Binar menggigit bibirnya kencang, menunduk di bawah meja. Tubuhnya gemetar dengan jantung yang memompa cepat melihat pecahan kaca yang berhamburan di lantai.
Situasi yang Binar benci. Mengingatkannya akan tragedi berdarah yang menciptakan trauma mendalam di benaknya. Dan sekarang, ia berada di tengah kekacauan yang sama. Lagi. Semenjak bertemu Dante, sepertinya hidupnya tak pernah damai untuk sekejap. Memaksakan tububuhnya yang terus bergetar untuk bergerak, Binar merangkak di balik meja, menghindari serpihan kaca yang berserakan. Hingga ... siluet familiar tertangkap dari sudut matanya. Dante. Pria itu berdiri tegap memandang dingin ke arahnya dengan pistol berasap di genggaman. Binar jatuh terduduk dengan pupil bergetar tak bisa bergerak ketika Dante beranjak mendekat ke arahnya. Tatapan Dante terlihat gelap. Rahangnya mengeras. Jemari panjangnya melingkar erat di gagang pistol, seakan siap menghabisi siapa pun yang menghalangi jalannya. Binar mundur perlahan, berusaha mengatur napasnya yang tersengal. Yang ia pikirkan hanya satu, ia harus bisa kabur sebelum situasi semakin memburuk dan ia kana tertawan selamanya. Namun, seseorang lebih dulu menarik pergelangan tangannya. Telapak tangan itu mencengkeram pergelangan tangan Binar kuat. Ia mendongak perlahan... napasnya kembali tersengal ketika tatapannya bertemu dengan mata kelam penuh hal licik yang tak terbaca. Vincent. Pupil mata Binar bergetar, tertekan dengan situasi menegangkan bak domino yang melibas habis akal sehatnya. Senyum samar Vincent terlihat tak manusiawi. Itu lebih seperti senyum hewan buas yang telah menemukan buruannya. “Kemana kau akan lari, Binar?” tanya Vincent kalem, suaranya terdengar lembut … terlalu lembut untuk situasi sekejam ini. Binar mencoba meronta. Tapi genggamannya terlalu kuat. Ia merintih ketika kuku-kuku Vincent hampir menembus kulitnya. “Aku sudah lama menunggumu. Kau tahu kan, Dante tak bisa menjagamu selamanya.” “Lepas ….” suaranya tercekat, tapi tegas. Meski gemetar tubuhnya masih terasa, Binar menolak menyerah. Otaknya masih waras untuk memikirkan cara melarikan diri. Vincent terkekeh pelan. “Oh, aku suka versi galakmu. Tapi nanti kau juga akan menangis memohon padaku. aku tak terburu-buru untuk melihat sisi itu." Binar terkejut, tubuhnya terseret paksa. Ia ingin berontak, ingin menolak, tetapi suaranya tercekat begitu melihat ekspresi Dante yang kini berdiri di ambang pintu. Dante mendobrak masuk, mata gelapnya menusuk lurus ke arahnya. Tatapan itu … Binar merasakan sesuatu menjalar di tengkuknya, campuran antara ketakutan dan sesuatu yang lebih gelap. Sesuatu yang menyeretnya kembali ke masa lalu. Saat Dante membujuknya untuk tak pergi. Memohon padanya untuk tinggal. Namun, Binar hanyalah anak kecil yang ingin merasakan hangat pelukan orang tua. Meski realitanya ia hanya dijadikan budak pencetak uang gratis. "Binar." Dante memanggilnya, suaranya lebih seperti geraman tajam daripada panggilan lembut. Binar menelan ludah. Ia tidak bisa menjawab. Matanya membulat begitu Dante mengarahkan moncong handgun ke arahnya. Lalu, dalam sekejap, suara tembakan meledak. Peluru melesat cepat, mengenai lengan Vincent yang mencekal tangan Binar. Anehnya, bukannya menunjukkan tanda kesakitan... Vincent malah terkekeh kuat. "Dia sangat berarti untukmu ya?" Vincent tertawa mengejek ke arah Dante, mengabaikan darah yang mulai mengucur deras dari lengan kirinya. Napas Dante memberat. Ia menurunkan pistolnya, menatap Vincent dengan ekspresi datar tanpa riak emosi di sana. Menunjukkan pada Binar, sisi lain Dante yang sebenarnya. Gelap dan tanpa ampun. "Lepaskan dia." Itu bukan permohonan, melainkan perintah. Suaranya yang dalam sanggup menggetarkan siapapun, ditambah aura gelap yang mengelilinginya. Vincent tidak menjawab. Sebagai gantinya, ia menarik Binar lebih erat dan menodongkan pistol ke pelipisnya. Binar membelalak. Dingin. Dingin sekali. Ujung pistol yang menyentuh pelipisnya terasa membakar, menciptakan rasa takut yang menelusup ke dalam tulangnya. Binar tak bisa bereaksi. Semua ini terlalu mengejutkan. Ia seperti orang bodoh, mengamati ekspresi Dante yang tetap tenang dari waktu ke waktu. Membuatnya bertanya-tanya. Apakah pria itu mencintainya? Apakah Dante peduli padanya? Tanpa sadar Binar berharap. Namun ... Yang Binar lihat hanyalah ... kekosongan. Tanpa sadar, Binar meraba dadanya yang terasa sakit. Vincent menyeringai menyadari gelagat Binar. "Lihat, pria itu tak akan peduli pada hidup dan matimu," bisiknya lirih tepat di telinga Binar. Yang tak Binar sadari adalah genggaman tangan Dante pada pistolnya yang semakin mengerat. Vincent hanya memanipulasi Binar agar semakin tenggelam dalam luka dan mudah untuk dikendalikan nantinya. Dua pria berbahaya bertarung memperebutkannya, bukan karena dirinya sebagai manusia, tetapi sebagai simbol. Dante ingin memilikinya karena cinta, obsesi, dan dendam. Vincent ingin merecokinya karena ia ingin menghancurkan Dante. Dan Binar? Ia hanya ingin lepas dari semuanya. Dunia seolah mengecil ketika Vincent menyeretnya keluar dari tempat itu. Dante berteriak, suara pelurunya membelah udara. Tapi Vincent terlalu terlatih. Gerakannya licin, cepat—dan orang-orangnya sudah mengepung ruangan. Satu suara berdentum lagi. Lalu gelap. Binar jatuh tak sadarkan diri, memudahkan Vincent untuk membawanya. Dante menggertakkan giginya. Tangannya mengepal begitu erat hingga buku-buku jarinya memutih. Ia benci ini. Ia benci melihat Binar dalam genggaman orang lain. Ia benci melihat ketakutan di mata perempuan itu. Tapi di saat yang sama, ia tidak bisa membiarkan peluru menembus tubuh Binar. Kesalahan sekecil apa pun bisa merenggut nyawa wanitanya. "Aku akan mendapatkanmu kembali, sayang." --- Cahaya remang lampu adalah benda pertama yang Binar lihat ketika ia membuka matanya. Rasanya seperti ditampar oleh kenyataan. Kepalanya berat, bibirnya pecah-pecah, dan tangan kirinya terasa nyeri akibat diikat terlalu erat dengan kabel plastik. Ia mencoba menggerakkan tubuh, tapi bahkan sekadar bernapas saja seperti ratusan jarum menembus tubuhnya. Tempat itu dingin. Lembap. Bau logam dan karat menyengat. "Sudah bangun?" Suara itu menyelinap dari kegelapan, Vincent menunggu di sana sejak awal. Pria itu duduk santai di kursi, mengenakan setelan gelap seperti tidak ada yang terjadi. Di hadapannya, segelas wine merah berkilau di bawah lampu neon usang. Binar diam. Lidahnya kelu. “Tenang … aku tidak akan menyakitimu. Belum saja. ” Vincent tersenyum, menyeringai lebih tepatnya. “Kau terlalu berharga untuk itu.” Ia berdiri, berjalan perlahan mendekati Binar yang masih tergeletak di lantai berdebu. “Aku ingin mengenalmu,” lanjutnya. “Lebih dekat. Lebih dalam. Lebih … utuh. Bukankah kita bisa berbagi waktu dengan damai, hm?” Binar menghindari tatapannya, berusaha menyembunyikan rasa takut yang bergolak di dalam dada. Tapi suara hatinya tak bisa dibungkam 'Aku harus keluar dari sini. Aku harus tetap waras.'Binar berdiri diam di ambang pintu kaca, memandangi taman kecil di halaman belakang DAnte yang luas-hasil karyanya sendiri. Lama, Binar tampak merenungkan sesuatu. Ia merapatkan sweaternya saat angin dingin mulai terasa di kulitnya. Dante menutup laptopnya, mendapati Binar hanyut dalam lamunan. Pria mempesona itu bangkit, menggulung kemeja hitamnya hingga siku, memperlihatkan urat-urat menonjol di lengannya yang terkena cahaya lampu. “Sudah malam,” kata Dante akhirnya. Binar menoleh pelan, “Aku suka melihatnya.” Dante sedikit mendengus. Ia bangkit dan mendekati Binar, meligkarkan tangan besarnya di pinggang Binar yang mungil. Menyalurkan hangat tubuhnya pada wanita keras kepala yang sayangnya ia cintai. "Jangan di luar terlalu lama," ucap Dante tepat di lekuk leher Binar dengan suara rendah. “Kau mudah masuk angin.” “Dante ...,” bisik Binar, jari-jarinya menyentuh lengan suaminya. “Kau ... tak marah lagi?” tanyanya ragu. Dante membuang pandangannya sebentar, “Tidak lagi.” Tan
Binar terbangun dan menemukan kalau ia tengah sendirian. Ruangan itu terlalu sunyi, padahal semalam begitu berisik diisi oleh jeritan saat mereka bercumbu. Kasur di sebelahnya dingin, menandakan Dante telah pergi lama. Jemari Binar meraba pelan dan menatap bantal Dante kosong. Binar akhirnya menarik nafas panjang. Tubuhnya masih terasa berat akibat sisa semalam. Dante benar-benar tak menahan diri. Saat Binar menggulingkan badan, ia menemukan secarik kertas yang dilipat rapi tergeletak di atas nakas, beserta muffin dan termos kecil berisi coklat panas. "Ada urusan. Aku akan pulang sebelum senja. —D" Kalimatnya masih terdengar seperti perintah, tapi kali ini ... ada jeda. Ada janji di sana. Senyum Binar terbit begitu saja. Ia tahu betapa keras usaha Dante untuk menahan sisi gelapnya akhir-akhir ini. Bahkan, melihat tulisan "Aku akan pulang" saja membuat dadanya berdebar. Ia menatap ke luar jendela, mendapati sinar matahari yang meninggi. “Pulanglah. Aku di sini ... menunggumu,"
Pernyataan Dante membuatnya gemetar sesaat, tapi ia bisa menguasai dirinya dengan baik setelahnya.Dante benar. Dia sudah hidup lama dengan identitas 'Binar Jelita'. Meskipun kini ingatannya kembali, itu tak merubah apapun kecuali rasa sakit akibat trauma yang tercipta. Binar bergerak memeluk Dante, menyandarkan dagunya di bahu keras yang kini menjadi penopangnya. "Kau benar, Dante. Aku adalah Binar Jelita ... bukan Binar Veyra."Dante tak bereaksi lebih, tapi ia membalas pelukannya dengan erat. Ingin menunjukkan pada dunia kalau Binar adalah miliknya. Sejak dulu ... dan seterusnya. Binar mencoba mengenyahkan bayangan menyakitkan yang ia alami dulu. Ruangan putih yang dingin, jarum menusuk tubuhnya di beberapa titik, dan wajah dingin pria tua yang kini ia tahu sebagai kakek Dante. Seseorang yang mengklaim Binar tak layak menyimpan memori masa lalu untuk menghindari hal-hal merepotkan nantinya. "Aku ingat semuanya," ucap Binar lirih, ia semakin mengeratkan pelukannya pada Dante.
Asap dan bara api adalah hal pertama yang menyambut kedatangan Binar dan Matthias. Binar hampir saja lepas kendali sebelum tangan besar Matthias menggandengnya erat. "Jangan gegabah," peringat Matthias tegas. Pria itu hanya khawatir dengan keselamatan Binar. Akhirnya, Binar mengikuti langkah Matthias dalam diam, menyelinap di antara pecahan kaca dan puing bangunan. Dari sini, Binar dapat melihat Dante berdiri tegak, meski kemejanya telah terbuka memperlihatkan dadanya yang bidang. Sorot mata Dante nampak berbahaya ditambah darah yang menghiasi tiap sudut tubuhnya. Menandakan betapa brutalnya pertarungan keduanya. "Dante ...," lirih Binar ketakutan. Vincent meski tampilannya lebih buruk dari Dante, dia terus terbahak di setiap pukulan yang Dante layangkan padanya. Seolah menikmati rasa sakit. Kemudian, suasana tambah kacau saat terdengar tembakan dari belakang, tempat Vincent berdiri. Seorang pria paruh baya mendekat ke arah Vincent, diikuti pria tinggi kekar dibalut tux
Binar menatap lantai kamar dengan rasa sesak yang tiba-tiba menghimpit dadanya. Di lantai itu, kedua orang tuanya terbaring. Di genangan Darah sementara Binar menyaksikan semuanya dari balik lemari. Kini, Binar terpekur menatap noda bekas darah yang masih terlihat di sana. Dan suara kejadian itu menggema di telinganya. “Aku ingat mereka bilang … kalian lalai.” "Kalian gagal melindungi pewaris." Air mata Binar jatuh semakin deras seiring ingatan yang membanjiri kepalanya. "Tapi... haruskah kalian dihukum? Dan meninggalkan aku sendirian?" Binar menggigit bibir. Teringat akan mimpi-mimpi panjang yang ia lewati tiap malam. Melihat noda darah di lantai itu kembali, hatinya terasa remuk. Memang sudah pudar ... tapi Binar masih ingat jelas memorinya. Bekas tubuh Ayah dan ibunya yang berada di genangan merah. Dan di sudut kamar, ada lemari kecil yang berdiri kokoh. Lemari tempat Binar sembunyi malam itu. Tempat ia memeluk lututnya yang gemetar dan menutup mulut agar tak menangi
Telinga Binar terasa berdenging, tak mampu mencerna apapun. Ia melihat bayangan kabur dua sosok pria yang berdiri tegap dengan aura permusuhan yang pekat. Namun begitu, Binar berusaha bangkit meski nafasnya berat dan tubuhnya terasa sakit tiap tarikan nafasnya. Lalu, suara langkah kaki terdengar mendekat. Tegas. Ringan. Cepat dan tak ragu. Binar menoleh perlahan dan mencelos saat melihat sosok yang kini terlihat berbeda di matanya sejak ingatannya kembali. Matthias. Pria itu muncul dari balik reruntuhan kaca yang berserakan. Mengenakan pakaian serba hitam memimpin beberapa orang untuk membantu Dante. Matthias menghentikan langkahnya tepat dua meter di depan Binar. Tak berani mendekat. Namun, matanya tetap menuju ke arah Binar seolah memastikan apakah ia baik-baik saja. Namun, sebelum Binar sempat bicara... tatapan kelam itu bergeser ke arah Dante yang makin mengeluarkan aura gelap. Dante mengabaikan darah yang mengalir di pelipisnya, menggenggam erat kedua pistol di tan
"Veyra?" Saat mendengar nama itu, dada Binar seolah terhimpit batu besar. Familiar, tapi terasa asing. Bibir Vincent menyeringai. "Kau ingat? Binar ... Veyra?" Binar menegang. Matanya membulat dengan napas tercekat. Ia mendengar suara jeritan nyaring yang kian menggema di kepalanya. “Tidak ... aku bukan ... siapa Veyra ...?” bisik Binar pelan, nyaris seperti anak kecil yang tersesat. Namun pikirannya meledak. Sebuah bayangan bak kaset film yang diputar cepat menghantamnya. Seperti seberkas cahaya merah yang tiba-tiba melintas di benaknya. Sebuah laboratorium. Cermin-cermin. Suara seorang pria yang ia pangggil 'ayah' dan wanita muda yang ia panggil 'ibu'. Lalu... tangan kecilnya yang berlumuran darah. memegang erat boneka beruang, menangis terisak mengintip kedua tubuh mereka terbujur kaku di tengah genangan cairan merah. Tak bernyawa. Akhirnya, meledak! Tubuh Binar limbung. Ia mencengkeram kepalanya, merasakan nyeri yang amat sangat. Kemudian ... matanya mengabur.
Sementara itu, di aula utama ... Dante berdiri di tengah kehancuran. Pecahan vas berserakan. Darah menetes dari bibir dan pelipisnya, tapi senyum dingin mengunci wajahnya. Saat Dante mengangkat kepala, ia menatap Vincent tanpa gentar. "Ini rumahku, Vincent," gumam Dante, suaranya berat. "Dan kau baru saja menandatangani surat kematianmu." Vincent terkekeh pendek. "Aku belum selesai." "Tidak," sahut Dante pelan, langkahnya maju satu-satu. "Yang selesai di sini adalah kau." Dalam sekejap, dua bayangan bertabrakan. Pertarungan tanpa belas kasihan dimulai. Bukan sekadar perkelahian. Ini pertarungan dua monster yang saling menghancurkan. Di kejauhan, suara Binar terputus-putus dalam pikirannya. Meskipun dalam keadaan linglung, ia tetap memaksakan langkah untuk terus berlari. Ia merasa dejavu. banyak darah, suara ledakan, membayangi setiap langkahnya. Binar jatuh tertelungkup, kepalanya nyeri hebat. "Apa itu tadi?" Ingatannya tumpang tindih dengan realita. Binar hanya mampu
Mimpi itu datang lagi. Darah. Tubuh-tubuh yang membujur kaku. Dan ada satu wajah yang mulai Binar sadari kehadirannya-Matthias. Dengan tubuh lebih muda, memegang pergelangan tangannya. Binar terbangun dengan napas memburu. Tangannya mencengkeram seprai erat, tubuhnya banjir keringat dingin. Saat ia berusaha mencerna segalanya, suara ketukan pelan terdengar dari pintu. Hampir bersamaan, suara Matthias mengikutinya. "Binar ... kau baik-baik saja?" Hanya itu, biasanya Matthias akan langsung masuk untuk mengecek keadaannya, tapi kini pria itu mulai menjauh. Binar menelan ludah getir. Ia ingin meluapkan semua pertanyaan, kemarahan, dan ketakutan yang mencokol di tenggorokannya. "Aku harus mendapatkan jawabannya kali ini." Binar bangkit dengan cepat dan membuka pintu, hanya untuk menemukan punggung Matthias yang menghadapnya. Pria itu berdiri beberapa langkah jauhnya, tak berani mendekat. "Matthias," panggil Binar dengan suara pecah dan lirih. "Aku ... aku perlu bicara."