Clarisa menggulir layar ponselnya dengan serius, matanya fokus pada berbagai pilihan yang muncul. Di sebelahnya, Tiara duduk dengan tenang, memperhatikan tanpa banyak bicara. Sementara itu, Indah, yang ikut membantu, sesekali mengangguk atau memberi masukan.Clarisa lalu mengarahkan ponselnya ke Indah, meminta pendapatnya soal warna dan tekstur dari perut palsu yang hendak dibeli. "Ini kayaknya mirip banget sama kulit manusia, kan?" tanyanya, memastikan.Indah mengamati layar sebelum mengangguk. "Iya, Bu, ini kelihatannya paling realistis."Tiara tetap diam, tapi ia sudah bisa menebak apa yang Clarisa lakukan. Ketika Indah mengambil meteran dan mulai mengukur perutnya atas permintaan Clarisa, Tiara hanya menarik napas pelan. Ia tahu ini semua adalah bagian dari rencana Clarisa.Clarisa menyerahkan ponselnya kepada Indah setelah memastikan pilihan yang diinginkannya. Ia menyuruh Indah untuk segera memesankan perut kehamilan palsu itu dan mengatur agar pembayarannya dilakukan secara COD
Saat sarapan pagi itu, suasana terasa canggung di antara Adrian dan Clarisa. Mereka duduk berhadapan di meja makan yang tertata rapi, hanya ditemani suara dentingan sendok dan garpu. Tidak ada percakapan, tidak ada basa-basi. Clarisa masih kesal dengan suaminya itu, tetapi ia memilih untuk diam. Tiara tidak ikut, ia bilang sarapan nanti dulu karena sudah makan bubur yang dibelikan Bi Susi sebelumnya.Adrian juga tidak berusaha memulai pembicaraan. Ia hanya menikmati makanannya dengan tenang, seolah tidak ada yang terjadi. Iya tidak ingin bertengkar dengan Clarisa, membiarkan istrinya itu agar lebih tenang sehingga hilang sendiri kemarahannya.Hingga akhirnya, pandangan Clarisa jatuh ke pipi kanan Adrian yang tampak lebam. Dahinya berkerut, jelas heran dan sedikit terkejut."Apa itu?" tanyanya akhirnya, suaranya datar tapi cukup tajam.Adrian berhenti mengunyah, sedikit mengangkat alisnya. "Apa?""Pipimu," Clarisa mengarahkan pandangannya ke lebam di wajah Adrian. "Kenapa bisa begitu?"
Saat mobil Adrian memasuki halaman rumah, Tiara segera membuka sabuk pengamannya. Ia sedikit lelah setelah hari yang panjang, dan ia ingin segera masuk ke kamarnya untuk beristirahat.Adrian pun turun dari mobil dan berjalan masuk bersama Tiara. Seperti biasa, rumah terasa tenang, hanya ada suara samar dari aquarium ikan di ruang keluarga.Tiara langsung menuju kamarnya, sementara Adrian juga menaiki tangga menuju kamarnya sendiri. Ia berencana untuk mengganti pakaian dan mungkin beristirahat sebentar sebelum makan malam. Namun, begitu membuka pintu kamar, ia langsung terhenti.Clarisa sudah ada di sana, duduk di tepi ranjang dengan tangan terlipat di dada. Wajahnya menunjukkan ekspresi kesal yang sulit disembunyikan. Matanya menatap tajam ke arah Adrian begitu pria itu masuk ke kamar.Adrian mengerutkan kening. Ia tidak menyangka Clarisa sudah pulang. Biasanya, istrinya belum di rumah jam segini. "Kamu sudah pulang?" tanyanya pelan, mencoba membaca situasi.Clarisa tidak langsung men
Setelah beberapa meter berkendara, Adrian membelokkan mobilnya ke pinggir jalan yang tenang, jauh dari keramaian. Ia mematikan mesin, lalu menoleh ke arah Tiara.Tiara masih menunduk, bahunya sedikit bergetar, matanya menatap kosong ke pangkuannya.Tanpa berkata apa-apa, Adrian meraih Tiara dan menariknya ke dalam pelukannya. Tiara tidak menolak. Justru saat itu juga pertahanannya runtuh. Ia kembali menangis di dekapan Adrian.Adrian mengusap punggungnya perlahan, membiarkan Tiara meluapkan segalanya. Ia tidak bicara, hanya memeluk erat, memberi kehangatan dan perlindungan.Setelah beberapa saat, isak tangis Tiara mulai mereda. Napasnya masih tersengal sedikit, tapi ia berusaha menguasai dirinya. Adrian tetap diam, memberinya waktu, membiarkan Tiara menangis tanpa tergesa-gesa. Ia hanya menggenggam tangannya erat, sebagai bentuk dukungan tanpa kata-kata.Setelah cukup tenang, Adrian menatap wajah Tiara dengan lembut. “Kamu nggak apa-apa?” tanyanya pelan.Tiara menggeleng tanpa suara.
Malam ini, sesuai rencana, Tiara pergi ke dokter kandungan untuk pemeriksaan rutinnya. Sejak pagi, Adrian sudah memutuskan bahwa ia tidak peduli jika Clarisa marah atau kesal. Baginya, yang terpenting adalah memastikan Tiara dan bayinya baik-baik saja. Lagipula, ia hanya akan menunggu di dalam mobil, tidak akan ikut masuk ke ruangan dokter. Itu sudah cukup baginya, atau setidaknya, ia mencoba meyakinkan dirinya begitu.Di dalam perjalanan, Tiara duduk diam di kursi penumpang, sesekali melirik Adrian yang fokus menyetir. Ia tahu Clarisa akan tidak suka jika tahu suaminya tetap mengantarnya, ia pun sudah sempat menolaknya sebelum berangkat ke sini, namun Adrian cukup keras kepala. Jadi, ia memilih untuk tidak membahasnya.Setibanya di klinik, Adrian memarkir mobil di sudut parkiran yang tidak terlalu mencolok, seperti beberapa bulan lalu Tiara melepas sabuk pengamannya, lalu menoleh ke Adrian. "Mas, aku masuk dulu."Adrian mengangguk. "Iya, Tiara, kamu hati-hati ya."Tiara mengangguk pe
Siang itu, Clarisa memutuskan untuk mengunjungi kantor Adrian. Sudah lama ia tidak mampir ke sana, dan hari ini, karena tidak ada jadwal syuting di sore hari, ia merasa ini waktu yang tepat. Dengan langkah santai, ia memasuki gedung perkantoran yang sudah tak asing lagi baginya. Beberapa karyawan langsung menyapa dengan sopan.“Selamat siang, Ibu Clarisa,” ucap salah satu resepsionis dengan senyuman ramah.Clarisa membalas senyum itu. “Selamat siang. Pak Adrian ada di ruangannya, kan?” tanyanya sambil berjalan menuju lift.“Seharusnya ada, Bu,” jawab resepsionis itu sebelum Clarisa melangkah masuk ke lift.Saat tiba di lantai tempat Adrian bekerja, Clarisa menuju ruang kerja suaminya. Namun, begitu pintu terbuka, ia mendapati ruangan itu kosong. Tidak ada Adrian di sana.Ia berdiri sejenak, mencoba menghubungi Adrian melalui ponselnya, tetapi panggilan itu tidak diangkat. Dengan sedikit rasa penasaran yang bercampur kesal, Clarisa keluar dari ruangan Adrian dan melangkah menuju ruanga