LOGIN“Pergi dari rumahku sekarang juga. Aku juga bisa melaporkanmu pada polisi karena sudah masuk ke rumahku tanpa izin di saat aku sedang tidak berada di rumah,” Christhoper balik mengancam.
Rahang Aaron mengeras mendengar Christhoper yang mengusirnya. Tidak mau memperpanjang masalah yang nantinya malah akan merugikan wanita yang tergeletak lemah di ranjang itu karena tidak mendapat perawatan, Aaron berjalan mendekati Christhoper lalu berkata, “Rawat dan jaga dia! Aku akan mengawasimu Christhoper, jika sampai dia mati, kamu adalah orang pertama yang aku seret ke dalam penjara,” geram Aaron yang kemudian meninggalkan kamar dengan wajah memerah marah. Sepeninggalan Aaron, Christhoper berjalan mendekati Amber. Hatinya mencelos dengan rasa bersalah yang menyesakkan dada melihat keadaan istrinya. Keadaan Amber memang sangat memprihatinkan, Christhoper menatap kuku Amber yang rusak dan berdarah. Dia tidak menyangka jika Amber akan mencakar pintu kayu itu dengan kuku-kukunya. Ada apa dengan wanita itu? Apakah ruangan sempit dan gelap itu membuat Amber ketakutan berlebihan? Atau wanita itu hanya pura-pura dengan menyiksa dirinya sendiri untuk mendapatkan belas kasihan? Segala pertanyaan itu berkecamuk dalam diri Christhoper. Lamunannya buyar ketika pelayannya masuk dan bersuara. “Tu-an, ini air bersih untuk Nyonya Amber,” kata pelayan Christhoper tampak gugup dan takut, suaranya terdengar gemetar. Pelayan itu kemudian mendekati tempat Christhoper berdiri lalu menaruh air serta handuk bersih di meja di samping Amber terbaring lalu pergi. Tak lama kemudian, dia datang kembali dengan membawa minuman dan bubur yang Aaron pesan sebelumnya. “Berikan minuman hangat itu padaku!” perintah Christhoper. Tanpa diperintah dua kali, pelayan itu dengan patuh mengulurkan minuman yang dia bawa pada Christhoper. “Pergilah! Biarkan aku yang merawat Amber. Jika Delia menanyakan aku, bilang jika aku tidak sedang ingin diganggu,” ujar Christhoper. “Baik Tuan,” jawab pelayan itu dengan patuh lalu segera meninggalkan kamar. Setelah pintu kamar tertutup, Christhoper berjalan mendekati istrinya lalu duduk di samping wanita itu. Dengan perlahan, dia menyendokkan minuman dan meneteskannya sedikit demi sedikit ke bibir Amber yang terlihat kering dan pecah-pecah. Seakan mendapat kesegaran baru, bibir Amber bergerak dengan lidah yang terjulur mengecap minuman yang suaminya berikan. Setelah mendapatkan cairan tersebut, tubuhnya tiba-tiba menggigil hebat. “Amber, ada apa denganmu?” tanya Christhoper sambil menepuk-nepuk pipi istrinya, tapi mata wanita itu tidak mau terbuka. Tanpa pikir panjang, Christhoper langsung naik ke ranjang dan membawa Amber ke atas pangkuan lalu mendekap tubuh wanita itu. Rasa bersalah seketika menyesakkan hati, dia sadar jika apa yang telah dia lakukan pada istrinya sudah sangat keterlaluan. Christhoper berusaha memberikan kehangatan tubuhnya untuk Amber, berharap wanita itu akan berhenti menggigil dan ternyata cara itu berhasil, tubuh Amber perlahan berhenti menggigil dan tenang kembali di dalam pelukannya. Setelah beberapa lama dalam pelukan Christhoper, mata Amber perlahan terbuka. Tubuh wanita itu membeku sejenak ketika sadar jika dirinya berada di dalam pelukan suaminya. Dia berusaha untuk bangun, tapi pria itu menahannya sehingga dia tetap berada di tempatnya. Tangan Amber bergerak di udara dan menanyakan sesuatu pada Christhoper. “Apakah kamu yang membawaku kemari dan menolongku dari ruangan sempit yang gelap dan menakutkan itu? Apakah aku tidak sedang bermimpi saat ini?” tanya Amber. Tidak mengerti dengan apa yang Amber katakan, Christhoper menggenggam tangan istrinya lalu meletakkannya di dada. Tangannya kemudian terulur untuk menyentuh pipi Amber dengan lembut. Menelusuri garis wajah wanita itu dan menyingkirkan rambut yang menutupi wajah Amber. Saat itulah, tangis Amber pecah. Dia mengira apa yang Christhoper lakukan adalah sebagai bentuk jawaban jika pria itulah yang menolong dan mengeluarkannya dari kamar sempit dan gelap yang mengerikan itu. Tanpa suara, dia terisak di pelukan Christhoper. Dia membenamkan wajahnya di dada pria itu dan menangis di sana. “Maafkan aku,” gumam Christhoper lirih sambil mendekap tubuh Amber dengan posesif. Setelah Amber berhenti menangis, Christhoper menggendong wanita itu ke kamar mandi lalu mendudukkannya di atas kursi yang ada di sana. Dia menaruh kepala Amber di pinggiran wastafel lalu membasahi rambut istrinya dengan air hangat. Perlahan dan telaten, Christhoper mencuci rambut Amber yang kotor karena debu gudang. Amber pun terus menatap wajah Christhoper dan mengaguminya karena perlakuan tersebut. Setelah selesai mencuci rambut Amber, Christhoper kembali menggendong istrinya lalu mendudukkan wanita itu di pinggir ranjang. Tangannya terulur berniat melepas pakaian Amber tapi wanita itu langsung mencengkeram kuat pakaiannya. Tubuh Amber kembali gemetar teringat bagaimana suaminya melecehkannya. Dia ketakutan jika pria itu akan melecehkannya lagi dengan kasar. “Tenanglah! Aku tidak akan menyakitimu. Pakaianmu sangat kotor, aku harus menggantinya dengan yang bersih agar kamu merasa lebih nyaman,” kata Christhoper yang sadar akan ketakutan istrinya. Mendengar hal tersebut, Amber melepaskan cengkraman tangannya. Melihat mendapat persetujuan dari, Christhoper membuka satu per satu pakaian istrinya. Matanya menatap nanar tubuh wanita itu ketika dia melihat banyak luka memar dan membiru di tubuh Amber. “Apakah aku yang membuat semua luka ini di tubuhmu?” tanya Christhoper lirih sambil menelusuri luka tersebut. Tak mampu menjawab pertanyaan suaminya, Amber hanya bisa menangis tanpa suara yang keluar dari mulutnya. Dengan gerakan lembut dan sangat hati-hati, Christhoper membersihkan tubuh Amber dengan handuk basah. Mengusapkannya perlahan dan memastikan jika istrinya tidak merasa kesakitan dengan apa yang dia lakukan. Dia kemudian mengeringkan dan menutup tubuh istrinya dengan jubah tidur yang lembut dan hangat. “Apakah kamu haus?” tanya Christhoper, yang dijawab anggukan oleh Amber. Melihat jawaban tersebut, Christhoper mengambil air minum lalu menyendokkannya sedikit demi sedikit ke mulut Amber. “Apakah kamu lapar?” tanya Christhoper lagi ketika air minum itu hampir habis dan Amber kembali menjawabnya dengan anggukan karena memang perutnya terasa sangat lapar. Christhoper mengambil piring yang berisi bubur yang pelayannya siapkan. Dengan hati-hati, dia menyuapkan bubur tersebut. Baru saja satu suapan masuk ke dalam mulutnya, terlihat kening Amber mengernyit. Perutnya tiba-tiba terasa sangat perih ketika bubur itu meluncur masuk ke dalam tubuhnya. Dengan gerakan tangannya, Amber berkata, “Aku tidak bisa memakannya. Perutku terasa perih dan sakit.” “Satu suap lagi agar perutmu terisi sesuatu,” paksa Christhoper yang tidak mungkin membiarkan Amber tidur dengan perut kosong. Amber akhirnya membuka mulutnya lalu kembali memakan buburnya dengan menahan rasa perih di perutnya. Sambil meletakkan piringnya ke meja, Christhoper beranjak dari ranjang tempat dia duduk. Ada raut kekecewaan dalam wajah Amber karena tahu jika suaminya akan meninggalkanya. Namun hal tak terduga terjadi, Christhoper mengecup keningnya lalu berbisik, “Tunggu sebentar, aku akan segera kembali.” Seperti apa yang Christhoper katakan, pria itu datang kembali dengan kotak obat di tangannya. Dia kembali duduk di pinggir ranjang lalu menarik tangan Amber. Dilihatnya kuku istrinya yang rusak dan berdarah. Dia mengambil gunting kuku lalu merapikan kuku istrinya, mengobati jari Amber yang terluka. Semua perlakukan yang Christhoper lakukan membuat hati Amber berbunga. Matanya terus menatap suaminya tanpa berkedip. “Apakah Christhoper telah mengingatku sebagai gadis kecil yang ingin dia lindungi?” batin Amber. Perasaan cinta Amber pun semakin besar pada pria itu, bahkan dia melupakan semua sikap kasar dan jahat yang pernah dilakukan padanya. Malamnya ketika mata Amber mulai berat dan terlelap, dia dikejutkan oleh pintu kamar yang terbuka. Dia langsung terduduk dan menaikkan selimutnya menutupi dada, seolah selimut itu bisa melindunginya. Meskipun Christhoper telah bersikap lembut dan baik padanya seharian ini, tapi traumanya belum sepenuhnya hilang. Dia takut jika Christhoper datang ke kamar lalu bersikap kasar dan melecehkannya lagi. “Tenanglah! Aku tidak akan menyakitimu,” kata Christhoper menenangkan istrinya. Tanpa diduga, pria itu naik ke ranjangnya dan berbisik, “Tidurlah!” Dengan sedikit rasa takut, Amber berbaring dengan posisi memunggungi suaminya. Christhoper melingkarkan tangan ke pinggang Amber yang ramping lalu mendekapnya posesif. Dia membenamkan wajah di tengkuk Amber, membuat wanita itu harus menahan nafas karena hembusan halus nafas suaminya yang menggodanya. Baru kali ini, dia merasa beruntung menjadi wanita bisu karena ketika desahan keluar dari bibirnya, Christhoper tidak mendengarnya. Malam itu untuk pertama kalinya mereka tidur bersama. Christhoper terlelap dengan Amber yang berada di pelukan. Kehangatan dan aroma tubuh wanita itu menenangkannya sehingga dia tidur dengan nyenyak. Amber tersenyum ketika tidur dalam pelukan hangat Christhoper. Rasanya hari ini menjadi hari terindah sepanjang dia dilahirkan ke dalam dunia ini. Di kamar lain, Delia gusar selama seharian karena tidak melihat Christhoper, bahkan pria itu sama sekali tidak menemuinya setelah mereka pulang dari pantai. Setiap kali dia ingin menemui Christhoper, pelayan mengatakan jika pria itu sedang sibuk dan tidak mau diganggu. Bahkan ketika malam hari dia berharap Christhoper datang ke kamarnya, hal itu menjadi harapan kosong karena Christhoper tidak mendatanginya. Delia mengakui jika Amber memang bisu dan cacat, tetapi wanita itu lahir dari keluarga kaya raya dengan paras yang cantik. Bisa saja dengan mudah Christhoper jatuh hati pada wanita tersebut. Kenyataannya malam ini Christhoper tidak datang ke kamarnya, ke mana lagi dia akan tidur jika tidak bersama wanita bisu itu? Dia harus mempunyai rencana baru agar Christhoper dan Amber bisa terpisah. Bagaimana pun caramya, dia harus bisa menyingkirkan Amber, dia tidak akan membiarkan siapa pun mengancam statusnya. Kekesalan Delia semakin besar ketika pagi harinya dia melihat Amber sedang menyirami tanaman dengan senyum terkembang di bibir. Senyum yang tidak pernah dia lihat selama ini. Hal itu membuatnya semakin yakin jika sikap Christhoper mulai melunak pada wanita bisu itu. Rahangnya pun mengeras marah menyadari hal tersebut. “Di mana Christhoper?” tanya Delia pada pelayan yang lewat di sampingnya. “Tuan Christhoper sudah berangkat bekerja, Nona,” jawab pelayan itu yang kemudian pergi setelah Delia mengusirnya dari hadapannya. Dengan langkah penuh percaya diri, Delia mendekati Amber. “Sepertinya ada yang sedang bahagia pagi ini,” suara Delia mengagetkan Amber dan membuat senyuman di bibir wanita itu menghilang seketika.Jantung Amber berdetak kencang, rasa cemas menghinggapi dirinya ketika sadar berada di ruangan sempit dengan beberapa orang yang tidak dikenal. Ketegangan terasa ketika lampu meredup dan pandangannya mulai tidak jelas. “Aku tidak boleh panik, aku tidak boleh panik,” rapal Amber dalam hati seperti sedang membaca sebuah mantra. Dia menghirup nafas panjang dan mengeluarkannya pelan-pelan, berusaha membuat dirinya merasa lebih tenang, melakukan apa yang diajarkan psikiaternya jika dirinya merasa cemas yang berlebihan dan tampaknya apa yang dia lakukan berhasil. Ketika dokter memeriksa detak jantungnya, keadaannya sudah normal kembali. Seorang perawat memiringkan tubuhnya lalu menyuntikkan sesuatu. Tidak lama kemudian, matanya menjadi berat dan mengantuk. Tak lama kemudian, dia merasa sangat tenang dan tidak mengingat apa pun lagi. “Tuan, Nona Amber sedang menjalani operasi pita suara hari ini. Apakah Anda akan datang ke rumah sakit,” kata seorang pria yang berdiri di depan Christhoper
Tubuh Delia merosot ke lantai ketika sadar jika dirinya tidak mempunyai harapan lagi. Dia menangis terisak di sana dan memutar otak harus pergi ke mana. Tanpa uang atau pun ponsel yang bisa digunakan. Jalan satu-satunya yang terpikirkan olehnya adalah pergi ke rumah Glen. Delia terpaksa berjalan kaki ke rumah Glen, padahal tempat tinggal pria itu cukup jauh dari apartemennya. Hari telah larut malam dan jalanan cukup sepi, bahkan taksi sudah jarang yang lewat. Beberapa kali dia mencoba menghentikan mobil yang lewat tapi tidak ada satu pun yang bersedia memberikan tumpangan. Dengan keadaan lelah, Delia sampai di depan rumah Glen. Dia menggedor pintu rumah pria itu, tapi tidak ada yang membukanya. Dia berteriak sampai tenggorokannya sakit, tapi tetap saja Glen tidak membukakan pintu. Mencoba mencari jalan lain, dia memutari rumah Glen untuk mengetuk pintu samping rumah tersebut, tapi betapa terkejut dirinya ketika dari kaca jendela kamar Glen, dia melihat Glen sedang bercinta dengan s
“Saya sudah menyelidiki tentang kecelakaan yang Delia alami. Memang benar tidak ada keterkaitan Tuan Jackob, tapi bukti yang saya dapatkan malah membawa saya pada kenyataan jika kecelakaan itu disengaja oleh Delia sendiri,” ujar detektif menjelaskan lebih rinci terkait kecelakaan yang Delia alami. Denyut menyakitkan di dada Christhoper kini merambat ke kepala ketika kejahatan Delia kembali terkuak. Tidak tahan dengan rasa sakit itu, Christhoper mengusir orang suruhannya. “Keluar dari ruanganku sekarang juga dan tinggalkan semua informasi yang telah kamu peroleh di mejaku,” perintah Christhoper. Orang itu mengangguk, lalu menaruh semua dokumen yang dia bawa ke hadapan Christhoper, lalu pergi keluar. Setelah orang suruhannya pergi, Christhoper langsung merosot dari kursi yang didudukinya. Dengan tangan gemetar dia membuka satu persatu laci meja, mencari obat yang akhir-akhir ini dia konsumsi. Jika Christhoper tidak meminum obat itu, dia akan dihantui teriakan minta tolong Amber d
“Amber mengalami pendarahan dan hampir kehilangan nyawa. Malam itu Amber meminta bantuanku. Ketika aku sampai ke rumahmu dan membuka kamarnya, aku terkejut melihat Amber sedang kesakitan dan terduduk di atas kenangan darahnya sendiri di lantai. Keadaannya sangat menyedihkan. Dia harus merangkak ke lantai untuk mengambil ponsel yang kamu buang bersama tasnya. Dia ingin menjerit meminta bantuan, tapi tidak bisa. Bayangkan bagaimana perjuangan Amber meminta bantuan agar dia tetap hidup?” Nafas Aaron seperti banteng yang sedang marah ketika mengatakan semua itu di depan muka Christhoper. “Seandainya saja setelah kamu melakukan kesalahan, kamu bertanggung jawab atas kesalahanmu itu, Amber tidak akan sampai merangkak menahan sakit sendirian. Terlambat sebentar saja, Amber tidak akan selamat. Sampai di rumah sakit dia sudah tidak sadarkan diri dan harus mendapatkan transfusi darah berkantong-kantong. Di mana dirimu saat itu? Bersenang-senang di apartemen Delia. Kalian berdua memang sama-s
Amber sedang sibuk dengan tamannya ketika seorang pelayan membawakan ponsel miliknya yang berdering. “Nona, ada telepon untuk Anda?” ujar pelayan tersebut. Amber mengangguk mendengarnya, lalu pengambil ponsel dari tangan pelayan itu. Bibir Amber tersenyum melihat nama Aaron di layar ponsel. Dia dengan cepat menerima panggilan tersebut dan langsung mendengar suara Aaron yang bisa membuatnya terhibur. “Aku yakin kamu akan mengetuk layarnya satu kali karena kamu dalam keadaan baik-baik saja. Apalagi sekarang kamu sudah menjadi Tuan Putri dengan pengamanan yang ketat,” kata Aaron. “Ya, aku baik-baik saja dan aku bahagia sekarang,” jawab Amber menggunakan alat bantunya. “Kamu sudah bisa berbicara?!” teriak Aaron terkejut. Amber tersenyum merespon teriakan Aaron, meski tahu jika pria itu tidak bisa melihat dirinya tersenyum. “Masih dalam mimpi, tapi saat ini aku sedang dalam proses pengobatan dan masih harus bolak-balik ke psikiater untuk menyembuhkan traumaku,” jawab Amber. “Lalu su
“Dia memang benar ibu kandungku dan aku telah melihat semua buktinya bahkan bukti DNA kami. Aku datang tidak untuk mengejek Papa,” jawab Amber menggunakan suara dari alat bantu yang dia miliki. “Jika kamu tidak ingin mengejekku, lalu apa tujuanmu ke sini?” tanya Jackob. “Aku hanya ingin tahu hati Papa dan Mama yang sebenarnya padaku saat kalian mengadopsiku. Apakah kalian benar-benar menyayangiku? Terlepas dengan sikap kalian yang kadang menyakiti dan merendahkanku. Aku bisa menganggapnya sebagai kekesalan dan kekecewaan orang tua pada putrinya karena tumbuh tidak seperti yang diharapkan.” Amber meminta penjelasan Papanya. “Aku tidak pernah mengharapkanmu hadir di keluargaku. Mamamu yang memaksa agar kami mengadopsi seorang anak karena dia malu pada teman-teman yang semuanya sudah mempunyai anak tapi kami belum. Awal kami melihatmu di panti asuhan, kamu terlihat begitu menggemaskan. Aku dan Mamamu merawatmu dengan baik dan semua berjalan lancar. Semuanya berubah ketika terjadi pen







