LOGINDengan gerakan tangan, Amber berkata, “Jangan menggangguku karena aku tidak mengganggumu. Mari kita hidup masing-masing dengan tenang di rumah ini.”
Delia yang tidak mengerti apa yang Amber katanya, mengernyitkan keningnya. “Aku tidak mengerti apa yang kamu katakan. Jadi berhentilah melakukan gerakan bodoh seperti badut itu,” ucap Delia yang membuat kepercayaan iri Amber runtuh seketika. ‘Seperti badut? Apakah Christhoper juga memandangnya seperti apa yang Delia lihat padanya? Benarkah dia terlihat bodoh dan memalukan dengan setiap gerakan tangan yang dia lakukan?’ batin Amber yang seketika menggigit bibirnya menahan air mata yang mengembang di pelupuk mata. Melihat ekspresi Amber, bibir Delia menyeringai lebar. Ternyata sangat mudah membuat wanita itu terintimidasi dan rendah diri. Hal itu membuatnya lebih mudah menjatuhkan wanita itu. “Kamu pikir hati Christhoper sudah mulai luluh padamu? Dia hanya merasa kasihan padamu dan juga merasa bersalah dengan perbuatannya, tapi jangan harap dia mempunyai hati untukmu. Bahkan untuk pergi ke kamarmu saja dia meminta izin padaku,” ucap Delia yang berbohong tentang hal tersebut untuk menghancurkan hati Amber. “Aku hanya memberikannya satu malam bersamamu agar perasaan bersalahnya hilang, tapi malam-malam selanjutnya, jangan harap aku akan mengizinkannya masuk ke kamarmu lagi. Yang perlu kamu ingat dan garis bawahi, hati Christhoper hanya untukku. Tidak ada wanita lain yang bisa memasuki hatinya kecuali diriku. Mengerti?” bentak Delia yang kemudian mendorong Amber hingga terjatuh di tanah yang berlumpur di belakangnya. Air mata Amber seketika jatuh membasahi pipi ketika Delia berbalik dan meninggalkan dirinya. Hatinya terasa sakit mendengar semua perkataan wanita itu. Benarkah apa yang Christhoper lakukan padanya hanya karena rasa bersalah? Dengan tertatih, Amber berusaha bangun dari tempatnya terjatuh. Pakaiannya kotor karena lumpur yang dia duduki. Dia kemudian membersihkan dirinya dan masuk ke kamar. Seharian dia mengunci diri di sana, menghindari bertemu dengan Delia di rumahnya sendiri. Rumah yang seharusnya menjadi rumahnya bersama Christhoper. Malam harinya, Delia sudah mengatur strategi untuk menjebak Amber dalam rencana licik. Semenjak sore, dia telah menunggu Christhoper pulang, memastikan jika pria itu tidak menemui Amber. Ketika mobil Christhoper terdengar memasuki halaman rumah, Delia berlari ke ruang tengah rumah itu dan menangis terisak. Christhoper yang baru saja masuk, langsung terkejut mendengar tangis Delia. Dia pun segera mendekati wanita itu. “Ada apa? Apa yang terjadi? Apakah kamu sakit lagi?” tanya Christhoper dengan rasa khawatir pada wanita itu. “Amber ...” isak Delia menyebutkan nama Amber. “Ada apa dengan Amber?” “Wanita itu mengejekku. Dia bilang dia telah berhasil meluluhkan hatimu dan kamu akan segera melupakanku,” tangis Delia dengan suara menyayat hati. “Benarkah dia mengatakan hal tersebut?” geram Christhoper. Baru saja dia mencoba bersikap baik pada wanita itu, namun sikapnya sudah ngelunjak. “Aku akan bicara padanya,” ucap Christhoper yang menjauh dari Delia, tapi wanita itu menahan tangannya. “Tidak perlu bicara padanya, asal kamu bersamaku, aku akan menghiraukan perkataannya,” ucap Delia. “Bisakah kamu mengantarku ke kamar?” bujuk Delia. “Tentu saja, ayo kita ke kamarmu,” kata Christhoper berusaha menenangkan hati Delia. “Apakah kamu tidak menggendongku?” ucap Delia manja. Tanpa bantahan, Christhoper langsung menggendong Delia menuju kamar wanita itu. Amber yang masih mengunci diri di kamar, dikejutkan oleh suara ketukan di pintu. Dia turun dari ranjang lalu membuka pintu, terlihat seorang pelayan berdiri di depannya dengan membawa nampan berisi minuman. “Ada apa?” tanya Amber dengan gerakan tangannya. “Nona Delia meminta Anda mengantarkan minuman ini ke kamarnya,” jawab pelayan itu. “Haruskan aku yang mengantarkannya?” Amber mencoba menggerakkan bibir agar pelayan itu tahu apa yang dia bicarakan. Pelayan itu mengangguk menjawab pertanyaan Amber. “Nona Delia berkata, dia akan mengadukan Anda ke Tuan Christhoper jika menolak permintaannya.” “Baiklah. Aku akan mengantarkan minuman ini ke kamarnya,” jawab Amber yang tidak mau membuat masalah baru dengan wanita itu. Dia berjalan membawa minuman itu ke kamar Delia. Kebetulan sekali pintu kamarnya sedikit terbuka. Baru saja Amber akan masuk, kakinya langsung tertahan di depan pintu ketika melihat Christhoper yang sedang berbaring menindih Delia sambil berkata, “Lupakan saja sikap wanita bisu itu yang menyakiti hatimu. Dia hanya iri padamu karena aku mencintaimu.” Tangan Amber meremas kuat nampan yang dibawanya, menahan rasa sakit yang menghentakkan dada. Ingin rasanya pergi dari tempatnya berdiri, tapi dia bertahan di sana untuk mendengar apa yang akan Christhoper katakan tentang dirinya. “Benarkah kamu hanya mencintaiku? Bagaimana jika Amber merayumu?” tanya Delia yang menyadari jika Amber sudah berada di depan pintu kamar seperti apa yang dia rencanakan. “Aku tidak akan pernah termakan rayuannya, lagi pula aku tidak suka berhubungan dengan wanita cacat sepertinya. Aku ingin memastikan jika anakku lahir dari wanita yang sempurna bukan dari seorang wanita bisu. Berkomunikasi dengannya saja sudah membuatku pusing, apalagi jika anakku ikut bisu, aku bisa gila dibuatnya,” ucap Christhoper yang terpancing dengan omongan Delia tanpa dia tahu jika Amber mendengar dengan jelas perkataan yang menyakitkan tersebut. Delia tertawa senang mendengar apa yang Christhoper ucapkan. Apa yang dia rencanakan berhasil. Delia yakin saat ini Amber pasti sedang menahan luka karena perkataan Christhoper. Tawa Delia terdengar begitu menyakitkan bagi Amber. Dia tidak menyangka jika kedua orang itu sedang mengejek dan mentertawakan kekurangannya. Dia juga tidak ingin menjadi orang bisu, tapi takdir berkata lain. Pengobatan yang dia jalani tidak membuatnya mendapatkan kembali pita suaranya. “Jika begitu, apakah menurutmu aku adalah wanita yang sempurna?” suara Delia kembali terdengar. “Sangat sempurna, jika tidak, aku tidak akan menaruh benihku di rahimmu dan mengizinkanmu mengandung anakku,” jawab Christhoper yang rasanya seperti pisau yang menyayat hati Amber. “Namun sayangnya, anak kita tidak bisa lahir dengan selamat ke dunia ini,” ucap Delia dengan nada sedih. “Kalau begitu, kita akan membuatnya kembali,” balas Christhoper yang tidak ingin membuat wanita yang dicintainya bersedih. Air mata Amber terus mengalir tak bisa dia tahan lagi. Hatinya semakin hancur ketika melihat Christhoper mencium bibir Delia, sedangkan Delia membuka baju Christhoper sambil menyambut ciuman pria itu. Tidak ingin melihat apa yang selanjutnya terjadi, Amber langsung menjauh dari pintu mengurungkan niat untuk mengantar minuman Delia. Amber yakin Delia sengaja membuatnya mendengar dan melihat apa yang mereka lakukan. Dengan tangan gemetar, dia meletakkan minuman yang dia bawa ke dapur dan langsung berlari ke kamar. Dia duduk di pojok kamar sambil memeluk kakinya lalu menangis di sana mengeluarkan segala emosi. Apa yang dia kira kemarin, ternyata salah. Christhoper tidak pernah mengingatnya sebagai gadis kecil yang ingin dilindungi. Pria itu hanya mempermainkannya dan membuat lukanya semakin dalam. Rasa sakit itu membuat Amber berbaring di lantai yang keras dan dingin sambil menangis terisak tanpa suara. Entah sampai berapa lama dia menangis di sana hingga tubuhnya menggigil kedinginan dan pegal. Dia kemudian merangkak naik ke ranjang dan mencoba menutup mata untuk tidur. Namun malam itu menjadi malam panjang yang berbanding terbalik dengan malam sebelumnya. Dia selalu terbangun dengan rasa takut dan gelisah. Setiap kali terbangun, air matanya kembali mengalir. Hingga paginya, Amber terbangun dengan rasa sakit kepala yang berdenyut. Rasa mual tiba-tiba menghantam perutnya, membuatnya berlari ke kamar mandi dan memuntahkan isi perutnya. Air matanya sampai keluar setiap kali merasa perutnya diaduk-aduk, teremas sakit dan akhirnya muntah lagi. Setelah membersihkan diri, Amber berjalan merambat ke ranjang dengan menahan kepala yang berdenyut. Dia yakin dirinya sakit gara-gara menangis di lantai yang dingin sepanjang malam. Betapa bodoh dirinya, disaat seharusnya dia kuat, kini dirinya malah jatuh sakit. Jika dirinya mudah sakit, Delia akan menyukainya karena rencana wanita itu untuk membuatnya terluka, berhasil dilakukannya. Tidak ingin sakitnya bertambah parah, Amber memutuskan untuk pergi ke dokter. Dia keluar dari kamar dan keadaan rumah tampak sepi. “Nona Amber ingin sarapan sekarang?” tanya pelayan yang mengagetkannya. Amber menggelengkan kepala, tangannya mengisyaratkan jika dia sedang tidak ingin sarapan pagi ini. Dia menanyakan ke mana perginya semua orang? Kenapa rumah begitu sepi? “Tuan Christhoper dan Nona Delia belum bangun. Mungkin mereka kesiangan,” ucap pelayan itu. Mendengar hal tersebut, Amber hanya tersenyum masam. Dia yakin kedua orang itu menghabiskan malam yang panjang hingga mereka bangun kesiangan. Sebelum air matanya menetes keluar, Amber mengatakan pada pelayan jika dirinya akan pergi ke dokter sebentar karena merasa tidak enak badan. Pelayan itu berkata akan menyampaikan pesan tersebut pada Christhoper jika pria itu sudah bangun. Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, Amber hanya melamun di taksi yang dipesannya. Matanya menatap kosong ke luar mobil yang dinaikinya. Apa yang harus dilakukannya? Mampukah dia bertahan dalam pernikahan yang membuatnya seperti di neraka? Dirinya memang mencintai Christhoper, tapi pria itu tidak pernah mencintainya bahkan terus menyakitinya. Christhoper mencintai wanita lain dan itu membuatnya sangat terluka. Lagi pula Christhoper yang sekarang bukanlah anak kecil yang dikenalnya dulu. Pria itu sudah berubah menjadi pria yang sangat jahat baginya. Jika memang yang terbaik untuk mereka adalah sebuah perpisahan, mampukah dia menyakinkan orang tuanya agar mereka bisa berpisah dengan baik-baik tanpa meninggalkan masalah baru? Kegalauan hatinya membuatnya tidak sadar jika sudah sampai di depan rumah sakit. “Nona, Anda sudah sampai tempat tujuan,” ucap supir taksi yang berhasil membuyarkan lamunan Amber. Amber segera membayar lalu turun dari taksi tersebut. Setelah melakukan pendaftaran, seorang dokter menanyain keluhannya. “Apa yang Anda rasakan?” tanya dokter tersebut. Sadar jika dirinya susah berkomunikasi, Amber mengambil kertas dan menuliskan tentang keadaannya yang tidak bisa bicara, tapi mampu mendengar dengan baik. Dokter itu tersenyum dengan ramah dan bisa mengerti keadaannya. Amber menuliskan kondisi tubuhnya, memberitahu jika dirinya merasa pusing dan mual ketika bangun di pagi hari. “Kapan Anda terakhir datang bulan?” tanya dokter itu yang membuat kening Amber mengernyit heran.Jantung Amber berdetak kencang, rasa cemas menghinggapi dirinya ketika sadar berada di ruangan sempit dengan beberapa orang yang tidak dikenal. Ketegangan terasa ketika lampu meredup dan pandangannya mulai tidak jelas. “Aku tidak boleh panik, aku tidak boleh panik,” rapal Amber dalam hati seperti sedang membaca sebuah mantra. Dia menghirup nafas panjang dan mengeluarkannya pelan-pelan, berusaha membuat dirinya merasa lebih tenang, melakukan apa yang diajarkan psikiaternya jika dirinya merasa cemas yang berlebihan dan tampaknya apa yang dia lakukan berhasil. Ketika dokter memeriksa detak jantungnya, keadaannya sudah normal kembali. Seorang perawat memiringkan tubuhnya lalu menyuntikkan sesuatu. Tidak lama kemudian, matanya menjadi berat dan mengantuk. Tak lama kemudian, dia merasa sangat tenang dan tidak mengingat apa pun lagi. “Tuan, Nona Amber sedang menjalani operasi pita suara hari ini. Apakah Anda akan datang ke rumah sakit,” kata seorang pria yang berdiri di depan Christhoper
Tubuh Delia merosot ke lantai ketika sadar jika dirinya tidak mempunyai harapan lagi. Dia menangis terisak di sana dan memutar otak harus pergi ke mana. Tanpa uang atau pun ponsel yang bisa digunakan. Jalan satu-satunya yang terpikirkan olehnya adalah pergi ke rumah Glen. Delia terpaksa berjalan kaki ke rumah Glen, padahal tempat tinggal pria itu cukup jauh dari apartemennya. Hari telah larut malam dan jalanan cukup sepi, bahkan taksi sudah jarang yang lewat. Beberapa kali dia mencoba menghentikan mobil yang lewat tapi tidak ada satu pun yang bersedia memberikan tumpangan. Dengan keadaan lelah, Delia sampai di depan rumah Glen. Dia menggedor pintu rumah pria itu, tapi tidak ada yang membukanya. Dia berteriak sampai tenggorokannya sakit, tapi tetap saja Glen tidak membukakan pintu. Mencoba mencari jalan lain, dia memutari rumah Glen untuk mengetuk pintu samping rumah tersebut, tapi betapa terkejut dirinya ketika dari kaca jendela kamar Glen, dia melihat Glen sedang bercinta dengan s
“Saya sudah menyelidiki tentang kecelakaan yang Delia alami. Memang benar tidak ada keterkaitan Tuan Jackob, tapi bukti yang saya dapatkan malah membawa saya pada kenyataan jika kecelakaan itu disengaja oleh Delia sendiri,” ujar detektif menjelaskan lebih rinci terkait kecelakaan yang Delia alami. Denyut menyakitkan di dada Christhoper kini merambat ke kepala ketika kejahatan Delia kembali terkuak. Tidak tahan dengan rasa sakit itu, Christhoper mengusir orang suruhannya. “Keluar dari ruanganku sekarang juga dan tinggalkan semua informasi yang telah kamu peroleh di mejaku,” perintah Christhoper. Orang itu mengangguk, lalu menaruh semua dokumen yang dia bawa ke hadapan Christhoper, lalu pergi keluar. Setelah orang suruhannya pergi, Christhoper langsung merosot dari kursi yang didudukinya. Dengan tangan gemetar dia membuka satu persatu laci meja, mencari obat yang akhir-akhir ini dia konsumsi. Jika Christhoper tidak meminum obat itu, dia akan dihantui teriakan minta tolong Amber d
“Amber mengalami pendarahan dan hampir kehilangan nyawa. Malam itu Amber meminta bantuanku. Ketika aku sampai ke rumahmu dan membuka kamarnya, aku terkejut melihat Amber sedang kesakitan dan terduduk di atas kenangan darahnya sendiri di lantai. Keadaannya sangat menyedihkan. Dia harus merangkak ke lantai untuk mengambil ponsel yang kamu buang bersama tasnya. Dia ingin menjerit meminta bantuan, tapi tidak bisa. Bayangkan bagaimana perjuangan Amber meminta bantuan agar dia tetap hidup?” Nafas Aaron seperti banteng yang sedang marah ketika mengatakan semua itu di depan muka Christhoper. “Seandainya saja setelah kamu melakukan kesalahan, kamu bertanggung jawab atas kesalahanmu itu, Amber tidak akan sampai merangkak menahan sakit sendirian. Terlambat sebentar saja, Amber tidak akan selamat. Sampai di rumah sakit dia sudah tidak sadarkan diri dan harus mendapatkan transfusi darah berkantong-kantong. Di mana dirimu saat itu? Bersenang-senang di apartemen Delia. Kalian berdua memang sama-s
Amber sedang sibuk dengan tamannya ketika seorang pelayan membawakan ponsel miliknya yang berdering. “Nona, ada telepon untuk Anda?” ujar pelayan tersebut. Amber mengangguk mendengarnya, lalu pengambil ponsel dari tangan pelayan itu. Bibir Amber tersenyum melihat nama Aaron di layar ponsel. Dia dengan cepat menerima panggilan tersebut dan langsung mendengar suara Aaron yang bisa membuatnya terhibur. “Aku yakin kamu akan mengetuk layarnya satu kali karena kamu dalam keadaan baik-baik saja. Apalagi sekarang kamu sudah menjadi Tuan Putri dengan pengamanan yang ketat,” kata Aaron. “Ya, aku baik-baik saja dan aku bahagia sekarang,” jawab Amber menggunakan alat bantunya. “Kamu sudah bisa berbicara?!” teriak Aaron terkejut. Amber tersenyum merespon teriakan Aaron, meski tahu jika pria itu tidak bisa melihat dirinya tersenyum. “Masih dalam mimpi, tapi saat ini aku sedang dalam proses pengobatan dan masih harus bolak-balik ke psikiater untuk menyembuhkan traumaku,” jawab Amber. “Lalu su
“Dia memang benar ibu kandungku dan aku telah melihat semua buktinya bahkan bukti DNA kami. Aku datang tidak untuk mengejek Papa,” jawab Amber menggunakan suara dari alat bantu yang dia miliki. “Jika kamu tidak ingin mengejekku, lalu apa tujuanmu ke sini?” tanya Jackob. “Aku hanya ingin tahu hati Papa dan Mama yang sebenarnya padaku saat kalian mengadopsiku. Apakah kalian benar-benar menyayangiku? Terlepas dengan sikap kalian yang kadang menyakiti dan merendahkanku. Aku bisa menganggapnya sebagai kekesalan dan kekecewaan orang tua pada putrinya karena tumbuh tidak seperti yang diharapkan.” Amber meminta penjelasan Papanya. “Aku tidak pernah mengharapkanmu hadir di keluargaku. Mamamu yang memaksa agar kami mengadopsi seorang anak karena dia malu pada teman-teman yang semuanya sudah mempunyai anak tapi kami belum. Awal kami melihatmu di panti asuhan, kamu terlihat begitu menggemaskan. Aku dan Mamamu merawatmu dengan baik dan semua berjalan lancar. Semuanya berubah ketika terjadi pen







