Langit mendung menggantung rendah di atas gedung Devereaux Industries, seakan memantulkan suasana yang akan terjadi di dalamnya.
Lucian duduk di ruang pertemuan lantai tiga, dengan aku di sampingnya, tangannya menggenggam erat tangan sang istri.Tidak ada kata-kata yang terucap di antara mereka sejak pagi, hanya komunikasi lewat gestur kecil—sentuhan lembut di punggung tangan, pandangan lirih yang menenangkan. Pintu terbuka perlahan. Veronica melangkah masuk dengan langkah yang jauh lebih tenang. Gaun biru langit yang dia kenakan tidak cukup menyembunyikan kecanggungan yang tergambar jelas di wajahnya.Rambutnya diikat rendah, dan matanya tidak mencari siapa pun—dia hanya menunduk, kedua tangan saling menggenggam di depan dada. Lucian tidak menyuruhnya duduk. Hanya menatap diam, raut wajahnya nyaris tak terbaca. Veronica berdiri tepat di seberang meja besar dari kayu walnut, dan butuh beberapaLangit pagi menyambut kami dengan warna pastel yang lembut ketika mobil mengantar kami kembali ke apartemen. Setelah malam penuh tawa dan kehangatan, rasanya aku masih belum siap melepas kebersamaan kami. Tetapi hari sudah berganti, dan hidup terus berjalan. Begitu pintu terbuka dan kami masuk ke dalam, aroma khas apartemen langsung menyambutku. Lucian menjatuhkan jasnya ke sofa, lalu berjalan santai ke dapur dengan gaya sok-sok sibuknya. “Aku buatkan kopi, ya?” tanya Lucian sambil membuka lemari tempat kami menyimpan biji kopi Ethiopia kesukaannya. “Tidak.” Aku segera menyusul dan berdiri di depannya, menahan tubuhnya dengan kedua tangan. “Hari ini, kau tidak boleh menyentuh dapur.” Alis Lucian terangkat. “Kenapa? Ada yang salah?” “Aku yang akan memasak. Aku ingin menyiapkan sesuatu yang spesial untukmu.” Senyumku mengembang, dan aku menepuk dadanya ringan. Lucian menyipitkan mata seolah tidak percaya. “Kau yakin tidak ingin kita tetap hidup sampai siang nanti?” “Lucian!” prot
Tadinya kupikir kejutan Lucian hari itu sudah cukup—datang tiba-tiba ke panti, duduk bersamaku dan Nenek Thea, bahkan tertawa kecil meski biasanya wajahnya seperti tembok marmer. Namun, ternyata semesta, atau mungkin dia sendiri, belum selesai menyusupi hariku dengan hal-hal tak terduga. Langit sudah mulai gelap saat kami akhirnya beranjak pulang. Mobil meluncur melewati jalanan kota yang lengang, dengan lampu-lampu temaram dari toko-toko yang mulai menutup. Tanganku menggenggam lengan baju pria itu, bahunya menjadi sandaran alami yang nyaman, terutama setelah satu hari yang menguras tapi juga menghangatkan hati. Namun, beberapa meter sebelum memasuki gerbang tol, suara aneh muncul dari kap mesin. Lalu, mobil mulai melambat. Lucian sempat mencoba mengabaikannya—tanda khas pria keras kepala yang tidak ingin terlihat panik. Namun, ketika mobil benar-benar berhenti di pinggir jalan, dengan bunyi yang tak bisa ditoleransi oleh siapa pun yang masih waras, dia pun memutar kunci, memak
Mobil berhenti di pelataran sederhana yang dipayungi pohon flamboyan tua. Daun-daunnya berjatuhan pelan, seolah menyambut kedatanganku dengan cara yang manis dan murung sekaligus. Udara di sini lebih tenang dan lebih lambat. Tidak ada desing ponsel atau langkah sepatu berhak tinggi. Hanya tawa pelan dan suara kursi roda yang berderit. Damai, dengan cara yang sederhana. Aku menuruni mobil sambil membawa kotak besar berisi baju-baju hangat dan bungkusan makanan dari dapur pusat milikku. Karyawan yang menyiapkan semuanya memaksa ikut, tapi aku menolak. Aku memang butuh ini. Bukan hanya untuk memberi, tapi untuk melepaskan sesuatu yang tak bisa dijelaskan dengan logika atau kata-kata manis. “Selamat siang, Nona Seraphina!” seru perawat muda yang berdiri di depan pintu panti. Senyumnya manis dan cerah seperti matahari jam dua siang. “Selamat siang. Mereka sedang berkumpul di ruang tengah?” tanyaku, mengalihkan beban kotak ke tangan kiri. “Iya. Nenek-nenek sedang menonton acara kuis,
Suara centang printer yang tak henti dari ruang sebelah membuatku berhenti sejenak membaca laporan klien. Kugerakkan bahu kiri dan kanan, mencoba melonggarkan otot-otot yang menegang sejak pagi. Hari ini cukup melelahkan—tetapi dengan cara yang menyenangkan. Dalam beberapa bulan terakhir, grafik performa perusahaan terus naik. Tidak meledak, tapi konsisten. Dan itu cukup membuatku tersenyum saat membuka dashboard setiap pagi. Ketukan cepat di pintu membuat kepalaku terangkat. Sebelum sempat menyuruh masuk, pintu sudah terbuka dan muncullah wajah yang kini jauh lebih ramah daripada beberapa waktu lalu. “Pardon for the intrusion,” ucap Veronica sambil masuk membawa map merah muda dan ekspresi penuh semangat. Aku langsung berdiri. “Kau selalu tidak sabar, ya? Duduk dulu. Mau teh atau kopi?” “Air putih saja,” jawabnya cepat, lalu menyerahkan map tersebut ke meja. “Tebak apa yang baru saja kuterima dari Divisi Finansial?” Aku membuka map itu. Mataku langsung menangkap angka-ang
Ada jeda aneh ketika aku berdiri di depan pintu restoran, menggenggam tangan Lucian yang terasa sedikit lebih hangat dari biasanya. Mungkin karena gugup. Atau mungkin karena dia tahu betul bahwa pertemuan hari ini bukanlah hal yang bisa diselesaikan hanya dengan formalitas. Dua dunia—dunia kami—akan duduk dalam satu meja, berbagi makanan, kata, dan kemungkinan, entah itu kekakuan atau penerimaan. “Tenang,” bisikku sambil menatapnya. Dia menoleh, seulas senyum tipis muncul di sudut bibirnya. “Harusnya aku yang bilang begitu padamu.” Pintu dibuka oleh pramusaji berseragam putih gading dengan dasi perak. Kami melangkah masuk ke ruangan privat yang disiapkan khusus, dengan pencahayaan hangat dan dekorasi elegan yang menenangkan mata. Meja oval besar di tengah ruangan sudah tertata rapi, lengkap dengan serbet linen bersulam dan vas kecil berisi anggrek ungu di setiap tempat duduk. Keluargaku sudah tiba lebih dulu. Mama duduk dengan anggun, mengenakan kebaya pastel modern yang
Langit mendung menggantung rendah di atas gedung Devereaux Industries, seakan memantulkan suasana yang akan terjadi di dalamnya. Lucian duduk di ruang pertemuan lantai tiga, dengan aku di sampingnya, tangannya menggenggam erat tangan sang istri. Tidak ada kata-kata yang terucap di antara mereka sejak pagi, hanya komunikasi lewat gestur kecil—sentuhan lembut di punggung tangan, pandangan lirih yang menenangkan. Pintu terbuka perlahan. Veronica melangkah masuk dengan langkah yang jauh lebih tenang. Gaun biru langit yang dia kenakan tidak cukup menyembunyikan kecanggungan yang tergambar jelas di wajahnya. Rambutnya diikat rendah, dan matanya tidak mencari siapa pun—dia hanya menunduk, kedua tangan saling menggenggam di depan dada. Lucian tidak menyuruhnya duduk. Hanya menatap diam, raut wajahnya nyaris tak terbaca. Veronica berdiri tepat di seberang meja besar dari kayu walnut, dan butuh beberapa