Tubuh Karina hampir tenggelam.
Melihat itu, Saka segera menarik tubuh wanita itu dan membawanya ke tepi.
Dengan cepat, Saka menempelkan bibirnya dengan bibir Karina--memberikan nafas buatan untuk wanita itu.
"Uhuk!" Karina terbatuk—namun masih memejamkan mata.
Melihat itu, Saka bernafas lega. Setidaknya, Karina masih hidup.
“Siapa yang mengizinkanmu mengakhiri hidup?” tanya Saka tajam, “sampai kapanpun, aku tidak akan membiarkannya. Kau tidak akan bisa mati tanpa izinku.”Sang sopir yang sedari tadi dibuat terkejut oleh tingkah atasannya itu lantas mendekat.Dengan hati-hati, ia pun berucap, “Sebaiknya dibawa ke rumah sakit, Sir.”
Saka pun mengangguk dan bergegas mengikuti saran yang baru didengarnya itu.
~~Karina mengernyit.Ia mencium bau obat-obatan yang menyengat.Tubuhnya tidak bisa bergerak. Namun, ia merasakan ada sesuatu yang menancap di tangannya.Perlahan, dibukanya mata dan memandang sekitar.
Seketika ia sadar sedang berada di sebuah kamar rumah sakit.
“Kenapa aku masih hidup?” lirih Karina yang merasa sedih karena gagal mengakhiri hidupnya sendiri.“Seharusnya aku mati. Kenapa aku malah selamat?”Karina lalu mendongak dan menatap sebuah infus yang mengalir ke punggung tangannya. Kepalanya terasa pusing, hingga ia pun memejamkan mata.
Kriet!Bersamaan pintu yang terbuka, seorang perawat masuk, “Anda sudah bangun?” Karina kembali membuka matanya. “Kenapa aku di sini?”“Ada yang membawa Anda ke sini.”
Perawat itu tersenyum, lalu menyuntikkan sebuah obat ke infus Karina. “Anda bisa pulang besok. Untuk saat ini, Anda istirahat di sini.”
Karina mengangguk perlahan. Namun, ada satu hal yang masih mengganjal. “Kalau boleh tahu, siapa yang membawaku ke sini?”
“Saya tidak tahu.” Perawat itu menggeleng pelan lalu pergi begitu sudah menyelesaikan tugasnya.
Setelah pergi, Karina kembali terdiam.
Ia menatap langit-langit kamar dengan murung.
“Siapa yang menolongku?” Karina berdecak. “Apa yang harus kulakukan sekarang? Aku tidak mau dijual.”
Air matanya kembali menetes. Karina meringkuk di atas ranjang ini. Terus-menerus, menangisi nasibnya diambang jurang kegelapan.
~~
Keesokan harinya, Karina sudah bisa pulang.
Ia menatap pintu Apartemennya yang sudah rusak.
Mengernyit— Karina pun masuk ke dalam dengan waspada.
Saat saklar dinyalakan, keadaan rumahnya terlihat sangat berantakan.
Beberapa barang hancur.
Semua seperti dijajah.
Karina tidak tahu apa yang pencuri cari. Ia tidak memiliki harta apapun untuk disembunyikan. Ia menoleh ke cermin. Di sana terdapat coretan berwarna merah.
[ JANGAN KABUR. LUNASI HUTANGMU. ]
Deg!
Seketika Karina menyadari bahwa ini adalah ulah rentenir yang mengejarnya."Astaga!" lirih Karina menghempaskan bokongnya di atas sofa.
Ia merogoh ponselnya yang bergetar.
[ Boss]
Karina tahu pasi Saka akan memarahinya karena hilang tanpa kabar. Jadi, percuma saja lari.
Lebih baik, Karina menghadapinya.
“Halo, Sir,” ucap Karina hormat.
“Cepat datang ke rumahku. Malam ini aku ada rapat.”
Setelah itu, panggilan telepon langsung dimatikan.
Karina pun melongo.
"Saka tidak memarahinya? Dia hanya menyuruh untuk datang ke rumah?" gumam Karina heran.
Namun, entah mengapa ada sebuah ide yang tiba-tiba terlintas di kepala Karina.
Saka, sang mantan yang sekarang menjadi bos, kini bergelimang dengan harta.
"Apakah aku harus meminta bantuannya?"
~~
Karina bergegas ke rumah Saka. Ia pun melakukan tugasnya.
Namun, begitu selesai, Karina hanya berdiri seperti patung.
Ia menatap Saka yang sudah siap dengan setelan jas rapi--siap berangkat bertemu dengan klien.
“Sir,” panggil Karina.
Saka pun berhenti di ambang pintu. “Kenapa?”
“Ada yang ingin saya bicarakan dengan anda.” Karina mendeka. Ia meremas kedua tangannya perlahan, sangat gugup.
Saka mengernyit bingung. Namun, ia menyembunyikan ekspresinya secepat kilat.
“Katakan.” Saka melihat jam tangannya sebentar. “Waktumu 1 menit.”
Karina menggigit bibirnya. Ia sungguh malu tapi inilah pilihan terakhirnya. “Sir, bolehkah saya meminjam uang?”
Saka menaikkan salah satu alisnya. “Berapa?”
“300 juta.” Karina mendongak. “Saya akan mengembalikannya dengan menyicil. Saya berjanji tidak akan kabur. Bahkan, bila perlu, saya akan bekerja seumur hidup pada Anda. Saya mohon pinjami saya uang.”
Saka berdecih pelan sebelum tersenyum miring. “Aku bisa memberikanmu uang itu.”
Pria itu perlahan melangkah mendekati Karina yang juga ikut mundur.
Namun, tindakan ini malah membuat Karina terjebak dan berakhir seperti tikus kecil yang dipojokkan oleh Saka.
“Asal dengan satu syarat.” Saka menunduk.“Syarat?” cicit Karina.Melihat ekspresi wanita itu, Saka pun mengangkat dagu Karina agar menatapnya. “Jadi milikku.”
“Sir,” lirih Karina. “Tapi, Anda sudah punya istri.”
“Aku tidak peduli.” Saka mengusap pelan pipi Karina. “Aku akan memberikanmu 300 juta itu dan juga memenuhi semua kebutuhanmu asal kau menjadi milikku.”
Karina terdiam. Ia jelas tahu milikku yang dimaksud disini adalah Saka berhak atas apapun dirinya.
Jiwa maupun raga. Saat itulah, Karina benar-benar di bawah kuasa Saka.
Ia tidak bisa lari apalagi lepas.
“Kau mendapatkan uang dan aku mendapatkan kepuasan.” Jemari Saka mengusap bibir bawah Karina. “Bagaimana?”
Karina mengepalkan kedua tangannya. Apa pria ini benar-benar Saka yang dulunya polos?
Kenapa Saka sangat berbeda? Pria ini sama dengan kebanyakan pria brengsek di luar sana.
Jika Karina menerima hubungan ini, ia sama saja menjadi seorang jal@ng untuk pria ini.
Melihat keterdiaman Karina, Saka tersenyum. “Kau boleh berpikir dulu,” katanya sembari mengusap puncak kepala Karina pelan lalu pergi meninggalkannya.
Pikirannya Karina berkecamuk. Bila menerima, ia akan terkurung di bawah kuasa Saka.
Namun, bila menolak, orang suruhan Tanto tak akan tinggal diam. Sekarang saja, Karina terus diawasi.
Lantas, apakah Karina punya pilihan selain menerima tawaran Saka?
~~Karina terdiam memandang kontrak yang Saka buat mengenai hubungan keduanya.
Di sana, tertulis Karina yang akan menjadi miliknya selama 1 tahun.
Saka berhak atas apapun tentang Karina.
Selama 1 tahun itu juga, Karina tidak berhak protes ataupun melawan Saka. Adapaun yang didapat Karina selama menjadi milik Saka adalah uang 300 juta dan uang bulanan sebesar 100 juta setiap bulan.
Karina mengambil bolpoin dan menandatanganinya. Ia menatap kertas itu dengan perasaan yang begitu berat. Andai saja, ia punya pilihan lain.
“Well, kau sudah menyerahkan dirimu padaku.” Saka mengambil bolpoin dan menandatanganinya.
Karina mengangguk.
“Aku tidak suka basa-basi.” Saka berdiri. Sampai berdiri di hadapan Karina, ia menarik wanita itu bangun.
Kemudian menempelkan bibirnya di bibir Karina. Tangannya memeluk pinggang Karina yang ingin memberontak.
“Kau harus ingat jika sekarang kau adalah milikku.” Saka mengangkat tubuh Karina ke atas meja. Ia terus bermain dengan bibir Karina yang sangat candu. Menggigit pelan bibir bawah wanita itu hingga memberikannya akses lebih.
Karina pasrah. Inilah akhirnya.
Ia harus menerima jika Saka menyentuhnya.
Saka yang berhak atas tubuhnya. Ia memejamkan mata kala Saka mengusap pinggangnya lembut.
Dari belakang, jemari Saka mencari di mana letak resleting yang digunakannya.
“KREEEK.”Saka yang tidak sabaran segera menyobek dress Karina lalu menurunkan dress Karina, hingga sebatas pinggang.“Sir, bagaimana jika istri Anda melihat kita?” tanya Karina di sela-sela permainan mereka yang kian panas.Namun, Karina menyadari aura Saka berubah menjadi lebih dingin.Sesungguhnya, pria itu sangat tidak suka ada orang yang membahasa keluarganya. “Aku tidak peduli.”
"Sir..."
Saka menatap tajam Karina. Dengan suara berat, ia berkata, "Fokus padaku, Karina."“Sir, ada yang ingin bertemu dengan anda. Mereka dari perusahaan kontruksi yang baru saja mendapatkan pemutusan kerja sama. Mereka ingin bertanya secara langsung kenapa anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin sejak lama.” Itu ucapan dari asistennya, Jack. Rafa mengangguk. “Pertemukan aku dengan mereka. Akan aku beritahu alasanku.” Tidak menunggu waktu yang lama. Berada di sebuah restoran berbintang. Rafa masuk dengan langkah yang begitu tajam. Ia menatap sekitarnya dan melihat seorang pria. “Selamat datang, Sir.” Pria itu mengulurkan tangan namun terang-terangan tidak dijabat oleh Rafa. “Saya ingin menanyakan kenapa tiba-tiba anda memutuskan kerja sama yang sudah terjalin dengan begitu lama, Sir? Saya berharap anda bisa berpikir lagi tentang pemutusan tersebut. Apalagi ada proyek yang akan kami jalankan.” Rafa menghela nafas. “Aku hanya sedang bersih-bersih. Kerja sama ini tidak terlalu menguntungkan. Tapi sebenarnya aku bisa saja mempertahankan kerja sama ini, tapi kau m
“Di rumah Dad lebih seru, Mom. Ada banyak mainan dan kamarnya besar.” Yoshi mengeluh saat sampai di rumah. Bocah itu terlihat lebih senang berada di rumah itu daripada rumahnya sendiri. Sana menghela nafas. Baru bertemu sudah memanggil Dad. Sana menggeleng pelan. “Diam saja dan tidurlah lagi.” “Besok beli mainan,” ucap bocah itu sebelum pergi ke kamar sendiri. Sana menghela panjang sebelum masuk ke dalam kamarnya sendiri. Merebahkan diri di atas ranjangnya. Tanpa bisa dicegah, air matanya kembali turun. Bersama Rafa terlihat menggiurkan dan menyenangkan, namun Sana juga masih teringat hal-hal menyakitkan bersama pria itu. Lalu, jika ia memilih untuk bersama Rafa dan hal menyakitkan itu kembali terulang apakah ia sanggup menghadapinya? Sana menggeleng pelan. “Hidupku lebih tenang seperti ini. Aku tidak akan bisa bernafas jika kembali bersamanya. Ada banyak hal yang membuatku ragu bersamanya kembali. Lebih baik memang kita berpisah.” Keesokan harinya. Seperti biasa, Sana mengantar
Sana bergegas pergi setelah selesai melukis. Ia tidak akan ingat waktu ketika terlalu larut melukis. Sampai akhirnya ia melihat jendela yang menampilkan langit berubah menjadi mendung. Ia segera pergi untuk menjemput Yoshi yang seharusnya sudah pulang 1 jam yang lalu. “Dia pasti marah.” Sana keluar dari bus dengan membawa payung. Ia segera berlari masuk ke dalam sekolah. Bertanya pada Satpam yang ternyata seluruh siswa sudah pulang, tidak ada siswa yang masih berada di kelas. “Dia ke mana?” Sana merogoh ponselnya untuk memesan taksi. Ponselnya masih mati semenjak ia mengisi daya. Ia segera menghidupkannya dan mendapat sebuah pesan dari seseorang 30 menit yang lalu. [Yoshi bersamaku]Sana langsung menelepon orang itu. “Kau siapa? kenapa anakku bersamamu?!” tanayanya. “Datanglah ke rumahku jika ingin tahu siapa aku.” Sana menghela nafas. Kemungkinan besar ia tahu siapa yang meneleponnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, akhirnya sampai juga di sebuah rumah yang nampak begitu mega
“Mom akan mengantar kamu ke kelas.” Sana mengambil tangan Yoshi. Namun putranya itu menolaknya. Yoshi menggeleng. “Aku akan pergi sendiri. Mom pulang saja.” Hari ini adalah pertama kalinya masuk ke sekolah baru. Sana berharap ini menjadi langkah awal untuk memulai hidup baru yang lebih baik. Ia juga berharap sekali tidak ada yang membuli Yoshi di sini. “Hm.” Sana mengangguk dan tersenyum. “Hati-hati.” Setelah mengantar Yoshi ke sekolah, Sana langsung pulang. Rencananya ia akan menguru perceraiannya dengan Rafa. Ia akan mulai mencari pengacara handal yang bisa membuatnya berpisah dengan Rafa. Dengan hak asuh jatuh kepadanya. Sana menghela nafas dan masuk ke dalam subway. Ia tidak menyadari jika ada orang yang membuntutinya. Orang yang membawa kamera dan membidik setiap pergerakannya. Kemudian orang itu akan melaporkan pada seseorang. [Dia baru saja pulang mengantar anaknya]Pesan itu langsung masuk ke sebuah ponsel milik seseorang. Rafa menatap ponselnya. Baru saja ia membaca seb
Sana terdiam di tempat. Pikirannya kacau, antara memastikan putranya tetap berada di tempat dan segera pergi dari hadapan pria ini. Sana mengepalkan kedua tangannya. Rafa melangkah mendekat dan otomatis membuat Sana melangkah mundur dengan was-was. “Aku merindukanmu,” ucap Rafa. Terdengar rendah namun penuh penekanan dan juga tersirat sebuah rasa putus asa. Rafa mengepalkan tangannya ketika melihat Sana seperti menahan takut. “Aku akan segera mengurus perpisahan kita.” Sana menatap putranya yang telah menyadari keberadaannya. Yoshi melambaikan tangannya. Sana mengangguk pelan. “Aku harap kita bisa berpisah dengan baik-baik.” Sana melangkah melewati Rafa begitu saja. kemudian menggandeng tangan Yoshi agar ikut berjalan dengannya. Mereka terus berjalan sampai keluar dari gedung. Sana mencegah Yoshi yang setiap kali ingin menoleh ke belakang. “Mom tadi itu siapa?” tanya Yoshi. Sana tidak menjawab. Ia sedang memutar otak bagaimana harus segera pergi sedangkan dia tidak mempunyai ken
Sana keluar bersama putranya. Merapikan penampilannya sebentar sebelum masuk. Tidak lupa berterima kasih pada sahabatnya yang mau repot-repot mengantarnya. Setelah masuk—Sana bisa melihat kemegahan di dalam gedung. Tidak salah lagi, orang tua Ren memang sangatlah kaya. Perusahaan orang tua Ren menguasai pasar Jepang dan internasional. Meskipun bisa dibilang, Ren adalah anak gelap, namun keberadaannya tidak pernah ditutupi. Untungnya di antara banyaknya konglomerat yang datang, Sana tidak mengenal mereka. Memang lebih baik seperti itu. Apalagi di depan tadi, ada red karpet dan para wartawan yang siap memotret selebriti maupun konglomerat. Sana melihat Mina yang tengah berbincang dengan beberapa orang. Untuk sebentar, Sana tidak mau mengganggunya. Ia menunggu mereka selesai berbicara barulah mendekati sang saudara. “Selamat.” Sana memeluk Mina. “Maaf aku tidak bisa menemanimu tadi.” Mina mengangguk. “Tidak masalah. Yang terpenting kau bisa datang ke sini.” Mina menatap Yoshi, kemud