“Vero ya?”
Laki-laki yang disapa justru gelagapan. Bingung membenahi posisi duduknya, gugup.
“Iii... iya, Bu.” Masih gugup, keringat dingin mulai berana-pinak. “Mbak, emmmm... emm... maksud saya, Bu. Ibu mau saya pesankan minum sekalian?”
“Enggak, gausah. Saya sudah pesan kok. Kebetulan food ‘n resto ini punya paman saya,” ucapnya sambil melambai pada pelayan. Memberitahu bahwa di situ ia akan menunggu. “Boleh saya duduk?”
“Bobo ... Bo ... Boleh Bu boleh.”
Vero harus berkali-kali mengusap keringat di keningnya. Astaga, ternyata orang yang datang jauh dari ekspektasinya. Sangat berbeda dengan yang ia bayangkan.
Umumnya seorang atasan perusahaan tidak terlalu mementingkan penampilan, aduh sorry maksudnya bentuk tubuh.
Ia membayangkan perempuan tua dengan lemak yang menumpuk di perut hingga bajunya bisa terlipat-lipat di pinggang. Tertumpuk di lengan hingga jika duduk memangku dagu tampak seperti keju basah yang menggantung.
Tapi perempuan di depannya ini jauh sekali berbeda.
Harum, itu kata pertama. Aroma mewah metropolis yang berbalut khas flory. Belum lagi aroma powdery yang tercium mirip bedak atau wewangian bayi.
Yang kedua, postur tubuhnya enggak bohong, orang bilang seperti gitar Spanyol. Vero dibuat menelan ludah berkali-kali. Baru kali ini ada perempuan yang bisa membuatnya jatuh hati kala sedang patah hati. Ciny dan perempuan di depannya.
Dada yang tidak besar tapi tidak juga kecil berbalut kemeja kantor biru muda dengan lengan yang terlipat hingga siku. Menampilkan perutnya yang rata. Namun sepasang mata mana pun tak akan lepas dari sepasang pantatnya yang berisi. Makin menjulang saat ia duduk setelah dipersilahkan oleh Vero.
“Maaf ya belum bisa mengundang kamu interview di kantor. Saya lebih nyaman ngobrol dengan klien atau calon karyawan ya dengan gini, makan bareng.”
“Iii ... iya Bu, gpp ko.” Vero tampak mulai bisa sedikit membuang perasaan gugupnya.
“Kalau boleh tau, masnya kerja di mana sebelumnya?”
“Saya sebelumnya kerja di Lodjie Bakery.”
“Owwww.... mantan Lodjie ternyata.” Fakta yang cukup membuat perempuan itu kaget. Sebab nyatanya, Lodjie adalah kompetitor JANDA resto miliknya.
“Hehe ... Iya Bu. Maaf tapi apa itu mengganggu?” tanya Vero iba. “Saya butuh banget pekerjaan ini, Bu. Saya mohon,” pintanya.
“Tidak kok, bukan masalah yang serius. Ya, meski kami berdua adalah kompetitor dan sengit bersaing, tapi itu adil. Kami bersaing dengan sehat. Meski harus saya akui kapasitas mereka lebih besar dari kami.”
Vero hanya mangut-mangut. Setengah mengerti setengah tidak, yang penting menghargai perempuan di hadapannya.
“Portofolio lamaran kamu ada?”
“Ada Bu, sebentar.” Tangan Vero gesit membuka tas. Mencari-cari map coklat yang selalu ia bawa ke mana-mana.
Dan perempuan itu menerimanya. “Saya tahu kamu butuh banget dengan kerjaan ini. Itulah kenapa kamu sampai-sampai bikin profil jobstreet kamu perempuan.”
Keduanya kemudian terpingkal.
“Hehehe ... maaf sekali, tapi sama sekali bukan maksud saya manipulatif, Bu. Tapi memang kebanyakan lowongan memasak atau koki tuh tulisannya ‘diutamakan perempuan’ makanya daripada saya menganggur selamanya, saya buatlah seperti itu.”
“Thats fine Vero, it’s okay. Saya juga membayarmu buat memasak dan skillmu, bukan untuk sesuatu yang memerlukan jenis kelamin,” terang perempuan itu sambil memasukkan portofolio Vero ke dalam tasnya.
“Maksudnya, Bu?”
“Menurutmu apa yang membuat sebuah pekerjaan itu bernilai?” tanyanya sambil pelan-palan tangannya tiba di tangan Vero.
“Skill?” Vero tak bisa berkutik. Antara ditodong pertanyaan dan tangannya yang tanpa bisa ia tarik telah jadi bahan permainan perempuan di depannya.
“Itu dulu, Ver. Dulu sekali, anak muda. Jika kau hidup di zamanku mungkin skill masih jadi barang prioritas. Tapi tidak untuk sekarang. Yang paling penting sekarang adalah spesifikasi.”
Jari jemari perempuan itu makin nakal. Menelusuri pembuluh Vena yang menonjol di tangan Vero. Menikmati setiap inci seperti tengah menelanjangi laki-laki di depannya.
“Spesifikasi, itulah kenapa ada ribuan bahkan ratusan laki-laki yang bisa mengoperasikan komputer tapi tetap saja seorang bos laki-laki akan mencari gadis muda yang cantik, kalau bisa dadanya besar untuk jadi sekretarisnya. Dan kau mungkin sudah tahu ke mana arah pembicaraan kita,” lanjutnya sambil semakin gemas dengan tangan Vero yang berurat.
Hampir saja Vero meraih dan menggenggam balik tangannya tapi seorang pelayan tiba-tiba muncul dari balik punggungnya. Membuat keduanya kikuk, buru-buru menarik tangannya. Menyisakan kedua pasang mata yang masih saling bertautan.
Makanan dan minuman tiba. Setelah saling mempersilakan, makanan pun disantap. Vero memesan burger berukuran small, sedang perempuan depannya memilih steak daging yang tampak sungguh lezat.
“Oh iya, ceritain dong kerjaan kamu dulu di Lodjie kayak gimana?”
“Gimana ya, Bu. Ya gitu-gitu deh. Masak, kalau nggak masak ya platting. Kalau nggak platting ya kirim orderan.”
“Oh gitu, jadi ga akan terlalu kaget ya kalau nanti terjun langsung ke dapur?”
“Enggak sih, mungkin cuman penyesuaian condimen sama komposisi bahan yang biasa dipake di tempat ibu aja.”
“Um ... jangan panggil Ibu. Panggil Mbak aja. Apa saya terlihat lebih mirip dengan ibu-ibu anak tiga??” usul perempuan dengan raut muka kecewa. Bibirnya yang maju dan dahinya yang mengerut.
Oh Tuhan, itu semakin membuatnya imut sekali
.
“Iya Mbak, maafkan saya.”
“Saya maafkan kali ini,” ucapnya sambil mengambil tisu, membersihkan sisa saus yang menempel di bibirnya. “Saya dengar-dengar bukan hal yang mudah juga untuk bisa masuk di Lodjie?”
Vero mengangguk. “Bener tuh, Mbak.”
“Oyaaa?? Habis berapa duit kamu?”
“Not a dime, kebetulan mantan saya yang urusin jadi saya hanya tinggal kerja. Katanya sih ayah mantan saya punya saham yang lumayan di sana.”
Perempuan di depan Vero mengangkat alis, heran.
“Than why? Trus kenapa kamu keluar? Lagian kamu bilang mantan bukan karena sekarang kamu sedang ngobrol dengan saya kan??” ucapnya sambil berkedip nakal.
“biasalah Mbak, persaingan posisi atau seseorang yang tidak suka dengan saya. Kemudian saya difitnah. Kalau untuk mantan. Ya memang saya sudah putus.”
“Sejak?”
“Sejak saya dipecat.”
Perempuan itu tertawa lebar, sampai-sampai membuat Vero heran. Merasa diamati Vero kemudian ia berhenti sebentar tertawa.
“Sorry-sorry. Maksudku apes banget sih kamu punya nasib. Ibarat peribahasa udah dipecat diputusin lagi.”
Vero menekuk wajahnya sebal. “Mana ada peribahasa seperti itu Mbak.”
“Ada dong, itu barusan aku bikin. Hahaha ....”
Mau tidak mau Vero juga ikut tertawa. Tak apa, tak usah khawatir soal hidup. Jika semua terasa berat dan di luar kendali, kita masih bisa menertawakan diri kita sendiri.
“Toko Mbak sendiri, kenapa dinamakan Janda?”
“Mau alasan klasik apa yang retorik?”
“Alamak, ada dua kah?”
“Oiyaaaa jelasss! Kedai ini berdiri dengan kerja keras dan dedikasi makanya ada dua.”
“Emmmm.... retorik dulu deh.”
“Karena kedai kita beda. Jajanan yang kami punya dan produksi adalah jajanan-jajanan tradisional. Kue cucur, kembang gula, rambut nenek, rengginang, dodol, omah tawon, geplak dan masih banyak lagi jajanan dari berbagai daerah di seluruh nusantara.”
Vero menggeleng-geleng sambil berdecak kagum. Yang pertama untuk alasan retorik yang barusan perempuan itu ungkapkan dengan penuh rasa semangat dan percaya diri.
Yang kedua untuk kecantikan seseorang yang akan menjadi bosnya.
Bibir merona dengan lipstik merah mawar. Bibir tipis yang jadi tampak berisi bahkan hingga rekahan-rekahan bibirnya. Rambut hitam yang sengaja diwarnai kuning pirang tipis-tipis tapi terawat rapi. Gigi putih dan rapi yang selalu mengambil alih percakapan saat senyumnya mekar.
Ditambah mata coklat tua yang membuat siapa saja lawan bicaranya tunduk.
“Laaa.... lalu alasan klasiknya?” Penyakit gugup Vero kumat.
Kembali ia meraih tangan Vero. Kali ini tanpa ragu lagi. Kemudian menatap mata laki-laki muda itu sambil memelankan suaranya. “Aku ini janda, Vero.”
Demi keberlangsungan percakapan dan mengakhiri pikiran yang tidak-tidak Vero buru-buru menarik tangannya disusul suara tertawa dari perempuan di depannya.
Restoran malam ini cukup ramai dan itu membuat tak ada seorang pun yang mengamati mereka berdua. Obrolan interview itu bertahan beberapa kalimat kemudian.
“Jadi apa itu berarti saya diterima di perusahaan Mbak??”
Keduanya sudah berdiri sama-sama hendak berpamitan.
“Jika ia maka besok saya akan hubungi nomor yang ada di portofolio kamu.”
Vero mengangguk mantap.
“Kalau begitu, terima kasih sudah menyempatkan waktu untuk interview yang mungkin jadi paling asyik selama saya memimpin Janda,” ucapnya sambil mengulurkan tangan pada Vero.
“Sama-sama. Terima kasih kembali.” Hampir Vero melepaskan tangannya, dan hampir saja perempuan itu pergi. “Tunggu, apa saya boleh tahu nama mbak?”
Perempuan itu tersenyum kecil. Masih dengan tangan yang menjabat tangan Vero. Kemudian berbalik, merapatkan tubuh, menjinjitkan kakinya sambil setengah memeluk. Berbisik tepat di depan telinga Vero.
“Berliana Jelitta.”
Bersambung ....
Tinggg .....Sebuah notifikasi masuk ke handphone Vero. Terhitung masih sangat pagi. Pukul enam, dan laki-laki itu masih bergumul dengan kasur biru kusam lengkap dengan selimut berwarna senada.Dengan malas dan nyawa yang belum terkumpul sepenuhnya tangannya beringsut meraih kotak gepeng sumber notifikasi.“Siapa sih! Ganggu banget.”Sebuah pesan dari nomor baru ‘Pagi Vero.’“Nomor baru lagi. Tidur lagi bisa kali, ntar aja balasnya. Males banget!” gumamnya dalam hati. Kemudian terpejam dan tidur lagi.Hingga kemudian HP-nya berdering kencang sekali. Nada dering, volume penuh. Matanya langsung terbelalak. Seperti ditiup trompet sangsakala di depan telinganya.“Haaa .... hallo,” jawabnya gelagapan. Sempat salah sisi HP nya. Micropone di telinga dan speaker di mulut.
“Bisa nyetir?”Vero mengangguk “Emmm ... Bisa sih, mau ke mana emang Mbak?Berliana mengangkat pergelangan tangannya, melihat jam yang melingkar di sana. “Udah waktunya cabut atau, kau ingin jadi pengangguran saja?”Vero melotot, menggeleng ke arah Berliana. “Yang benar saja! Aku sudah sampai hampir menghancurkan engsel pintu kamarku demi sampai sini dalam 10 menit.”“Kalau begitu bagus dong,” ucap perempuan itu sambil mengemasi semua barangnya kembali.“Bagus?”“Iya bagus. Pertama, kau lolos ujian tes pertama dan mungkin satu-satunya. Kedua, masa pertama kerja kau pasti akan sangat semangat.” Gerakan tangannya berhenti sebab semua barangnya berhasil ia kemasi.“Ada pintu yang harus segera dibenahi agar tidak sembarangan perempuan bisa masuk kan?&
“Jadi maksudnya kau ingin aku percaya bahwa laki-laki itu semua sama aja?” Kalimat Vero meluncur dari mulutnya setelah melewati sebuah lampu merah tak jauh dari pasar gede.Mobil tua milik Berliana itu berdecit saat melewati sederet polisi tidur kecil membuat keheningan jadi terpecah. Disusul tawa Vero yang kini tak lagi sungkan-sungkan.“Tross ... ejek aja troosss mobil aku,” ketus Berliana. “Seneng banget ya cari masalah.”“Ooopsss, jangan marah-marah dong. Kan kita udah janji kalau kita ga akan masalahin aku yang ngetawain mobil kamu.”“Ya kan tadi janjinya pas minum es coklat. Sekarang es nya habis. Ya janjinya ikut ga berlaku dong!”“Ih kok gitu. Yaudah-yaudah ayok janji lagi deh mumpung ga lagi makan es,” ucap Vero sambil mengacungkan jari kelingking kanannya.Berliana meng
Ciuman kedua yang panjang masih berlanjut. Mereka terpejam dan semakin bisa merasakan semuanya. Tangan Berliana tak lagi memegang cangkir kopi. Tak lagi juga menelusuri dagu Vero yang dipenuhi bulu pendek selepas cukur.Tangan perempuan itu kini melingkar di leher panjang nan kokoh Vero. Urat-urat besar leher terasa begitu seksi di telapak tangannya. Sesekali ia menarik leher Vero agar lebih dekat dengannya. Meskipun mereka sudah tanpa jarak. Meskipun mereka kini berciuman dengan perasaan terdalam.Tak ada lagi perasaan ragu di dalam hati mereka masing-masing. Tak ada rasa canggung bagi Berliana. Meski Vero adalah laki-laki yang baru kemarin ia jumpai. Perempuan mana saja pasti akan merasa ternoda jika jadi Berliana. Segampang dan sesingkat itu laki-laki ini mendapatkan bibirnya.Tak ada perasaan ragu juga di dalam hati Vero. Tak perlu merasa sungkan sebab perempuan yang ia cium sekarang adalah atasannya. Tak ada yang pe
“Vero, kita ga bisa lakuin ini terus-terusan,” cegah Berliana. Vero tengah mengimpit tubuhnya ke tembok. Ini jam kerja dan semua orang tengah sibuk di bawah sana.Vero terbelalak mengangkat alis heran. “Ta ... tapi kenapa Mbak? Padahal dua minggu yang la ....”“Vero Cukup!!” bentak Berliana.Membuat laki-laki di depannya menundukkan muka. Menghela napas panjang, beringsut mundur tak lagi mengimpit tubuh Berliana dengan tubuhnya. “Tapi kenapa Mbak! Kenapa?”“Karena kamu dan aku itu beda, Ver! Beda jauh sekali, dari segi mana pun!”Vero menelan ludah begitu kalimat barusan meluncur ringan dari mulut Berliana. Tenggorokannya tidak kering, tapi seketika semua kalimat jawabannya tercekat. Tak sanggup melewati tenggorokannya.Kalimat Berliana barusan melukai perasaannya. Relung hatinya tersayat ol
“Antar ke meja nomor dua!” suruh Dhita pada Vero. Tanpa menunggu aba-aba ulang laki-laki itu sudah bergerak menaruh nampan. Ganti mengangkat nampan yang sudah disiapkan Dhita.Hari ini Coffe and Snack resto JANDA ramai pengunjung. Tak hanya di luar, tapi juga di dalam. Hampir semua tempat penuh. Dari dua puluh lima tinggal satu meja yang dekat dengan pintu masuk yang masih kosong.Vero, Angga bahkan Januar sampai turun tangan melayani pengunjung.Vero bahkan baru saja mengantar pesanan dari luar. Dua kopi Toraja, satu es campur, satu wedang belimbing wuluh, dan sepiring camilan jajan tradisional yang dipilih oleh pembeli sendiri.Baru selesai dari depan, baru sampai depan pintu sudah harus kembali lagi dengan pesanan yang sudah disiapkan Dhita.Di belakang kesibukan dapur tidak kalah riuh. Dhita dan Vera silih berganti mengisi nampan baru dengan berb
Hening sebentar waktu dua pasang mata saling bertatapan. Waktu seakan berhenti meski sebentar. Alunan musik yang sebelumnya diputar oleh Berliana juga tepat sekali pas berganti.Membuat suasana bertambah hening dan keduanya sama-sama canggung bertatapan.Apa seutuhnya hening dan sepi? Sebetulnya tidak juga. Resto yang ramai di bawah sana. Suara gemuruh percakapan orang seperti sekawan lebah madu di dalam sangkar. Suara alat masak yang beradu di tangan Wilda dan Dhita, meramu berbagai pesanan.Bahkan jika didengar saksama suara jarum jam Berliana juga ikut berpartisipasi suara.Tapi kesepian yang terjadi lebih dari itu. Mereka berdua seakan tak tahu, kata pertama apa yang pantas keluar dari mulut mereka.Hingga sebuah petikan gitar mengambil alih percakapan mereka. Ya, lagu Berliana berputar kembali dan mereka sama-sama tahu melodi siapa yang tengah diputar.
“Temani?” Vero mengangkat alis.Berliana mengangguk, masih dengan tangan dingin dan gemetarnya yang menahan Vero pergi.Matanya, meski Vero tak dapat melihatnya langsung, laki-laki itu tahu Berliana tengah sangat memohon padanya.“Maaf,” jawab Vero. Jemari tangannya menggeliat melepaskan diri. Melepaskan diri dari genggaman tangan Berliana.“Saya kira kita masih jauh berbeda. Dari sisi mana pun,” lanjutnya dengan amat menyakitkan.Sepatu pantofel kerja yang Vero kenakan mengetuk lantai. Tapi suaranya seolah menyalak di telinga Berliana. Kepergian, dan penolakan terang-terangan itu seperti menggarami hati Berliana yang berdarah.Ia ingin melanjutkan tangisnya. Tapi udara dingin dan sikap Vero, membuatnya diam. Tak ada air mata yang tersisa. Tak ada kesedihan yang sanggup ia tangisi lagi.Ia ingin sekali