Dodi memperhatikan Amira yang sedang kebingungan. Wanita itu bahkan sudah melupakan rasa sakit pada kakinya yang masih berdarah. Dia sadar tidak akan mampu mengganti rugi pintu yang tergores dan jari pria yang juga terluka.
“Nama dan tempat tinggal Anda serta pekerjaan, Nona?” tanya Dodi.
“Amira. Aku baru saja pindah ke sini dan belum punya perkejaan. Rencanaku baru akan melamar di Perusahaan ini,” jelas Amira putus asa.
“Kenapa aku sangat sial?” Amira mulai menangis. Dia kembali terduduk di jalanan. Memijit kaki yang terluka.
“Apa aku benar-benar perempuan pembawa sial sehingga dibuang begitu saja? Aku kehilangan bayi, rumah dan diceraikan suami. Sekarang harus mengganti rugi mobil dan motor orang yang baru pertama kali aku pinjamkan untuk membeli kebutuhan sehari-hariku dari warung depan..” Amira menatap dengan mata basah pada Dodi yang memperhatikannya. Pria tua itu dengan sabar mendengarkan curahan isi hati Amira yang seusia dengan anaknya bahkan lebih muda.
“Kenapa Tuhan begitu jahat padaku?” tanya Amira sesegukan. Dia memeluk lututnya yang berdarah. Wijaya hanya mendengarkan dari dalam mobil. Memperhatikan wanita yang sedang kesusahan dari balik kaca jendela yang hitam pekat.
“Baiklah. Kami yang akan menggantikan motor ini. Setelah mendapatkan perkerjaan di sini. Kamu bisa mengganti rugi dan membayar utang kepada kami. Anda akan melamar di bagian mana?” Dodi memperlakukan Amira dengan lembut. Dia pun berjongkok di depan wanita muda itu.
“Sekretaris pribadi Wijaya Kusuma,” ucap Amira yang tidak tahu bahwa pria di dalam mobil adalah pemilik perusahaan itu. Dia tidak memperhatikan wajah lelaki yang ditabraknya.
“Itu bagus. Kamu bisa mencobanya. Berikan nomor ini kepada pemilik motor agar dia bisa menghubungi saya untuk ganti rugi.” Dodi memberikan kartu namanya kepada Amira.
“Bagaimana dengan aku?” tanya Amira bingung.
“Setelah mendapatkan pekerjaan. Kamu bisa hubungi aku juga.” Dodi memberikan satu kartu namanya satu lagi.
“Terima kasih, Pak. Saya benar-benar minta maaf. Saya akan berusaha mendapatkan pekerjaan dan membayar semua utang.” Amira membungkuk.
“Ya. Pulanglah dan obati luka kamu. Apa ada uang untuk berobat ke rumah sakit?” tanya Dodi yang memang sangat baik serta perhatian. Wijaya pun masih sabar menjadi penonton dari dalam mobilnya.
“Luka kecil. Aku akan mengobatinya sendiri. Terima kasih.” Amira beranjak dari jalanan. Dia menghapus air matanya dan tersenyum cantik.
“Setelah urusan uang selesai. Dia langsung bisa tersenyum. Benar-benar seperti seorang penipu yang mau mencari keuntungan dariku. Aku tidak akan terjebak.” Wijaya Kusuma melihat jarinya yang terluka.
“Berani sekali.” Wijaya Kusuma mengambil tisu dan membersihkan jarinya. Dia terus terbayang pada bibir lembut dan lidah hangat Amira yang menghisap jarinya.
“Hm.” Wijaya Kusuma merasakan desiran nakal di dadanya.
“Apa karena aku sudah lama tidak menyentuh Luna sehingga wanita itu terlihat menggoda. Tidak mungkin.” Wijaya Kusuma memperhatikan Amira yang sudah pergi menjauh dari mobilnya.
“Dia terlihat berantakan dan berbeda dengan Luna yang cantik serta bersih.” Wijaya Kusuma bisa melihat Amira yang sederhana dan tidak berdandan sama sekali.
“Hem.” Wijaya Kusuma tidak bisa menolak bahwa Amira memang cantik serta seksi dengan tubuh padat berisi. Apalagi di bagian dada yang penuh serta tampak basah.
“Maaf lama, Tuan. Wanita muda tadi sedang banyak masalah. Lihatlah mata bengkak dan wajah sembabnya. Sebagai seorang ayah aku bisa merasakan kesedihan yang mendalam.” Dodi duduk di samping Wijaya yang hanya diam dan memalingkan wajahnya dari melihat Amira.
“Apa langsung ke perusahaan utama?” tanya Dodi pada Wijaya Kusuma.
“Aku mau pulang ke rumah untuk melihat Keano. Sudah seharian meninggalkannya,” jawab Wijaya Kusuma.
“Benar. Sekarang pun sudah hampir jam makan siang. Waktu yang tepat untuk pulang.” Dodi melihat jam yang melingkar di pergelangan tangannya.
“Mm.” Wijaya Kusuma memegang jari yang terbungkus tisu. Dia memejamkan matanya.
Mobil meninggalkan kawasan proyek dan perumahan. Mereka pulang ke rumah pribadi Wijaya Kusuma di mana dia dan istrinya Luna tinggal bersama. Menjalani kehidupan yang sangat sibuk untuk mengejar harta di dunia yang fana.
“Bang, maaf.” Amira memelas pada pemilik motor.
“Kamu terluka.” Pria itu segera memeriksa lutut Amira yang berdarah.“Tidak apa, Bang.” Amira menghindar agar pria itu tidak menyentuh dirinya.
“Aku minta maaf karena sudah membuat motor Abang lecet, tetapi pria tadi meminta Abang menghubunginya untuk ganti rugi.” Amira memberikan kartu nama Dodi pada pria itu.
“Pak Dodi.” Pria itu terkejut melihat kartu nama yang sangat dikenalnya. Asisten sekaligus sekretaris pribadi dan orang kepercayaan Wijaya Kusuma.“Apa kamu menabrak mobil Pak Wijaya?” tanya pria itu.
“Aku tidak tahu,” jawab Amira.
“Ya sudah. Kamu pulanglah ke rumah. Obati luka. Aku akan menghubungi Pak Dodi.” Pria itu tersenyum. Dia kasian melihat Amira yang terluka dengan wajah sembab karena terus menangis.
“Terima kasih, Bang. Aku benar-benar minta maaf. Baru pinjam pertama kali sudah membuat rusak,” ucap Amira.
“Tidak masalah. Hanya tergores sedikit saja. Pak Dodi juga yang akan ganti.” Pria itu tersenyum. Dia menelan ludah melihat dada Amira yang besar berlebihan dan basah.
“Terima kasih, Bang. Aku pamit pulang ke rumah.” Amira mengambil belanjaan dari motor pria itu.
“Apa perlu aku bantu?” tanya pria itu.
“Tidak, Bang. Terima kasih. Dekat juga rumah aku,” jawab Amira.
“Kita lupa kenalan. Namaku, Riyan.” Pria itu menyodorkan tangannya.
“Amira.” Amira berjabat tangan dengan Riyan.
“Okay.” Riyan tersenyum.
“Permisi, Bang.” Amira berjalan pulang ke rumah. Dia harus membuat makanan untuk makan siangnya.
“Cantik dan seksi. Apa dia janda ya?” Riyan terus memperhatikan Amira hingga wanita itu hilang dari pandangannya.
Wijaya Kusuma masuk ke kamarnya terlebih dahulu sebelum pergi menemui putranya. Pria itu wajib untuk membersihkan diri dan berganti pakaian.
“Tuan Wijaya akan masuk ke sini. Kalian keluarlah,” ucap bibi pada dua baby sister Keano.
“Baik, Bu.” Dua wanita segera keluar dari kamar Keano dan pergi ke kamar mereka masing-masing yang ada di belakang dapur.
“Selamat datang di rumah, Tuan.” Bibi menyambut Wijaya Kusuma yang sudah masuk ke kamar putranya.
“Di mana Keano?” tanya Wijaya melihat kamar yang kosong.
“Nyonya baru saja mengambil Tuan muda dan dibawa ke kamarnya,” jawab bibi.
“Oh.” Wijaya tersenyum. Dia senang karena Luna mau merawat putra mereka. Pria itu segera pergi ke kamar Luna.
Langkah kaki Wijaya Kusuma terhenti di depan pintu yang tertutup. Dia mendengarkan tangis putranya yang cukup nyaring dari balik pintu yang tidak terkunci.
“Kenapa menangis?” Wijaya membuka pintu perlahan. Dia melihat Luna sedang memberikan susu pada putra mereka menggunakan botol. Bayi yang baru lahir itu menolak. Dia hanya menginginkan asi dari mamanya.
“Luna!” bentak Wijaya Kusuma dan mengambil botol susu dari tangan wanita itu.
“Dia terus menangis,” ucap Luan kesal.
“Aku pusing mendengarkan suaranya yang nyaring dan bising. Diberi susu pun tidak mau,” jelas Luna duduk di sofa.
“Apa kamu sudah mencoba memberikan asi?” tanya Wijaya Kusuma menggendong Keano yang masih menangis.
“Asi aku kering dan sakit,” jawab Luna.
“Cobalah untuk tetap memberinya. Itu yang dikatakan dokter Ibra. Tarikan dari mulut bayi akan menstimulasi asi kamu,” jelas Wijaya Kusuma.
“Sakit,” tegas Luna.
“Aku dengar kamu tidak meminum dan memakan menu yang sudah disiapkan untuk menghasilkan asi.” Wijaya Kusuma keluar dari kamar Luna dengan membawa Keano. Dia memberikan putranya kepada bibi dan kembali lagi pada istrinya.
“Kenapa?” tanya Wijaya berdiri tegak di depan Luna.
“Semuanya tidak enak. Kamu tidak usah khawatir. Aku selalu minum susu.” Luna tersenyum. Dia beranjak dari sofa dan berdiri di depan cermin.
“Lihatlah tubuhku, Sayang. Kembali seksi dengan cepat.” Luna membuka pakaiannya dan memperlihat keindahan tubuh pada suaminya.
“Apa kamu tidak suka dengan tubuh seksi dan ramping ini? Aku harus diet ketat agar perut rata kembali.” Luna meletakkan tangan Wijaya di perutnya yang terbuka tanpa kain penutup.
“Kamu masih dalam masa nifas, Luna.” Wijaya menarik tangannya dan menghindari godaan Luna.
“Benar. Kamu harus menunggu satu bulan lebih untuk bisa bersentuhan dan berhubungan denganku.” Luan tersenyum. Dia mengecup bibir tipis Wijaya dengan lembut. Wanita itu mengenakan kembali pakaiannya yang seksi yaitu mini dress hitam tanpa lengan dan hanya sebatas paha.
“Apa kamu pulang untuk makan siang?” tanya Luna mengambil baju lain karena dia akan keluar kamar.
“Ya. Ayo makan bersama.” Wijaya memperhatikan Luna.
“Baiklah.” Luna mengenakan sweater untuk menutupi pundak dan dadanya yang terbuka. Mereka keluar bersama dari kamar menuju ruang makan.
Luna dan Wijaya Kusuma makan siang berdua saja. Tidak ada pelayan yang mendekat hingga mereka selesai dan meninggalkan ruang makan. Dua orang itu pergi ke ruang kerja masing-masing. Keduanya benar-benar sibuk.
Terima kasih. Semoga suka.
Wijaya selalu memantau kegiatan dua putranya. Dia tahu bahwa dua lelaki mudanya sedang menghancurkan keluarga Andika.“Lakukan saja apa pun yang kalian mau.” Wijaya tersenyum mendengarkan laporan dari Leon.“Tidak masalah. Biarkan mereka bersenang-senang,” ucap Wijaya.“Baik, Tuan. Dua tuan muda tidak perlu bantuan kita. Mereka jauh lebih hebat dengan ilmu yang dimiliki sehingga bisa melakukan apa pun yang mereka inginkan,” jelas Leon.“Aku tahu itu.” Wijaya melihat layar computer yang menampilkan Perusahaan Andika bangkrut. Mereka bahkan harus menjual rumah untuk bisa bertahan hidup dan membeli rumah lain yang lebih kecil dan murah.Andika dan kedua orang tuanya sudah pindah ke rumah baru yang berada di daerah terpencil. Jauh dari pusat kota.“Bagaimana ini bisa terjadi?” Andika menghempas tubuhnya di sofa.“Bukankah Devano sudah mengancam kita. Apa ini atas perintah Amira?” tanya Marni marah.“Aku rasa ini memang balas dendam dari Devano karena kita sudah menyiksa Amira di masa lalu,
Devano dan Keano duduk berdampingan di sofa. Mereka menghadap Andika. Seorang pelayan tua datang menyajikan minuman dan cemilan.“Silakan.” Wanita itu melihat pada Devano. Bayangan wajah Amira terlihat jelas.“Den Devano.” Bibi tersenyum.“Ya.” Devano menatap pada wanita yang tidak muda lagi itu.“Bagaimana kabar Non Amira?” tanya bibi dengan mata berkaca-kaca.“Mama baik,” jawab Devano.“Masuklah, Bik!” Andika tidak suka melihat bibi dekat dengan Devano.“Baik. Permisi.” Bibi menghapus air mata yang jatuh dan kembali ke dapur.“Devano, apa kamu tahu bahwa aku adalah papa kandung kamu?” tanya Andika.“Apa Anda layak?” Devano menatap tajam pada Andika.“Apa?” Andika terkejut. “Devano, kamu tahukan siapa yang membuat kita semua berpisah? Itu adalah ulah Cantika yang tergila-gila kepada papa. Dia menukar kamu dengan bayi yang sudah meninggal,” jelas Andika.“Itu bukan alasan Anda untuk mengusir mamaku dari rumah ini dan membiarkannya terlantung-lantung di jalanan,” tegas Devano.“Untung
Luna tertahan lagi di Amerika. Dia tidak bisa lagi meninggalkan negera itu. Ibu kandung Keano dikunci putranya sendiri sehingga tidak bisa lagi melakukan penerbangan kemana pun.“Apa Wijaya yang melakukan ini? Aku terkurung kembali di Amerika.” Luna harus mengurus lagi kewarganegaannya agar bisa menetap di Amerika.“Ma, aku mau pulang ke Indonesia,” ucap Luciana.“Kita tidak bisa kemana-mana,” tegas Luna kesal.“Kenapa Wijaya melakukan ini? Apa dia sudah tahu bahwa aku mendekati Keano? Tidak ada yang bisa lepas dari pria itu.” Luna meremas jari-jarinya.“Apa yang harus aku lakukan? Apa Keano mau memaafkanku dan menerimaku sebagai ibu kandungnya dan melepaskan Amira. Mama butuh kamu, Keano.” Luna benar-benar gelisah. Dia tersiksa karena tidak akan pernah bisa punya anak lagi untuk selama-lamanya begitu juga dengan Andika. Dua orang yang telah menerima hukuman dari alam atas kejahatan mereka.Keano dan Devano hidup tenang dengan cinta serta kasih sayang yang utuh dari kedua orang tua mer
Masalah terselesaikan. Kedua anak bisa menerima kenyataan bahwa mereka berasal dari ayah dan ibu berbeda, tetapi tidak mengubah rasa cinta dan sayang diantara keduanya. Tumbuh bersama dan adil dari kecil membuat hubungan tanpa darah pun tetap layaknya saudara kandung.“Sayang, itu artinya Laura adalah Luna,” ucap Amira pada Wijaya. Keduanya telah berada di dalam kamar mereka. Wanita itu memegang tangan suaminya. Dia terlihat khawatir.“Kenapa, Sayang? Apa kamu takut pada Luna?” tanya Wijaya.“Tidak. Aku kasian kepadanya. Dia sudah melihat Keano. Pasti ada rindu di hati Luna sehingga dia terus mengikuti kita,” jawab Amira.“Kamu terlalu baik, Amira.” Wijaya menyentuh dagu Amira.“Sayang, aku juga seorang ibu. Tentu saja memahami perasaanya,” ucap Amira.“Baiklah. Apa yang kamu inginkan sekarang. Aku akan memenuhinya.” Wijaya tersenyum. Dia tahu, istrinya tidak pernah berubah. Berhati lembut dan selalu baik kepada siapa saja.“Tidak ada. Luna sudah menerima hukuman. Biarkan Keano memilih
Amira menatap pada Wijaya yang hanya diam saja. Kedua anaknya terlihat tidak baik-baik saja. Keano yang cemberut dan Devano yang serius. “Ada apa ini, Sayang? Kenapa anak-anak kita terlihat tegang?” tanya Amira bingung.“Apa yang ingin dijelaskan? Mama bingung dan khawatir.” Amira menatap pada Wijaya. “Keano, kamu mau bicara duluan atau Devano dengan buktinya?” tanya Wijaya.“Aku tidak ingin melanjutkan ini semua,” tegas Keano.“Tidak boleh lari dari kenyataan. Kebenaran yang menyakitkan lebih baik dari pada kebohongan yang membuat kamu tidak tenang menjalani kehidupan. Rahasia ini dijaga agar kalian berdua tidak seperti ini, tetapi kamu sendiri yang menemukannya,” tegas Wijaya yang mulai kesal dengan sikap Keano. Pria itu tidak akan sesabar Amira, tetapi dia sadar Keano adalah dirinya sendiri hanya beda dalam pengasuhan saja. Putranya lebih memiliki kasih sayang dan cinta yang cukup dari dirinya sert Amira.“Kamu adalah pria.” Wijaya memegang lengan Keano. “Sayang, ada apa ini?” Am
Wijaya membeku. Dia mendapatkan tatapan teduh dari mata Devano yang sangat mirip dengan Amira. Begitu lembut dan lebih tenang.“Pa.” Devano memegang tangan Wijaya. Dia tahu bahwa papanya sedang gelisah untuk menjawab pertanyaannya. “Devano.” Wijaya memeluk Devano. Pria itu merasa rapuh di depan putranya.“Kamu benar-benar mirip Amira. Begitu lembut dan sabar.” Wijaya menatap Devano.“Apa bisa menunggu jawaban ini ketika ada mama?” tanya Wijaya.“Ya. Sekarang kita tidur saja, Pa.” Devano naik ke tempat tidur.“Apa Papa boleh tidur dengan kamu?” tanya Wijaya.“Ya, Pa.” Devano tersenyum.“Terima kasih.” Wijaya naik ke tempat tidur. Dia memeluk Devano. Pelukan yang sudah jarang diberikan kepada anaknya.Mereka benar-benar bertukar anak. Amira bersama Keano dan Devao dengan Wijaya. Melewati malam dengan hati yang gelisah.Amira membuka mata dan melihat Keano masih terlelap. Wanita itu mencium dahi putrinya dan turun dari kasur. Dia pergi ke kamar Devano dan melihat sang anak tidur bersama