“Ini untuk apa, Om?”
"Gunakan untuk memenuhi kebutuhanmu," kata Hisyam. “Bentuk nafkahku untukmu.”
"Tapi, Om, tidak perlu menafkahiku. Bentar lagi kita juga cerai," ucap Zahra. Karena pernikahan kilat itu hanya untuk penyelamatan harga diri keluarga Zahra.
"Tidak masalah, selama kamu jadi istriku kamu berhak mendapatkan nafkah dariku," jawab Hisyam. “Jika kamu merasa tidak nyaman, anggap saja uang jajan.”
Tidak hanya Zahra, Hisyam pun sebenarnya merasa sedikit aneh. Zahra seumuran dengan putranya, yang bahkan sempat dijodohkan satu sama lain. Namun, kini gadis itu telah menjadi istrinya.
Apa jadinya kalau Abie kemudian tahu bahwa gadis yang ia katai kampungan kini telah menjadi ibu sambungnya?
Ditambah lagi, Zahra sebenarnya tidak kampungan dan jelek seperti yang diungkapkan oleh Abie. Gadis itu cantik, bahkan memesona dalam balutan baju pengantin tadi.
Kali itu, Hisyam bahkan berpikir bahwa yang rugi bukanlah Zahra, melainkan Abie sendiri.
Sebenarnya, hubungan Hisyam dan Abie tidak begitu baik. Meskipun statusnya memang pewaris Hisyam, Abie sebenarnya bukan anak kandung Hisyam. Mantan tunangan Zahra itu adalah anak bawaan dari Winda, mendiang istri Hisyam.
Sesaat sebelum Winda meninggal, mantan istri Hisyam itu membuat Hisyam berjanji untuk memberikan yang terbaik untuk Abie, sekalipun Abie bukan putra kandung Hisyam. Memegang teguh janjinya, Hisyam menghujani Abie dengan segala fasilitas yang bisa ia berikan. Agar supaya Abie tidak lagi merasakan sengsara meski ibunya telah tiada.
Namun, seiring waktu, Abie makin sulit diatur dan sering berfoya-foya. Hal tersebut membuat hubungan bapak-anak antara Hisyam dan Abie merenggang, hingga akhirnya seperti sekarang.
Jika mantan istrinya masih ada, Hisyam pasti–
"Terima kasih banyak karena Om sudah menyelamatkan keluargaku dari rasa malu. Om tidak perlu sebaik ini memberikan aku uang jajan, aku tidak memerlukannya," tolak Zahra kembali menyodorkan kartu hitam itu kepada Hisyam.
Hal itu menarik Hisyam dari ingatan masa lalunya.
"Jangan membuat Om tambah merasa bersalah Zahra,” ucap Hisyam. “Terserah kamu mau menggunakannya atau tidak. Yang penting Om sudah menjalankan kewajiban pertama Om sebagai suami. Mengenai hubungan di ranjang, kamu tidak perlu melakukannya."
Perkataan Hisyam yang terakhir membuat hati Zahra merasa tenang.
Jujur, Zahra memang tidak siap melakukannya, apalagi usia mereka terpaut cukup jauh. Meski penampilan Hisyam justru lebih tampan dan gagah dari Abie. Tapi, Zahra enggan berpikiran macam-macam. Ditambah belum ada rasa cinta di antara keduanya.
"Om, aku boleh naruh baju-bajuku di lemari?" tanya Zahra kemudian. Ia melirik kopernya yang masih berdiri di sudut kamar.
"Oh, maaf. Aku lupa menjelaskan padamu, kalau di balik dinding ini masih ada ruangan lain khusus menyimpan semua barang-barangmu," terang Hisyam. Ia pun menekan tombol pintunya dalam sekejap ruangan itu terbuka secara otomatis.
Di sana ada beberapa lemari kaca yang khusus untuk menyimpan pakaian dan koleksi sepatu serta ras. Sesaat Zahra sempat melongo karena ruangan itu seperti toko kecil yang ada di sebelah kamarnya Hisyam.
"Dulu Winda menyimpan barang-barangnya di sini. Karena sekarang kamu istriku, kamu berhak menyimpannya di sini juga," ucap Hisyam.
Zahra termenung sejenak, dia tahu kalau Hisyam sangat mencintai Winda mantan istrinya. Kalau bukan karena Winda meninggal terkena kanker ganas mungkin mereka masih bersama hingga sekarang.
"Barangku cuman sedikit, satu lemari sudah cukup," kata Zahra. Ia mulai membuka kopernya dan menaruh satu persatu pakaiannya. Sementara Hisyam berjalan ke arah lemari lainnya yang masih menyimpan banyak benda kesayangan Winda di sana. Zahra melirik ke arah Hisyam yang sedari tadi memandangi pigura foto Winda yang tersimpan dalam lemari. Sikap diamnya itu membuat Zahra merasa kasihan pada Hisyam. Lelaki itu pasti menderita dan kesepian karena kehilangan istrinya selama ini.
"Om, kalau pingin cerita-cerita ke aku tentang perasaan Om pada almarhum Tante Winda aku siap kok mendengarkannya," kata Zahra.
"Tidak perlu, kamu urus saja pakaianmu. Aku mau cari udara sebentar," jawab Hisyam datar. Wajahnya yang tanpa ekspresi itu justru membuat Zahra tidak suka. Ia sudah menjatuhkan harga dirinya sok peduli dengan meminta Hisyam curhat tapi justru ditolak mentah-mentah.
"Ih, menyebalkan sekali Om Hisyam. Tahu begini aku tidak nawarin diri buat temen curhat," gerutu Zahra usai Hisyam pergi. Ia kesal karena Hisyam tidak menyambut baik niatnya.
Sementara di luar, Hisyam terlihat tengah menelepon seseorang. Dari kemarin dia penasaran apa yang dilakukan Abie di luar sana.
***
"Kamu belum tidur?" tanya Hisyam tiba-tiba yang sudah muncul di ambang pintu.
"Belum Om, aku belum ngantuk," jawab Zahra. Wajahnya yang imut menatap sebentar ke arah Hisyam. Pria itu tidak ada reaksi yang cukup berarti kecuali mendekati Zahra.
"Ayo aku ajak keliling rumah ini, mau?" Hisyam menawarkan ajakannya pada Zahra. Gadis itu mengangguk lalu beringsut turun dari ranjang mengikuti langkah kaki Hisyam. Zahra mencoba menyamakan langkahnya di samping Hisyam, meski dia cukup kewalahan karena Hisyam modelnya sat set.
Entah kenapa tiba-tiba Hisyam memperlambat langkahnya sehingga bisa menyamai langkah Zahra. Agaknya dia merasa kalau Zahra sedikit kewalahan mengikuti langkahnya yang lebih cepat. Mereka kemudian berkeliling ke ruang-ruangan lainnya. Mulai dari ruang keluarga, ruang dapur, ruang menonton bioskop, ruang olahraga, dan minimarket kecil. Zahra tidak menyangka kalau Hisyam sangat kaya. Koleksi mobil mewahnya juga cukup banyak.
"Kamu boleh pilih mobil mana yang kamu sukai," kata Hisyam sampai si showroom pribadinya.
"Aku nggak bisa nyetir, Om," kata Zahra.
"Nanti aku ajari, kalau aku tidak sibuk," jawab Hisyam. Ia juga tidak tahu mengapa terlontar begitu saja ingin menyanggupi mengajari Zahra padahal kalau bukan hari ini. Hari lainnya, begitu sibuk luar biasa.
"Makasih Om," jawab Zahra canggung. Ia seperti anak kecil yang di hadiahi mobil, rasanya senang sekali.
"Kita sudah berkeliling rumah kamu pasti lelah dan lapar. Ayo kita makan," ajak Hisyam. Meski perkataannya datar tapi menunjukkan sedikit kepedulian pada Zahra. Mereka pun menuju ke ruang makan. Zahra enggan duduk berdekatan dengan Hisyam. Begitu juga Hisyam, dia mengambil nasinya sendiri tanpa di layani Zahra.
Keduanya makan tanpa suara hanya suara dentingan sendok dan garpu yang saling berada satu sama lainnya. Keheningan itu pecah manakala Hisyam mengatakan sesuatu pada Zahra.
"Kamu tidak usah takut padaku, kita di sini teman. Kamu boleh bicara apa pun tentang dirimu padaku. Agar kamu tidak merasa kesepian di sini," ucap Hisyam.
"Baik, Om," jawab Zahra menunduk. Ia sungkan menatap wajah tampan suaminya. Karena tiap kali menatap wajah Hisyam, aura kewibawaan Hisyam membuat jantungnya berdetak aneh. Lebih cepat dari biasanya.
"Om, aku juga akan bersikap sebagai istri Om. Kecuali kebutuhan yang satu itu, selagi aku di sini aku akan melayani kebutuhan Om dengan baik," kata Zahra. Ia tidak ingin seperti orang numpang yang tidak tahu diri. Ia ingin meninggalkan jejak kebaikan setelah dia pergi nanti. Meski dia tidak bisa memberikan jatah pada Hisyam.
Beberapa hari kemudian, hubungan kaku antara Zahra dan Hisyam sedikit mencair. Zahra mulai menyiapkan keperluan Hisyam ketika berangkat kerja. Begitu juga Hisyam sudah mulai berbicara banyak tidak begitu kaku seperti di awal pertemuan mereka.
"Om, sini aku benerin dasinya," kata Zahra. Hisyam pun mendekat, sementara Zahra berjinjit dan membenarkan letak dasi Zahra. Tanpa di sadari Hisyam menatap wajah istrinya. Ia berusaha untuk menahan dirinya agar tidak melakukan sesuatu yang lebih. Zahra tidak tahu kalau dirinya di perhatikan Hisyam. Karena dia menghindari tatapan mata Hisyam. Pandangannya hanya fokus pada dasinya saja.
"Sudah rapi," kata Zahra mengagetkan lamunan Hisyam. Bagaimanapun dia seorang pria yang sudah lama menduda. Dari sekian banyak wanita yang di kenalnya setelah Winda meninggal, hanya Zahra yang mampu membangunkan gairah kelaki-lakiannya.
"Om, hari ini aku berangkat kuliah pulang sore. Terus aku mau jalan-jalan sama temen-temenku, boleh?" tanya Zahra.
"Boleh, tapi jangan pulang kemalaman. Kalau kamu bandel, nanti dijemput," jawab Hisyam.
"Eh, jangan. Aku pulang tepat waktu kok. Jangan di jemput sopir," tolak Zagra. Pasalnya, teman-temannya tidak ada yang tahu kalau dia sudah menikah. Apalagi sama Om-Om seumuran Hisyam. Zahra tidak bisa bayangkan gimana reaksi teman-temannya kalau mereka tahu yang sebenarnya.
"Kamu malu punya suami Om-om?" tebak Hisyam.
"Itu Om udah tahu," jawab Zahra tanpa rasa bersalah. Ia pun mengambil tas kuliahnya dan berniat berjalan lebih dulu ke arah pintu. Namun Hisyam menarik tangan Zahra hingga posisi Zahra seperti mau dipeluk Hisyam.
"Om, jangan aneh-aneh ya," ancam Zahra. Meski jantungnya berdegup tak menentu.
"Siapa yang aneh-aneh. Kamu bukan anak kecil lagi, pakai baju yang bener. Bagaimana kalau ada pria hidung belang melihatmu seperti ini," kata Hisyam sembari membenarkan baju Zahra yang belum dikancing satu pada bagian dadanya. Sontak saja Zahra tersipu malu, sentuhan tangan kekar Hisyam serasa menyentuh dadanya meski hanya membenarkan letak kancingnya.
"Atau kamu memang sengaja menggoda suamimu pagi-pagi?" goda Hisyam dengan senyuman tipis.
Winda refleks mundur selangkah ketika Abie mendekat. Padahal Abie sudah sangat merindukannya."Maaf Mas, aku nggak bisa," tolak Winda."Kenapa nggak bisa Win? Kamu sedang halangan?" tanya Abie. Padahal hasratnya sudah di ubun-ubun. Ia tidak tahan ingin menyentuh istrinya.Winda memejamkan mata ketika Abie mencium pipinya. Ia kemudian mendorongnya pelan."Maaf ... jangan sekarang," tolak Winda lemah."Win ... " Abie menatapnya penuh harap. Tapi Winda bener-bener lagi nggak mood."Sory Mas, aku capek. Pingin langsung tidur aja," ucap Winda beralasan.Abie mengusap pipi Winda dengan lembut. "Kamu masih marah sama Mas?" "Enggak, aku cuma pingin istirahat saja. Seharian banyak kerjaan," kata Winda beralasan."Tapi ... Mas lagi pingin Sayang," bujuk Abie. Ia memang sudah tidak tahan karena sudah beberapa hari tidak melakukan hubungan suami isteri. Sudah beberapa malam mereka hanya berbagi pelukan singkat sebelum terlelap, masing-masing lelah oleh aktivitas harian. Tapi malam ini berbeda ad
Dimas terlihat frustasi setelah kehilangan Citra. Sikapnya jadi sering uring-uringan. Ia juga kurang memperhatikan kesehatan dirinya. Jarang makan dan sering melamun. Dokter Rini sebagai mamanya kewalahan. Apalagi sekarang Dimas bertambah cuek pada mamanya. Ia merasa Citra pergi karena perkataan mamanya. Istri manapun tidak akan mau jika mertuanya memaksa suaminya untuk menduakan pernikahannya.Dan itulah yang terjadi pada Citra. Ia merasa tidak dihargai sebagai istri, terlebih saat Dimas tak mampu bersikap tegas pada ibunya sendiri. Hati Citra hancur, dan keputusan untuk pergi dari rumah bukan karena ia tak mencintai Dimas, tapi karena ia merasa cintanya tidak cukup dihargai. Masa lalu Citra selalu jadi alasan agar mertuanya menyingkirkannya.Dokter Rini hanya bisa menghela napas setiap kali melihat putranya mengurung diri di kamar. Ia berusaha keras menutupi rasa bersalah yang diam-diam mulai menggerogoti batinnya. Ia tak pernah bermaksud menghancurkan rumah tangga anaknya. Ia hany
Abie mengalah dia tidak ingin terus-terusan bertengkar dengan Winda. Meski Winda menyiapkan segala keperluannya selama ini selama marah. Baik makan atau pakaian gantinya. Tapi tetap saja diamnya Winda membuat Abie frustasi. Ia kangen canda tawa Winda yang menghiasi hari-harinya.Siang ini Abie berniat nyamperin Winda untuk memperbaiki hubungannya. Sekalian mengajaknya keluar makan siang. Sampai di kantornya Winda, seperti biasanya Abie langsung masuk aja karena karyawan yang lain juga sudah tahu kalau Abie adalah suami dari pemilik perusahaan.Baru saja masuk melewati lobi. Abie di kagetkan pemandangan yang merusak moodnya. Abie melihat Winda tengah tersenyum lepas pada kliennya. Entah itu klien atau temannya. Yang jelas Abie tidak mengenal pria itu. Padahal dengan dirinya Winda selalu bersikap dingin akhir-akhir ini.Ada sepercik rasa cemburu membakar hatinya. Mereka terlihat akrab saling berbincang kemudian klien tersebut berpamitan. Waktu berbalik Winda baru sadar kalau ada suami
Sampai di rumah, Winda keluar terlebih dahulu dari dalam mobil. Abie buru-buru mengekori istrinya dari belakang. Winda menuju ke dapur bukan ke kamar. Seperti dugaan Abie, biasanya istri kalau lagi ngambek pasti langsung ngamar. Ini malah ke dapur. Apa mungkin Winda lapar ... tidak mungkin juga. Bukankah mereka baru selesai makan di warung padang. Apa kelamaan di rumah sakit membuatnya lapar lagi?Ternyata Winda mengambil air es di kulkas. Ia taruh di gelas kemudian meminumnya. "Aku juga mau," kata Abie memecah suasana.Winda menyodorkan botol air dingin tersebut dan mengambil satu gelas untuk Abie. Ia tidak berkata apapun. Tapi langsung meninggalkan Abie di dapur sendirian. Niat Abie mendapat perhatian dari Winda gagal. Ia tidak jadi minim air dingin itu. Tapi lebih tertarik mengejar Winda sampai ke kamar."Kamu marah?" tanya Abie saat menbuka pintu kamarnya. Sementara Winda tengah melepas hijabnya. Rambutnya terurai indah. Sesaat Abie terpesona. Tapi itu bukan poin pentingnya. Ia
"Apa kamu mau kita bantu telepon suamimu?" tawar Winda.Citra menggeleng pelan. Meski dia tahu betapa sulitnya hamil sendirian tanpa suami di sisinya. Orang-orang pasti akan mengiranya hamil di luar nikah. Tanpa sadar air mata Citra menetes perlahan di pipinya. Winda menyenggol lengan suaminya. Ia merasa kasihan dengan nasib Citra. Kini ruang hatinya tidak lagi di penuhi rasa cemburu. Melihat Citra lemah tidak berdaya naluri kemanusiaannya menjerit.Winda lalu mendekati Citra dan meraih tangannya, menggenggamnya erat seolah ingin memindahkan kekuatan lewat sentuhan itu. “Citra, kamu nggak sendirian. Aku di sini. Kita semua di sini,” bisiknya lirih.Citra mengusap air matanya dengan punggung tangan, berusaha tersenyum walau sudut bibirnya bergetar. “Aku cuma... takut. Takut orang-orang ngehakimi. Takut bayi ini nanti lahir tanpa sosok ayah yang hadir.”Winda memeluknya, erat dan penuh empati. "Tenanglah, semua pasti akan baik-baik saja."Citra menarik napas panjang, menatap ke jendel
Sore ... Abie menjemput Winda di perusahaannya. Tampak perempuan cantik itu menghampiri mobilnya. Ia kelihatan sumringah saat mengetahui Abie menjemputnya."Aku kira Mas nggak sempat jemput hari ini," ucap Winda sembari berjalan mendekati mobil.Abie membukakan pintu mobilnya, "Nggak mungkin aku biarin kamu pulang sendiri. Apalagi hari ini kamu kelihatan capek, Sayang," Winda masuk ke mobil."Iya, hari ini sibuk banget."Gimana kerjaanmu tadi?" Abie membuka pembicaraan saat mobil sudah membelah jalanan."Lumayan. Ada meeting yang agak bikin pusing, tapi semua kelar akhirnya," Terdengar Winda tengah menghela nafas."Mau langsung pulang atau kita mampir dulu cari makan?" tanya Abie."Cari makan, Mas. Aku belum sempat makan siang.""Oke, siap. Ada tempat yang kamu pengen?" Abie selalu menawarkan terlebih dahulu pada Winda."Terserah kamu aja, yang penting kamu yang nemenin," jawab Winda tersenyum. Mendengar kata-kata istrinya, Abie rasanya gemas sekali."Kalau gitu, kita ke tempat favori