"Apaan sih, tidak ada yang seperti itu. Om, jangan kepedean deh," kata Zahra mendorong tubuh Hisyam agar menjauh padanya. Hisyam geleng-geleng kepala melihat reaksi lucu Zahra yang malu-malu kucing terhadap dirinya.
Mereka akhirnya berangkat sendiri-sendiri. Zahra naik taksi sementara Hisyam naik mobilnya sendiri. Hisyam tidak ingin istri kecilnya itu bisa menjalankan aktivitas yang dia sukai tanpa merasa terganggu statusnya sebagai istrinya. Karena mereka hanya main nikah-nikahan meski pada dasarnya nikah beneran.
"Dari jarak jauh, kamu tetap mengawasi Nyonya. Aku ingin selalu memastikan dirinya dalam keadaan aman," kata Hisyam di teleponnya.
"Baik Pak, saya akan terus pantau Nyonya dan melindunginya dari jarak jauh," kata orang suruhannya.
Zahra cukup bahagia meski dia sudah menikah Hisyam tidaknya untuk bertemu dengan teman-temannya. Dan menjalani kuliahnya seperti biasa. Banyak yang harus dia raih semasa mudanya. Dia pikir cita-citanya akan kandas setelah menikah nanti. Nyatanya Hisyam tidak mengekangnya sama sekali. Zahra pun merasakan kebebasannya. Meskipun begitu, dia tetap harus menjaga nama baik suaminya walau pernikahan mereka tidak banyak yang tahu.
Di kantor Hisyam pun menjalankan aktivitas sibuknya seperti biasa. Ia bertemu klien, rapat dan membicarakan tender-tendernya. Hisyam melirik ke arah kotak makan kecil yang di siapkan Zahra tadi. Ia tersenyum sebentar, tidak tahu mengapa kotak bekal mungil itu serasa cukup berarti baginya.
Tiba-tiba ponselnya berdering, membuat ekspresi Hisyam jadi serius. Ia meminta laporan lengkap soal Abie, dan ternyata kerja karyawannya yang ia tugaskan untuk hal itu tidak mengecewakan.
“Halo? Katakan padaku semuanya soal anak itu.”
***
Di sebuah hotel tampak seperti berantakan pakaian mereka sudah teronggok di lantai. Keduanya saling memenuhi kebutuhan satu sama lain, memadu kasih..
"Sayang, ponsel kamu bunyi terus tuh," kata seorang wanita.
"Nanti saja, bentar lagi. Nanggung nih lagi enak-enaknya," ucap Abie. Tak peduli perbuatan itu di larang, iblis selalu saja memberikan bisikan agar terus dilanjutkan.
"Teleponnya gak berhenti. Gangguin saja," gerutu si perempuan lagi, Citra.
Akhirnya Hisyam menyambar ponselnya, melihat siapa yang sedari tadi meneleponnya. Ia kaget karena yang meneleponnya ternyata Hisyam. Papa tiri sekaligus pohon uangnya. Terpaksa dia mengangkatnya.
"Halo. Ada apa, Pa? Aku lagi sibuk nih," ucap Abie beralasan. Sementara Citra diam-diam mendengarkan percakapan Abie. Ia pernah dengar kalau Abie putra anak orang paling kaya di kotanya. Citra yakin yang meneleponnya itu pasti papanya.
“Di mana kamu sekarang?” tanya Hisyam.
"Papa kayak tidak tahu anak muda saja,” balas Abie santai. “Aman, kan, Pa? Lagipula, aku tidak suka dijodohkan. Aku tidak ingin menikah cepat-cepat.”
“Pulang. Kamu sudah tidak perlu mengurusi perusahaan di sana.”
Abie mengernyit. “Maksudnya bagaimana, Pa? Papa memecatku?”
“Jika kamu tidak pulang sekarang, aku akan hentikan semua fasilitas yang aku berikan padamu, Abie,” ujar Hisyam, terdengar tegas.
“Papa tega!?” tukas Abie. “Bagaimana aku bisa hidup kalau semuanya diambil? Papa tidak ingat janji Papa pada Mama–”
“Kamu lupa apa yang kamu katakan padaku saat aku mengingatkanmu soal wasiat mamamu kemarin?” potong Hisyam. “Jangan mencoba memanipulasiku dan membuatku merasa bersalah, Abie. Lagi pula, aku mendapat laporan tentang kelakuanmu di luar sana.”
"Sudahlah Pa, bukankah peristiwa itu sudah berlalu. Aku juga tidak peduli sekarang nasibnya bagaimana. Yang terpenting aku sudah terbebas dari perjodohan itu," ungkap Abie.
"Kau pasti akan menyesal karena sudah meninggalkan Zahra di pelaminan," jawab Hisyam geram.
"Menyesal? Mana mungkin, Pa. Aku tidak akan menyesal meninggalkan gadis kampungan itu!" tegas Abie. Ia masih merasa tindakannya benar meninggalkan Zahra.
Selama ini Abie belum pernah melihat Zahra secara langsung dan cermat. Pertama kali di perkenalkan, Zahra menunduk saja. Dia tidak melihat ke arah Abie. Hubungan mereka terjalin lewat wa. Zahra tidak pernah mengiyakan Abie, manakala lelaki itu iseng mengajaknya bertemu dan melakukan hubungan yang lebih intim. Akhirnya, Abie kesal ia merasa Zahra gadis kampungan yang tidak mau di ajak begituan. Zahra tidak asyik. Abie pun melampiaskan keinginannya itu dengan wanita di luaran sana.
Hisyam pun menutup kembali teleponnya, berbicara dengan anak tirinya itu membuat telinganya panas.
Dia tiba-tiba ingat bagaimana Zahra membuat gaduh di dapur, membuat masakan kecil buat Hisyam. Kelakuan anak itu terkadang membuatnya gemas sekaligus senyum-senyum sendiri kalau mengingatnya.
Saatnya makan siang, Hisyam akhirnya bisa menikmati bekal itu. Ia terdiam sesaat menikmati masakan istrinya. Tiba-tiba dia mempercepat makannya. Menurut uji tes lidah Hisyam merasakan masakan Zahra cukup enak juga. Ia pun makan semuanya dalam sekejap.
Tiba-tiba ada sebuah kiriman video di hapenya. Laporan mengenai kegiatan Zahra. Tampak seorang pria muda tengah berdiri di depan Zahra berusaha memegang tangan Zahra. Namun Zahra menghindarinya. Hisyam tersenyum, ada semacam perasaan lega karena Zahra tidak menerima uluran tangan teman lelakinya.
"Tumben kamu senyum-senyum sendiri?" Sapa seorang wanita muncul dari balik pintu.
"Brenda, kapan kamu datang mengapa tidak mengabariku?" tanya Hisyam cukup kaget.
Brenda adalah sahabat Winda, dia tinggal di luar kota selain Jakarta. Ia biasanya memang terkadang datang menemui Hisyam untuk membicarakan bisnis mereka. Brenda sudah lama menaruh hati pada Hisyam. Sayangnya, pada waktu itu Hisyam lebih mencintai Winda.
Hisyam langsung menyembunyikan kotak makan imutnya dari jangkauan Brenda.
"Tumben kamu bawa bekal, biasanya kamu beli makanan di sekitar sini," tegur Brenda. "Ya, aku tidak ingin asam lambung kambuh gara-gara telat makan," jawab Hisyam.
Dalam hati Hisyam merutuki dirinya sendiri. Mengapa harus berbohong pada Brenda. Padahal dia tidak punya gejala asam lambung. Ia selalu menjalani hidupnya secara sehat tidak ada penyakit dalam.
"Sejak kapan kamu punya asam lambung, mengapa tidak pernah cerita padaku?" tanya Brenda.
"Mengapa harus cerita padamu?" tanya Hisyam.
Setelah puas berlarian di dalam rumah, Daniel dan Aisyah akhirnya kelelahan. Nafas mereka terengah-engah, tawa kecil masih tersisa, namun kelopak mata mulai berat.Hisyam yang sejak tadi mengikuti tingkah cucunya kini duduk di kursi goyang di ruang keluarga. Ia membuka tangannya lebar. “Sini, ayo kemari. Sudah malam, saatnya tidur sama Opa.”Tanpa ragu, Daniel langsung menyender di sisi kanan, sementara Aisyah naik ke pangkuan kiri Hisyam. Kepala mungilnya menempel di dada sang Opa, mencari kehangatan.“Nyaman banget di sini…” gumam Daniel setengah mengantuk.“Iya… Opa wangi… Aisyah mau bobok sama Opa aja,” sahut Aisyah dengan suara manja, matanya mulai terpejam.Hisyam tersenyum lebar, lalu merangkul keduanya erat-erat. Tangannya mengelus kepala dua cucu kesayangan itu bergantian. “Tidurlah, Sayang… Opa ada di sini. Kalian aman.”Dalam hitungan menit, napas Daniel dan Aisyah mulai teratur. Mereka terlelap di pelukan hangat sang Opa, seolah dunia luar sudah tak lagi penting.Dari jauh
"Apaa? Tidak ada di sekolah?!" Nadia terlihat panik mendengar telepon dari pengasuhnya Aisyah. "Iya, kata gurunya tadi Aisyah sedang beli jajan di luar waktu ada abang-abang penjual mainan. Ia diam-diam keluar pas istirahat. Terus tahu-tahu sudah tidak ada Nyonya," terang pengaruhnya sedikit ketakutan. "Duh, gimana ini. Ya udah aku telepon Papanya dulu," kata Nadia. Sialnya, hape Isa di telepon tidak aktif. "Iih, Mas Isa lagi kemana sih. Kok nggak berdering sih," gerutu Nadia. Ia mondar-mandir seperti setrikaan. Lalu tiba-tiba ponselnya menyala. "Mama? Ada apa Mama telepon?" batin Nadia. Ia pun mengangkatnya, belum sempat ngomong apa-apa Mamanya sudah bicara duluan. "Nad ... Aisyah sama aku. Tadi aku ligat dia di jalanan. Jadi aku bawa aja pulang. Tapi sekarang aku ajak ke rumah Oma kamu," terang Winda. "Mama, bikin aku khawatir deh. Ta kirain Aisyah di culik," jawab Nadia panik. "Ya udah Ma, aku meluncur ke sana," kata Nadia. Usai menutup teleponnya baru saja dia kel
Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis kamar hotel, jatuh lembut ke wajah Zahra. Ia terbangun lebih dulu, matanya masih berat tapi hatinya hangat. Senyum tipis terlukis di bibirnya saat ia menyadari posisi mereka: tubuhnya masih dipeluk erat oleh Hisyam, seolah semalam ia takut kehilangan istrinya walau hanya sekejap. Ia menatap wajah suaminya yang tertidur pulas. Garis-garis tegas di wajahnya tampak begitu tenang, napasnya teratur, dan genggaman tangannya di pinggang Zahra tak sedikit pun mengendur. Azan subuh berkumandang, sayup-sayup terdengar dari masjid tak jauh dari hotel. Zahra yang sudah terjaga sejak tadi segera berjingkat turun dari ranjang, melangkah pelan agar tidak membangunkan suaminya. Ia masuk ke kamar mandi, membersihkan diri agar bisa menyambut waktu shalat dengan hati yang tenang. Namun, tak lama kemudian Hisyam terbangun. Ia meraih sisi ranjang yang kosong, menyadari istrinya tak ada di sampingnya. "Zahra Sayang..." panggil Hisyam. Pintu kamar mandi te
"Buka matamu sekarang," kata Hisyam lembut. Sedari tadi Zahra penasaran karena Hisyam menggiringnya ke suatu tempat tapi dalam keadaan mata tertutup.Pelan-pelan Zahra membuka matanya, dan seketika tertegun. Di depannya, sebuah meja bundar berhias kelopak mawar merah tersusun rapi. Dua gelas kristal berkilauan, lilin-lilin kecil menyala temaram, dan cahaya lampu gantung yang hangat menambah kesan intim. Dari balkon kaca di belakang meja, tampak gemerlap lampu kota yang seolah jadi saksi bisu malam itu.Zahra menutup mulutnya dengan tangan, matanya berbinar penuh haru. “Mas… ini semua?”Hisyam tersenyum hangat, menarik kursi untuk istrinya. “Iya. Malam ini aku ingin kita cuma berdua.""Selamat Anniversary ... Sayang," ucap Hisyam. Ia tiba-tiba jongkok ala pangeran di hadapan Zahra."Maukah kau menikah denganku lagi ... dan lagi ... ? Aku sangat mencintaimu, karenamu aku bertahan hingga sekarang," ungkap Hisyam.Zahra menatapnya, air matanya menetes tanpa bisa ditahan. Dadanya hangat di
Sembilan bulan kemudian Nadia melahirkan anak perempuan yang sangat cantik. Begitu bayi itu lahir, tangisan mungilnya langsung memenuhi ruang bersalin. Isa yang sejak tadi setia mendampingi, menahan air mata haru saat bidan meletakkan si kecil di dada Nadia.“Alhamdulillah… cantik sekali, Sayang,” ucap Isa dengan suara bergetar, jemarinya dengan hati-hati mengusap rambut halus bayinya.Nadia menatap wajah putrinya dengan mata berkaca-kaca. Rasa sakit yang tadi ia rasakan seakan lenyap begitu saja. “Akhirnya… kita punya malaikat kecil,” bisiknya lemah namun penuh cinta.Bidan dan perawat tersenyum ikut bahagia. Di luar ruang bersalin, keluarga besar yang sudah menunggu lama yaitu Hisyam, Zahra, Abie, dan yang lain langsung berpelukan penuh rasa syukur begitu kabar kelahiran bayi perempuan itu disampaikan.Bidan lalu membawa sang bayi dan meletakkannya di gendongan Zahra.“Subhanallah… cantiknya, mirip Nadia waktu bayi dulu,” Zahra berucap sambil meneteskan air mata.Hisyam berdiri di b
Usai pesta resepsi yang meriah malam itu, gedung perlahan mulai sepi. Para tamu sudah pulang, lampu-lampu redup mulai dipadamkan. Isa masih sibuk berbincang dengan keluarga besar, sementara Nadia berganti gaun di ruang rias.Di sisi lain, Fino melangkah keluar dari gedung bersama Sinta. Keduanya sama-sama lelah setelah seharian menghadiri rangkaian acara, namun entah kenapa, langkah mereka terasa ringan."Kamu juga ingin menikah secara megah seperti pesta pernikahan Nadia?" tanya Fino.Sinta menggeleng, ia tidak enak karena Fino masih sangat muda dan karunia belum sebesar Isa."Tidak usah, yang penting sah aja. Lagian... aku tidak ingin memberatkanmu," ucap Sinta."Makasih ya Sayang," kata Fino. Sinta tidak tahu kalau sebenarnya kedua orang tua Fino juga kaya raya. Mereka salah satu sahabat keluarga Hisyam. Tapi Fino tidak pernah menceritakannya pada Sinta karena yang di butuhkannya hanya cinta yang tulus.Mobil melaju tenang menembus jalanan malam. Dari balik kaca jendela, lampu-lam