Hisyam bukan tipe Om-Om yang memiliki tubuh pendek, gendut dan memiliki perut buncit. Di usianya yang sudah kepala empat Hisyam justru semakin memancarkan ketampanannya. Dia selalu menjaga tubuhnya agar sehat dan bugar.
Zahra terbangun dari tidurnya, dia tidak mendapati suaminya ada di sampingnya. Zahra menengok ke balik selimutnya dia pun lega karena pakaiannya masih komplit berarti tidak ada sesuatu yang terjadi semalam. Hari ini kebetulan hari Minggu, kuliah libur dan Hisyam juga libur kerja. Zahra bergegas bangun dari tempat tidurnya. Ia keluar mencari keberadaan Hisyam, tapi dia tidak menemukannya. Lelah mondar-mandir mencari Hisyam di rumahnya yang cukup luas, tiba-tiba perut Zahra keroncongan. Dia berjalan ke arah dapur, di sana sudah tertata rapi semua makanan menggugah seleranya. Ragu hendak makan, karena merasa tidak enak tanpa Tuan rumah mendampinginya. "Kata Tuan Hisyam, kalau Non mau makan makan saja. Karena Tuan Hisyam sedang ada keperluan penting keluar pagi-pagi," kata Mbok Siyem. "Oh, keluar kemana?" tanya Zahra penasaran. "Kurang tahu, Non," jawab Mbok Siyem. Zahra merasa bodoh mana mungkin Hisyam mengatakan keperluannya pada Mbok Siyem. Akhirnya Zahra pun memutuskan untuk makan terlebih dahulu. Mumpung tidak ada Hisyam hari ini, dia bisa makan banyak tanpa rasa canggung. Biasanya kalau ada Hisyam, dia harus jaga imej biar terkesan tidak kampungan. Tapi pagi ini, Zahra seperti orang kelaparan dia makan sepuasnya. Ia merasa sayang untuk tidak mencicipi semuanya. Dulu waktu masih ngekos, dia harus irit agar uangnya bisa nyampe akhir bulan. Sekarang biaya kuliah di tanggung Hisyam dan tentu saja sebagai istri sementara Zahra mendapat makan gratis tiap hari. Usai makan, Zahra mendengar ada suara Hisyam di luar. Tapi bukan suara Hisyam saja melainkan ada suara wanita yang asing di telinganya. Ia pun menengok dari arah jendela. Hisyam tengah mengobrol dengan perempuan cantik. Perempuan itu melongok dari jendela mobil, sementara Hisyam berdiri sembari melambaikan tangannya sewaktu mobil perempuan itu meluncur pergi. Kalau di lihat sekilas, Hisyam tampak akrab sekali. Zahra sedikit asing setelah Hisyam masuk ke dalam rumah. Ia masih ingat bagaimana sikap Hisyam pada perempuan tadi. Zahra malah senang ada wanita lain yang mendekati suaminya sehingga kalau bercerai nanti Hisyam tidak kesepian. Eh, pede sekali pemikiran Zahra. Padahal banyak cewek yang antri loh! Menantikan dadanya Hisyam. "Om darimana sih, di cariin nggak ada?" Sapa Zahra. "Om, cuman muter-muter jogging di sekitar kompleks kok," jawab Hisyam. Wajahnya bersinar meski penuh peluh keringat. Sesaat Zahra terpesona melihat ketampanan Hisyam. Namun dia segera menepis kekagumannya itu di hatinya. "Oooh, terus ketemu perempuan cantik tadi?" sindir Zahra. "Kamu cemburu?" balas Hisyam asal sembari menyeka keringatnya. "Iih, ngapain pake acara cemburuan segala. Lagian, Om itu bukan seleraku. Kita kan beda generasi," jawab Zahra beralasan. "Tadi siapa sih Om?" tanya Zahra kepo. "Brenda, temannya Winda. Dia juga klien di perusahaan." "Ooh, bisa gantikan jadi istri Om dong," canda Zahra. "Sst, jangan ngawur. Memangnya pernikahan cuman mainan. Udah, Om mau mandi dulu," kata Hisyam. Dia tidak ingin terlalu menanggapi candaan konyol Zahra. Pernikahannya dengan Zahra saja sudah membuatnya cukup pusing. Zahra masuk ke dalam kamar untuk mengambil hapenya, namun ia kaget karena Hisyam main keluar saja dari kamar mandi tanpa pakai handuk. "Om, gimana sih. Om kan, bukan bayi lagi!" seru Zahra sembari menutup matanya dengan kedua telapak tangannya. "Hehehe, maaf Om lupa bawa handuk tadi," kekeh Hisyam. Ia malahan tambah sengaja menggoda Zahra. Rasanya nenyenangkan melihat pipi Zahra merona akibat ulah yang tidak di sengaja olehnya. Ia pikir Zahra masih di ruang makan menikmati makanannya. "Udah belum sih, Om ambil handuknya?" tanya Zahra. "Belom, ni baru ambil di lemari," jawab Hisyam santai. Dia merasa lucu saja menikmati sikap Zahra yang kekanak-kanakan. "Memangnya kamu belum pernah lihat beginian?" tanya Hisyam. "Iiih, amit-amit Om ini. Sana-sana!" usia Zahra. Masih jelas dalam bayangannua dia bisa melihat bagaimana bentuknya tadi. Berurat dan panjang. Ia tidak mengerti mengapa ada belalai sepanjang itu. Pasti kalau masuk sakit sekali. Mendengar pintu kamar mandi di tutup Zahra lega. Ia pun segera membuka kedua tangannya. Ia sempat mau senam jantung tadi. "Sepertinya aku sekarang harus hati-hati. Dia bisa saja menerkamku suatu saat. Apa aku harus cerai sekarang ya," gumam Zahra berbicara pada dirinya sendiri. Ia tidak berpikir panjang mengatakan hal itu. Karena Zahra belum merasakan apapun pada pasangannya. Hisyam keluar dari kamar mandi sudah memakai pakaian rapi, membuat Zahra heran mau kemana suaminya itu. "Om, rapi banget mau kemana?" tanya Zahra. "Mengantarmu pergi beli pakaian. Apa kamu mau berpakaian itu-itu saja. Kamu tidak pernah membelanjakan kartu yang aku berikan," ucap Hisyam. "Darimana Om tahu kalau aku tidak pembahasan menggunakan kartu itu?" tanya Zahra. "Ada laporan, sudahlah kamu tidak perlu memikirkannya. Sekarang kamu bersiap-siap saja, ganti pakaian nanti aku ajak pergi jalan-jalan," ucap Hisyam. Sampai di Mall, Zahra yang jarang ke Mall merasa di manjakan dengan pemandangan di sekitarnya. Banyak sekali pilihan outfit seumuran dirinya yang modelnya kekinian. Ia pun memilih warna-warna baju yang ia suka. Hisyam juga tampak pintar memilihkan baju untuk Zahra. Bajunya cebderung sopan dan tidak terbuka. Setelah mendapatkan brberapa stel baju yang di inginkan, semua mata tertuju pada Hisyam. Terutama cewek-cewek cantik yang kebetulan lewat. Mereka saling melirik dan berbisik dengan temannya kemudian tersenyum satu sama lain. Wajah Zahra berubah jadi cemberut, dia yakin mereka pasti mengira dirinya simpanan Om-Om. Rasanya ia ingin segera pergi dari tempat itu. Tak sengaja Zahra mencuri dengar ada yang mereka ucapkan. "Sst, Om itu tampan sekali ya. Jadi selingkuhannya pun aku mau, asal kebutuhanku tercukupi. Lihatlah, dia kelihatan royal banget memberikan gadis itu apapun," kata salah satu di antara mereka. Zahra yakin kalau mereka pasti mengira dirinya simpanan Om Hisyam. Jengkel akhirnya, Zahra menarik tangan Hisyam membuat pria itu kaget karena selama ini mereka tidak pernah bersentuhan tangan. Sialnya, Hisyam harus menahan dirinya kala bagian bawahnya sudah on. "Om, kita pergi dari sini yuk,' rengek Zahra. "Tunggu bentar, biar Om bayar dulu ke kasir bajunya ini," kata Hisyam. Namun Zahra belum juga melepaskan pegangannya. Hisyam melirik ke arah lengannya lalu berganti menatap Zahra, namun sayang Zahra tidak merespon malahan melihat ke arah lain. Akhirnya Hisyam membiarkan Zahra tetap bergelayut di lengan kekarnya, lumayan gak sering-sering juga, pikir Hisyam. Mereka pun menuju ke kasir untuk membayar. Untung saja tidak ada yang antri sehingga mereka di layani cepat. Keluar dari Mall, Zahra masih saja cemberut hingga sampai di dalam mobil. Hisyam tidak habis pikir apa yang tengah di pikirkan istri kecilnya, mengapa tidak ada mendung tidak ada hujan wajah Zahra muram seperti itu. "Ada apa?" tanya Hisyam sembari menyetir. "Gak ada apa-apa," sewot Zahra. Ia bersedekap menatap ke samping jendela mobil. "Gak ada apa-apa, tapi kok wajah kamu di tekuk begitu," ucap Hisyam. "Iih, aku sebel tau," ungkap Zahra kemudian. "Sebel kenapa?" tanya Hisyam lagi..suaranya lembut dan tenang. "Sebel denger perkataan mereka tadi," jawab Zahra lagi. "Mereka siapa?" tanya Hisyam penasaran. "Ya, mbak-mbak yang sok tau tadi," ucap Zahra. "Perasaan mereka muji aku tampan. Apa salahnya, memang aku tampan kan," ucap Hisyam tidak merasa bersalah. "Iiih, lama-lama Om nyebelin deh," cubit Zahra. "Auw, sakit Zahra," rintih Hisyam. Ternyata cubitan istri kecilnya lumayan sakitnya.Setelah puas berlarian di dalam rumah, Daniel dan Aisyah akhirnya kelelahan. Nafas mereka terengah-engah, tawa kecil masih tersisa, namun kelopak mata mulai berat.Hisyam yang sejak tadi mengikuti tingkah cucunya kini duduk di kursi goyang di ruang keluarga. Ia membuka tangannya lebar. “Sini, ayo kemari. Sudah malam, saatnya tidur sama Opa.”Tanpa ragu, Daniel langsung menyender di sisi kanan, sementara Aisyah naik ke pangkuan kiri Hisyam. Kepala mungilnya menempel di dada sang Opa, mencari kehangatan.“Nyaman banget di sini…” gumam Daniel setengah mengantuk.“Iya… Opa wangi… Aisyah mau bobok sama Opa aja,” sahut Aisyah dengan suara manja, matanya mulai terpejam.Hisyam tersenyum lebar, lalu merangkul keduanya erat-erat. Tangannya mengelus kepala dua cucu kesayangan itu bergantian. “Tidurlah, Sayang… Opa ada di sini. Kalian aman.”Dalam hitungan menit, napas Daniel dan Aisyah mulai teratur. Mereka terlelap di pelukan hangat sang Opa, seolah dunia luar sudah tak lagi penting.Dari jauh
"Apaa? Tidak ada di sekolah?!" Nadia terlihat panik mendengar telepon dari pengasuhnya Aisyah. "Iya, kata gurunya tadi Aisyah sedang beli jajan di luar waktu ada abang-abang penjual mainan. Ia diam-diam keluar pas istirahat. Terus tahu-tahu sudah tidak ada Nyonya," terang pengaruhnya sedikit ketakutan. "Duh, gimana ini. Ya udah aku telepon Papanya dulu," kata Nadia. Sialnya, hape Isa di telepon tidak aktif. "Iih, Mas Isa lagi kemana sih. Kok nggak berdering sih," gerutu Nadia. Ia mondar-mandir seperti setrikaan. Lalu tiba-tiba ponselnya menyala. "Mama? Ada apa Mama telepon?" batin Nadia. Ia pun mengangkatnya, belum sempat ngomong apa-apa Mamanya sudah bicara duluan. "Nad ... Aisyah sama aku. Tadi aku ligat dia di jalanan. Jadi aku bawa aja pulang. Tapi sekarang aku ajak ke rumah Oma kamu," terang Winda. "Mama, bikin aku khawatir deh. Ta kirain Aisyah di culik," jawab Nadia panik. "Ya udah Ma, aku meluncur ke sana," kata Nadia. Usai menutup teleponnya baru saja dia kel
Cahaya matahari pagi menembus tirai tipis kamar hotel, jatuh lembut ke wajah Zahra. Ia terbangun lebih dulu, matanya masih berat tapi hatinya hangat. Senyum tipis terlukis di bibirnya saat ia menyadari posisi mereka: tubuhnya masih dipeluk erat oleh Hisyam, seolah semalam ia takut kehilangan istrinya walau hanya sekejap. Ia menatap wajah suaminya yang tertidur pulas. Garis-garis tegas di wajahnya tampak begitu tenang, napasnya teratur, dan genggaman tangannya di pinggang Zahra tak sedikit pun mengendur. Azan subuh berkumandang, sayup-sayup terdengar dari masjid tak jauh dari hotel. Zahra yang sudah terjaga sejak tadi segera berjingkat turun dari ranjang, melangkah pelan agar tidak membangunkan suaminya. Ia masuk ke kamar mandi, membersihkan diri agar bisa menyambut waktu shalat dengan hati yang tenang. Namun, tak lama kemudian Hisyam terbangun. Ia meraih sisi ranjang yang kosong, menyadari istrinya tak ada di sampingnya. "Zahra Sayang..." panggil Hisyam. Pintu kamar mandi te
"Buka matamu sekarang," kata Hisyam lembut. Sedari tadi Zahra penasaran karena Hisyam menggiringnya ke suatu tempat tapi dalam keadaan mata tertutup.Pelan-pelan Zahra membuka matanya, dan seketika tertegun. Di depannya, sebuah meja bundar berhias kelopak mawar merah tersusun rapi. Dua gelas kristal berkilauan, lilin-lilin kecil menyala temaram, dan cahaya lampu gantung yang hangat menambah kesan intim. Dari balkon kaca di belakang meja, tampak gemerlap lampu kota yang seolah jadi saksi bisu malam itu.Zahra menutup mulutnya dengan tangan, matanya berbinar penuh haru. “Mas… ini semua?”Hisyam tersenyum hangat, menarik kursi untuk istrinya. “Iya. Malam ini aku ingin kita cuma berdua.""Selamat Anniversary ... Sayang," ucap Hisyam. Ia tiba-tiba jongkok ala pangeran di hadapan Zahra."Maukah kau menikah denganku lagi ... dan lagi ... ? Aku sangat mencintaimu, karenamu aku bertahan hingga sekarang," ungkap Hisyam.Zahra menatapnya, air matanya menetes tanpa bisa ditahan. Dadanya hangat di
Sembilan bulan kemudian Nadia melahirkan anak perempuan yang sangat cantik. Begitu bayi itu lahir, tangisan mungilnya langsung memenuhi ruang bersalin. Isa yang sejak tadi setia mendampingi, menahan air mata haru saat bidan meletakkan si kecil di dada Nadia.“Alhamdulillah… cantik sekali, Sayang,” ucap Isa dengan suara bergetar, jemarinya dengan hati-hati mengusap rambut halus bayinya.Nadia menatap wajah putrinya dengan mata berkaca-kaca. Rasa sakit yang tadi ia rasakan seakan lenyap begitu saja. “Akhirnya… kita punya malaikat kecil,” bisiknya lemah namun penuh cinta.Bidan dan perawat tersenyum ikut bahagia. Di luar ruang bersalin, keluarga besar yang sudah menunggu lama yaitu Hisyam, Zahra, Abie, dan yang lain langsung berpelukan penuh rasa syukur begitu kabar kelahiran bayi perempuan itu disampaikan.Bidan lalu membawa sang bayi dan meletakkannya di gendongan Zahra.“Subhanallah… cantiknya, mirip Nadia waktu bayi dulu,” Zahra berucap sambil meneteskan air mata.Hisyam berdiri di b
Usai pesta resepsi yang meriah malam itu, gedung perlahan mulai sepi. Para tamu sudah pulang, lampu-lampu redup mulai dipadamkan. Isa masih sibuk berbincang dengan keluarga besar, sementara Nadia berganti gaun di ruang rias.Di sisi lain, Fino melangkah keluar dari gedung bersama Sinta. Keduanya sama-sama lelah setelah seharian menghadiri rangkaian acara, namun entah kenapa, langkah mereka terasa ringan."Kamu juga ingin menikah secara megah seperti pesta pernikahan Nadia?" tanya Fino.Sinta menggeleng, ia tidak enak karena Fino masih sangat muda dan karunia belum sebesar Isa."Tidak usah, yang penting sah aja. Lagian... aku tidak ingin memberatkanmu," ucap Sinta."Makasih ya Sayang," kata Fino. Sinta tidak tahu kalau sebenarnya kedua orang tua Fino juga kaya raya. Mereka salah satu sahabat keluarga Hisyam. Tapi Fino tidak pernah menceritakannya pada Sinta karena yang di butuhkannya hanya cinta yang tulus.Mobil melaju tenang menembus jalanan malam. Dari balik kaca jendela, lampu-lam