Share

Belanja.

“Bisa nyetir?”

Vero mengangguk “Emmm ... Bisa sih, mau ke mana emang Mbak?

Berliana mengangkat pergelangan tangannya, melihat jam yang melingkar di sana. “Udah waktunya cabut atau, kau ingin jadi pengangguran saja?”

Vero melotot, menggeleng ke arah Berliana. “Yang benar saja! Aku sudah sampai hampir menghancurkan engsel pintu kamarku demi sampai sini dalam 10 menit.”

“Kalau begitu bagus dong,” ucap perempuan itu sambil mengemasi semua barangnya kembali.

“Bagus?”

“Iya bagus. Pertama, kau lolos ujian tes pertama dan mungkin satu-satunya. Kedua, masa pertama kerja kau pasti akan sangat semangat.” Gerakan tangannya berhenti sebab semua barangnya berhasil ia kemasi.

“Ada pintu yang harus segera dibenahi agar tidak sembarangan perempuan bisa masuk kan?” goda Berliana.

Vero gemas membuntut perempuan itu dari belakang. Matanya tak bisa fokus ke jalan depannya tetapi pada dua bongkahan pantat Berliana.

Sebisa mungkin pikiran kotor itu segera ia buang jauh-jauh. Ia harus bisa mendapatkan pekerjaan ini. Harus! Tidak ada tapi.

“Kamu yang bawa mobil ya,” ucap Berliana sambil melempar kunci mobil.

‘Haaapppp....!!!!’

“Yang mana mbak mobilnya?”

“Tuh!” tunjuk Berliana ke arah sebuah mobil pick up L-300 tua.

Hampir saja Vero kelepasan ketawa. Untung ia sadar posisinya. Jangankan supervisor atau manager marketing, jadi karyawan saja belum.

“Kenapa? Kita kan emang mau kerja bukan bergaya,” ketus Berliana. “Dan ingat, kamu bukan satu-satunya orang yang ingin pekerjaan ini. Jadi jangan kurang ajar!”

Sial, perempuan itu menyadari tawa Vero,” batin Vero.

Iiii.... iya Mbak. Maaaa ... Maaf,” ucap bibirnya sambil berjalan merundukkan kepala tak berani menatap mata perempuan di depannya. Takut ketahuan menertawakan mobilnya lagi.

Mereka berdua masuk ke dalam mobil. Sempat Vero melirik perempuan yang duduk di sebelahnya setelah memasang sabuk pengaman. Tapi perempuan itu tampak terus membuang muka keluar jendela.

Mesin mobil menyala. Vero hanya bisa bersuara dalam hati memang mobil ini sangat berbanding terbalik dengan Berliana.

Perempuan itu tampak berkelas, mobil ini seperti tidak naik kelas. Perempuan itu tampak rapi dan bersih. Mobil ini tampak berantakan dan berkarat. Perempuan itu tampak kalem dan wangi harum. Sedang mobil ini jauh dari itu, bau dan suara besi bertubrukan, baut kendor, suara engsel kendor, di mana-mana.

“Mbak,” tegur Vero.

Perempuan itu akhirnya memalingkan muka ke arah laki-laki yang menyetir di sebelahnya. Masih dengan muka yang masam. Tapi dituntut proffesional.

“Emmm... Mau jalan ke mana kita??” tanya Vero

“Pasar gede,” jawab Berliana singkat. “Tau kan?”

Vero mengangguk kemudian hening lagi.

Mereka berdua sedang tenggelam dengan perasaannya masing-masing. Vero ragu untuk melanjutkan obrolan sebab mungkin menertawakan mobil Berliana merupakan kesalahan yang fatal bagi perempuan itu.

Pun sebaliknya perempuan itu. Merasa tidak enak hati kepada Vero. Jujur dalam lubuk hatinya pagi ini ia ingin menggoda Vero. Ingin sekali merasakan seonggok tubuh kekar itu rapat ke tubuhnya. Ingin sekali dekat terus dengan laki-laki tampan itu. Entah sejak kapan perasaan itu muncul.

Mungkin sejak malam itu di mana mereka pertama kali ketemu.

Tapi di lain sisi Berliana tahu siapa dirinya. Hanya seorang Janda, dan untuk laki-laki setampan Vero, mana mungkin mau dengan dirinya. Ia pasti akan memilih perempuan yang jauh lebih muda dari dirinya.

Sadar Hey sadar, kamu bukan selera laki-laki itu. Kamu jauh sekali dari perempuan yang didambakan Vero,” teriaknya dalam hati pada dirinya sendiri.

“Mbak.” Vero tak tahan dengan keheningan di antara mereka.

Berliana hanya memutar pandangan menatapnya.

“Mbak masih marah soal mobil tadi?”

“Nggak,” ketusnya

“Mbak tapi beneran, Vero tadi nggak bermaksud buat ngejelekin atau ngejek mobil mbak.”

“Gapapa Vero,” jawab Berliana kini sambil membuang muka lagi.

Karena perempuan itu membuang muka, justru membuat Vero berusaha lebih keras. Ia merasa Berliana benar-benar marah dan itu karenanya, karena dirinya menertawakan mobilnya.

“Mbak kalo mau marah Vero rela kok dimarahin. Tapi tolong terima saya bekerja ya mbak. Saya perlu pekerjaan ini. Saya perlu ....”

“Verooo!!” bentak Berliana. Kali ini dengan mata melotot ke arah Vero. “Aaarrrgggg .... Lu bisa nggak sih diem? Fokus nyetir! Kalau gua bilang gapapa ya gapapa. Apa sih masalah begitu doang dibesar-besarin hah?”

Seperti disambar petir siang bolong, mulut Vero terkunci rapat. Gemetar merambat dari kursi mobil hingga sekujur tubuhnya. Ia menjelma robot kemudi yang kemudian hanya bisa menyetir kaku memandang lurus ke depan.

Demi apa kalimat barusan? Kalimat itu bahkan keluar dari perempuan yang malam sebelumnya setengah mati menggodanya, dan ia sadar akan itu. Vero mengerti gelagat Berliana.

Pada akhirnya jatuh yang paling sakit bukan dari tempat di mana kau berdiri sekarang. Tapi dari suatu tempat di mana kau pernah diterbangkan.

Perjalanan sampai pasar gede ditempuh dalam waktu dua puluh menit. Waktu yang terasa sangat lama sebab keheningan yang merimbun di antara mereka.

Pasar gede pukul setengah sepuluh siang. Rame? Sudah jelas namanya juga pasar. Seorang petugas parkir bergerak mendekat. Berdiri memberi aba-aba Vero.

“Kiri-kiri, kanan sikitttt, yak trooos bales-balessss ....”

Kopling diinjak dalam, bersamaan dengan rem. Mobil berhenti, Gigi di-nol kan. Handbreak ditarik dan diputar, mesin dimatikan.

Bahkan dalam kondisi seperti ini Vero belum berani menatap mata Berliana. Ia hanya melirik saat perempuan itu membuka pintu mobil, menurunkan kakinya satu persatu kemudian berlalu. Tubuhnya hilang ditelan pintu masuk pasar.

Vero menghela napas panjang. Setelah sesak di dadanya terkumpul ia embuskan pelan-pelan.

Bahkan Berliana berlalu begitu saja tanpa mengucap kalimat apa pun padaku,” gumamnya dalam hati.

Di dalam kaki Berliana melangkah gesit. Bukan, bukan karena diburu waktu. Ia CEO, bebas kapan saja mulai kerja dan selesai kerja. Tapi ini soal Vero.

Ia gemini, berkepribadian ganda dan lebih sering menyesal dengan apa yang barusan ia lakukan beberapa detik atau menit yang lalu. Sama menyesalnya kenapa ia tak menjelaskan pada Vero ia mau ke mana. Kenapa ia tak meminta Vero menemani. Atau jika memang enggan, ia bisa meminta laki-laki itu untuk menunggu.

Ia berlari cepat agar aroma sembako, aroma sayur mayur dan tumpahan minyak di lantai pasar menghilangkan bayangan Vero. Bayangan saat ia menatap dirinya pergi ke dalam pasar. Bayangan saat ia mengiba begitu Berliana memarahinya. Bayangan, tentang keputusan—apa yang ia lakukan terhadap Vero itu terlalu kejam?

“Siang, Ko!”

Koko-koko yang disapa Berliana sedikit menurunkan kaca matanya. “Eh elu, Ya Tuhan katanya lu orang mau ambil barang jam 9, liat sekarang jam berapa?”

“Hehehe ... iya Ko, maafin Berlian. Tadi abis nemuin calon karyawan. Ni dia lagi di depan. Oh iya pesanan Berliana udah siap Ko?”

“Sudah sudah, ready semua barang lu orang. Sebentar ya,” ucapnya sambil menengok keluar ruang kaca tokonya. “Rot Jarot! Jarot!”

Laki-laki yang dipanggilnya berjalan buru-buru mendekat.

“Iya Ko?”

“Lu orang anter barang yang tadi pagi lu packing atas nama Berliana ke mobilnya ya. Tau kan mobilnya? Ajak temen jangan sendirian!”

Jarot hanya manggut-manggut paham kemudian merunduk berjalan mundur lalu pergi. Tak lama kemudian ia dengan dua orang kuli sembako lainnya lewat lagi. Kali ini dengan membawa semua barang belanjaan Berlian. Empat karung lima kardus, total semua pesanannya.

Begitu mereka bertiga berlalu, Berliana memberi segepok uang pada Koko pemilik toko sembako terbesar di pasar gede itu.

“Masih awet aja itu Jarot, Ko?” ujar Berliana.

“Iya tuh nggak ngerti juga koko. Eh, gamau dicek dulu barangnya?”

“Udah Berliana percaya sama Koko. Nanti kalau nggak sesuai kan bisa dikembaliin.”

“O gitu,” balasnya sambil memasukkan uang ke dalam mesin penghitung.  “Ini duitnya juga pas. Seneng banget kalo ketemu costumer yang langsng cash gini. Lancar-lancar terus usahanya ya neng Berliana. Moga cepet dapet pendamping hidup lagi.”

“Ih koko bisa aja. Berliana langsung aja ya ko. Keburu makin panas.”

Laki-laki itu mengacungkan ibu jari, “hati-hati.”

 Berliana mengangguk mantap. Melambaikan tangan kemudian berlalu. Di lorong pasar tak lupa juga ia berterima kasih saat bertemu tiga mamang-mamang kuli panggul tadi.

Hingga ia tiba di tempat yang tak jauh dari mobilnya, namun tak menemukan seorang pun duduk di bangku kemudi. Sempat panik ia berlari, pikirannya sudah ke mana-mana sampai kemudian ia menemukan siluet seseorang yang duduk di bak belakang dari kaca depan.

Ia bernapas lega. Hampir saja jantungnya copot oleh rasa khawatir. Berliana berjalan mendekat ke arah Vero.

Tutup bak belakang mobil dibuka Vero. Di bak depan tersusun rapi semua barang yang dibawa tiga mamang kuli beberapa menit yang lalu. Dan di sana Vero duduk, di ujung bak dengan kaki mengawang. Lengkap dengan dua gelas es coklat.

“Kalo kata orang, mood akan gampang diobatin sama coklat.”

Berliana mengamati salah satu gelas yang ada di sebelah Vero. Mengamati sungguh-sungguh sesuatu yang hampir tertutup sempurna oleh bulir air es.

“to: Berliana Berlian :*”

Sungguh demi membacanya hati Berliana luruh. Ia duduk di sebelah Vero. Mengambil minuman yang bertulis namanya.

Dingin menyentuh telapak tangannya yang menjalar hingga hatinya yang panas. Sedotan pertama yang membawa cairan coklat meluber di mulutnya. Dan manis rasanya, seolah semua kepenatan yang timbul oleh Vero akhirnya hilang.

Dan tanpa sadar ia sudah menyandarkan kepalanya di bahu Vero layaknya sepasang kekasih.

“Lain kali tulis nama lengkapku dengan benar!” celetuknya yang bersambut elusan kepala lembut dari Vero.

Beraambung ....

Komen (1)
goodnovel comment avatar
rafy
bagus dan keren
LIHAT SEMUA KOMENTAR

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status