Share

10 Menit.

Tinggg .....

Sebuah notifikasi masuk ke handphone Vero. Terhitung masih sangat pagi. Pukul enam, dan laki-laki itu masih bergumul dengan kasur biru kusam lengkap dengan selimut berwarna senada.

Dengan malas dan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya tangannya beringsut meraih kotak gepeng sumber notifikasi.

“Siapa sih! Ganggu banget.”

Sebuah pesan dari nomor baru ‘Pagi Vero.’

“Nomor baru lagi. Tidur lagi bisa kali, ntar aja balasnya. Males banget!” gumamnya dalam hati. Kemudian terpejam dan tidur lagi.

Hingga kemudian HP-nya berdering kencang sekali. Nada dering, volume penuh. Matanya langsung terbelalak. Seperti ditiup trompet sangsakala di depan telinganya.

Haaa .... hallo,” jawabnya gelagapan. Sempat salah sisi HP nya. Micropone di telinga dan speaker di mulut.

“Hallo!! Vero kamu baru bangun? YA TUHANNNN!!” umpat seseorang di seberang telefon sana. Demi melihat nomor yang meneleponnya ia baru sadar kalau handphonenya terbalik.

“Engg ... enggak kok. Maap nih, dengan siapa ya ini?” tanyanya polos. Masih belum juga paham.

“Guess who?”

Vero mendengus kesal. Bahkan otaknya masih serupa cumi-cumi di dalam kulkas semalaman, membeku.

“Oh kamu ya ternyata. Ngomong dong dari tadi.”

“Hah? Siapa coba?” Perempuan di seberang telepon makin heran.

“Hayo siapa coba tebak!”

“Ih ga jelas! Saya tunggu di restoran kemarin malam atau kamu langsung saya coret dan portofolio kamu bakal jadi bungkus kue cucur. Sekarang!! Saya beri wa

Tut... tut... tut....

Belum suara terputus selesai Vero sudah melompat. Jangkahnya lebih jauh, paling jauh malah. Panjang kasur dilompatinya dalam satu langkah. Handphonenya mendarat entah ke mana. Pintu yang tertutup ditabraknya sampai terbuka. Mentang-mentang tubuhnya kekar.

Berliana, Berliana, janda sialan!! Kenapa nggak bilang daritadi!” umpatnya di dalam hati.

Di dalam kamar mandi celana dalamnya meluncur begitu. Kaos lusuh ditariknya ke atas asal-asalan. Berujung suara robek ketika melewati ketiaknya yang diapit otot-otot besar lengannya.

Ia guyur sembarangan tubuhnya. Sabun cair meluruh di tubuhnya dengan tak beraturan pula. Hanya ia ratakan sebisa dan secukupnya. Membilas pun dilakukan dengan tak beraturan.

Belum kering air di tubuhnya diisap handuk, ia sudah melompat keluar kamar mandi. Melihat kamarnya yang berantakan. Pintu engsel yang makin rusak berkat keahlian dobraknya.

Persetan!

Ia butuh kaos. Bukan bukan! Ia butuh kemeja. Di tumpukan paling atas lemarinya. Ia ambil yang terbaik. Setelan ala karyawan baru, kemeja putih dan celana hitam. Tak sampai semenit sudah melekat di tubuhnya.

Melompat cepat lagi. Memasang jam tangan, menyisir rambut. Meraih handphone, memasukkannya ke dalam tas yang ia sendiri tak ingat isinya apa saja. Berlari ke depan, menutup pintu meraih sepatu.

Menabrak pintu lagi dengan kasar. Ia lupa kontak motornya masih di atas kulkas.

Berlari cepat lagi meraih helm, melompat ke atas motor, tanpa menunggu lagi laki-laki itu langsung tancap gas.

Ia tak peduli kemacetan bahkan kalau perlu ia naikkan motornya ke trotoar. Hampir ia menabrak motor yang keluar gang seenak jidat. Hampir melindas kucing yang tiba-tiba menyeberang. Berujung umpatan darinya dan bukan mengurangi gas justru menambahinya.

Sesampainya di restoran ia langsung menurunkan standar motor matic-nya. Mesin mati, Vero tahu ia memarkir motornya sembarangan, bukan cuma motor, hidupnya sudah ngawur dari awal.

Ia merangsek masuk restoran. Begitu di depan pintu memutar pandangannya mencari satu orang biang ke-ngawurannya hari ini. Sampai-sampai tak sadar, bahwa semua orang di restoran yang sedang bersantap sarapan pagi di restoran itu kini menatapnya dengan menahan tertawa.

“Ketemu!” Vero tak peduli dengan semua orang yang baginya asing. Ia seperti singa yang baru saja menemukan kijang. Mengintai, menemukan, lalu mengejar.

Huh ... huh ... huh...!!!! Belum telat kan??” tanyanya dengan napas ngos-ngosan. Susah sekali menelan ludah seolah kelenjarnya ikut melupakan tugas memproduksi ludah demi mengejar 10 menit paling berarti dalam hidupnya.

Perempuan itu dengan santai menaruh kembali gelas teh di ke atas cawannya. Sekilas tampak bekas gincu di pinggir bibir gelas bekas bibirnya.

“Sembilan menit tiga puluh tujuh detik, hanya kurang dua puluh tiga detik, kamu tahu kan artinya?” ujarnya sambil menunjukkan layar handphone yang menampilkan stopwatch.

“Saya diterima?”

Berliana mengangguk, “Assaaalllllll.”

“Asal??”

Perempuan itu mengerutkan kening. Menatap laki-laki itu dari atas hingga bawah. Kemudian menggeleng. Ekor matanya menunjuk ke atas. Tapi seperti orang buru-buru lainnya, Vero tak mengerti.

“APA SI MBAK, VERO NGGAK NGERTI.” Rengek Vero sambil mengangkat alis.

“YA TUHAN VEROOOOO! Harus banget ya mbak ngomong? Itu tuh,” tunjuk Berliana ke arah kepala Vero.

Hehehe, iya lupa.” Vero si kekar tampan tapi lola. Ia lupa masih mengenakan helm.

“ITU JUGA!” tunjuk berliana lagi ke arah baju Vero. “KANCING KAMU!”

Gemas akhirnya perempuan itu berdiri merapatkan tubuhnya menghalangi orang lain melihat.

“Kalau kancing nomor 2 ya sama lubang kedua dong jangan sama yang ketiga.”

Vero dibuat diam gelagapan. Kening Berliana hanya dua jengkal dari dagunya. Yang artinya dengan hanya memajukan tubuhnya sedikit Vero bisa mencium kening perempuan di depannya itu.

Dengan jarak segini Vero bisa mencium aroma parfum yang semalam membuatnya susah tidur. Dengan jarak sedekat ini, seharusnya ia bisa menangkap pinggangnya, merapatkan tubuhnya hingga tak lagi berjarak, memeluknya.

Seharusnya itu bisa dengan mudah ia lakukan, tapi lihat apa yang terjadi sekarang. Vero malah diam, tangan kiri masuk kantong tangan kanan memegang helm bodohnya yang ikut masuk ke dalam restoran.

“Dah, gini kan rapi.” Tangan perempuan itu menepuk-nepuk kemeja yang Vero kenakan. Merapikan tiap lekuk bentuk kemeja yang menempel dengan tubuh kekar Vero.

Merasa diamati, Berliana mengangkat wajahnya. Dan tatap mata keduanya bertemu.

Vero tersenyum, Berliana tersipu. Hanya dengan satu jinjitan kaki atau rundukan kepala Vero bibir mereka akan bertemu.

Berliana refleks memundurkan tubuhnya. Membuat Vero jadi kikuk di depannya. Menggaruk-garuk kepalanya yang tak gatal.

“Emmm .... Mending kamu balikin helm dulu deh. Rapihin dulu tuh rambut. Jangan ketemu saya acak-acakan gitu dong! Saya ini calon bos kamu loh.”

Baa ... ba ... baik Mbak. Saya permisi dulu.”

Berliana mengangguk kecil tanda mengiyakan. Sambil kembali duduk rapi menyilang kaki. Melihat ke arah Vero pergi hingga tubuh laki-laki itu hilang ditelan pintu restoran.

Setelah hilang baru dia menghela napas panjang. Membuang mimik muka galak yang ia paksakan dari tadi. Mengipasi mukanya sendiri yang kini memerah menahan malu dengan ke sepuluh jarinya.

Ya Tuhan, gobloknya aku!! Gobloknya aku!!” umpatnya dalam hati sambil mengetuk-ketuk meja.

“Seharusnya aku tak boleh kelihatan murahan di depan dia. Apalagi hanya calon karyawan. Ayolah Berliana tahan dirimu, tahan!” bisiknya pelan sambil mengambil napas dalam-dalam, menahannya sebentar kemudian mengeluarkannya pelan-pelan.

“Tapi mana tahan, Ih! Selera gua banget dia. Muka garangnya. Brewokan yang bikin makin seksi. Otot-otot kekarnya. Bentuk tubuhnya, membayangkannya saja bisa membuat gairahku naik apalagi benar-benar melihatnya telanjang,” gumamnya lagi. Kali ini sambil memijat keningnya.

“Gak! Gak bisa, gak bisa! Lupakan Berliana, lupakan ... kamu harus keliatan berkharisma,” gumamnya terakhir sambil membenahi posisi duduknya.

Sementara di luar, Vero dengan santai menaruh kembali helmnya di motor. Tentu setelah memastikan motornya terparkir rapi.

Sebab tak enak jika main handphone di depan Berliana, sebentar ia buka beberapa notifikasi. Termasuk menyimpan nomor handphone Berliana. Semuanya tampak tak ada yang aneh hingga ia membuka history panggilan.

Panggilan yang Berliana lakukan tadi pukul setengah tujuh pagi. Sejenak ia bergumam,

“Iya pantas saja, ia kan kenal dengan pemilik resto ini. Pasti dengan mudah sang pemilik buka lebih awal.”

Vero menutup layar handphonenya kemudian menilik jam di pergelangan tangannya. Pukul tujuh lebih dua belas menit.

Wait....

“Tapi tadi kan ga ada sepuluh menit,” gumamnya dalam hati. Kenapa jadi sudah 42 menit? Siapa yang salah sih. Jamku apa jam Berliana?

Tapi tadi stopwatch memang belum ada sepuluh menit. Dan memang belum telat. Atau malah sudah telat sekali. Tapi stopwatch tak mungkin berbohong.

Kecuali memang Berliana yang menghentikannya lebih dulu sebelum Vero datang. Apa mau janda satu ini?

Bersambung ...

Bab terkait

Bab terbaru

DMCA.com Protection Status