduanya hanyut dalam permainan yang sudah 4 tahun ini tidak pernah mereka lakukan dengan siapapun. Alex memberikan tanda kepemilikan di atas dada Angelica. Rasanya sakit, perih, sekaligus ada rasa nikmat yang sulit dijelaskan oleh wanita itu. “Aku sudah tak tahan Angel,” ucapnya parau. "Bisa kita mulai sekarang?" bisiknya lagi membuat tubuh Angelica meremang.“Iya, kali ini hadiah dari kami berdua,” ucap Alex.Tak lama kemudian, kedua orang tua Alex bergabung di ruang tamu. Nyonya Maximus langsung mengambil Noah dari gendongan Angelica, sedangkan Tuan Maximus mengangkat Nathan ke pangkuannya. Dua bayi itu memang tidak akan ikut dalam perjalanan menuju hadiah yang sudah disiapkan Alex dan Angelica untuk Alvaro dan Michelle.“Tapi kami kan sudah dapat hadiah dari om dan tante. Nggak usah Alex kasih apa-apa lagi,” kata Alvaro, menatap saudara sepupunya itu.“Hadiah dari om dan tante itu nggak ada hubungannya sama hadiah yang mau diberikan Alex. Kalau om dan tante kasih hadiah untuk keponakan, kalau Alex dan Angel kasih hadiah untuk pengantin baru. Nggak boleh nolak rezeki, loh,” ujar Nyonya Maximus sambil tersenyum.“Ya udah deh kalau gitu kami pasrah,” jawab Alvaro.Mereka semua tertawa kecil.“Ayo kita langsung berangkat, pakai dua mobil saja, ya. Soalnya nanti Olivia mau mampir beli seragam sekolah,” ucap Alex sambil menyerahkan Nathan pad
“Tapi Olivia beneran punya kado istimewa loh buat Aunty dan Om dokter,” ucapnya sumringah sambil tersenyum lebar.Ucapan itu langsung membuat semua orang di ruang tamu menoleh ke arahnya. Olivia kemudian melirik ke arah Noah, yang dalam pelukan sang mama sambil memegang sebuah amplop berwarna putih.“Mana, Noah? Kakak minta amplopnya dong,” ucap Olivia sambil mengulurkan tangan ke arah sang adik.Noah hanya menatap sekilas lalu menggumam tak jelas, khas bayi berusia 10 bulan yang belum bisa berbicara lancar. Entah gumamannya itu tanda setuju atau menolak, tapi jelas sekali dari gerak tubuhnya, dia seperti enggan memberikan amplop tersebut.Olivia mengerucutkan bibirnya, pura-pura merajuk. “Nanti kakak nggak ajak main ya kalau nakal,” ucapnya sambil menatap adiknya. Meski begitu, suaranya tetap lembut. Bagaimanapun, Olivia sangat menyayangi Noah dan Nathan seperti menyayangi mama dan papanya sendiri.Noah tetap memeluk amplop itu erat, sampai akhirnya Angelica yang membantu. “Noah, kas
“Apa ini?” tanya Alvaro, sedikit terkejut saat melihat Olivia mendorong troli besar memasuki rumah. Di atas troli itu ada sebuah box berukuran besar, dibungkus rapi dan dililit pita.Alvaro dan Michelle baru saja datang pagi itu, tepat pukul 10.00, sesuai janji mereka dua hari setelah pesta pernikahan. Rumah Alex menjadi tempat berkumpulnya keluarga pagi itu. Begitu sampai, mereka langsung disambut dengan pemandangan Olivia yang sudah menunggu sambil mendorong troli sendirian, wajahnya semangat bukan main.“Karena Om Dokter sekarang sudah jadi direktur di rumah sakitnya Olivia, sekarang giliran Olivia dong kasih kado buat Om Dokter dan Aunty. Ini spesial dari Olivia, loh. Sebagai pemilik rumah sakit,” ucap Olivia bangga, tangannya bertolak pinggang seolah sedang pidato di depan karyawan.Alvaro tidak bisa menahan tawa. Michelle juga ikut tertawa sambil mengelus perutnya yang mulai membesar.“Ya ampun. Pengen banget deh nanti anaknya Aunty seusia Olivia sudah punya rumah sakit,” kata M
Setelah sesi sambutan dari kedua keluarga selesai, MC kembali naik ke atas panggung untuk mengumumkan acara selanjutnya. Musik kembali diperdengarkan, kali ini lebih ceria, mengisi suasana agar tetap hidup.“Selanjutnya, kita akan memasuki sesi foto bersama keluarga inti dan para tamu undangan. Kami mohon kepada keluarga besar kedua mempelai untuk naik ke panggung terlebih dahulu,” ucap MC pria dengan suara mantap.Para tamu langsung bergerak rapi. Panitia acara dengan cepat mengarahkan siapa yang harus naik lebih dulu, siapa yang menunggu giliran, dan siapa yang perlu duduk dulu agar semuanya tertib. Kamera dari tim dokumentasi sudah disiapkan sejak tadi. Cahaya dari lampu studio menyala di sekitar pelaminan, mengarahkan fokus pada kedua mempelai yang berdiri di tengah.Keluarga mempelai pria naik terlebih dahulu. Beberapa orang tua, saudara kandung, dan kerabat dekat langsung menuju panggung dengan antusias. Mereka tersenyum lebar, memeluk Michelle dan memuji betapa anggunnya ia har
Suasana ballroom hari itu penuh dengan suara percakapan para tamu yang sedang duduk sambil menanti. Beberapa dari mereka terlihat asyik mengobrol ringan, sementara lainnya sibuk dengan ponsel, mengambil foto suasana. Musik latar tetap mengalun pelan dari sudut ruangan, namun terdengar jelas. Semuanya sedang menunggu satu momen penting: masuknya pengantin utama.Tiba-tiba, terdengar suara dari panggung utama. Seorang pria dan wanita berdiri di sana, mengenakan busana formal yang serasi. Mereka adalah MC acara resepsi pernikahan Michelle dan Alvaro. Suara mereka terdengar bersahabat namun tegas, menyapa seluruh tamu dengan ucapan terima kasih karena telah hadir.“Bapak, Ibu, dan seluruh tamu undangan yang kami hormati... Sekarang, kita sampai pada momen yang telah kita tunggu-tunggu bersama,” ujar MC pria, disambut senyuman rekannya.“Pasangan pengantin kita hari ini telah sah menjadi suami istri sejak pagi tadi. Mereka telah mengucapkan janji suci, dan kini, saatnya mereka hadir di ten
“Ya Tuhan. Kenapa mereka secantik ini?” Naura sangat kagum. Pun dengan Davin. Mereka mulai mengambil kamera mengabadikan momen itu. Sementara di meja lain, tuan dan nyonya Maximus sampai meneteskan air mata. Ini gadis kecil yang dulu hampir ia celakai. Ini gadis kecil yang dulu ia tolak kehadirannya. Dan sekarang justru gadis inilah sumber kebahagiaan mereka berdua. “Pa, yang paling Mama sesali dalam hidup adalah, ketika Mama menjadi wanita yang jahat dan menolak anak yang dikandung oleh Angelica. Bahkan Mama hampir menjadi nenek yang sangat jahat dan hampir menghilangkan nyawa cucu kita,” ucap Nyonya Maximus.“Jangan diingat lagi, Ma. Kita sudah berhasil melewati semuanya. Dan sekarang kita hanya perlu bahagia persamaan dan cucu-cucu kita.”Mata mereka terus menatap ke arah pintu keluar. Olivia sudah terlihat dari pandangan mereka.Saat semua tamu telah duduk dengan rapi dan musik pengiring berubah menjadi irama lembut yang lebih sakral, suasana ballroom seketika menjadi hening. Se