Jaja mandi terburu-buru setelah mendengar ucapan bapaknya, yang akan menjual sepeda butut miliknya. Suara bu Ambar, ibunya Jaja tidak terdengar, padahal sedari tadi Jaja memanggil-manggil ibunya.
Masih menggunakan handuk saja, Jaja berlari ke depan rumah kontrakannya. Benar saja, sepeda butut miliknya sudah tidak ada di teras. Wajahnya berubah kesal dan marah, dengan serampangan ia memakai sendal dan pergi menyusul tempat biasa bapaknya berjudi dan mabuk-mabukan.
Tak dipedulikannya kekehan tetangga melihatnya bertelanjang dada. Malah mereka seakan mendapat tontonan gratis dari lelaki kampung yang lumayan tampan. Perut rata dan aroma sabun serta sampo sehabis mandi, membuat ibu-ibu yang sedang berada di depan rumahnya, melongo melihat Jaja berjalan terburu-buru.
"Seksi amat, Ja. Ga dingin itu!" celetuk salah satu tetangga Jaja.
"Coba laki gue, perutnya kayak Jaja." Celetuk yang lainnya.
"Duh, gue gerah mak, liat perut Jaja."
Dan entah apa lagi godaan dari para tetangga yang rata-rata ibu rumah tangga itu. Jaja cuek saja, hanya senyuman tipis ia berikan saat menanggapi ocehan para ibu-ibu. Sendal jepit yang ia pakai pun, hampir saja putus bagian ujungnya, kakinya melangkah seperti melayang. Namun ia tetap saja cuek.
Jaja mempercepat langkahnya, sudah terdengar dari kejauhan suara tawa sang bapak. Namun, tunggu. Sepertinya sayup-sayup ia juga mendengar suara ibunya.
"Jangan, Pak. Ini sepeda Jaja kerja, Pak. Jangan dijual!"
"Ga usah ikut campur lo peyot. Sana pulang!" sentak bapak Jaja pada Bu Ambar istrinya, ia bahkan mendorong tubuh bu Ambar hingga terhuyung hampir terbentur tembok.
"Nanti Jaja berangkat kerja pake apa, Pak? Dia kerjakan buat kita juga, Pak!" rengek Bu Ambar sambil menggoyangkan lengan suaminya.
"Bukan urusan gue! Sepeda ini gue yang beliin, sekarang gue ambil, ya hak gue peyot!"
"Pulang sana!" Kali ini Pak Jamal, bapak Jaja mendorog tubuh istrinya terlalu kuat.
Hhaapp...
Jaja datang disaat yang tepat, ia menangkap tubuh ibunya sebelum tubuh tua itu menyentuh tanah becek. Amarahnya sudah mencapai ubun-ubun, seandainya bukan lelaki ini yang menolongnya dan ibunya dulu. Tentulah Jaja saat ini sudah memukulinya habis-habisan.
"Bapak silahkan ambil sepeda butut saya, tapi tolong jangan pernah perlakukan ibu saya seperti ini lagi, kalau tidak..."
Prakk!
Pak Jamal membanting kartu yang ia pegang. Wajahnya merah menyala menahan amarah yang sama. Ia bangun dari duduknya sambil sempoyongan, minuman keras telah membuat ayah tiri Jaja ini banyak sekali berubah.
"Dia bini gue, terserah gue mau diapain. Bukan urusan bocah ingusan kayak lu!" Pak Jamal menunjuk Jaja dengan telunjuknya. Badannya bergoyang kesana kemari karena efek minuman keras.
Teman-teman Pak Jamal yang ada disana hanya terkekeh pelan, bahkan mereka tidak ada niat sama sekali untuk melerai.
"Bawel lu berdua, jangan urusin hidup gue, sana lu minggat!" bentak Pak Jamal dengan amarah yang memuncak. Dengan keras mendorong tubuh Jaja hingga terbentur tiang listrik yang tidak jauh dari tempat Jaja berdiri.
Bugh!
Jaja meringis, ia lupa bahwa saat ini ia hanya memakai handuk yang dililit di pinggang.
Hahahah
Tawa para lelaki di sana menggema menunjuk Jaja yang masih meringis, menahan sakit di punggungnya karena terbentur tiang listrik.
"Oh, segitu ukuran anak tiri lu, Mal," ledek seorang pria tua yang sama mabuknya dengan bapak tiri Jaja.
"Astaghfirulloh." Jaja melotot ke bawah, handuknya terlepas dan hawa dingin merasuki kulitnya.
Dengan cepat dan menahan malu, Jaja memasangkan kembali handuknya. Lalu dengan cepat menarik tangan ibunya untuk pergi dari sana. Tak dipedulikannya sorak sorai pria tua yang sedang pesta miras disana.
"Mau pamer lu, Ja!"
"Pamer apaan, Mak?"
"Mamah, Ja."
Jaja mengela nafas kasar.
"Iya, Mah. Apa yang mau dipamerin?"
"Terong gede lu!"
"Astaghfirulloh, Mak. Ih, bicaranya serem banget." Jaja menutup mulut ibunya, ia khawatir ada tetangga yang mendengar.
"Makanya kalau mau keluar pake sempak dulu. Sekarang, sepeda lu raib, terong lu jadi tontonan." oceh bu Ambar sambil mensejajarkan langkahnya dengan Jaja.
"Nasib, punya bapak tiri ga tahu diri."
"Huust... Ga boleh gitu, gimana pun dia banyak jasanya sama kita, Ja. Maafin suami mamah ya."
Jaja tidak menyahut, bagaimana pun pak Jamal memperlakukan ibunya, ibunya tetap saja memberi maaf. Katanya hutang budi hanya bisa dibalas dengan kesabaran.
Begitu sampai di rumah, Jaja langsung ke kamar mandi dan menyeka lagi badannya yang kotor, karena tadi terjatuh. Setelah mandi ia langsung sholat isya dan merebahkan tubuhnya di kasur lipat yang ia gelar di ruang depan kontrakannya.
Matanya menatap langit-langit kamar, pikirannya melayang pada kejadian yang seharian ini ia lalui dengan penuh rasa malu. Mulai dari batuk, bersin sekarang handuk melorot. Ya Allah, kenapa? Bahkan rasanya ia tidak akan sanggup untuk berangkat ke pabrik besok.
Apa dia mengundurkan diri saja ya? Jaja menggaruk rambutnya kasar. Kalau dia berhenti bekerja, ibunya nanti mau makan apa. Belum lagi setoran bank keliling yang harus ia bayarkan satu juta setengah setiap bulannya, akibat ulah bapak tirinya.
Ya Allah berilah hamba kemudahan dalam setiap urusan. Aamiinn. Jaja menutup matanya. Namun, sekelebat wajah cantik bu Yasmin menari di pelupuk matanya.
Puk!
Jaja memukul kepalanya. "Otak ga tahu diri, bisa-bisanya mikirin Bu Yasmin," gumamnya kesal pada isi kepalanya.
"Sakit lu, Ja? Kenapa kepala lu gebukin?" Bu Ambar keluar dari ruang tengah menghampiri anak bujangnya yang tengah memukul-mukul kepalanya.
"Nyamuk, Mak."
"Mamah, Ja. Bibir lu kaga sekolah apa ya? gua kata manggilnya mamah, Ja."
Jaja bangun dari duduknya. Ia menatap wajah lelah dan menyimpan banyak luka dibalik senyuman ibunya.
"Iya, Mah. Mulai sekarang, Jaja manggilnya Mamah deh!" Jaja mengambil tangan ibunya lalu mengecupnya.
"Tidur yuk, Mah. Saya juga mau tidur." Jaja kembali merebahkan tubuhnya di kasur lipat, kasur ternyaman yang ia miliki.
Bu Ambar kembali ke ruang tengah rumahnya. Sekilas ia menatap wajah tampan anak lelaki satu-satunya.
"Maafkan Mak ya, Ja," bisik Bu Ambar dengan mata berkaca-kaca.
Di sebuah rumah besar di kawasan Pondok Indah, seorang wanita berparas sangat cantik tengah menangis tersedu di depan kedua orangtuanya. Wanita itu dipaksa untuk menikah kembali dengan Devano anak dari relasi papanya. Sekeras apapun Yasmin menolak, namun tetap saja, papanya memaksa Yasmin untuk membuka hati.
"Pikirkan lagi, Nak. Ini semua demi kebaikan kamu dan Reza."
"Papa tidak ingin, kamu nanti berkenalan dengan laki-laki lain yang hanya menginginkan hartamu."
"Apalagi mereka tahu seluruh harta warisan peninggalan Arman jatuh ke tangan kamu dan Reza."
"Hiks..hiks...,Yasmin tidak bisa, Pah. Untuk saat ini belum bisa, tolong papa mengerti," pinta Yasmin di tengah isakannya, wajahnya sudah sembab penuh air mata. Kedua matanya memandang Pak Hendroyas Miharja, papanya. Dengan tatapan penuh permohonan.
"Hhmm, ...baiklah, Papa akan atur pertemuan kamu dengan Devano, tiga bulan lagi. Papa rasa cukup waktu setengah tahun, untuk kamu mencoba menerima keadaan dan ikhlas melepas Arman." Pak Miharja bangun dari duduknya. Ia pergi meninggalkan Yasmin yang masih duduk terisak di sofa ruang keluarga.
Yasmin kembali ke kamar Reza, anak lelakinya sudah tertidur sangat lelap. Mengingat ini sudah pukul setengah sebelas malam. Yasmin merebahkan tubuh lelahnya di samping Reza, tangan mulusnya memeluk Reza dengan hangat. Saat ini kepalanya benar-benar tidak bisa diajak untuk berpikir terlalu keras, ia lelah dengan semua keadaan saat ini.
"Mas, aku merindukanmu," bisiknya pelan sebelum akhirnya ia ikut terlelap bersama Reza.
****
Pukul lima shubuh lebih lima belas menit, Jaja sudah rapi akan berangkat ke pabrik. Seragam kerja sudah ia pakai dengan rapi. Bu Ambar membelikan nasi uduk untuk bekal Jaja di pabrik."Ini bekalnya." Bu Ambar memberikan plastik hitam berisi nasi uduk.
"Makasih, Mak."
Bu Ambar melotot tidak terima.
"Eh, iya lupa. Makasih mamah aku yang cantik," ujar Jaja membetulkan panggilannya. Ia lalu mencium punggung tangan ibunya, kemudian berjalan menuju pabrik. Hari ini dan seterusnya, terpaksa ia menggunakan satu kali angkot lalu berjalan kurang lebih setengah jam, baru ia sampai di pabrik tas tempat ia bekerja.
"Habis dari mana, Ja? Sampe lepek gitu seragam lu!" tanya Nanang, tatkala mereka berpapasan di pintu masuk. Nafas Jaja masih ngos-ngosan.
"Jalan kaki gue, sepeda gue dijual bapake!"
"Eh ya Allah, malang bener nasib lu, Ja." Nanang ikut iba, ia menepuk-nepuk pundak Jaja.
"Sabar ya, Ja."
"Makasih, Nang." Keduanya masuk ke dalam ruang produksi.
Lima belas menit kemudian, sampailah Yasmin di pabrik. Seperti biasa ia memantau semua elemen pekerjaan tanpa ada yang terlewat. Termasuk mengecek dan mengawasi area jahit. Dimana di dalamnya ada Jaja yang bertugas.
Jaja yang mengetahui ada ibu bosnya sedang inspeksi, dengan cepat memalingkan wajahnya, ia tidak ingin melakukan hal konyol lagi jika berhadapan dengan Yasmin. Ia bahkan tidak berani memandang Yasmin, saat wanita itu mulai mendekat. Dadanya bahkan berdegub sangat kencang. Perutnya mendadak mulas, padahal Yasmin masih beberapa langkah lagi menuju dirinya.
"Ehm ... kamu yang menjalankan mesin ini?" tanya Yasmin pada Jaja begitu ia berdiri di samping Jaja.
"Ii...iii..iyaaa...".
Tuut!
Jaja menahan napas, matanya terbelalak kaget saat tanpa aba-aba pantatnya mengeluarkan bunyi disertai bau.
Acara akad nikah dan resepsi yang diadakan di ballroom sebuah hotel mewah, berlangsung lancar dan meriah. Para tamu undangan yang berbondong-bondong memberikan selamat dan juga mendoakan sepasang pengantin yang tengah berbahagia di atas pelaminan sana.Semua bergembira dan tersenyum penuh senang. Amira, si gadis super unik, berjodoh dengan Reza yang tak lain adalah anak majikan sang ibu, saat dahulu kala. Jika ada penulis yang bersedia menceritakan kisah mereka dan memberi judul 'Menikahi Anak Pembantu', pasti sangatlah tepat. Namun itu hanya sepenggal kisah masa lalu yang dilalui Amira dan juga ibunya. Saat ini, mereka bahkan tak tahu berapa banyak aset perusahaan dan juga warisan yang ditinggalkan Uyut Wijaya untuk Amira dan juga ibunya.Buktinya dapat dilihat dari para undangan yang hadir, mulai dari wali kota Jakarta Selatan dan beberapa stafnya. Belum lagi lurah, dan camat setempat. Relasi bisnis sang papa, teman sekolah Amira, dan tentu saja belum lagi tamu dari pihak keluarga R
Devano menjadi pusat perhatian di dalam rumah besar milik Aminarsih. Lelaki itu tak banyak bicara. Hanya senyuman dan anggukan yang ia berikan, saat Amira atau Emir menanyai dirinya. Lalu bagaimana dengan Aminarsih? Wanita setengah baya itu tak mau mengeluarkan suara apapun untuk Devano. Bahkan ia menganggap lelaki itu sudah lama mati. Ia hanya menghargai Amira sebagai darah daging lelaki kejam seperti Devano.Lelaki itu duduk tepat di samping kiri Amira, sedangkan Emir dan Aminarsih ada di posisi kanan. Yasmin pun tak kalah bingung. Ia memang ingat, saat itu Narsih menggantikannya jadi pengantin Devano, tetapi bukannya mereka langsung berpisah beberapa hari kemudian? Harusnya, usia Amira lebih tua, atau tak beda jauh dari Reza. Namun, kenapa bisa Amira masih sangat muda?Satu hal yang paling menyeramkan dari semua ini adalah penampilan Devano yang telah kehilangan sebagian tangan kirinya. Ada banyak pertanyaan bersarang di kepalanya. Bagaimana bisa?"Bang Reza, Om, Tante, jangan bin
Langit malam tampak begitu terang benderang. Bintang bertabur di atas sana yang jika kita perhatikan, tampak seperti bentuk kursi. Aminarsih membiarkan jendela kamarnya terbuka. Sambil memijat kaki sang suami, sambil menikmati sinar bintang dan rembulan.Besok adalah hari lamaran Amira. Semua sudah disiapkan dengan begitu sempurna oleh Aminarsih dan juga suaminya. Keputusan sang puteri kesayangan sudah bisa mereka terima dengan lapang dada. Namun masih ada satu yang mengganjal Aminarsih, tetapi ia ragu untuk menanyakan perihal itu pada suaminya."Kenapa, Sayang? Sepertinya sedang memikirkan sesuatu? Apa ada yang belum rapi untuk acara besok?" tanya Emir penasaran, saat tiada suara yang keluar dari bibir sang istri saat memijatnya. Tidak seperti biasanya yang selalu ada saja yang menjadi bahan perbincangan."Pa, Ibu mau tanya. Mm ... tapi Papa jangan tersinggung. Ini soal ....""Devano?" tebak Emir dengan senyuman tersungging di bibirnya. Diraihnya tangan sang istri untuk duduk mendekat
Amira, Reza, dan Aminarsih sudah duduk saling berhadapan di sofa ruang tamu. Ketiganya duduk tergugu tanpa mengeluarkan suara. Terutama Amira yang merasa sangat malu bercampur haru. Wajahnya terus saja meron saat lelaki dewasa di depannya tak pernah memutus pandangan untuk menatapnya.Merahnya buah apel di kebunnya, sudah pasti kalah dengan warna pipinya saat ini. Hangat dan begitu bersinar sangat cantik. Bagaimana seorang Reza semakin tidak terpesona dengan gadis seperti Amira? Sungguh berbeda saat bertegur sapa di telepon dan saat ini bertemu langsung. Amira masih saja menunduk malu tanpa suara. Gadis itu sibuk memilin ujung bajunya sambil sesekali menggigit bibirnya."Kita kok jadi diam-diaman gini ya? He he he ...." Aminarsih membuka suara sambil tertawa kecil. Reza pun tersadar dari lamunan, lalu menoleh pada Aminarsih dengan wajah yang merona juga."Bingung mau ngomong apa, Tante. Hati saya terlalu senang saat bertemu Amira. Sepertinya Amira yang masih malu-malu," ujar Reza deng
Tiga tahun kemudian.Banyak sekali hal indah yang dialami Amira selama menjalani masa SMA. Teman yang banyak lagi seru. Guru-guru yang perhatian, namun tetap tegas. Orang tua dan adik-adik yang selalu memperhatikan dan sayang padanya. Pacar yang selalu sabar bila ditinggal tidur, atau ditinggal main olehnya. Benar-benar sempurna. Ditambah lagi teman-teman goib yang tak pernah mengganggunya. Hanya numpang lewat, atau say hello saja. Beda dengan dokter koas yang selalu mengukuti ke mana pun ia pergi. Pagi ini sarapan sedikit berbeda, karena wajah sang papa sedikit asem dan tak bersemangat. Apakah papanya sakit? Amira hendak bertanya, tetapi sungkan. Ia hanya memperhatikan lelaki yang semakin hari semakin dewasa itu tengah menyesap teh manis yang dituangkan istri tercinta ke dalam cangkir ukiran miliknya."Papa sakit?" kali ini Mahesa yang bertanya. Untunglah, mewakili perasaan penasaran dirinya. Emir mengangkat wajahnya, lalu tersenyum tipis."Papa baik-baik aja. Cuma agak lebay!" belu
Berawal dari kejadian hari pertama di sekolah, Amira menjadi terkenal. Ditambah lagi, semua guru baru mengetahui bahwa Amira adalah cicit pemilik lembaga pembelajaran mereka, sehingga hampir semua guru dan staf sangat menyukai Amira. Saat ini, Amira belajar di kelas XA bersama dengan Andini. Baru sepekan mengikuti kegiatan belajar mengajar, Amira sudah akrab dengan semua teman di kelasnya. Ditambah lagi desas-desus bahwa gadis itu adalah cikal-bakal pemilik lembaga pendidikan ini kelak. Tentulah banyak teman baik laki-laki mau pun perempuan yang dekat dan baik pada Amira. Namun tetap saja, Amira lebih merasa cocok dengan Andini. Si lemot yang menggemaskan."Nomor lima dong," bisik Andini pada Amira. Hari ini mereka ada kuis dari pelajaran matematika yang mengulang materi pembelajaran saat seragam putih biru. Andini dan Amira duduk di barisan tengah, juga saling bersebelahan."Belum. Baru nomor dua," jawab Amira sambil berbisik."Bohong dosa loh, Mira," balas Andini."Ish, gak percaya
Dasar Amira! Terbiasa tak punya ponsel, sehingga ia melupakan benda itu. Padahal sudah satu bulan ini ia pakai. Namun, Amira lebih sering mengabaikan ponselnya, karena tak ada akun media sosial apapun di dalam sana. Hanya, WA, musik, dan aplikasi ruang guru.Mulai dari bangun tidur, mandi, salat, kemudian berpakaian, Amira masih tak sadar dengan keberadaan ponselnya. Benda itu jatuh di kolong tempat tidurnya sehingga ia pun tak menyadarinya. Ponsel itu disilent dan saat ini tengah berkelap-kelip, tanda seseorang tengah menghubungi dirinya. Namun sayang, Amira yang sibuk dengan hari pertama mulai masuk sekolah, memilih langsung keluar kamar dengan aneka pernak pernik di tubuhnya.Ranselnya penuh dengan barang persiapan pengenalan lingkungan sekolah. Mulai dari tanah liat, chiki, sampai bola bekel ada di dalam tasnya. Amira tak tahu saja, bahwa kekasih hatinya tengah memendam penasaran karena teleponnya tak kunjung diangkat. Padahal lelaki itu hendak mengucapkan kalimat selamat hari per
"Mira, mau ke mana?" tanya Aminarsih pada puterinya. "Naik ke kamar, Bu. Daah ... makasih Ibu kejutannya," ujar Amira yang baru saja hendak naik ke atas, lalu berbalik badan, mencium pipi ibunya, lalu dengan berlari cepat ala goib, sudah berada di dalam kamar sambil memegang ponsel. Jika yang lain perlu mengatur napas, maka Amira tak perlu karena berlari secepat apapun ia tidak akan terengah-engah."Hallo, Sayang," ucapnya sambil menutup mulut menahan tawa."A-a-apa?" suara terbata Reza di seberang sana."Sayang."Brugh!Brugh"Hallo ... hallo ...."Amira memandang sambungan telepon yang terputus. Apakah sinyalnya jelek? Gadis itu mencoba melakukan panggilan lagi, tetapi tidak tersambung. Ia tak marah atau kecewa, gadis itu malah terus saja tersipu malu, bahkan ia membawa tubuhnya berputar-putar karena rasa senang yang luar biasa. Akhirnya, setelah dua tahun setengah memendam rindu, ia dapat mendengar suara itu. Suara yang membuatnya meleleh seperti hari ini. CupAmira mencium ponse
Dua tahun lebih sudah berlalu. Hari ini adalah hari kelulusan Amira dari seragam biru putih. Semua siswa menanti dengan debaran tak bisa dikendalikan. Mereka antre dari pagi untuk membaca penguman kelulusan. Pagar besar sekolah masih terkunci. Karena masih pukul lima lebih lima belas menit. Gerbang sekolah biasa dibuka pukul lima tiga puluh. Antrean semua siswa sudah tak sabar ingin membaca papan pengumaman di kelas mereka masing-masing.Sudah ada Amira yang semakin hari semakin cantik dan mempersona. Begitu juga dengan ketiga teman kembar tiganya. Mereka tumbuh menjadi gadis yang menggemaskan sekaligus cerdas. Jika Amira lebih menonjol pada aktifitas olah raga, berbeda dengan Andrea dan Aleta yang berprestasi di bidang akademis. Keduanya selalu saja mendapat peringkat tiga besar di kelas. Lain lagi Andini, si gadis tidak nyambung itu memiliki suara yang sangat bagus dan masuk ke dalam group paduan suara sekolah. "Lu udah sarapan?" tanya Andrea pada Amira yang berdiri di sampingnya.