Malam sudah larut saat mobil Felix berhenti di depan rumah Azalea. Lampu teras menyala redup, menyambut kepulangan yang tak biasa. Di dalam kabin mobil yang hening, hanya suara detak jam di dashboard dan detak jantung yang terasa lebih keras dari seharusnya.Felix tidak langsung bicara, hanya memandangi Azalea yang sibuk merapikan rambutnya, mencoba menyembunyikan wajah yang masih merona."Sudah malam," ucap Azalea pelan, mencoba mengisi keheningan.Felix mengangguk sekali. Sorot matanya berbeda lebih tenang. Ada sesuatu yang belum selesai ia ucapkan, tapi mungkin tak perlu dijelaskan.Saat Azalea mulai membuka pintu, tangan Felix menahan lengannya lembut. Gadis itu menoleh, dan belum sempat bertanya, pria itu menarik tubuhnya sedikit mendekat.Tanpa kata, tanpa banyak basa-basi, bibir Felix menyentuh bibir Azalea. Ciuman itu singkat hanya beberapa detik. Tapi dalam waktu sesingkat itu, Azalea bisa merasakan sesuatu yang berbeda. "Istirahatlah, besok akan ada kejutan lainnya," bisik
"Merepotkan," omel Felix.Singkat padat, tapi tepat sasaran. Azalea menoleh sebentar. Ia juga tidak menyangka kalau Felix. Tapi begitulah Felix selalu menyembunyikan kepedulian di balik sikap dingin dan wajah tanpa ekspresi."Kalau tidak ingin repot kenapa kamu jemput aku?" tanya Azalea."Karena kau calon istriku," jawabnya sembari fokus menyetir. Ia menyetir dengan tenang, sorot matanya fokus ke depan, seolah percakapan ini tak menggoyahkan emosinya sedikit pun."Oh, bukannya kamu cemburu?" tanya balik Azalea.Felix akhirnya menoleh sekilas, lalu kembali fokus pada jalanan. Di wajahnya tak tampak perubahan tetap tenang, tetapi dingin."Cemburu? Yang benar saja, pada Daffa mantan kekasihmu? Dia bukan levelku," jawab Felix penuh percaya diri."Ck, sombong amat jadi orang," lirih Azalea."Aku tidak sombong, ini kenyataan. Lagian ... kamu juga bodoh mau saja di ajak dia keluar sama si Daffa itu," imbuh Felix. Lagi-lagi tatapannya tidak tertuju pada Azakea melainkan jalan di depannya."C
Mobil melaju pelan menembus malam kota, lampu-lampu jalan berkelebat di balik kaca jendela. Di dalam kabin yang remang dan sunyi itu, suasana mendadak canggung.Felix menyetir dengan satu tangan, sementara tangan satunya sesekali meremas kemudi seolah mencari cara untuk menenangkan pikirannya. Di sampingnya, Azalea duduk diam, memandangi jalanan. Wajahnya sedikit memerah, masih menyimpan sisa-sisa momen tadi.Tak ada yang bicara. Bahkan suara musik pun tak diputar. Hanya ada suara mesin dan detak jantung mereka yang terasa terlalu keras di dada masing-masing.Sesekali Felix melirik ke samping, mencuri pandang ke arah Azalea. Ia ingin mengatakan sesuatu... tapi lidahnya seperti terikat.Azalea sadar, tapi ia pura-pura tidak melihat. Tangannya memainkan ujung rambutnya sendiri, gugup, padahal biasanya ia paling cerewet.Akhirnya Felix yang membuka suara duluan, meski nadanya terdengar canggung.“Udara malam ini... dingin ya.”Azalea menoleh cepat, menatapnya. “Iya, agak dingin.”Lalu la
Felix menyerahkan paperbag putih itu dengan ekspresi datar."Ini dari Mama. Katanya kamu harus pakai ini hari ini," ucapnya singkat, tak ada senyum di wajahnya.Azalea menerima paperbag itu, menatapnya sejenak sebelum mengangkat alis.“Baru juga kita ketemu di kafe tadi, sekarang sudah muncul lagi. Kamu ngikutin aku ya?” tanyanya dengan nada setengah menggoda, setengah menyindir.Felix menatapnya sebentar, rahangnya mengeras.“Jangan ge-er. Aku disuruh Mama. Lagipula, aku juga nggak punya waktu buat ngikutin kamu ke mana-mana.”Azalea tersenyum miring, menggoyang-goyangkan paperbag itu di tangannya.“Hmm... tapi tetap saja, intensitas kita ketemu akhir-akhir ini agak... mencurigakan. Kamu yakin bukan kamu yang mulai agresif, Felix?”Felix menghela napas, lalu berbalik.“Jangan mulai dramanya. Aku nggak mungkin naksir sama gadis nyebelin kayak kamu," bantah Felix."Terus gaun ini buat apaan?" tanya Azalea.Felix terdiam sesaat, nasib sialnya adalah di jodohkan dengan gadis menyebalkan
Senja menggantung di langit Jakarta. Di balkon rumah keluarga mereka, Rania menuang teh ke cangkir Felix. Aromanya menguar hangat, tapi suasana di antara ibu dan anak itu justru terasa dingin. Felix duduk diam, kedua tangannya mengusap pelan permukaan cangkir. Rania memperhatikannya sejenak sebelum akhirnya bertanya. "Felix..." suaranya lembut, tapi mengandung ketegasan seorang ibu. "Tentang perjodohan ini... kamu sungguh-sungguh setuju?" Felix menghela napas. Hening beberapa detik. “Aku tahu ini bukan hal yang mudah bagimu,” lanjut Rania. “Apalagi dengan semua penolakanmu dulu, mama perlu kepastian apakah kau setuju dengan perjodohan ini?" Rania bertanya penuh harap. "Aku setuju Ma," jawab Felix pendek. "A ... apa kamu setuju?" ulang Rania heran. Entah apa yang mengubah pemikiran putranya mengapa tiba-tiba mau di jodohkan. Felix mengangguk mantap. “Ya, Ma. Aku tidak ingin mengecewakan Mama terus. Mungkin... ini waktunya aku belajar berkompromi.” Wajah Rania menghangat, matanya
Mata mereka masih saling menatap dua pasang mata yang sama-sama keras, sama-sama menolak tunduk.“Jadi… kita akan pura-pura bertunangan di depan mereka?” gumam Felix tanpa menoleh.Azalea melangkah mendekat, berdiri di sampingnya, lalu berkata pelan.“Bukan pura-pura… kita hanya akan membiarkan mereka berpikir apa yang mereka inginkan.”Felix meliriknya, sudut bibirnya terangkat tipis.“Kau pintar juga memutar kata.”Azalea menatapnya santai.“Kau pintar menyembunyikan niat. Kurasa… kita seimbang.”Felix terdiam sejenak. Lalu bicara kembali. “Jadi, kita jalan di garis ini kelihatan seperti sepasang calon suami istri… tapi sebenarnya hubungan ini hanya kamuflase."Azalea menatap taman di depan mereka, suaranya tenang.“Gimana sepakat?" tawar Azalea.Felix menarik napas pelan, mengangguk sekali lagi.“Baik. Kita lihat… siapa yang lebih dulu keluar dari jalur.”Azalea menahan senyum.“Atau… siapa yang lebih dulu jatuh ke dalamnya.”Felix menoleh, menatapnya dengan pandangan sulit diteba