"Mmm...saya mau bicara sesuatu." ujar Malik pelan, suaranya terdengar sedikit ragu. Yasmin yang baru saja fokus pada laptopnya, akhirnya menoleh pada Malik. Wajah Malik terlihat tegang.
"Iya silahkan!ada apa?"
"Mmm...tapi kamu jangan tersinggung ya?"
"Iya, ada apa sih?" kening Yasmin sampai bertaut, menanti apa yang akan Malik utarakan.
"Bagaimana kalau saya menggantikan posisi almarhum Arman di hati kamu?"
****
Suasana ruangan Yasmin mendadak hening. Yasmin nampak cukup syok dengan apa yang baru saja ia dengar. Malik adalah teman dekat suaminya, lelaki yang juga menyukai Yasmin sejak bangku kuliah. Meskipun Malik dua tahun lebih senior dari Arman, namun mereka dekat karena sama-sama aktifis pendaki gunung.
Ternyata hingga saat ini, Malik belum juga move on dari Yasmin. Terbukti, sampai saat ini ia masih single. Dan lelaki di depan Yasmin ini, sedang menatapnya dengan penuh takjub.
"Maaf, Mas. Jika tidak ada hal penting lainnya untuk dibicarakan, lebih baik mas Malik kembali ke ruangannya," pinta Yasmin dengan sopan, tangannya menunjuk dimana letak pintu keluar.
"Kenapa pertanyaan saya belum dijawab?" Malik tidak bergeser sama sekali dari posisi berdirinya, ia menatap Yasmin penuh pengharapan.
"Saya rasa, Mas harusnya tahu adab. Tanah kuburan suami saya saja masih basah, dan dia adalah teman baik mas Malik. Saya rasa tidak pantas, Mas mengatakan hal seperti tadi. Maaf, saya tidak bisa menerima lelaki manapun sebagai pengganti suaminya saya," cecar Yasmin dengan penuh penekanan, ia selalu mampu mengontrol emosinya dimana pun ia berada. Meskipun saat ini, rasanya ia ingin menjerit saja, meneriakkan nama suaminya.
"Baiklah, maafkan saya. Nanti kita bicara lagi." Malik keluar dari ruangan Yasmi dengan wajah merah menahan marah.
Yasmin melemparkan bokongnya di kursi empuk miliknya. Berkali-kali ia memijat pelipis, agar sakit kepala yang tiba-tiba datang bisa segera hilang. Ia menghubungi sekretarisnya dan minta dibawakan teh hijau untuk dirinya.
Ia perlu sesuatu yang menyegarkan otaknya kembali. Baru saja masuk pabrik, sudah ada-ada saja kejadian yang membuat kepalanya serasa berputar.
"Terimasih, Nita," ujarnya sambil tersenyum.
"Ada perlu bantuan lagi, Bu?"
"Ah, tidak ada. Kamu bisa kembali bekerja."
Renita, sekretaris Yasmin mengangguk paham. Dalam hati ia berkomentar, wajah bu Yasmin dan pak Malik sama kusutnya, ada apa ya?
Yasmin meminum tehnya pelan, begitu ia nikmati. Pandangannya lurus memandang email yang baru masuk.
Bepp...beepp...
Ponsel Yasmin berbunyi, tanda pesan W* masuk. Ia mengambil ponselnya yang berada di dalam tas C***L miliknya.
Adrian
Assalamualaikum, Yasmin. Bagaimana kabarnya? Semoga baik-baik saja ya. Malam minggu ini kamu ada waktu tidak, dinner bareng aku, mau ya?"
Yasmin meremas jemarinya, sungguh hari yang mengesalkan. Ia scroll pesan itu ke bawah. Membukanya satu persatu.
Mike
Hallo, Miss Yasmin. Malam minggu saya ke rumah ya.
Papa
Tuan Irwan sepertinya mau menjodohkan kamu dengan Yudi, anaknya. Papa akan ke rumah nanti malam.
Puk!
Yasmin melemparkan ponselnya di sofa. Berkali-kali ia istighfar memegang dadanya yang sakit. Air matanya kembali jatuh mengingat suaminya. Foto keluarga kecilnya dalam bingkai di atas meja kerjanya ia peluk erat.
"Hiks...hiks...mas aku kangen," lirihnya sambil terisak.
Hari ini Jaja masuk sift dua, sehingga ia baru selesai jam kerjanya pukul delapan malam. Ia melirik jam tangannya, sudah jam lima sore. Ia kembali fokus pada pekerjaannya menjalankan mesin.
Hingga tanpa sengaja, matanya kembali bertemu dengan Bu Yasmin. Cepat Jaja membuang pandangan, ia tidak sanggup jika harus benar-benar bertatapan dengan istri almarhum bosnya. Ia takut, perasaan yang tidak boleh ada itu, malah muncul. Yasmin hanya menoleh sekilas, lalu berjalan keluar dari gudang produksi.
"Ja, nanti malam jadi ga mau gue kenalin sama Rosa? Janda anyar, Ja. Manis banget wajahnya, Ja. Orang sunda tea, tahu sendirikan!" tanya Nanang, menghampiri Jaja sebelum ia pulang. Jaja nampak berfikir, Kemudian lelaki itu mengangguk.
"Yes, gue tunggu di warung bakso pade biasa ya."
"Iya, tapi gue ga punya duit buat traktir tuh cewe, Nang! Sponsorinlah, Nang." Jaja menyeringai.
"Hadeehh...pacaran aja sono sama mesin!" Gerutu Nanang sambil mencebik kesal. Ia pergi meninggalkan Jaja yang terkekeh.
"Buat traktir bakso yang lima belas ribuan aja gue kaga sanggup. Gimana mau punya pacar? Wees, ndak usah pacaran. Langsung nikah ae," gumamnya sambil tersenyum.
Kata orang pacaran setelah menikah itu indah, kayak artis siapa itu ya namanya?Nah, Rey bebayang. Jaja bermonolog, tangannya masih begitu mahir mengendalikan mesin penjahit tas-tas tersebut.
"Jaja...sini!" teriak Janu, sambil melambaikan tangan pada Jaja.
"Yuni, titip sebentar ya." ia menitipkan pekerjaannya pada Yuni temannya, yang mempunyai tugas sama seperti dirinya. Dengan berlari, Jaja keluar dari gerbang gudang, tempat Janu berdiri.
"Ada apa?"
"Tolongin, Bu Yasmin tuh. Mobilnya mogok, tidak bisa stater. Lu kan mekanik." Belum lagi Jaja menjawab, Janu sudah menarik paksa tangannya menuju parkiran.
"Nolongin janda dapat pahala, lho, Ja." ledek Janu sambil berbisik.
"Ini, Bu. Jagonya mesin, dia bisa kayaknya bantuin ibu." Seru Janu dengan penuh semangat, ia bahkan mendorong tubuh Jaja agar lebih dekat dengan mobil bu Yasmin. Yang masih saja dia coba untuk menstater.
"Kamu bisa?" tanya Yasmin pada Jaja, sepertinya ia tidak yakin.
"Semoga, Bu." Sahut Jaja sambil tersenyum.
"Kasih saya jawaban pasti. Kalau masih ragu, lebih baik saya panggil montir lain saja."
"Dicoba dulu ya, Bu. Maaf, saya boleh duduk di sini," ujar Jaja sambil menunjuk kursi kemudi yang sedang di duduki oleh Yasmin.
"Permisi dulu, saya mau keluar!"
Jaja menggeser tubuhnya mundur jauh hingga bamper belakang mobil. Bahkan ia membuang pandangannya. Jujur saat ini hatinya entah kenapa berdebar.
"Kejauhan, Ja. Lu gesernya!" Janu dan yang lainnya tertawa melihat kelakuan Jaja.
Dengan wajah merona malu dan dada berdebar, ia masuk ke dalam mobil bosnya. Duduk di jok mobil yang empuk, dan mulai mencoba stater mesin mobil mahal tersebut.
Jaja membuka kap mesin, ia memeriksa aneka kabel di sana. Tangannya mahir membetulkan sesuatu yang kiranya bisa membuat mobil bu Yasmin menyala kembali.
Yasmin menunggu sambil membuka ponselnya, masih saja ada nama Adrian dan Mike yang mengirimkan pesan padanya. Ia acuh, fokus pada pesan masuk lainnya, serta membuka akun media sosialnya.
Brreemm..bbrrewmmm..
Yasmin terlihat menyunggingkan senyum tipis. Jaja menyalakan mesin mobil dan mencobanya, tidak lama mesin itu ia biarkan nyala, lalu ia keluar dari sana.
"Boleh juga kamu," puji Yasmin sambil tersenyum.
"Terimaka....hhuachhiiim!" Jaja bersin tepat di depan Yasmin. Bahkan titisan air liurnya mengenaik blazer yang Yasmin kenakan. Jaja syok, umurnya seakan habis saat itu juga. Saat melihat Yasmin yang melotot ke arahnya.
Plak!
Yasmin menampar Jaja di depan teman-teman Jaja. Lelaki itu syok memegang pipinya.
"Kamu kurang ajar sekali! Jika masih ingin bekerja di sini, jangan pernah kamu ada di hadapan saya lagi, mengertiii!!" Teriak Yasmin tepat di depan wajah Jaja. Bahkan sangkin semangatnya, air liur Yasmin pun melayang bebas dan jatuh tepat di pipi kanan Jaja.
Yasmin segera masuk ke dalam mobilnya lalu segera keluar dari area parkir.
Huuuaaaaa...Jaja histeris, ia sungguh malu Saat ini, ya Allah sebaiknya ia pindah bekerja saja.
"Sabar ya, Ja. Lagian berani-beraninya lu bersin di depan bu Yasmin. Cari mati itu namanya!" Janu menepuk pundak Jaja.
**
Jaja memarkirkan sepedanya di depan rumah kontrakannya. Wajahnya kuyu dan lemas."Assalamualaikum, Mak," seru Jaja dari depan pintu. Lalu mengetuknya. Pintu rumah itu terkunci dari dalam. Dan tidak ada sahutan
"Mak, buka, Mak!" teriak Jaja lagi dari luar.
"Panggil, gue mamah. Baru gue bukain pintu," jawab suara seorang wanita dari dalam. Jaja menggaruk rambutnya kasar. Dasar emak gue sok kece!
"Assalamualaikum, Mama. Bukain pintunya dong. Anak gantengnya pulang nih. Cepet mak, eh...cepet mamah bukain pintunya!" Jaja berbiara mendayu-dayu memanggil wanita paruh baya yang biasa ia panggil emak.
Klek!
Pintu rumah terbuka lebar.
"Muka lu kenapa asem?" tanya emak Jaja saat melihat keadaan anaknya yang begitu kuyu.
"Lagi dapet, Mak."
"Mamah Jaja, gue bilang Mamah. Bukan emak!" Bu Ambar menginterupsi anaknya.
"Iya, Mah. Lagi dapet sial hari ini!" ujar Jaja lemas, ia membuka seragam kerjanya, menyisakan kaos dalam dan celana kerjanya saja.
"Jaja mau ngundurin diri aja Mak, dari pabrik."
"Mamah, Ja. Lidah lu kaga sekolah apa ya? dikata suruh panggil mamah, masih aja emak!" lagi-lagi Bu Ambar sewot membetulkan ucapan anaknya.
"Ya Allah begini banget nasib yak, di pabrik disemprot Bu Yasmin. Di rumah disemprot emak. Bodo aah..." Jaja bermonolog, melanjutkan langkahnya masuk ke dalam kamar mandi.
Bbrrriukkk...brruuukk...
"Ja...bapak bagi duit!" teriak Jamal, bapaknya Jaja. Suaranya seperti orang mabuk.
"Ga ada, Pak," sahut Jaja dari dalam kamar mandi.
"Kalau gitu, sepeda lu bapak jual ye!"
***
Jaja mandi terburu-buru setelah mendengar ucapan bapaknya, yang akan menjual sepeda butut miliknya. Suara bu Ambar, ibunya Jaja tidak terdengar, padahal sedari tadi Jaja memanggil-manggil ibunya.Masih menggunakan handuk saja, Jaja berlari ke depan rumah kontrakannya. Benar saja, sepeda butut miliknya sudah tidak ada di teras. Wajahnya berubah kesal dan marah, dengan serampangan ia memakai sendal dan pergi menyusul tempat biasa bapaknya berjudi dan mabuk-mabukan.Tak dipedulikannya kekehan tetangga melihatnya bertelanjang dada. Malah mereka seakan mendapat tontonan gratis dari lelaki kampung yang lumayan tampan. Perut rata dan aroma sabun serta sampo sehabis mandi, membuat ibu-ibu yang sedang berada di depan rumahnya, melongo melihat Jaja berjalan terburu-buru."Seksi amat, Ja. Ga dingin itu!" celetuk salah satu tetangga Jaja."Coba laki gue, perutnya kayak Jaja." Celetuk yang lainnya."Duh, gue gerah mak, liat perut Jaja."Dan entah apa lagi godaan dari para tetangga yang rata-rata i
Suara yang keluar dari arah belakang Jaja berdiri, tentu saja membuat karyawan yang berada tidak jauh dari tempat Jaja menoleh, bahkan mereka ikut melotot kaget seperti bu Yasmin dan Jaja. Jaja sendiri, sudah menutup pantatnya dengan tangan kiri, namun bau semerbak itu telanjur melayang di udara dan ditangkap oleh indera penciuman setiap orang yang ada disana.Kepala Yasmin saja sampai sempoyongan dan perutnya bergejolak, ia berusaha mati-matian menahan mual karena bau busuk yang keluar dari pantat salah satu keryawannya.Teman-teman Jaja tidak berani tertawa, karena masih ada bos mereka yang menatap tajam pelaku penyebaran bau busuk.Rahang bu Yasmin mengeras marah, karyawan yang sangat kurang aja, pikirnya. Tangannya yang putih, sedang menutup hidung sekaligus mulutnya.Jaja sudah menunduk malu, bahkan sangat malu. Ya Allah, Jaja rasanya ingin mati saja saat ini. Air matanya sudah menggenang, tanda ia benar-benar dalam keadaan tidak ada harga dirinya lagi."Kamu ke ruangan saya seka
Pagi yang cerah, matahari sudah tampil sangat cantik pada pukul tujuh pagi. Disebuah gang kecil, seorang ibu sedang menjemur bayinya penuh suka cita. Tidak jauh dari sana, seorang wanita paruh baya, menjemur ibunya yang sudah sepuh, duduk di kursi roda, sambil berbincang dan memijat lembut tangan wanita sepuh itu. Mata mereka melihat ke arah ujung gang buntu itu, dimana ada tumpukan warga yang cukup ramai.Warung nasi uduk dan lontong sayur yang ramai didatangi warga, apalagi masih baru. Dan rasanya lumayan enak. Ialah bu Ambar, ibu dari Jaja yang berjualan nasi uduk, lontong sayur dan aneka gorengan. Lelaki muda yang sebenarnya memiliki wajah tampan tapi tidak terurus itu, ikut melayani tetangga yang membeli sarapan di warung nasi uduk ibunya. Walaupun hanya beralaskan meja yang sedikit lagi rubuh, namun bu Ambar dan Jaja tetap semangat melayani pembeli."Jaja ga kerja?" Tanya seorang wanita muda yang usianya tidak jauh dari Jaja."Kerja, May. Nanti jam delapan berangkat." Sahutnya s
Reza masih saja menunduk. Ia tidak berani menatap wajah ibunya yang saat ini sepertinya sedang tidak suka dengan yang tadi dia lakukan. Berkali-kali Yasmin menarik nafas panjang, ia harus menyusun kalimat yang tepat dan mudah dipahami oleh anak seusia Reza."Kenapa Abang tadi dorong amih?""Maaf amih," sahut bibir mungil Reza, masih sambil menunduk."Tidak boleh seperti itu lagi ya, Bang!"Reza mengangguk. Kali ini ia mencoba melihat wajah ibunya yang sudah terlihat lelah."Abang kesepian, abang mau punya teman, abang mau punya adik," ucap Reza dengan wajah sedih. Yasmin terperangah dengan ucapan anak lelakinya."Abang bosan main sama oma, opa, kakek, nenek, Mba Narsih. Abang bosan!"Kali ini wajah Reza cemberut. Yasmin mendekati Reza lalu memeluknya."Kan ada adik Sarah, adik Naomi.""Abang mau adik dari perut Amih." Reza menunjuk perut Yasmin.Mata Yasmin berkaca-kaca, sebelum suaminya sakit. Ia sudah membuka alat kontrasepsi IUD agar ia segera diberi keturunan lagi. Namun, baru dua
Yasmin dan Jaja kini duduk di ruangan Maria. Suasana pagi yang awalnya ceria, mendadak panas saat Yasmin menarik Jaja naik ke ruangan Maria. Bahkan Maria dan chef Rahman yang sedang asik berdiskusi, ikut terusir dari ruangan."Ada apa sih?" Tanya Maria pada Faisal. Wajahnya masih kebingungan, saat turun dari lantai dua ruangannya.Faisal hanya mengangkat bahunya tidak paham."Emang Yasmin kenal dengan Jaja? Jaja kan baru berapa hari kerja." Tanya Maria lagi pada Faisal, lagi-lagi Faisal mengangkat kedua bahunya sambil mencebik."Sakit bahu lu ya, Sal. Dari tadi ditanya cuma angkat bahu. Udah sana ke dapur!" Titah Maria dengan wajah sewot.Sementara itu, di ruangan Maria. Yasmin tengah duduk dengan wajah tegang. Ia menatap Jaja dengan tajam, lelaki di depannya ini masih berdiri dengan menundukan wajah."Kamu tahu kesalahan kamu apa?" Lantang suara Yasmin bertanya pada Jaja."Tahu, Bu. Soal nyamuk tua"."Siapa nyamuk yang kamu maksud?""Hewan serangga, Bu." sahut Jaja dengan polosnya,
Sejak kejadian memalukan dua hari yang lalu, Yasmin tidak pernah datang lagi ke resto. Rasa malu dan kesal yang sudah sampai ke ubun-ubun. Dimana dirinya telah tanpa sengaja jatuh di atas tubuh Jaja, karyawannya. Yang lebih memalukan lagi, lelaki brondong itu malah pingsan karena tertindih oleh tubuhnya yang montok.Yasmin menepuk-nepuk jidatnya, kenapa ingatan kejadian memalukan itu selalu saja datang di kepalanya?. Apa dia segendut itu? sehingga mampu membuat lelaki itu pingsan. Yasmin menoleh ke arah cermin yang tepat berada di depan ranjangnya. Mutar tubuhnya ke kanan dan ke kiri.Sepertinya tidak gemuk apalagi gendut, dengan memiliki tinggi 170cm dan berat 65kilogram. Ia rasa ia hanya montok saja. Aah...pusing-pusing."Amih kenapa?pusing?" Tanya Reza saat melihat ibunya menepuk-nepuk kening di atas ranjang."Iya, Bang. Sedikit kok!" Sahut Yasmin, sambil menarik tangan Reza agar duduk di dekatnya."Ada apa sayang?""Abang mau beli buku, Amih. Buku dinosaurus.""Oh, gitu. Oke! Seka
Hening, tidak ada yang mengeluarkan suara dari kedua orang dewasa yang berdiri di dekat Reza ini. Bahkan seketika kepala Yasmin seakan berputar. Sedangkan Jaja dengan refleks memegang tengah celananya."Segini, nih!" Reza mengangkat sebelah lengannya ditekuk. Mata Yasmin melotot, ia hanya mampu menelan salivanya."Eh, kurang ... kurang ... segini." Reza mengangkat sebelah lagi lenganya, membawanya berdempetan. Kanan dan kiri.Yasmin dan Jaja semakin melotot. Yasmin yang air wajahnya berubah merah, berusaha menahan tubuhnya agar tidak limbung."Ehm ... kami permisi ya, Ja." Yasmin langsung menarik lengan Reza yang masih saja terangkat menirukan besarnya titit abang Jaja. Jaja hanya melongo tanpa mampu berkata-kata. Wajahnya sudah seperti atap gosong. Ya Allah malunya. Jaja memijat pelipisnya, berarti saat di toilet tadi, Reza melihat miliknya yang memang lebih gede dari ukuran asli indonesia."Dah, Abang Jaja." Reza melambaikan tangannya sambil tersenyum riang, langkahnya mengikuti Yas
Nasi goreng lengkap dengan telur dadar dan sosis bakar, sebagai menu sarapan Yasmin dan juga Reza, sudah tersedia di atas meja. Seteko teh manis hangat tertata di samping kerangjang buah di atas meja makan. Anak lelaki yang berusia lima tahun menjelang enam tahun itu, masih asik dengan legonya. Sambil menunggu amihnya keluar dari kamar."Makan duluan aja, Bang. Nanti abang telat," ajak Bik Narsih sambil mengambilkan nasi dan juga teman-temannya ke dalam piring Reza."Gak ah, Bik. Abang tunggu Amih aja," sahut Reza sambil memainkan legonya.Yasmin keluar dari kamar dengan rambut basah yang sepertinya baru saja dikeringkan dengan menggunakan hairdryer. Dengan menggunakan kemeja bewarna biru tua dan celana bahan bewarna putih tulang, penampilan Yasmin tampak memesona dan terlihat segar."Cuci dulu tangannya, Bang! Setelah itu mainannya dirapikan," titah Yasmin sambil menarik kursi tepat di depan Reza duduk. Anak kecil itu mencuci tangan di wastafel dapur, setelah menaruh kembali mainanny