Amira benar-benar harus menguatkan diri. Dia tidak tahu dimana makan putranya. Air mata terus mengalir ketika mengingat nasib yang dijalaninya.
“Anakku. Devano. Nama yang sudah Mama siapkan untuk kamu.” Amira duduk di lantai. Wanita itu hanya mengenakan dress pendek sebatas paha dengan lengan pendek di rumah kosan yang minimalis.“Mama bahkan belum melihat makam kamu. Mama harus sehat dulu.” Amira menangis sendirian di dalam rumah yang terkunci rapat.
“Aku harus keluar untuk mencari bahan makanan.” Amira beranjak dari lantai. Dia menghapus air mata dan merapikan diri. Masuk ke kamar untuk berganti dengan pakaian yang lebih sopan.
Amira memang cantik. Tubuhnya tinggi semampai dan padat terisi. Rambut hitam panjang dan bergelombang berkilau sehat terawat. Bola matanya besar dengan warna hitam pekat. Alis rapi asli dengan bulu mata lentik dan panjang. Bibirnya kecil, tetapi penuh dan seksi. Hidung mancung dengan dagu lancip dan berbelah. Dia masih memiliki satu gigi gisul yang manis ketiak tersenyum. Dengan mudah membuat pria jatuh cinta padanya.
“Mau kemana, Neng?” tanya petugas perumahan.“Di mana ada toko untuk membeli kepeluan sembako? Amira balik bertanya.
“Di depan, Neng. Apa mau saya antar?” tanya pria itu lagi.
“Apa jauh?” Amira melihat ke ujung gerbang komplek perumahan.
“Lumayan di rumah paling ujung. Dia jualan keperluan sehari-hari,” ucap pria itu.
“Apa aku boleh pijam motornya?” tanya Amira.
“Tentu saja.” Pria itu memberikan dengan senang hati pada Amira yang cantik.“Terima kasih.” Amira tersenyum. Dia mengendarai sepeda motor milik pertugas perumahan. Rambut panjang hanya digelung seadanya, tetapi tidak mengurangi kecantikan wanita itu. Wajah tanpa make up tetap menarik perhatian.
Kendaraan Amira berpapasan dengan mobil Wijaya Kusuma. Pria yang datang untuk mengawai para pekerja proyek yang bersebelahan dengan perumahan miliknya juga. Karena baru dibangun membuat harga masih murah dan bebas memilih untuk ditinggali sebelum dipernuhi para karyawan.
“Siapa wanita itu? Kenapa terlihat tidak berdandan?” tanya Wijaya Kusuma di dalam hati.
“Matanya bengkak seperti sedang menangis. Apa dia penghuni perumahan dan mendapatkan kekerasan dari suami yang bekerja di perusahaanku?” Wijaya Kusuma menoleh pada asisten pribadinya.
“Ada apa, Tuan?” tanya pria paruh baya yang mendapatkan tatapan tajam dari bosnya.
“Apa perumahan khusus karyawan pabrik sudah penuh?” tanya Wijaya Kusuma.
“Bagian depan perumahan di berikan pada penghuni umum dan bagian tengah untuk pekerja proyek. Sedangkan di samping pintu utama untuk karyawan tetap. Jadi, wajar saja perumahan ini akan terisi dengan penuh,” jelas pria itu tersenyum.
“Perusahaan kita masih membuka lowongan pekerjaan hingga Pembangunan selesai dan proyek berjalan. Begitu juga dengan para penyewa dan pembeli perumahan,” lanjut pria itu.
“Kapan semua akan selesai dan bagaimana dengan pelamar di Perusahaan utam?” tanya Wijaya Kusuma.
“Berkas lamaran sudah banyak yang masuk. Anda memberikan kesempatan satu bulan dari pembukaan hingga penutupan dan waktu seleksi,” jelas Dodi.
“Ini berkas yang sudah masuk.” Dodi memerikan tab kepada Wijaya untuk memeriksa data para pelamar yang mau menjadi sekretaris pribadinya.
“Apa seorang pria bisa melakukan pekerjaan pria? Rasanya akan aneh jika diurus hingga memasang dasiku.” Wijaya menatap Dodi.
“Anda bisa melakukan percabaan,” ucap Dodi tersenyum.
“Hm. Wanita jauh lebih telaten untuk dijadikan sekretaris pribadi Anda. Cari yang sudah memiliki pengalaman,” lanjut Dodi.
“Kamu saja yang pilih beberapa kandidat ketika masa lamaran sudah ditutup,” tegas Wijaya mengembalikan tab pada Dodi.
“Baiklah. Saya memang lebih bepergalaman.” Dodi tersenyum. Pria yang sudah tidak muda lagi itu akan segera berhenti bekerja karena dia sudah memasuki usia pensiun di masa kerjanya.
“Aku tahu itu. Harusnya kamu tidak usah pensiun. Terus bekerja saja sampai tidak bisa berdiri lagi,” tegas Wijaya Kusuma.
“Ya Tuhan. Kapan aku akan menikmati masa tua bersama cucuku?” Dodi tersenyum melihat wajah cemberut Wijaya Kusuma. Pria itu sudah menemani keluarga Wijaya dari masih muda bahkan pria berkuasa itu belum lahir kedunia. Dia masih bekerja dengan orang tua lelaki itu.
“Datanglah berkunjung ke rumahku dan bawa cucu kamu untuk bermain ketika sudah tidak bekerja lagi,” ucap Wijaya Kusuma menatap pada Dodi dengan lembut.
“Tentu saja, Tuan. Saya pasti akan sangat merindukan Anda yang telah bersama dari sejak kecil. Anda sudah saya anggap seperti anak sendiri jika diizinkan,” ucap Dodi serius.
“Kamu bisa memanggil namaku seperti Ayah kepada anaknya ketika tidak jadi asisten pribadiku lagi.” Wijaya Kusuma memalingkan wajahnya melihat ke luar jendela.
“Terima kasih.” Dodi tersenyum. Dia tahu benar bahwa pria di depannya sangat sibuk belajar dan bekerja sehingga tidak begitu mendapatkan kasih sayang dari kedua orang tuanya yang juga sangat sibuk memperkaya diri.
Mobil yang membawa Wijaya Kusuma dan Dodi sudah berhenti di halaman sebuah rumah paling mewah yang juga dijadikan kantor yang pemillik Kawasan itu. Pria tampan dan tinggi segera turun dari mobil tanpa menunggu seorang membuka pintu.
“Kita langsung berkeliling saja,” ucap Wiajay Kusuma.
“Ya.” Dodi mengikuti langkah kaki Wijaya yang panjang. Pria itu mengawasi proyek setelah bertemu dengan para pengawas dan penanggung jawab pekerjaan. Dia mengenakan helm pelindung dan jas lapangan.
“Satu bulan lagi semua akan rampung dan siap bergerak, Tuan.” Seorang pria muda melaporkan hasil pekerjaan mereka kepada Wijaya Kusuma.
“Bagus. Pastikan semua bersih sebelum proyek jalan,” tegas Wijaya Kusuma.
“Baik, Tuan.” Para mandor dan penanggungjawab menemani bos mereka berkeliling. Pria itu sangat teliti. Dia memperhatikan setiap sudut proyek dan memeriksa perumahan serta pabrik.
Amira masih berbelanja di toko yang ada di ujung perumahan. Wanita itu duduk melamun. Dia memakan cemilan yang ada di depan toko.
“Sudah lama sekali aku tidak jajan makanan pinggir jalan.” Amira tersenyum.
“Neng baru di sini ya?” tanya bibi penjual.
“Iya.” Amira tersenyum. Gadis itu sedang memakan bakwan kuah dan empek-empek ikan. Jajanan rumahan yang enak.
“Neng pasti tinggal di Kawasan elite sebelah kanan. Terlihat jelas dengan kulit putih dan bersih seperti seorang model.” Bibi penjual memperhatikan Amira. Dia bisa melihat kecantikan wanita itu, tetapi ada luka dan sedih pada tatapannya.
“Tidak. Aku tinggal di perumahan umum yang paling murah,” ucap Amira tersenyum.
“Ah, benarkah? Bagaimana bisa seorang dari kalangan biasa sangat cantik, bersih, putih dan mulus. Belum lagi tinggi badan, Neng. Itu juga seksi.” Bibi tersenyum memperhatikan tubuh montok Amira yang dilihat wanita pun sangat menggoda apalagi pria.
“Keturunan mungkin, Bi.” Amira menarik sweater untuk menutupi dadanya yang basah dan penuh oleh asi.
“Aku harus membeli sedotan dan pompa untuk membuang asi. Ini sangat menyakitkan,’ ucap Amira di dalam hati. Dia sadar bahwa dadanya jauh lebih besar dari ukuran normal karena dia sedang masa subur pemberian asi untuk anaknya yang sudah meninggal.
Semua itu efek dari program hamil dan perawatan yang dilakukan untuk memberikan yang terbaik pada putranya. Amira memang mau memberikan asi eklusif terbaik untuk Devano.
“Berapa semua, Bi? Aku sudah lama duduk di sini,” ucap Amira.
“Tidak apa-apa. Menemani Bibi. Masih sepi juga.” Bibi tersenyum.
“Kapan kamu pindah ke sini? Beli perumahan atau kontrak saja?” tanya bibi.
“Sekarang masih kontrak, Bi. Rencana mau melamar pekerjaan juga di sini,” jawab Amira.
“Ambil bagian pabrik atau perusahaan?” tanya bibi penjual.
“Rencananya di perusahaan karena aku punya pengalaman kerja menjadi sekretaris dan bagian keuangan,” jawab Amira ramah. Dia senang bisa punya teman berbicara sehingga tidak terlalu larut dalam kesedihan.
“Wah pantas saja penampilan kamu sangat menarik karena memang pernah bekerja sebagai sekretaris.” Bibi penjual pun sangat ramah dan ramai. Selalu ingin tahu segala hal untuk dijadikan bahan pembicaraan.
“Mungkin saja, Bi. Karena kita harus menjaga penampilan selama bekerja.” Amira tersenyum.
“Ini, Bi.” Amira membayar berlanjaanya.
“Terima kasih, Neng cantik. Kalau lagi bete di rumah boleh main dan nongkrong ke sini,” ucap bibi tersenyum.
“Iya, Bi. Permisi.” Amira pamit. Dia menyalakan mesin motor meninggalkan kedai penjual. Wanita itu kembali melamun. Dia ingin ke makan putranya yang tidak tahu dimana.
“Aku harus tanya bibi Nani. Mungkin tahu dimana makan Devano. Arrrgh!” Amira yang mengendarai motor sambil melamun menabrak mobil Wijaya yang sedang parkir di jalan pulang. Pria itu berhenti untuk mengawasi rumah termurah yang tetap bagus.
“Ya Tuhan. Bagaimana ini?” Amira terjatuh, tetapi dia terluka pada lutut dan pergelangan kakinya.
“Ceroboh sekali.” Wijaya Kusuma menatap pada Amira yang sudah duduk di atas rumput. Ada darah pada lutut yang putih dan bersih itu.
“Ah.” Amira merasa sakit pada pergelangan kakinya dan lutunya yang sudah merah.
“Maaf.” Amira segera berangkat dan mengangkat motor yang rebah.
“Apa Anda baik-baik saja, Tuan?” tanya Dodi memeriksa Wijaya Kusuma yang hampir saja terhimpit pintu yang ditabrak Amira ketika pria itu akan turun dari mobil.“Dia harus membayar mahal.” Wijaya Kusuma memperlihatkan jarinya yang terluka.
“Apa? Saya benar-benar tidak sengaja.” Amira semakin gugup. Dia tahu benar bahwa mobil yang ditabraknya sangat mahal. Wanita itu juga harus memperbaiki motor orang yang lecet.
“Maaf, Tuan.” Amira tanpa sengaja memegang tangan Wijaya Kusuma untuk memastikan jari pria itu terluka.“Maaf.” Tanpa sadar Amira memasukan jari terlunjuk Wijaya Kusuma ke dalam mulutnya.
“Ah.” Wijaya Kusuma terkejut, tetapi pria itu hanya diam saja tanpa penolakan. Sentuhan hangat dan tulus dari Amira memberikan desiran aneh di dalam dadanya.
“Maaf.” Amira terus meminta maaf dan membungkuk. Melepaskan tangan Wijaya yang terdiam bergitu juga dengan Dodi yang ikut bingung dengan bosnya yang membeku.
“Hitung kerugian yang dibuat oleh wanita ini. Jika dia bekerja di sini potong dengan gajinya.” Wijaya Kusuma masuk ke dalam mobil dan menutup pintu.
“Apa?” Amira terkejut. Dia belum juga mendapatkan pekerjaan, tetapi sudah harus mengganti rugi mobil mahal dan motor yang dipinjamnya.
Halo, Terima kasih sudah membaca karya Akak. Semoga suka.
Amira menatap pada Wijaya yang hanya diam saja. Kedua anaknya terlihat tidak baik-baik saja. Keano yang cemberut dan Devano yang serius. “Ada apa ini, Sayang? Kenapa anak-anak kita terlihat tegang?” tanya Amira bingung.“Apa yang ingin dijelaskan? Mama bingung dan khawatir.” Amira menatap pada Wijaya. “Keano, kamu mau bicara duluan atau Devano dengan buktinya?” tanya Wijaya.“Aku tidak ingin melanjutkan ini semua,” tegas Keano.“Tidak boleh lari dari kenyataan. Kebenaran yang menyakitkan lebih baik dari pada kebohongan yang membuat kamu tidak tenang menjalani kehidupan. Rahasia ini dijaga agar kalian berdua tidak seperti ini, tetapi kamu sendiri yang menemukannya,” tegas Wijaya yang mulai kesal dengan sikap Keano. Pria itu tidak akan sesabar Amira, tetapi dia sadar Keano adalah dirinya sendiri hanya beda dalam pengasuhan saja. Putranya lebih memiliki kasih sayang dan cinta yang cukup dari dirinya sert Amira.“Kamu adalah pria.” Wijaya memegang lengan Keano. “Sayang, ada apa ini?” Am
Wijaya membeku. Dia mendapatkan tatapan teduh dari mata Devano yang sangat mirip dengan Amira. Begitu lembut dan lebih tenang.“Pa.” Devano memegang tangan Wijaya. Dia tahu bahwa papanya sedang gelisah untuk menjawab pertanyaannya. “Devano.” Wijaya memeluk Devano. Pria itu merasa rapuh di depan putranya.“Kamu benar-benar mirip Amira. Begitu lembut dan sabar.” Wijaya menatap Devano.“Apa bisa menunggu jawaban ini ketika ada mama?” tanya Wijaya.“Ya. Sekarang kita tidur saja, Pa.” Devano naik ke tempat tidur.“Apa Papa boleh tidur dengan kamu?” tanya Wijaya.“Ya, Pa.” Devano tersenyum.“Terima kasih.” Wijaya naik ke tempat tidur. Dia memeluk Devano. Pelukan yang sudah jarang diberikan kepada anaknya.Mereka benar-benar bertukar anak. Amira bersama Keano dan Devao dengan Wijaya. Melewati malam dengan hati yang gelisah.Amira membuka mata dan melihat Keano masih terlelap. Wanita itu mencium dahi putrinya dan turun dari kasur. Dia pergi ke kamar Devano dan melihat sang anak tidur bersama
Keano menyusupkan virus robot ke dalam ponsel Luna. Remaja yang hampir lulus SMP itu benar-benar berani. Dia terlalu penasaran kepada Luna yang terus mengikuti dirinya dari jauh. Putra Wijaya itu tidak sadar bahwa dirinya akan terluka.“Apa?” Keano yang mencoba penemuan barunya benar-benar terkejut dengan isi ponsel Luna. Semua tentang dirinya ada di sana. Foto dari kecil hingga besar. “Kenapa wanita ini mengikuti ku dari kecil? Siapa dia sebenarnya?” Rasa penasaran Keano semakin kuat hingga dia tidak tidur. Mencari dan menggali informasi tentang Laura.“Tidak! Tidak!” Keano menggelengkan kepalanya. Semakin jauh dia masuk semakin membuat dirinya tidak mengerti. Laura masih menyimpan foto-foto kebersamaan dengan Wijaya, tetapi wajah yang berbeda.“Dia operasi wajah,” ucap Keano.“Luna Margaret. Seorang model dan pernah menjadi istri Wijaya Kusuma. Hamil dan melahirkan seorang putra bernama Keano.” Jari-jari Keano gemetar. Tubuhnya lemah. Dia bahkan hampir jatuh dari kursinya. “Tidak!”
Keluarga Wijaya pergi ke lokasi perlombaan dengan mobil. Wiliam dan Wilona ikut serta. Dua anak itu tidak sulit untuk diurus. Bibi pun selalu bersama. Leon dan tim mengawas dari jarak aman.Kursi untuk keluarga peserta dan penonton telah disiapkan. Mereka harus membayar mahal untuk bisa menyaksikan langsung kompetisi Tingkat dunia itu. Devano dan Keano telah berada di tempat mereka. Bersiap untuk bertanding dengan tema penemuan terbaru di dunia teknologi canggih dan bermanfaat bagi dunia.“Hadirin. Ini adalah sepuluh peserta terpilih dari seluruh dunia. Mereka akan memamerkan hasil kerja keras kepada kita semua,” ucap pembawa acara.“Tahun ini pertama kalinya negara Indonesia mengirim peserta dan langsung dua anak. Luar biasanya mereka berdua ini adalah saudara kembar. Kami perkenalkan Keano dan Devano yang datang dari Indonesia.” Tepuk tangan meriah menyambut Keano dan Devano.Tirai terbuka memperlihatkan dua anak remaja yang tampan. Mereka duduk tenang di kursi masing-masing. “Wah
Pesawat pribadi milik Wijaya Kusuma telah berada di langit menuju belahan bumi lain yaitu Amerika. Mengantarkan putra kesayangan untuk bertanding dalam dunia teknologi. Mereka benar-benar sudah terbiasa melakukan perjalanan jauh dengan pesawat terbang. Tidur nyenyak dengan tenang.Keluarga Wijaya Kusuma telah tiba di sebuah vila mewah. Bibi selalu ikut untuk membantu Amira mengurus bayi kembar.“Selamat datang, Tuan.” Para pelayan villa menyambut kedatangan Wijaya dan keluarga.“Terima kasih.” Amira masuk bersama anak-anaknya. Mereka memilih kamar masing-masing.Villa yang luas dan mewah telah disiapkan oleh Wijaya untuk kenyamanan keluarganya. Datang ke Amerika untuk menemani Keano dan Devano mengikuti perlombaan sekaligus liburan.Keano dan Devano berada di dalam kamar mereka masing-masing. Dua remaja itu mempersiapkan diri untuk kompetisi. Tidak ada yang mengganggu.“Hm.” Keano menemukan Luna yang juga datang ke Amerika. Dia selalu mencurigai wanita itu karena sering terlihat diseki
Amira merapikan pakaian kedua anaknya ke dalam koper. Wanita itu tidak ingin dibantu pelayan.“Ma, kenapa harus repot?” tanya Devano.“Mama mau memastikan bahwa tidak ada yang tertinggal.” Amira tersenyum. Dia dengan senang hati mempersiapkan segala kebutuhan kedua putranya yang akan pergi ke Amerika.“Apa Mama ikut?” tanya Keano menatap Amira.“Keano maunya Mama ikut atau tidak?” Amira mendekati Keano yang duduk di tepi kasur.“Aku mau Mama ikut, tetapi pasti tidak dibolehkan papa,” ucap Keano merebahkan kepalanya di pangkuan Amira.“Kita akan pergi semua.” Wijaya berdiri di depan pintu. Dia melihat Devano merapikan koper sedangkan Keano berbaring di pangkuan Amira.“Anak ini.” Wijaya menggelengkan kepalanya. Keano benar-benar lebih manja kepada Amira dari pada Devano. Sang kakak beda beberapa hari itu memang terlihat lebih mandiri dan dewasa. Dia juga pengertian.“Semua sudah beres,” ucap Devano menarik dua koper ke samping lemari.“Benarkah?” Keano segera duduk. Dia melihat Wijaya.